Friday, December 26, 2008

Natal Vatikan 2008 (3)


SINTERKLAS, PRANZO di NATALE DAN SUPERMAN

Sinterklas datang di Kedutaan! Begitu judul sebuah media mengomentari kedatangan Paus Benediktus XVI ke kedutaan Italia untuk Vatikan (13/12/08). Yang pasti, kehadiran Paus yang berpakaian berwarna putih dan merah, mirip Sinterklas, membawa kegembiraan bagi semua yang hadir. Kunjungan Paus ini atas undangan Antonio Zanardi Landi, Dubes Italia untuk Tahta Suci. Kedatangan ini dianggap penting karena dikaitkan dengan peringatan 80 tahun Perjanjian Lateran yang ditanda-tangani awal tahun 1929.

Perjanjian Lateran yang ditanda-tangani hampir 80 tahun yang lalu memang penting artinya, terutama bagi sejarah gereja Katolik. Perjanjian tersebut antara lain berupa pengakuan politis atas kedaulatan penuh Tahta Suci di dalam Negara Vatikan yang pada saat yang sama  dikukuhkan. Selain itu, disepakati juga pengaturan posisi gereja serta agama Katolik di dalam Negara Italia.

Menyinggung tentang peristiwa bersejarah tersebut, Paus Benediktus XVI dalam sambutannya mengakui bahwa gereja amat sadar akan adanya perbedaan antara Negara dengan gereja. Perbedaan tersebut merupakan bagian dari struktur fundamental dari Kristianitas. “Gereja amat menghargai pemisahan serta otonomi ini sekaligus menilainya sebagai suatu kemajuan besar bagi kemanusiaan”, ujar Paus. Lebih lanjut Paus menyatakan bahwa pemisahan tersebut merupakan kondisi mendasar bagi kebebasan serta bagi pemenuhan misi universal penyelamatan bangsa-bangsa.

Kunjungan Paus yang dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi Italia, seperti Franco Frattini, menteri Luar Negeri Italia, dimeriahkan oleh suguhan musik klasik serta acara pemberian cindera-mata kepada Paus.

Pranzo di Natale dan Superman

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini para gelandangan kota Roma boleh menikmati pesta Natal istimewa. Sebanyak 500 pengemis, tuna-wisma, kaum cacat dan lansia berpesta ria di dalam gereja Santa Maria in Trastevere, Roma. Gereja paroki yang besar ini oleh kelompok San Egidio disulap menjadi ruang perjamuan makan siang tepat pada hari Natal (25/12/08).

Para gelandangan diatur duduk per kelompok mengelilingi meja besar. Mereka menikmati sajian khas Italia, mulai dari lasagna (makanan pembuka), carne (daging), dolci (kue-kue) serta pelbagai jenis minuman. Anggota komunitas San Egidio serta sejumlah relawan melayani para gelandangan ini dengan wajah gembira.

Oktavianus Wibowo, salah satu anggota San Egidio asal Indonesia, menjelaskan bahwa tradisi Pranzo di Natale (Makan siang Natal) di gereja Santa Maria in Trastevere, sudah berlangsung sejak 26 tahun yang lalu. Kini, tradisi ini tersebar di pelbagai penjuru kota Roma bahkan di banyak tempat di dunia dimana kelompok San Egidio berada.

Perayaan Natal kerap juga diwarnai dengan acara tukar cendera-mata. Di Italia, acara pemberian hadiah, umumnya tidak dilakukan pada tanggal 25 Desember melainkan diundur sampai tanggal 7 Januari, bertepatan dengan pesta Penampakan Tuhan atau Epiphany. Namun demikian, tidak sedikit warga Italia yang melakukan pemberian hadiah pada tanggal 25 Desember atau bahkan sebelumnya. Salah satunya adalah Perdana Menteri Italia, Sylvio Berlusconi.

Perdana Menteri yang berusia 72 tahun ini diberitakan memberi hadiah para cucunya berupa boneka superman dengan wajah dirinya. “Biarlah cucu-cucuku mengetahui bahwa mereka berasal dari keturunan pahlawan super”, ujar Perdana Menteri yang akhir-akhir ini kerap didemo rakyatnya. (Foto: dokumen L'Osservatore Romano)

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 4/01/09).

Natal Vatikan 2008 (2)


Pohon Natal Tertinggi 

Sebagaimana Natal tahun-tahun sebelumnya, lapangan Vatikan dilengkapi dengan kandang Natal istimewa serta pohon Natal. Tradisi ini dimulai sejak masa Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1982 hingga kini. Pohon Natal yang dipasang biasanya merupakan sumbangan dari daerah atau negara yang berbeda-beda. Tahun ini pohon Natal berasal dari daerah Lower, Austria Selatan. Menurut catatan, pohon setinggi 33 m ini merupakan pohon Natal tertinggi yang pernah menghiasi lapangan Santo Petrus. Sebuah sumber menyatakan bahwa pohon ini berusia 120 tahun!

Pohon Natal raksasa ini dilengkapi 2000 hiasan berupa bola-bola berwarna kuning emas, perak, putih serta sebuah hiasan berbentuk bintang besar. Pada saat upacara pembukaan resmi untuk umum oleh Kardinal Giovanni Lajolo (13/12/08), ratusan peziarah dari Lower Austria, dipimpin Erwin Proll, gubernurnya, turut hadir serta menyanyikan lagu-lagu gembira. Sehari sebelumnya, rombongan dari Austria Selatan ini diterima oleh Paus Benediktus XVI. Dalam kesempatan tersebut, Paus mengucapkan terima kasih atas sumbangan pohon sambil mengatakan bahwa ia menikmati pemandangan pohon Natal tersebut dari jendela apartemennya.

Sebuah sumber di Vatikan menyatakan bahwa  sesudah masa Natal berakhir, pohon setinggi 33 m tersebut akan dimanfaatkan untuk membuat pelbagai mainan anak-anak.

Selain pohon raksasa tersebut, rakyat Austria juga menyumbang 40 pohon serupa dalam ukuran lebih pendek. Pohon-pohon tersebut dipasang di seputar istana Apostolik, Auditorium Paulus VI serta di sekeliling perkantoran Kuria Romana. Dengan demikian, lengkaplah kesemarakan suasana Natal di Vatikan tahun ini.

Heri Kartono, OSC. (Disatukan dgn artikel utama, dimuat di HIDUP, 04/01/09)

 

 

Natal Vatikan 2008


AKHIRI PENDERITAAN ANAK-ANAK!

Nasib anak-anak terlantar, krisis di timur tengah serta konflik di Afrika menjadi perhatian serta keprihatinan Paus dalam Natal tahun 2008 ini. Sebuah insiden kecil di akhir misa malam Natal sempat mengejutkan umat yang hadir.

 “Anak Betlehem itu mendorong kita sekali lagi untuk melakukan sesuatu dengan kekuatan kita untuk mengakhiri penderitaan anak-anak”, ujar Paus dalam kotbah misa malam Natal di Basilika Santo Petrus Vatikan. Dalam kesempatan itu Paus mengajak umat untuk memperhatikan nasib anak-anak teraniaya yang dipaksa hidup di jalanan atau sebagai tentara. Paus juga menyampaikan keprihatinan bagi anak-anak korban industri pornografi. “Ini akan menimbulkan trauma di dalam jiwa mereka”, ujar Paus.

Saat menyinggung tempat kelahiran Yesus, Paus antara lain berkata: “Mari kita juga memikirkan tempat yang dinamai Betlehem, bumi di mana Yesus hidup, dan yang dia begitu sayangi”, katanya. “Mari kita berdoa agar perdamaian terbentuk di sana”, ujarnya lagi. Bulan Mei 2009, Paus dijadwalkan mengunjungi Betlehem.

Dalam kesempatan lain, Paus menyatakan harapannya bahwa krisis ekonomi yang melanda dunia dapat mengarahkan orang lebih memusatkan pada arti rohani dari Natal. Menurut Paus, krisis dapat membantu orang menemukan kehangatan, kesederhanaan, persahabatan serta solidaritas yang merupakan nilai khas peristiwa Natal. Hal ini disampaikan Paus pada kesempatan audiensi umum di Aula Paulus VI, Vatikan (17/12/08).

Bahasa Latin: Isyarat Persatuan Gereja

Paus memimpin Misa malam Natal di Basilika Santo Petrus Vatikan didampingi 32 kardinal dan dihadiri puluhan ribu umat. Misa Natal yang disiarkan ke lebih 65 negara tersebut berlangsung lancar. Sebuah insiden kecil terjadi pada akhir misa. Saat Paus berjalan meninggalkan altar menuju sakristi, seorang berbaju merah tiba-tiba melompati pembatas dan hendak menghampirinya. Namun, dengan sigap beberapa petugas langsung membekuknya. Paus sempat memperlambat jalannya dan melihat sekilas peristiwa tersebut.

Juru bicara Vatikan, Federico Lombardi, sesudahnya menyatakan bahwa insiden tersebut tidak menyebabkan masalah yang berarti. “Bapa Suci tetap berjalan dengan tenang. Saya rasa dia hanya ingin menyalami Sri Paus. Saya rasa juga dia tidak bersenjata”, jelas Lombardi.

Tentang liturginya sendiri, kali ini ada beberapa perubahan di sana-sini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Menurut Mgr. Guido Marini, pimpinan liturgi kepausan, perayaan liturgi Natal sejatinya dapat menghantar umat beriman pada penghayatan misteri inkarnasi. “Segala sesuatu termasuk kata-kata, tanda, tindakan, simbol, musik dan lagu dalam rangkaian liturgi mengarah pada tujuan yang sama tersebut”, ujar Marini pada L’Osservatore Romano, media Vatikan (Zenit, 23/12/08).

Perubahan yang dimaksud, antara lain, saat menyanyikan Gloria yang diawali oleh Sri Paus, diikuti bunyi lonceng dan iringan musik organ. Gloria kali ini tidak disertai acara persembahan bunga oleh anak-anak dari pelbagai benua. Persembahan bunga ini dialihkan ke bagian lain, yaitu pada saat Sri Paus berjalan menuju kandang Natal untuk meletakkan patung bayi Yesus di sana.

Penggunaan pelbagai bahasa yang berbeda dalam liturgi tetap dipertahankan. Masih menurut Mgr. Marini, bahasa-bahasa yang dipilih, khususnya untuk bacaan, menunjukkan adanya partisipasi umat yang datang dari pelbagai penjuru dunia. Sementara penggunaan bahasa Latin dalam doa-doa mengisyaratkan adanya persatuan di dalam gereja Katolik kendati berbeda-beda.

Lepas dari liturgi yang berubah, misa malam Natal di Vatikan dari tahun ke tahun selalu banyak diminati. Tahun inipun pihak Vatikan kewalahan untuk menampung banyaknya umat yang ingin merayakan Natal bersama Paus. Pastor Andreas Madya Sriyanto SCJ mengabarkan bahwa tiket masuk untuk misa malam Natal di Vatikan, sudah habis dua bulan sebelum hari H. Hal ini diakui juga oleh Pastor Markus Solo SVD yang bekerja di Vatikan. Pastor Markus yang mendapat informasi langsung dari Mgr. James M. Harvey, penanggung-jawab urusan tiket, membenarkan bahwa peminat misa Natal di Vatikan tahun ini memang membludak. HIDUP juga semula kewalahan untuk mendapatkan tiket masuk. Untunglah, berkat bantuan bapak Suprapto Martosetomo, Dubes RI untuk Vatikan, akhirnya tiket berhasil didapat.

Orang yang tidak memiliki tiket, harus puas duduk di luar Basilika dalam cuaca dingin dan mengikuti misa lewat layar raksasa yang disediakan.

Seruan Perdamaian di Timur Tengah dan Afrika

Pesan Natal Paus yang disampaikan esok harinya dari atas balkon utama Basilika Santo Petrus, Vatikan (25/12/08) terutama terkait dengan konflik dan kekerasan yang terjadi di Timur Tengah serta kegoncangan yang terjadi di Afrika, khususnya di Kongo, Sudan, Somalia dan Zimbabwe. Paus mengulangi pesan yang disampaikannya pada kotbah tengah malam, agar kebencian serta kekerasan di Timur Tengah dapat segera diakhiri.

Pada kesempatan yang sama, Paus menyampaikan berkat Urbi et Orbi kepada puluhan ribu umat yang hadir memenuhi lapangan Santo Petrus. Urbi et Orbi (bagi Kota dan Dunia) adalah salah satu tradisi yang dimiliki gereja Katolik. Berkat urbi et orbi diucapkan Paus khususnya pada hari raya Natal dan Paskah dari atas balkon utama Basilika Santo Petrus, Vatikan. Umat memenuhi lapangan St. Petrus, sebagian bahkan sejak pagi hari. Mereka tidak hanya ingin mendengarkan pesan-pesan Paus namun juga ingin mendapat indulgensi (pengampunan dosa) yang diterima lewat berkat urbi et orbi.

Pada bagian akhir acara Urbi et Orbi, Paus mengucapkan selamat Natal dalam 64 bahasa, termasuk bahasa Indonesia. (Foto: suasana saat umat mendengarkan pesan Natal Paus di lapangan Santo Petrus, Vatikan, 25/12/08)

 Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP, edisi 04/01/09).

Sunday, December 7, 2008

Basilika St. Yohannes Lateran.


BUNDA SEGALA GEREJA

Satu-satunya gereja yang diperingati resmi dalam kalender liturgi adalah Basilika Santo Yohanes Lateran. Pesta pemberkatannya dirayakan setiap tanggal 9 Nopember. Basilika ini kerap juga disebut sebagai Bunda Segala Gereja. Yang jelas, gereja ini merupakan katedral resmi uskup Roma yang adalah Paus sendiri. Kedudukannya lebih tinggi daripada basilika manapun, termasuk basilika Santo Petrus di Vatikan.

Di tempat Basilika berdiri sekarang, semula adalah istana keluarga Lateran. Istana ini diberikan oleh kaisar Konstantinus kepada uskup Roma pada tahun 313, pada masa pemerintahan Paus Miltiades. Istana tersebut kemudian diperbaharui serta diperluas menjadi katedral Roma. Pemberkatan resmi katedral Lateran dilakukan oleh Paus Sylvester I pada tahun 324. Sebagai katedral utama serta Bunda Segala Gereja, di pintu utama tertulis kata-kata dalam bahasa latin: Sacrosancta Lateranensis ecclesia omnium urbis et orbis ecclesiarum mater et caput (Gereja Lateran mahasuci, Bunda dan Kepala segala gereja di kota/Roma dan di dunia).

Di masa lalu, setiap Paus, mulai dari Paus Miltiades menempati basilika Lateran ini. Baru sejak Paus Clement V, Paus tidak menempati Lateran lagi. Waktu itu Paus Clement V (1309) berpindah ke Avignon, Perancis. Sejak saat itulah wibawa basilika Lateran mulai menurun. Lebih naas, istana dan basilika Lateran sempat dua kali dilahap si jago merah, yaitu pada tahun 1307 dan 1361. Basilika Lateran memang diperbaiki kembali namun kemegahan serta wibawanya sudah amat berkurang.

Ketika Paus kembali ke Roma, Paus tidak menempati Lateran sebagai tempat tinggalnya melainkan memilih Basilika Santa Maria in Trastevere. Dari sana Paus kemudian pindah lagi ke basilica Santa Maria Maggiore sebelum akhirnya pindah ke istana di Vatikan, hingga kini.

Paus Sixtus V (1521-1590) memerintahkan pembangunan ulang basilika Lateran. Pada pembangunan ulang ini, istana dan basilika Lateran dibangun secara terpisah. Dewasa ini istana Lateran menjadi Museum Kepausan serta barang-barang antik kristiani. (Dimuat di Berita Pandu, Bandung, edisi Januari 2009).

Catatan:

Di halaman Lateran ini terdapat obelisk (tugu) yang didirikan oleh Thutmose III di Karnak, Mesir. Obelisk ini konon merupakan yang terbesar di dunia. Obelisk tsb dipindahkan ke Roma oleh Kaisar Konstantinus II pada tahun 357 dan ditempatkan di Circus Maximus. Pada tahun 1587, Paus Sixtus V memindahkan ke tempatnya yang sekarang ini. (Heri Kartono,OSC).

Friday, November 21, 2008

Tradisi Pohon Natal






POHON NATAL DAN LEGENDA BONIFASIUS

Kisah kelahiran Yesus diceriterakan dalam Injil. Namun Injil tak bicara soal perayaan Natal. Tradisi Natal, termasuk Pohon Natal, baru muncul kemudian. Sebagian tradisi Natal diambil alih dari tradisi kafir. Haruskah kita menolaknya?

Sekitar tahun 1600-an, perayaan Natal pernah dilarang resmi di Inggris dan di beberapa negara koloninya. Pasal-nya, hari raya Natal dianggap sebagai hari raya orang kafir. Hal ini terutama karena pengaruh pandangan Protestan pada masa itu. Kendati dilarang, masyarakat yang sudah terlanjur cinta perayaan Natal, tak bisa dibendung untuk tetap merayakannya. Dan pesta ini tetap berlangsung hingga kini.

Hari Raya Natal sebagai perayaan kristiani dan hal-hal yang berkaitan dengan tradisi Natal, sampai hari ini masih diperdebatkan oleh sekelompok kecil orang. Beberapa orang non-kristiani malah sempat melontarkan tuduhan pembohongan publik berkaitan dengan Natal. Salah satu tradisi yang tergolong baru adalah Tradisi Pohon Natal. Kebiasaan yang sudah amat popular inipun masih sering dipertanyakan orang. Aliran Gereja tertentu malah mengharamkan tradisi ini. 

Amat Digemari.

Injil Lukas menceriterakan kisah kelahiran Yesus lengkap dengan kisah malaikat dan gembala-gembala. Sementara Matius menceriterakan tiga orang bijak dari Timur yang berjalan mengikuti bintang terang yang menunjukkan dimana Yesus berada. Injil menyebutkan bahwa Yesus lahir pada jaman Herodes berkuasa, namun tidak menulis tanggal persis kelahiran-Nya. Injil juga tak pernah menulis tentang kebiasaan merayakan hari kelahiran Yesus. 

Natal atau Perayaan kelahiran Yesus baru mulai tercantum dalam kalender Romawi pada tahun 336, atau 300 tahun lebih sesudah kematian Yesus. Tanggal 25 Desember yang ditetapkan sebagai Hari Raya Natal, pada awalnya merupakan perayaan hari kelahiran dewa matahari. Orang kristiani yang menyebut Kristus sebagai Terang Dunia mengambil alih pesta ini sebagai hari Natal, kelahiran Yesus. 

Perayaan Natal nampaknya cepat digemari umat kristiani. Pada tahun 1100 Natal sudah menjadi perayaan keagamaan paling penting di Eropa. Seiring dengan hal itu muncul juga pelbagai tradisi yang berkaitan dengan Natal. Santo Fransiskus, misalnya, memulai tradisi membuat kandang Natal pada tahun 1223. Waktu itu ia membuat dekorasi kandang Natal di Gereja Greccio dekat Asisi, Italia. Pada mulanya, ia hanya meletakkan tiga tokoh Natal, yaitu Yesus, Maria dan Yosef di dalam kandang. Pada tahun-tahun selanjutnya ia menambahkan tokoh-tokoh lain seperti para gembala, hewan ternak, Tiga Raja dari Timur dan malaikat. Kini tradisi ini dikenal hampir di seluruh dunia.

Pohon Natal dan Legenda St. Bonifasius.

Salah satu tradisi yang juga dikenal luas adalah tradisi pohon Natal. Pohon Natal biasanya berupa pohon cemara (asli maupun plastik) dihias dengan lampu warna-warni serta segala pernak-perniknya. Tradisi ini mulai di negeri Jerman pada abad ke-16. Menurut legenda, Santo Bonifasius suatu hari bertemu sekelompok orang yang akan mempersembahkan seorang anak kepada dewa Thor di sebuah pohon oak. Untuk menghentikan perbuatan jahat itu, secara ajaib Bonifasius merobohkan pohon oak dengan pukulan tangannya. Di tempat pohon oak yang roboh itu tumbuhlah sebuah pohon cemara. Bonifasius menganggap pohon cemara tersebut sebagai lambang iman kristiani. Dari legenda inilah kemudian lahir tradisi pohon Natal.

Sebelum berkembang dalam tradisi kristiani, pohon cemara sudah lama digunakan dalam perayaan keagamaan oleh bangsa Romawi. Pohon ini digunakan dalam perayaan peringatan kelahiran dewa matahari. Mereka menghiasi pohon cemara dengan hiasan-hiasan serta topeng-topeng kecil. Pohon cemara dipakai antara lain karena memiliki makna simbolik.

Pada musim dingin, ketika daun-daun pohon mulai menguning dan kemudian berguguran, pohon cemara tetap hijau daunnya. Karenanya pohon cemara yang evergreen, selalu hijau ini dianggap cocok melambangkan kehidupan yang terus menerus. Makna ini juga cocok dengan keyakinan hidup kekal dalam agama kristiani. Makna simbolik pada gilirannya makin memperkokoh keberadaan tradisi pohon Natal kristiani. 

Dari Jerman, tradisi pohon Natal menyebar ke berbagai tempat lain. Ketika Ratu Viktoria dari Inggris menikah dengan Pangeran Albert dari Jerman (10/02/1840), tradisi pohon Natal ini dengan cepat menjalar juga di Inggris. Ratu Viktoria memang amat menyukai tradisi ini. Pada akhir abad ke-19, tradisi pohon Natal praktis sudah dikenal luas dimana-mana. Industri yang memproduksi hiasan berupa pohon Natal makin mempopulerkan tradisi ini. Salah satu Pohon Natal yang terkenal adalah yang ada di Rockefeller Centre, New York karena amat besar dan menarik. Pohon Natal yang dipasang di lapangan Santo Petrus, Vatikan, juga menarik karena tingginya. Indonesia dan Filipina yang amat terpengaruh tradisi Barat menyukai tradisi pohon Natal. Namun tidak semua tempat menyukai pohon Natal. Di Afrika Selatan, keberadaan pohon Natal kurang dikenal; sementara masyarakat India lebih memilih pohon mangga dan pohon pisang daripada cemara.

Kerinduan Manusia.

Pohon cemara yang evergreen, selalu hijau, adalah lambang kehidupan yang terus berlangsung, abadi. Pohon Natal sering juga disebut Pohon Terang karena penuh dengan cahaya benderang. Dalam Kitab Suci, terang acapkali digunakan sebagai simbol kehidupan surgawi, bersih tanpa dosa. Sebaliknya, kegelapan adalah lambang kehidupan yang penuh dengan gelimang dosa. 

Pohon Natal sepertinya menyentuh hati umat manusia karena memiliki makna simbolik yang pas. Pohon Natal seolah-olah menyiratkan kerinduan manusia akan dunia surgawi, dunia yang damai dimana segala sesuatu adalah anugerah dan rahmat. Merayakan Natal tanpa Pohon Natal bukanlah sesuatu yang penting. Namun, merayakan Natal tanpa kerinduan hati akan perdamaian, barulah sesuatu yang patut  dipertanyakan. Selamat Natal.

Heri Kartono,OSC (Dimuat di Majalah Fraternite edisi Desember 2007)

 

Friday, November 14, 2008

Kunjungan ke Mesjid di Roma


MESJID AGUNG TANPA PENGERAS SUARA

Biarawan/wati baru saja mengadakan kujungan ke Mesjid di kota Roma. Kunjungan ini selain amat dihargai, juga dinilai turut menciptakan hubungan baik antara umat Islam dan Katolik di kota Roma.

Sebanyak 72 biarawan/wati berkunjung ke mesjid kota Roma (08/11/08). Kunjungan ini diprakarsai oleh USG/UISG, wadah yang membawahi semua kongregasi Katolik.

Mesjid Roma terletak di kaki bukit Parioli, sebelah utara kota, tidak jauh dari stadion olah raga. Kompleks mesjid ini sekaligus juga berfungsi sebagai Pusat Kebudayaan Islam di Italia. Bapak Omar Kamaleti, salah seorang pengurus mesjid, menerima serta memandu kami. Pengunjung wanita diminta menutup kepalanya dengan kain. Saat memasuki mesjid, kami semua diminta melepaskan sepatu kami, sesuatu yang aneh bagi sebagian pengunjung. Sambil berkeliling, Pak Omar menjelaskan seluk-beluk isi mesjid. Sesudahnya, acara dilanjutkan dengan tanya-jawab terbuka. 

Terbesar di Eropa

Mesjid yang berdiri di atas tanah seluas 30.000 m2 ini merupakan yang terbesar di Eropa. Tanah merupakan sumbangan dari pemerintah kota Roma, diberikan pada tahun 1974. Namun peletakan batu pertama, baru dilakukan sepuluh tahun kemudian. Raja Feysal dari Arab Saudi merupakan penyokong dana terbesar pembangunan mesjid ini. Selain Arab Saudi, sebanyak 22 negara lain ikut membantu mendanai, termasuk Indonesia. Dalam prasasti yang dipasang di luar tembok mesjid, terdapat daftar 23 negara penyumbang. Indonesia ada dalam urutan ke sembilan. Seluruh kompleks mesjid selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 21 Juni 1995.

Mesjid Roma tidak hanya digunakan untuk kegiatan sembahyang, tapi juga untuk banyak kegiatan lain seperti: perkawinan, upacara pemakaman, juga pelbagai seminar/kongres. Maklum, kompleks ini memiliki banyak fasilitas yang memadai, termasuk perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Pada saat ini, imam yang bertanggung-jawab atas mesjid di Roma adalah Ala Eldin Mohamed Ismail el Ghobashy dari Mesir.

Konon agama Islam sudah masuk Italia sejak abad ke 7, khususnya di Sicilia, Sardinia dan beberapa kawasan di semenanjung Italia. Sejak tahun 1300, keberadaan umat Islam di Italia tidak terdengar lagi.

Pada tahun 1970-an, ketika gelombang imigran dari Afrika Utara yang beragama Islam datang, agama Islam mulai dikenal lagi di Italia. Pada awalnya, para imigran datang dari Maroko, namun kemudian juga dari Albania. Pada tahun-tahun terakhir, mulai berdatangan imigran dari Mesir, Tunisia, Senegal, Pakistan. Tidak sedikit di antara mereka merupakan pendatang gelap. Sebuah sumber menyebut 40 % di antara imigran adalah illegal.

 Saat ini diperkirakan ada satu juta umat Islam di seluruh Italia. Dari jumlah itu, sekitar 50.000 orang memiliki kewarga-negaraan Italia. Orang Italia asli yang memeluk agama Islam, tidak lebih dari 10.000 jiwa. Umat Islam Italia bernaung dalam beberapa organisasi, antara lain AMI, Assemblea Musulmana d’Italia dan CCII, Centro Culturale Islamico d’Italia.

Tanpa Pengeras Suara

Atas pertanyaan seorang peserta, Omar menjelaskan bahwa Mesjid di Roma tidak dilengkapi dengan pengeras suara. “Masyarakat di sekitar mesjid tidak ada yang beragama Islam. Jadi kami tidak perlu menggunakan pengeras suara!”, paparnya. Hal lain yang cukup menarik adalah soal puasa bagi umat Islam. Di Roma, juga di Eropa pada umumnya, bulan puasa bisa menjadi amat berat bagi umat Islam. Pada musim panas, matahari terbit amat cepat dan tenggelam amat lambat. “Di Roma pada bulan Juli, matahari bisa terbit jam 5 pagi dan tenggelam jam 9.30 malam. Padahal, kami berpuasa sejak terbitnya matahari hingga tenggelamnya”, ujar Omar disambut tawa hadirin.

Pada kesempatan itu Omar Kamaleti juga menuturkan bahwa secara umum agama Islam masih kurang dimengerti dengan baik di Italia bahkan ditakuti. Maklum, sebagian besar umat Islam di Italia adalah imigran yang miskin, penyebab munculnya beberapa masalah sosial. Selain itu, adanya publikasi kekerasan dan terorisme yang seolah-olah dilakukan orang Islam, makin menyudutkan nama Islam. Omar menyayangkan bahwa persoalan sosial, politik dan ekonomi kerap dicampur adukkan dengan persoalan agama. Omar yakin dengan terjadinya interaksi yang lebih baik (seperti kunjungan 72 biarawan/ wati ke mesjid), Islam bisa diterima dan diperlakukan  lebih baik pula.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi: 07 Desember 2008; Foto: Omar Kamaleti sedang memperagakan cara sembahyang umat Islam).

 

 

Wednesday, November 12, 2008

Lingkaran Adven


TRADISI LINGKARAN ADVEN

Dalam lingkungan gereja, ada begitu banyak tradisi serta simbol yang menyiratkan arti rohani di baliknya. Salah satu tradisi yang biasa kita lihat pada masa Adven adalah Lingkaran Adven. Lingkaran Adven biasa dipasang di dalam gereja, tapi banyak juga dalam rumah keluarga-keluarga kristiani.

Tradisi ini konon sudah ada sejak abad pertengahan. Yang pasti, di Jerman Timur kebiasaan ini dimulai oleh Johann Hinrich Wichern, seorang teolog Protestan pada tahun 1839.  Dari dialah tradisi ini diadopsi gereja-gereja lain, termasuk Katolik. Lingkaran Adven adalah sebuah lingkaran yang dirangkai atas daun-daun hijau dengan 4 lilin yang menandai 4 hari Minggu sebelum Natal. Biasanya digunakan daun cemara atau jenis daun evergreen lainnya. Daun evergreen (selalu hijau) adalah daun yang tidak rontok dan tetap hijau di musim gugur sekalipun. Masa Adven selalu jatuh pada musim gugur. Pada musim tersebut nyaris semua daun layu dan berguguran. Daun evergreen yang tetap hijau melambangkan suatu kehidupan yang terus berlangsung.

Sebenarnya tidak ada aturan baku tentang warna lilin yang kita pasang. Kita di Indonesia biasa menggunakan lilin berwarna putih, lebih praktis dan mudah didapat. Namun di beberapa tempat, seperti di Eropa atau di AS, digunakan tiga lilin berwarna ungu (warna liturgis masa Adven, lambang pertobatan) dan satu lilin warna merah muda atau pink. Lilin warna merah muda dinyalakan pada Minggu ketiga atau Minggu sukacita (Gaudate), karena Natal sudah makin dekat.

Tentang penyalaan lilin juga tidak ada aturan atau doa khusus/resmi. Yang penting dinyalakan secara pantas. Pada minggu pertama dinyalakan satu lilin. Demikian seterusnya hingga pada hari Minggu ke-empat semua lilin dinyalakan. Masa Adven terdiri atas empat minggu. Bacaan pada tiap minggu, memberi penekanan arti Adven pada hari minggu terkait.

Secara umum, Yesus Kristus sering diibaratkan sebagai terang dunia. Menyalakan lilin Adven berarti suatu harapan agar terang itu juga terbit di hati kita masing-masing. Dengan demikian, saat Kristus datang, kita semua sungguh telah siap untuk menyongsongnya.

Heri Kartono, OSC (Untuk Buletin Paroki Pandu, Bandung, Edisi Desember 2008).

Saturday, November 8, 2008

Dialog Islam-Katolik di Vatikan


MEMBANGUN MASA DEPAN BERSAMA

“Menarik sekali! Tidak seperti dialog-dialog yang pernah saya ikuti selama ini. Dialog kali ini tidak basa-basi bahkan masuk wilayah teologi”, ujar Prof. Dr. HM.Din Syamsuddin tentang dialog para tokoh Islam dan Katolik dunia yang diadakan di Vatikan (4-6 Nopember 2008).

Pertemuan para tokoh Islam dan Katolik dunia ini merupakan yang pertama kalinya terjadi. Kardinal Jean-Louis Tauran, tuan rumah, sekaligus presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (Pontifical Council for Interreligious Dialog, PCID) menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan ‘sebuah lembaran baru dari perjalanan panjang sejarah kedua agama’. Kardinal Tauran juga bertindak sebagai ketua delegasi Katolik yang terdiri atas 29 orang. Pastor Markus Solo SVD dari Indonesia, merupakan salah satu di antaranya. Delegasi Islam, yang juga terdiri atas 29 tokoh dunia, dipimpin oleh Grand Mufti Mustafa Cerik dari Bosnia Herzegovina.

Bersatu Mengatasi Perselisihan

Kegiatan dialog ini merupakan langkah konkrit pertama yang dijajaki Vatikan atas inisiatif Paus Benediktus XVI. Inisiatif tersebut muncul setelah Paus menerima Surat Terbuka (Open Letter) yang ditanda-tangani oleh 138 Cendekiawan Muslim dari berbagai negara, setahun setelah Pidato Paus di Regensburg, Jerman. Surat terbuka para tokoh Islam dunia ini ditujukan kepada Paus dan sejumlah tokoh Kristen dunia, untuk memecahkan kebekuan serta untuk memulai suatu dialog yang serius.

Pidato Paus di Regensburg (12/09/2006) yang memancing pelbagai reaksi keras di kalangan umat Islam saat itu, menurut Prof. Din Syamsuddin merupakan blessing in disguise atau berkat terselubung. “Karena pidato itulah maka terjadi forum ini”, jelas ketua umum PP Muhammadiyah ini.

Forum Katolik-Islam ini mengambil tema umum: Love of God, Love of Neighbor (Cinta pada Allah, Cinta pada sesama). Pembicaraan serta diskusi dua kelompok agama besar ini terfokus pada dua topik besar, yaitu: Dasar Teologis dan Spiritual serta Martabat Manusia dan Saling Menghargai. Dalam pertemuan tiga hari tersebut mencuat pelbagai perbedaan namun juga persamaan dari kedua agama. Pertemuan yang menggunakan bahasa resmi Inggris, Perancis dan Arab ini berlangsung dengan baik. “Beda pendapat disampaikan secara santun dan mendalam. Maklum peserta forum ini adalah orang-orang amat terpelajar”, papar Din Syamsuddin saat ditemui di KBRI Vatikan pada acara jamuan makan malam (05/11/08).

Paus Benediktus XVI saat menerima peserta dialog (06/11/08), menyatakan bahwa surat terbuka dari tokoh-tokoh Islam dunia telah membangkitkan inisiatif untuk bertemu dan berdialog. Tujuannya adalah untuk saling mengenal serta menghargai secara lebih mendalam. Menyinggung tentang tema dialog, Paus mengatakan: “Panggilan serta missi kita adalah membagikan kepada sesama secara bebas, kasih Allah yang telah kita terima secara berlimpah”, ujarnya. Paus juga menyinggung bahwa pengikut kedua agama ini memiliki kesamaan yaitu kebutuhan besar untuk menyembah Allah secara total serta mencintai sesama, khususnya mereka yang malang dan membutuhkan.

Pada bagian akhir pidatonya, Paus menyampaikan harapannya: “Didorong suatu niat yang baik, marilah kita upayakan mengatasi segala salah pengertian serta perselisihan. Marilah kita atasi praduga buruk di masa lalu serta memperbaiki gambaran salah tentang pihak lain yang bahkan dewasa ini dapat menciptakan kesulitan hubungan kita. Mari kita bekerja sama mendidik semua orang, khususnya kaum muda, untuk membangun sebuah masa depan bersama”, ujar Paus.

Memerangi Kekerasan dan Terorisme

Para tokoh Katolik dan Islam sepakat untuk memerangi kekerasan dan terorisme, khususnya kekerasan yang dilakukan atas nama Tuhan.

Pada akhir dari tiga hari pertemuan, dikeluarkan 15 butir kesepakatan bersama para tokoh kedua agama. “Kami menyatakan bahwa Katolik dan Islam dipanggil untuk menjadi alat cinta dan kerukunan bagi umat beriman dan bagi kemanusiaan pada umumnya. Kami menolak segala penindasan, kekerasan serta teror, secara khusus yang dilakukan atas nama agama. Kami juga sepakat untuk menegakkan prinsip keadilan bagi semua orang”, begitu salah satu butir kesepakatan bersama.

Diserukan juga perlunya menghargai minoritas agama. Ditambahkan bahwa mereka yang minoritas berhak untuk memiliki tempat sendiri untuk beribadat. Tokoh-tokoh pendiri agama serta simbol-simbol suci hendaknya jangan dijadikan objek cemoohan dalam bentuk apapun. Menurut Din Syamsudin, nasib agama minoritas, dimanapun kerap mengalami kesulitan. Di beberapa tempat di Eropa, seperti di Jerman, orang Islam sering kesulitan mendapat ijin membangun mesjid. Sebaliknya, pihak Vatikan sudah lama menyerukan soal kebebasan beragama bagi minoritas Katolik seperti misalnya di Arab Saudi.

Himbauan untuk tidak menjadikan tokoh agama sebagai bahan cemoohan, nampaknya mengacu pada peristiwa yang terjadi pada tahun 2006. Saat itu sebuah surat kabar di Denmark, memuat sebuah kartun nabi Muhammad yang sempat  menimbulkan protes keras dunia Islam dimana-mana.

Kesepakatan lain yang cukup penting adalah diupayakannya membentuk suatu komite bersama Katolik-Islam guna menanggulangi konflik serta situasi darurat yang muncul. Pertemuan para tokoh dunia Katolik-Islam berikutnya, disepakati diadakan sekitar dua tahun mendatang di negara yang mayoritas beragama Islam.

Grand Mufti Mustafa Cerik yang dahulu sempat shock atas pidato Paus Benediktus XVI di Regensburg, Jerman, kepada wartawan mengaku puas atas pertemuan tiga hari di Vatikan ini. Sebagaimana dikutip Catholic News Service, Cerik mengatakan bahwa dirinya bahagia untuk kembali ke Sarajevo dan merasa optimis akan masa depan (CNS, 07/11/08).

Prof.  Dr. HM. Din Syamsuddin menilai pertemuan para tokoh dunia Islam dan Katolik ini penting artinya, juga bagi Indonesia. Din menyatakan sudah waktunya pola dialog di Indonesia untuk berubah. “Perlu keterbukaan serta ketulusan untuk memecahkan masalah bersama. Kalau perlu, masing-masing memberi daftar kesulitan dan kita pecahkan bersama satu demi satu”, ujar Din. Lebih lanjut, Din berkata dengan nada seloroh: “Jangan pakai gaya Jawa, senyum-senyum sambil membawa keris di pinggang. Kita perlu pakai gaya sebrang, blak-blakan mengungkapkan masalah kita dan mencari pemecahannya bersama”, papar Din sambil tertawa lebar.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 23/11 2008, dikombinasikan dengan laporan Dr. Markus Solo SVD).

 

Monday, November 3, 2008

Lourdes/Nevers


SANTA BERNADETTE SOUBIROUS

Sejarah Lourdes tidak bisa dipisahkan dengan Bernadette Soubirous (1844-1879), gadis dusun yang mendapat penampakan dari Bunda Maria. Bernadette adalah anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya bekerja di penggilingan sementara ibunya sebagai tukang cuci pakaian. Keluarga ini hidup miskin dengan rumah yang kecil, berhimpitan. Meski demikian, keluarga ini dikenal selalu rukun, saling menyayangi.

Saat Bernadette berusia 14 tahun, suatu hari ia pergi ke Grotto (gua) Massabielle di pinggiran Lourdes mencari kayu bakar. Waktu itu Bernadette ditemani salah satu adiknya dan seorang kawannya. Pada saat itu Bernadette mendapat suatu penampakan. Ia melihat seorang wanita muda berdiri di atas batu karang. Adik serta teman Bernadette tidak melihat apapun. Itu terjadi pada tanggal 11 Februari 1858. Pada kunjungan berikutnya, wanita cantik itu kembali menampakkan diri dan meminta Bernadette untuk datang setiap hari selama 15 hari.

Ibu Bernadette semula tidak mengijinkannya pergi. Namun sesudah Bernadette membujuknya, akhirnya sang ibu memperbolehkannya juga. Wanita cantik yang menampakkan diri itu tak pernah memperkenalkan dirinya, hingga pada penampakannya yang ketujuhbelas. Bernadette sendiri selalu menyebutnya: “Wanita itu”. Meski demikian, orang-orang yang percaya bahwa Bernadette tidak berbohong, meyakini bahwa wanita tersebut adalah Bunda Maria.

Banyak orang percaya pada apa yang dikisahkan Bernadette, namun tidak sedikit juga yang meragukannya. Pesan-pesan Maria yang disampaikan pada Bernadette bersifat umum seperti anjuran untuk berdoa dan bertobat. Namun pernah juga Bunda Maria meminta Bernadette untuk menemui pastor paroki menyampaikan pesan agar dibangun sebuah kapel di tempat penampakan tersebut. Bernadette kemudian diantar dua orang tantenya menemui pastor Dominique Peyramale. Pastor yang pandai namun tidak gampang percaya ini meminta agar “wanita itu” menjelaskan siapa dirinya. Pastor juga meminta bukti, sebuah mujijat.

Suatu saat, Bernadette, atas permintaan Bunda Maria, menggali tanah yang ditunjukkan Maria. Maria menyatakan bahwa di bawah tanah tersebut terdapat mata air. Bernadettepun menggali tanah dengan tangannya disaksikan banyak orang. Semula tidak terjadi apa-apa. Orang-orang mulai mentertawakan dan menganggap Bernadette sebagai orang gila. Namun kemudian, tanah yang digali Bernadette memang menjadi mata air.  Bernadette meminum air tersebut dan membersihkan diri dengan air yang sama (saat itu masih berupa lumpur). Telah banyak terjadi mujijat penyembuhan lewat mata air ini. Hingga kini banyak orang yang percaya berusaha untuk mandi, berendam atau sekedar membawa air Lourdes.

Dalam penampakan keenam belas, diceriterakan Bernadette memegang lilin bernyala. Saat Bernadette sedang mendapatkan penampakan, api lilin mulai membakar tangannya selama 15 menit. Namun, Bernadette sepertinya tidak merasakan kesakitan dan tidak terlihat luka pada tangan yang terbakar. Peristiwa ini disaksikan banyak orang, termasuk seorang dokter, dr.Pierre Romaine Dozous. Dokter ini mencatat semua yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Beberapa kali Bernadette menanyakan identitas wanita cantik yang selalu menampakkan diri itu. Wanita itu hanya menjawabnya dengan senyuman. Namun suatu hari, wanita itu berkata: “Aku adalah yang dikandung tanpa noda” (dogma Maria dikandung Tanpa Noda, baru diumumkan pada tanggal 8 Desember 1854 oleh Paus Pius IX dalama bahasa Latin. Tidak banyak orang yang tahu. Karenanya pastor paroki Lourdes saat itu amat heran bahwa Bernadette, gadis kampung yang bodoh, mengetahui nama tersebut!).

Bernadette adalah gadis desa yang sederhana. Kesaksiannya telah menggemparkan banyak kalangan. Meski amat bersahaja, ketika ia diwawancarai secara seksama baik oleh pihak Pemerintah maupun pihak Gereja Katolik, jawaban Bernadette selalu sama, konsisten.  Bernadette juga sempat diperiksa oleh seorang ahli jiwa yang didatangkan pemerintah untuk mengecek tingkat kewarasannya. Selain itu, berkali-kali Bernadette dipaksa untuk mengaku bahwa ia telah menyebarkan berita bohong. Segala tekanan amat melelahkan Bernadette dan keluarganya namun tak pernah mengubah pendiriannya.

Ketika mujijat demi mujijat terjadi di Lourdes dan nama Bernadette semakin terkenal di seluruh Perancis bahkan dunia, Bernadette justru merasa tidak nyaman. Akhirnya, dengan bantuan pastor paroki, Bernadette mengungsi ke kota Nevers. Di kota ini ia tinggal di biara sebagai seorang suster Konggregasi Suster-suster Karitas. Saat itu usia Bernadette 22 tahun.

Bernadette yang lugu dan sederhana telah mengantar banyak orang pada pertobatan. Ia juga telah membuat Lourdes menjadi tempat peziarahan yang luar biasa. Setiap tahun tak kurang 5 juta peziarah datang ke tempat ini. Bernadette meninggal dunia pada tanggal 16 April 1879. Ia dinyatakan sebagai orang kudus pada tanggal 8 Desember 1933. Jenasahnya, sesudah digali kembali, masih utuh dan dibaringkan di Kapel St. Bernadette di Nevers.

Heri Kartono, OSC

NB:

1.     Artikel ini ditulis untuk para peserta ziarah RS. Boromeus, Bandung ke Lourdes, Oktober 2008.

2.     Kisah hidup Bernadette pernah difilm-kan sekurangnya tiga kali. Seandainya anda tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Bernadette dan Lourdes, silahkan menonton filmnya. Salah satu film tentangnya berjudul: The Song of Bernadette (1943) arahan Henry King. Film yang dibintangi Jennifer Jones ini memenangkan empat Oscar. Film ini dibuat berdasar Novel karya Franz Werfel (1942) yang sangat populer dan masuk daftar the best seller The New York Times selama setahun penuh. Patut dicatat bahwa beberapa data dalam novel/film, sedikit berbeda dengan catatan sejarah/faktual kehidupan Bernadette. 

Friday, October 31, 2008

Vera Teulings


MEMBERI SECERCAH CAHAYA

“Orang sering menganggap saya sudah tua, padahal usia saya baru 30 tahun!”, ujar Vera berseloroh. Vera Teulings, wanita asal Belanda ini sudah tidak muda lagi. Tahun ini usianya 86 tahun. Namun, seperti diakuinya sendiri, ia memang berjiwa muda. Pensiunan dosen psikologi ini setiap tahun masih senang berkeliling ke luar negeri. Dengan uang pensiun yang dihematnya, ia bisa melancong beberapa kali ke Italia, Mesir bahkan juga ke Indonesia. “Saya pernah menjelajah dari Menado sampai ke Bandung”, tutur Vera, saat ditemui di Roma (29/10/08).

Di luar hobinya melancong, Vera aktif sebagai anggota ACAT (Action by Christians Against Torture) suatu gerakan kristiani menentang penyiksaan, khususnya di dalam penjara. ACAT diakui serta didukung penuh oleh Amnesty International. Salah satu kegiatan Vera yang dilakukannya secara rutin adalah berkorespondensi dengan 10 terpidana mati yang tersebar di AS, Mesir, Thailand dan Zambia. “Orang terpidana mati biasanya merasa terbuang dan tak ada yang memperhatikan. Karenanya, korespondensi dengan orang luar, bagi mereka sungguh amat berarti”, ujar Vera sungguh-sungguh. Vera mengaku bahwa surat-menyurat yang ia lakukan bukanlah surat basa-basi melainkan sebuah sharing mendalam. Kemampuannya dalam psikologi amat membantunya mengerti orang dalam pelbagai situasi.

Saat Vera melancong ke Mesir, ia menyempatkan diri mengunjungi empat sahabat penanya di dalam penjara. “Mereka amat terharu dan menghargai kunjungan maupun perhatianku”, kenang Vera. Pertemuan langsung ini membuat korespondensi sesudahnya makin sering dan lebih terbuka.

Vera Teulings masih terus berbuat kebaikan di usianya yang senja. Saat ditanya apa yang membuatnya terdorong memperhatikan para terpidana mati, ia berkata: “Apa yang saya lakukan hanyalah memberi secercah cahaya bagi mereka yang berada dalam kesepian dan kegelapan”, jawab wanita yang gemar membuka internet ini.

Heri Kartono,OSC (dimuat di majalah HIDUP, edisi 18/01/09).

 

Sinode Para Uskup 5-26 Okt 2008


PENTINGNYA TRIPLE DIALOG

Topik Sinode kali ini adalah tentang Firman Tuhan. Berkaitan dengan topik tersebut, lebih dari separuh peserta Sinode diberi kesempatan untuk menyampaikan paparan singkat. Salah satu peserta yang mendapat kesempatan tersebut adalah Mgr. Ign. Suharyo Pr dari Indonesia. Mewartakan Sabda Allah, menurutnya harus sesuai dengan situasi setempat, mempertimbangkan konteks yang ada. Dalam kaitan itu, Uskup Semarang ini menekankan pentingnya Triple Dialog, yaitu dialog dengan agama-agama lain, dialog dengan budaya dan dialog dengan kaum miskin.

Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, amat diwarnai tiga realitas tersebut, yaitu kehadiran agama besar lain seperti Islam untuk Indonesia; adanya beragam budaya serta kemiskinan. Bila gereja ingin berhasil dalam pewartaan Firman Tuhan, gereja harus berhubungan dan hidup dengan realitas tersebut. Dengan kata lain, ketiga realitas ini musti berperan dalam membangun jati diri gereja di  Indonesia.

Dalam penjelasannya kepada HIDUP, Mgr. Suharyo mengakui bahwa realitas gereja sendiri amat beragam di Indonesia. Gereja di Flores jelas berbeda dengan gereja di Jakarta. Karenanya, bisa saja penekanan dialog di wilayah gereja yang satu berbeda dengan di gereja lainnya.

Tiga realitas kunci yang dipaparkan di atas, menurut Rm.Puspo SJ, sangat sentral dan penting untuk Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian lama untuk kontekstualisasi teologi di Asia. Puspo memberi contoh, seorang teolog Sri Lanka, Pater Aloysius Pieris, SJ dalam bukunya An Asian Theology of Liberation (1988) juga mengupas tentang hal ini. Masih menurut Puspo, Gereja di Indonesia amat menyadari pentingnya tiga hal yang dipaparkan Mgr. Suharyo. “Arah dan haluan pastoral Gereja di Indonesia sudah memperhatikan realitas kemiskinan, keberagaman agama serta budaya dengan segala permasalahannya. Semua itu perlu untuk terus ditingkatkan menjadi kesadaran menggereja yang makin konkrit”, ujar imam Jesuit yang sedang studi di Roma ini.

Pastor Agus Rachmat OSC, dosen Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, saat dihubungi lewat e-mail memberi catatan tentang dialog. Menurutnya, dialog bukanlah sekedar demi mempertebal simpul sambung rasa, simpati serta solidaritas, melainkan harus memperluas wawasan iman kita. Selain itu, dialog mustinya dapat memperkaya tradisi spiritual kristiani. “Prinsip dialogis sebenarnya merupakan penerapan dari semangat aggiornamento (keterbukaan) serta ecclesia semper reformanda (gereja yang selalu diperbaharui) yang menjiwai Konsili Vatikan II”, tegas Agus.

Pentingnya dialog dengan agama-agama serta budaya lain mendapat perhatian besar dalam sinode para uskup. Pada sidang hari Kamis (16/10/08) para Bapak Sinode berharap agar umat Kristiani berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Umat Kristiani, khususnya di wilayah Afrika dan Asia Pasifik diminta untuk tidak ragu mengambil nilai-nilai positif dari agama setempat. Kendati demikian, Sinode juga mengingatkan adanya bahaya synkretisme, sesuatu yang kerap disuarakan juga oleh Paus Benediktus XVI dalam beberapa kesempatan yang berbeda.

Khusus tentang agama Islam, Sinode mencatat adanya beberapa kesamaan titik pijak yang penting seperti penolakan terhadap sekularisme, liberalisme, pembelaan atas hak hidup tiap-tiap manusia serta peneguhan atas pentingnya peran sosial agama. Sinode menegaskan perlunya suatu dialog yang jujur dan terbuka.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008)

 

Thursday, October 30, 2008

Sinode Uskup XII


PESAN AKHIR DAN RABBI COHEN

Suatu Sinode biasanya merumuskan suatu pesan akhir singkat, semacam kesimpulan dari pertemuan tiga minggu ini. Sebuah tim bertugas membuat pesan akhir tersebut. Menurut sebuah sumber, orang paling berperan dalam penulisan pesan akhir kali ini adalah Uskup Gianfranco Ravasi, seorang ahli Kitab Suci, berpengalaman mengajar 40 tahun.

Empat Gagasan Pokok

Ada 4 gagasan pokok pesan akhir Sinode yang disampaikan lewat sebuah gambaran. Keempat gagasan pokok tersebut adalah: Suara, Wajah, Rumah serta Jalan Sabda. Berikut adalah penjelasan singkatnya.

Suara Sabda: Adalah Suara Illahi yang menjadi asal mula terciptanya alam semesta. Suara ini pula yang merasuk ke dalam sejarah, sejarah yang diwarnai dosa manusia, penderitaan serta kematian. Suara Illahi dapat kita temukan dalam Kitab Suci yang kita baca sekarang dengan tuntutan Roh Kudus.

Wajah Sabda adalah Yesus Kristus, putera Allah yang hidup dalam sejarah umat manusia. Adalah Yesus Kristus yang mengungkapkan kepenuhan arti Kitab Suci. Kristianitas adalah agama yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus yang menampilkan Allah Bapa.

Rumah Sabda. Yang dimaksud dengan Rumah Sabda adalah Gereja. Ada 4 pilar penting yang menopang gereja, sebagaimana dijelaskan St. Lukas: pertama adalah Pengajaran.  Dengan kata lain, membaca dan mengerti Kitab Suci serta mewartakannya kepada semua orang. Kedua, Memecahkan Roti atau ekaristi yang merupakan sumber serta puncak kehidupan dan missi gereja. Umat Allah diundang untuk menikmati santapan rohani lewat liturgy Sabda dan komuni. Ketiga adalah Doa. Bacaan Kitab Suci yang mengandung doa mengantar kita pada meditasi, doa dan kontemplasi. Pada gilirannya ini akan mempertemukan kita dengan Kristus, Sang Sabda yang hidup. Keempat, Ikatan Persaudaraan. Orang Kristiani tidak cukup hanya menjadi pendengar Sabda namun sekaligus pelaksana Sabda.

Gambaran terakhir adalah Jalan Sabda. Sabda Tuha harus menemukan jalan untuk sampai ke dunia, di tengah-tengah keluarga, sekolah, budaya. Pada masa ini ada pelbagai jalan Sabda, termasuk di dalamnya lewat komunikasi elektronik, televisual dan segala jenis komunikasi lainnya. Sabda Allah perlu jalan yang tepat untuk sampai pada kita semua. Itulah rangkuman pesan akhir yang disampaikan Sinode para Uskup kepada kita semua.

Rabbi Cohen dan Kontroversi Paus Pius XII

Ada beberapa momentum dalam Sinode Para Uskup ke-12 yang mendapat perhatian luas Media Massa. Salah satunya adalah kehadiran Rabbi Shear-Yasyuv Cohen (80), pemimpin Rabbi dari Haifa, Israel. Ini merupakan kehadiran pertama seorang pemimpin Yahudi dalam Sinode para uskup di Vatikan. Rabbi Shear-Yasyuv Cohen yang hadir pada hari pertama Sinode berbicara tentang sejarah panjang, keras dan menyakitkan hubungan antara Yahudi dengan Katolik. Rabbi menyebutnya sebagai ‘sejarah penuh darah dan air mata’.

 Pada kesempatan tersebut Rabbi Cohen menyatakan rasa syukur yang tulus atas undangan Sri Paus untuk hadir dalam pertemuan para pemimpin gereja Katolik dunia. Ia menyebut kehadirannya sebagai tanda ‘harapan serta pesan kasih’. Ia juga menyinggung usaha untuk membina relasi yang sudah dimulai sejak Paus Yohanes XXIII dan mencapai puncaknya pada Paus Yohanes Paulus II.

Di samping itu, Rabbi Shear-Yasyuv Cohen juga menyinggung peranan pemimpin agama yang kurang nyata di masa perang, saat orang Yahudi dianiaya dan dibantai secara keji pada jaman Nazi. Menurutnya, Paus Pius XII yang bertahta dari 1939-1958 seharusnya berbuat lebih banyak untuk menolong orang-orang Yahudi dari pembantaian.

Kepada Reuters (06/10/08), Rabbi Shear-Yasyuv Cohen mengatakan bahwa dia tak akan datang seandainya tahu bahwa Sinode para uskup ini dikaitkan dengan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII. (Tanggal 9 Oktober 2008 dirayakan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII di Basilika Santo Petrus, Vatikan). “Kami merasa, seharusnya mendiang Paus Pius XII berbicara lebih lantang daripada yang ia lakukan”, ujarnya. Masih menurut Rabbi Cohen, orang Yahudi tak bisa melupakan dan memaafkan diamnya Paus Pius XII. Pernyataan Rabbi Cohen ini mendapat pemberitaan luas di Media Massa.

Juru bicara Vatikan, Tarcisio Bertone menyanggah tudingan bahwa Paus Pius XII tidak membela kaum Yahudi di masa perang. Menurutnya, di Roma saja atas arahan Paus Pius XII, ribuan orang Yahudi disembunyikan dan dilindungi di dalam 155 biara yang tersebar di kota Roma. (Associated Press, 07/10/08).

Sementara itu Surat Kabar Vatikan, Osservatore Romano menyebut Paus Pius XII sebagai ‘manusia damai’ yang telah melakukan yang terbaik pada masa yang penuh kekerasan. Sumber Vatikan, sebagaimana dikutip Reuters (08/10/08), mengatakan bahwa Paus Pius XII bekerja di belakang layar untuk membantu kaum Yahudi. Alasannya, bila  Paus melakukan intervensi secara terang-terangan, situasi akan makin memburuk. Banyak buku telah ditulis tentang masa yang gelap itu. Sebagian besar sepakat bahwa situasi akan makin buruk bagi orang Yahudi seandainya saat itu Paus berbicara keras dan terbuka menentang Hitler.

Dibawah Paus Yohanes Paulus II, sejak 2 September 2000 telah dimulai proses kanonisasi Paus Pius XII. Banyak orang Yahudi, sebagaimana diwakili Rabbi Cohen, tidak menyukai peristiwa ini namun proses kanonisasi nampaknya akan tetap berjalan terus.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 02 Nopember 2008).

Wednesday, October 29, 2008

Lourdes



TEMPAT ZIARAH UMAT KATOLIK

Lourdes semula adalah kampung kecil di sebuah kaki bukit, terletak di wilayah Pyrenees, barat daya Perancis. Luas kota ini 37 km2. Sejak terjadinya penampakan Maria kepada Bernadette Soubirous (1858) Lourdes menjadi salah satu tempat peziarahan utama bagi umat Katolik. Kini, dengan penduduk hanya 15.000, Lourdes mampu menampung 5 juta peziarah setiap musimnya. Dengan memiliki 270 hotel, Lourdes menjadi kota yang memiliki hotel terbanyak kedua sesudah Paris. Tahun 2008 ini, saat merayakan 150 tahun penampakan Bunda Maria, Lourdes kedatangan lebih banyak turis lagi dari pelbagai penjuru dunia.

Kota Lourdes berada pada ketinggian 420 m. Dari arah selatan, mengalir sungai Gave de Pau melewati kota ini. Salah satu anak sungai Gave de Pau melintasi pinggiran Grotto (Gua), tempat peziarahan.

Lourdes banyak dikunjungi peziarah terutama mulai bulan Maret hingga Oktober (saat cuaca tergolong nyaman, tidak terlalu dingin!). Mata air yang ada di Grotto dipercaya memiliki daya penyembuhan. Banyak orang datang karena mengharapkan suatu mujijat, terutama berkaitan dengan penyembuhan. Padahal, peziarahan pertama-tama bukanlah demi suatu mujijat.

Sejak Lourdes dinyatakan sebagai tempat peziarahan, hingga kini tempat ini telah didatangi sekitar 200 juta orang! Gereja Katolik sendiri yang cukup hati-hati dalam menyatakan adanya suatu mujijat, mengakui secara resmi bahwa telah terjadi 67 mujijat penyembuhan di Lourdes.

Sebagai kota yang didatangi begitu banyak pengunjung, Lourdes yang kecil ini penuh dengan pelbagai toko souvenir, khususnya yang berkaitan dengan benda-benda rohani. Tidak semua pengunjung suka adanya suasana komersialisasi ini. Untunglah di sekitar tempat ziarah, orang dilarang berjualan.

Di Lourdes, anda bisa berdoa atau berendam di sumber air dekat grotto. Namun, jangan lewatkan acara penting dan menarik yaitu prosesi lilin dan sakramen maha kudus. Oya, satu lagi informasi yang mungkin perlu diketahui. Di Lourdes ada banyak kelompok-kelompok sukarela yang siap membantu, khususnya orang sakit. Salah satu kelompok yang terkenal adalah Hospitalité Notre-Dame de Lourdes. Selamat berziarah!

Heri Kartono, OSC (ditulis untuk peserta ziarah RS. St. Boromeus Bandung).

Monday, October 27, 2008

Sinode Para Uskup


MEMBANGKITKAN GAIRAH BARU ATAS KITAB SUCI

Sinode para Uskup yang berlangsung selama tiga minggu diakhiri dengan Misa Agung dipimpin oleh Paus Benediktus XVI (26/10/08). Dalam kotbahnya, Paus antara lain berharap agar para Uskup Cina daratan yang dilarang hadir oleh pemerintah Komunis Cina tetap bertekun dalam kesulitan. Pada kesempatan yang sama Paus mengumumkan rencana lawatannya ke Afrika bulan Maret 2009.

Sinode para Uskup berlangsung sejak 5 – 26 Oktober 2008.  Ini adalah Sinode biasa Para uskup yang ke XII. Sinode Para uskup adalah lembaga yang didirikan oleh Paus Paulus VI pada 15 September 1965. Hal ini merupakan jawaban atas keinginan para bapak Konsili Vatikan II yang menghendaki mempertahankan semangat positif yang dialami selama Konsili. Sinode barasal dari dua kata Yunani yang berarti berkumpul bersama. Sinode merupakan pertemuan religius dimana para uskup dari seluruh dunia berkumpul bersama Bapa Suci. Wakil Indonesia dalam Sinode ini adalah Mgr. Ign. Suharyo Pr dan Mgr. A.B. Sinaga OFMCap.

Sinode  yang digelar dengan topik The Word of God in the Life and Mission of the Church (Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi Gereja) ini dihadiri 253 Uskup, Uskup Agung dan Kardinal dari seluruh penjuru dunia. Ada pula beberapa peserta yang bukan Uskup, seperti Mgr. Dr. Glen Lewandowski OSC. Ia merupakan salah satu perwakilan pimpinan tarekat religius. Di samping itu, ada juga sejumlah tokoh yang diundang sebagai pendengar. Beberapa tokoh ternama seperti Bruder Alois dari Taize dan Enzo Bianchi, pimpinan komunitas Bose hadir sebagai undangan khusus. Untuk pertama kalinya, Sinode ini dihadiri juga oleh perwakilan dari agama lain.

Sasaran sinode, seperti ditulis John Allen Jr, adalah membangkitkan kecintaan/  gairah baru atas Kitab Suci. Pada saat yang sama Sinode ingin mendorong umat Katolik untuk membaca KS dalam tradisi gereja yang hidup. Dengan demikian, diharapkan kita dapat berpegang pada iman dan akal sekaligus. (The National Catholic Reporter, 17 Oktober 2008).

Kesepakatan dan Ketegangan

Dalam Sinode ini ada banyak hal yang menjadi kesepakatan bersama. Beberapa di antaranya: Pertama, Sabda Tuhan dalam gereja Katolik  dimengerti lebih luas dari sekedar teks tertulis sebuah Kitab Suci. Sabda Tuhan pertama-tama mengacu pada sebuah pribadi Jesus Kristus.

Kedua, Kitab Suci harus dibaca dalam konteks gereja, tradisi, ajaran doktrin serta ibadat. Dengan kata lain, ada kaitan erat antara Injil dan liturgi, khususnya Misa.

Hal lain yang menjadi kesepakatan umum: Injil bukanlah sekedar sebuah literatur kuno. Karenanya Injil tak bisa ditafsirkan hanya dengan kacamata sejarah serta kritik literatur. Interpretasi Injil harus lebih mendalam, yaitu pada exegese theologis yang menghubungkan studi Kitab Suci dengan iman gereja serta perjuangan nyata manusia.

Dalam sinode juga muncul beberapa topik yang sempat menimbulkan ketegangan meski tidak sampai menjadi debat terbuka. Dua contoh topik yang menimbulkan ketegangan adalah topik Petugas Sabda Awam serta masalah Metode Kritis-historis sebagai cara untuk membaca serta mengerti Kitab Suci. Di beberapa tempat, dimana kehadiran seorang imam amat langka, maka umat melakukan Ibadat Sabda yang dipimpin seorang awam. Kenyataan ini memunculkan keprihatinan baik dari sisi teologis maupun praktis.  Apakah Ekaristi sebagai satu-satunya sumber dan puncak kehidupan Kristiani? Yang jelas, di beberapa daerah, umat tak akan pernah berkumpul bila harus menunggu perayaan Ekaristi. Ibadat Sabda adalah solusi dari situasi ini. Secara praktis, sejumlah Uskup khawatir bahwa mempromosikan pelayan sabda awam terlalu gencar, akan berakibat menurunnya minat kaum muda menjadi imam. 

Ketegangan yang lumayan tinggi terjadi antara kelompok yang menekankan eksegese kritis historis untuk mengerti Kitab Suci dengan tepat dan kubu yang lebih menekankan penafsiran rohani. Metode kritis-historis adalah suatu cara mengerti Kitab Suci dengan memanfaatkan hasil penyelidikan sejarah serta kritik literatur. Dengan cara ini Kitab Suci dapat dimengerti secara tepat baik dari sisi sejarah maupun sastra. Tidak semua orang sependapat dengan pendekatan ini. Thomas Rosica, sarjana Kitab Suci asal Kanada, memberi gambaran tentang hal ini. “Kami semua dilatih sebagai ahli bedah’, ujarnya. “Maksudnya, para ekseget (ahli Kitab Suci) belajar bagaimana memotong ayat-ayat dalam Kitab Suci secara persis dan mampu mengalisa artinya secara tepat. Yang sering dilupakan adalah, kami sedang membedah tubuh yang hidup, bukan sebuah mayat”, papar Rosica, penanggung jawab Press briefing Sinode berbahasa Inggris. 

Ketegangan dua kubu ini mengundang intervensi Paus Benediktus XVI, sesuatu yang amat jarang terjadi. Mgr. Dr.Glen Lewandowski OSC, salah satu peserta Sinode, menceriterakan tentang intervensi Paus tersebut. Menurutnya, Paus sambil mengutip dokumen Dei Verbum 12 menyatakan bahwa metode kritis historis adalah cocok untuk menafsirkan suatu teks dalam konteks asal mula sejarahnya. Sebab, bagaimanapun Kitab Suci memiliki dimensi sejarah dan manusiawi yang harus diketahui serta ditafsirkan. Dilain pihak, teks Kitab Suci memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar unsur sejarah dan manusiawi. Arti terdalam serta spiritual inilah yang kiranya perlu digali. Dengan kata lain, mengerti Kitab Suci secara akademik dan spiritual haruslah saling melengkapi. Yang jelas, intervensi Paus berhasil meredakan ketegangan yang sempat terjadi.

Mengagumkan, Memperkaya

Dalam Sinode ini banyak orang mendapat kesempatan untuk berbicara. Dari 253 peserta Sinode, sekitar 220 memberi paparan, masing-masing selama 5 menit. Sesudah waktu lima menit, microphone otomatis akan berhenti. Sistem ini berlaku bagi semua orang dan berjalan efektif. Banyak peserta merasa kagum atas cara kerja panitia. Hebatnya, semua paparan yang disampaikan pada pagi hari, siang harinya sudah langsung tersedia, tercetak rapi bagi semua peserta. “Pendapat Max Weber bahwa Vatikan merupakan salah satu birokrasi modern yang paling efisien, rupanya masih tetap berlaku”, ujar seorang peserta penuh kekaguman. Selain rasa kagum, ada cukup banyak peserta yang menyimpan kekecewaan. Dokumen akhir dan resmi dikeluarkan Vatikan dalam bahasa Latin. Beberapa peserta, termasuk Glen Lewandowski, kecewa dan mengeluh, mengingat bahasa Latin tidak banyak dimengerti lagi.

Seorang Uskup dari Zambia, Mgr. George Cosmas Zumair Lungu saat ditanya kesannya mengikuti Sinode, mengaku amat tertarik dan senang. “Sangat menarik mengamati beragam pandangan para pemimpin gereja dari pelbagai penjuru dunia. Ada perbedaan cara pandang di antara para peserta, khususnya antara peserta dari negara maju seperti Eropa Barat dan peserta dari negara berkembang, seperti negara-negara di Afrika. Sinode ini memperkaya wawasan saya”, ujarnya dalam bahasa Inggris.

Mgr. Ign. Suharyo mempunyai kesan tersendiri tentang Sinode ini. Ia amat tertarik pada proses sinodalitas yang terjadi. “Orang dari latar belakang budaya serta bahasa yang berbeda dapat bersama-sama mencari jalan terbaik demi kepentingan gereja. Panitia dipilih oleh sidang dan usul-usul ditetapkan melalui voting. Sungguh suatu dinamika yang menarik!”, ungkap Uskup yang berpembawaan tenang ini. Lebih lanjut, mantan Dosen Kitab Suci ini berharap bahwa para peserta Sinode dapat membawa serta menerapkan hasil sinode sampai ke akar rumput di tempatnya masing-masing. “Ini PR yang tidak mudah!”, ujar Suharyo.

Sinode para uskup yang berlangsung selama tiga minggu diselingi beberapa acara ringan. Salah satunya, Paus menjamu peserta Sinode dengan pertunjukan Orkes Simphoni dari Vienna di bawah asuhan Maestro Christoph Eschenbach. Orkes lengkap yang menyajikan Symphony keenam gubahan Anton Bruchner ini diselenggarakan di Basilika Santo Paulus di luar tembok Roma (13/10/08).

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008).

 

 

Sunday, October 5, 2008

Agustina Prasetyo


SULITNYA MENGERTI JALAN TUHAN

Sejak kecil, ia mengalami kerasnya kehidupan. Ketika hidup mulai membaik, ia kembali ditimpa kemalangan yang amat pahit. Suaminya meninggal dan ia harus berjuang lagi sendirian dan dalam himpitan ekonomi yang menyesakkan. Namun, ia tak pernah menyerah pada nasib.

Pada suatu hari minggu seorang kawan mengajaknya pergi ke gereja. Ketika ayahnya tahu bahwa ia pergi ke gereja, ayah begitu marah. “Ayah menghukum aku tidak boleh keluar dari rumah pada hari minggu”, kenang Agustina Prasetyo. Peristiwa tersebut terjadi saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tina adalah anak tunggal. Ayahnya keturunan Tionghoa, tidak memiliki agama. Sementara ibunya, keturunan Jawa, hanya mengenal ajaran-ajaran kejawen. 

Kendati orang tua melarangnya pergi ke gereja, Tina tetap mengikuti pelajaran agama katolik dengan diam-diam di sekolahnya. Ia memang mengenal dan tertarik pada agama katolik lewat sekolahnya. Saat lulus SMP, Tina masih belum mendapat kesempatan juga untuk dibaptis. Di SMA, ia meneruskan pelajaran agama dengan tekun. Ia berharap, suatu saat ada jalan yang memungkinkannya untuk dibaptis. Jalan itu terbuka lebar ketika ayahnya menderita penyakit kulit yang aneh. Penyakit itu berawal dari borok kecil di kepala kemudian merambah ke seluruh tubuh. Pada saat ayah dirawat di Rumah Sakit, sekelompok pendoa kristiani datang dan mendoakannya. Rupanya ayah begitu tersentuh oleh doa tersebut. Sejak itu, ayah tidak lagi melarangnya pergi ke Gereja. Tina kemudian dibaptis masuk Katolik, setelah lebih dahulu ibunya dibaptis. Ayah juga pada akhirnya dibaptis masuk katolik.

Bermimpi Melihat Dunia

Salah satu kemampuan Tina yang menonjol sejak di bangku SMP adalah bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasanya itu, ia banyak membaca kisah-kisah dari luar negeri. “Sejak itu aku bermimpi untuk bisa menjelajah ke negeri lain!”, papar Tina. Baginya, keinginan untuk pergi ke luar negeri adalah benar-benar bagaikan sebuah mimpi. Bagaimana tidak? Karena penyakit ayah yang tak kunjung sembuh, ayah tak mampu lagi bekerja. Akibatnya, kondisi ekonomi keluarga menjadi berantakan. “Jangankan untuk pergi ke luar negeri, untuk hidup sehari-haripun sudah sulit, bahkan rumahpun kami tak punya”, kenang Tina. 

“Keadaan keuangan begitu terpuruk, tak ada biaya untuk meneruskan sekolah. Ibu membuka warung makan kecil-kecilan. Aku sendiri mencari uang dengan cara memberi kursus bahasa Inggris pada adik-adik kelasku. Itu tidak cukup. Untunglah para tanteku bermurah hati membantu pembiayaan sekolahku hingga tamat SMA”, lanjut penggemar traveling ini.

Setamat SMA, Tina melanjutkan kuliah di sebuah Akademi Bahasa Asing di kotanya, Semarang. Hal itu terjadi atas bantuan salah seorang paman-nya. Pada saat kuliah itulah, suatu hari Tina melihat pengumuman tentang program pertukaran pemuda Indonesia-Kanada. Dengan polos dan tanpa persiapan apapun, Tina mengikuti tes seleksi. Ternyata ia lulus dan berhak mewakili Jawa Tengah pergi ke Kanada. Peristiwa tersebut amat bersejarah dalam perjalanan hidupnya. “Bagaimana tidak? Itulah pertama kali aku keluar dari kota Semarang, pertama kali naik Kereta Api, pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta dan pertama kali ke Luar Negeri!”, kisah Tina dengan senyum khasnya.

Kepergiannya ke Kanada ternyata membawa pelbagai keberuntungan sesudahnya. Hidupnya seakan mengalir amat mulus, serba menyenangkan. Sepulang dari Kanada, Tina mendapat kesempatan lagi pergi ke luar negeri. Kali ini ke Australia melalui program Lions Club. Sesudah itu, ia masih sekali lagi ke Kanada sebagai Project Leader. Yang paling membahagiakan adalah saat ia bertemu seorang pemuda bernama Aswan Prasetyo yang kemudian menjadi suaminya. Tina amat beruntung memiliki suami yang setia, jujur dan lembut hati. Di luar kesibukannya, Tina masih sempat kuliah lagi, yaitu di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata hingga tamat.

Cobaan yang Menyesakkan

Roda keberuntungan nampaknya belum berpihak pada Tina selamanya. Tahun 1997 menjadi titik balik segalanya. Saat itu timbul krisis ekonomi. Kantor tempat suami bekerja terkena imbasnya. Banyak terjadi aksi demo di kantor yang memiliki lebih dari 10.000 karyawan tersebut. Situasi kerja yang tak menentu membuat Aswan Prasetyo, sang suami, mulai diliputi stres.  Kondisi tersebut rupanya mempengaruhi juga kesehatan fisiknya. 

Pada suatu sore, secara kebetulan Tina mengamati bahwa kuku tangan suaminya membiru. Menurut dokter, sang suami mengalami kekurangan oksigen dan harus segera mendapat perawatan. Aswan kemudian dirawat di RS. Telogorejo, Semarang. Seminggu di Rumah Sakit, tidak membawa perubahan apapun juga. Karenanya diputuskan untuk membawa Aswan pulang, dirawat di rumah.

Suatu hari, sebuah kabar datang dari Jakarta. Ibu Aswan dirawat di Rumah Sakit Mitra dan kondisinya amat parah, tinggal menghitung hari saja. Mendengar ini, Aswan kendati sakit, memaksa diri untuk pergi ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, Aswan bukannya menengok ibu melainkan dilarikan ke RS di Pondok Indah karena kondisinya yang melemah. Beberapa hari kemudian Aswan dipindahkan ke RS Harapan Kita.

Kakak Aswan yang berprofesi dokter, berusaha mengetahui persis penyakit Aswan. Ia mengirimkan data-data penyakit Aswan ke Singapura. Ternyata, menurut analisa dokter di Singapura, Aswan menderita penyakit kanker paru-paru. Padahal, selama ini yang dideteksi adalah jantung! Pemberitahuan tentang penyakit Aswan datangnya terlambat. Kondisi Aswan kala itu sudah amat lemah. Aswan masih dipindahkan sekali lagi ke Rumah Sakit lain, yaitu RS. Pelni. Saat itu juga Aswan langsung masuk ruang ICU. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Aswan meninggal dunia di ruang ICU. Ia pergi hanya selang beberapa jam setelah ibunya juga meninggal di tempat terpisah. Tina amat terpukul menyaksikan Aswan, suaminya pergi untuk selamanya. “Aku diam…aku marah…aku kecewa…karena Aswan lebih mencintai maminya daripada aku…dia pergi bersama maminya pada hari yang sama!”, papar Tina tentang perasaannya saat itu.

Bahtera rumah tangga yang telah dibangun bersama, kini hancur sudah. “Aku telah memberikan separuh dari jiwa ragaku kepada Aswan, suamiku. Aku nyaris tak memiliki tenaga lagi untuk mengayuh serpihan bahtera yang tersisa. Aku harus berjuang keras, berpikir realistis terhadap situasi baru yang harus aku hadapi”, ujar Tina terbata-bata. Dalam keputus asaan, Tina menggugat Tuhan. “Apa salah dan dosaku sehingga aku harus menanggung cobaan seberat ini?”. Betapa sulitnya mengerti jalan Tuhan bagi Tina saat itu.

Kemarahan kepada Tuhan atas nasib hidup yang dideritanya, mulai luluh saat Tina mengikuti retret di pertapaan Karmel Malang. Lewat permenungan yang mendalam, Tina kembali diyakinkan bahwa Tuhan Yesus tak akan pernah meninggalkannya sendirian.

Banyak Jalan ke Roma

Tidak enak menjadi seorang janda muda. Waktu itu usia Tina 34 tahun. Ia berusaha menjaga citra diri serta membatasi lingkungan pergaulan. Nyaris ia hanya beranjak dari rumah, kantor dan sekolah anaknya, Nathalie Prasetyo. Kendati demikian, tetap saja selalu ada orang yang usil, berniat mengganggu kehidupannya.

Saudara serta sahabat-sahabat Tina menganjurkan agar ia menikah lagi. Kesempatan itu datang saat tanpa sengaja ia berkenalan dengan Davide Magini, seorang pria Italia. Perkenalan itu sendiri terjadi lewat internet. “Saat melihat fotonya di internet, aku tahu, dia adalah jodohku”, tutur Tina. Hubungannya dengan Davide sebenarnya nyaris mustahil. Selain dipisahkan oleh jarak,  perbedaan budaya serta latar belakang yang menyolok, kesulitan paling besar adalah masalah komunikasi. Davide hanya mengerti bahasa Italia sementara Tina bahasa Inggris. Meski demikian, segala kesulitan itu pada akhirnya menjadi suatu batu ujian yang kokoh sebelum keduanya sepakat untuk menikah (29/12/2000). 

Sesudah menikah, Tina menetap di sebuah kota kecil, tidak jauh dari Roma. Kebahagiaan Tina menjadi lengkap dengan lahirnya Nicolas, buah cintanya dengan Davide. Kesulitan hidup tetap muncul di sana-sini. Meski demikian, Tina kini merasa lebih nyaman. Ia yakin bahwa Tuhan tak meninggalkannya, apalagi kini ia memiliki Davide yang senantiasa mendampinginya.

Heri Kartono OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008).