Monday, March 31, 2008

Pst. Agus Rachmat OSC



CENDERUNG NEKAD

Pastor yang satu ini tergolong eksentrik, cenderung nekad dan merepotkan orang. Misalnya, ketika tinggal di Eropa, ia jarang membawa paspor bila bepergian. Akibatnya, ia pernah tiga kali ditangkap polisi dan sempat beberapa jam masuk penjara.

Ketika menjadi Rektor Universitas Katolik Parahyangan, Bandung (1993-1995), pastor yang kutu buku ini tetap memilih naik Honda bebeknya. Padahal, Universitas menyediakan fasilitas mobil lengkap dengan sopirnya. Untuk tetap menghargainya, para pegawai berinisiatif menyediakan tempat parkir dengan tulisan khusus motor Rektor di antara deretan mobil pejabat Unpar. Sekretarisnya sempat menasehati agar ia rajin memakai sepatu. Maklum, Pak Rektor lebih bahagia memakai sandal sederhana daripada sepatu kulit yang mahal.

Kini, pastor putera Sunda asli ini menjadi provinsial di tarekatnya. Secara berkala ia harus pergi ke Roma mengikuti rapat Dewan Jenderal. Mengikuti rapat berjam-jam tanpa boleh merokok, merupakan siksaan berat baginya. Maklum, ia adalah perokok kelas berat. Dosen filsafat ini tidak tahu berapa banyak rokok lintingan yang dihisapnya setiap hari. Ketika ditanya, apa pernah cek kesehatan, ia menjawab ringan, “Lha kalau saya ke dokter, saya sudah tahu akan dinasehati supaya berhenti merokok!”, katanya terkekeh.

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah HIDUP, Nopember 2006?)

Sunday, March 30, 2008

Wim van der Weiden, MSF.



KEHANGATAN ala BRASIL

Wim van der Weiden kini boleh merasa lega. Selama 12 tahun ia telah menjabat sebagai pimpinan tertinggi di tarekatnya, MSF. Beberapa waktu yang lalu ia menyerahkan jabatan tersebut kepada penggantinya, Pastor Edmund Michalski MSF dari Polandia. Sesudah masa jabatannya selesai, Wim berniat kembali ke tanah airnya, Indonesia.

Pria kelahiran Belanda 5 April 1936 ini memang sudah menjadi warga Negara Indonesia. Sebelum bertugas di Roma sebagai Jenderal MSF, pastor yang doyan makan durian ini bertugas selama 26 tahun di Indonesia, khususnya di Jogyakarta.

Selama menjadi Jenderal MSF, Wim mengaku lebih banyak mengalami suka daripada duka. Salah satu pengalaman yang masih ia ingat adalah saat visitasi pertama kali ke Amerika Latin. Waktu itu, ia berkeliling selama satu bulan penuh di Brasil. “Dalam satu bulan itu, saya dipeluk dan dicium oleh banyak orang, melebihi pelukan yang saya terima selama 60 tahun hidup saya”, ujar Wim sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Orang Amerika Latin, termasuk Brasil, memang terkenal hangat. Peluk-cium sudah menjadi tradisi sehari-hari”, lanjut penulis buku-buku rohani ini.

Sebagai pimpinan tertinggi, Wim harus mengunjungi semua anggota yang tersebar di seluruh dunia. Wim merasa diterima dengan baik oleh para saudara setarekatnya di manapun mereka berada. “Kenyataan ini membuat saya senang dan at home”, papar mantan dosen Kitab Suci ini. “Memang kadang-kadang saya juga menemui kesulitan serta persoalan-persoalan serius”, tambah imam berwajah ramah ini.

Saat ditanya, apa yang ia lakukan saat menghadapi persoalan berat, Wim menjawab, “Selain berusaha memecahkan persoalan sebaik-baiknya, biasanya saya minta doa pada suster-suster Trapis di Gedono dan suster Karmel di Lembang. Doa para suster kontemplatif itu manjur!” Sejurus kemudian ia menambahkan: “Tapi, mereka juga minta bayaran. Suster Gedono, misalnya, ketika tahu bahwa saya akan kembali ke Indonesia, mereka minta saya merayakan Misa Natal di Gedono sebagai bayaran atas doa mereka”,  papar Wim dengan nada senang.

Heri Kartono,OSC

(Dimuat di majalah HIDUP, Vol.61 No.45, Des.2007. Foto dari P.Yan Olla MSF).

 

Saturday, March 29, 2008

Retno Andrianti.




BAHAGIA KENDATI KEDINGINAN

Pada suatu ketika, Elisabet Retno Andrianti menyaksikan siaran langsung dari Vatikan. Secara spontan Retno berkata kepada Yohanes Sugeng Wiyono, suaminya: “Suatu saat, saya ingin Misa di sana bersama Sri Paus!”, ujar Retno sambil menunjuk layar televisi.  Dengan tenang suaminya menjawab: “Berdoa saja supaya cita-citamu itu terkabul”. Tahun ini, atau 15 tahun kemudian, cita-cita Retno terkabul. Tidak hanya itu, ia bersama suaminya bahkan terpilih menjadi salah satu pembawa persembahan Misa Minggu Paskah (23/03/08) langsung ke tangan Paus. “Serasa mimpi. Tuhan begitu baik mengabulkan permohonanku yang sepertinya tak mungkin terwujud!”, ujar karyawan Bank Danamon ini berlinang air mata.

Sebelumnya, Retno mengaku mengajukan diri kepada pihak Vatikan untuk diijinkan bertugas sebagai pembawa persembahan. Sebagai alasannya, Retno menyebutkan peringatan dua windu perkawinannya. Seorang Imam Indonesia yang sedang bertugas di Roma, turut membantu proses tersebut. Rupanya nasib baik sedang berpihak pada pasangan ini. Permohonannya dikabulkan.

“Bapak Paus memegang tangan saya dan suami saya. Kami ditanya lebih lama dari pasangan yang lain”, tutur Retno, antara haru dan bangga. “Nampaknya bapak Paus kasihan melihat kami yang kedinginan”, lanjut Retno.

Sebagaimana disaksikan pemirsa lewat siaran langsung, Retno mengenakan kebaya dengan sanggul gaya Jawa sementara suaminya juga berpakaian gaya Jawa, lengkap dengan blangkon dan keris di pinggang. Saat ditanya :”Bagaimana mungkin diperbolehkan membawa senjata tajam ke hadapan Paus?”; Retno menjawab: “Sudah diakali, kerisnya bukan logam tapi diganti kayu!”, jelas Retno tersipu-sipu.

Heri Kartono,OSC (Dimuat di Majalah HIDUP, 13 April 2008. Foto: kiriman Rm.Tripomo Pr & pribadi.).

Thursday, March 27, 2008

Via Crucis di Colloseum.



PAUS PERHATIKAN CINA

Jalan Salib di Colloseum pada Jumat Agung dihadiri puluhan ribu orang kendati hujan dan angin kencang. Paus Benediktus XVI memimpin sendiri kisah sengsara Yesus ini. Cina mendapat banyak perhatian lewat ibadat ini. Mengapa demikian?

“Tuhan, kami mendapatkan diri kami, pada hari ini, saat ini dan di tempat ini, dipersatukan. Tempat ini mengingatkan kami pada banyak hambamu, berabad-abad yang lalu, yang membiarkan diri mereka mati dirobek-robek singa buas dan lapar serta ditengah sorak-sorai para penonton. Mereka mati karena kesetiaan mereka pada nama-Mu”, demikian Paus Benediktus XVI mengawali Ibadat Jalan Salib Agung di Colloseum, Roma (21/03/08).

Paus Benediktus XVI memimpin Ibadat Jalan Salib di Colloseum namun teks ibadat dibuat oleh Kardinal Joseph Zen Ze-Kiun SDB. Dalam kata pengantarnya, Zen menulis: “Tanpa ragu sedikitpun, saya menerima permintaan Bapa Suci untuk menulis Ibadat Jalan Salib ini. Saya mengerti lewat cara ini beliau menunjukkan perhatiannya yang mendalam pada benua Asia yang besar. Bapa Suci menghendaki saya membawa suara dari saudara-saudara Kristiani yang jauh ke Colloseum ini”, tutur Uskup Agung Hong Kong ini.

Pada bagian lain, tertulis: “Tokoh Jalan Salib adalah Tuhan kita Yesus Kristus. Namun, di belakang beliau, ada banyak orang, baik di masa lalu maupun sekarang yang merasakan kesengsaraan Yesus dalam tubuh mereka. Di dalam penderitaan orang-orang ini, sekali lagi Yesus mengalami penyiksaan serta penderitaan.  Marilah kita merenungkan mereka yang dianiaya sekaligus juga mereka yang menganiaya”, tulis Kardinal yang dikenal bersuara lantang ini.

Teks ibadat Jalan Salib di Colloseum memang dibuat oleh orang berbeda dari tahun ke tahun. Tahun  lalu teks dibuat oleh Mgr. Gianfranco Ravasi dan tahun sebelumnya oleh Mgr. Angelo Comastri.

Perhatian Pada Cina.

Kepada Radio Vatikan Kardinal Joseph Zen Ze-Kiun mengungkapkan kesusahan yang dialami Gereja Katolik dibawah rezim Komunis Cina. Lewat Jalan Salib yang dibuatnya, Zen mengaku ingin mengajak orang memberi perhatian pada penderitaan umat kristiani Cina karena agama yang dianutnya. Saat ini ada sekitar 8 hingga 12 juta umat Kristiani bawah tanah yang tetap setia pada Paus. Dalam renungan yang dibuatnya, Zen tidak menulis secara eksplisit tentang umat Katolik Cina. Kardinal yang arif ini menulis secara umum tentang para martir abad ke-21 yang dialami umat Kristiani di tempat-tempat tertentu.

Teks Ibadat yang ditulis Kardinal Zen dari Cina dicetak pihak Vatikan dengan illustrasi lukisan Cina pada covernya. Hal ini sudah membawa nuansa tertentu. Seorang gadis Cina dan seorang imam muda Cina terlihat ikut bertugas sebagai pembawa salib. Kesemuanya itu mengundang perhatian orang. Kebetulan akhir-akhir ini Cina sedang menjadi perhatian dunia berkaitan adanya rencana pesta Olimpiade di Beijing (Agustus 2008) dan terutama dengan meletusnya kerusuhan di Tibet yang menewaskan sekurang-kurangnya 30 orang.

Tentang kerusuhan di Tibet, dalam audiensi umum (19/03/08) secara hati-hati dan tanpa menyalahkan salah satu pihak, Paus memberi komentar: “Kekerasan tidak memecahkan persoalan malah memperburuk. Tuhan akan mengganjar mereka yang memiliki keberanian untuk memilih langkah dialog serta toleransi”, ujar Paus.

Dikabarkan pada hari Kamis sebelum Jumat Agung (20/03/08) delegasi pemerintah Cina mengadakan pertemuan rahasia di Vatikan. Hal ini menarik karena Cina dan Vatikan tidak memiliki hubungan diplomatik sejak tahun 1951. Tentang pertemuan tersebut, juru bicara Vatikan, Federico Lombardi SY, tidak bersedia memberi komentar. Dia juga tidak membantah maupun mengiyakan adanya pertemuan rahasia tersebut.

Paus Menghemat Tenaga.

Jalan Salib di Colloseum, Roma, adalah salah satu tradisi Katolik yang sudah lama berlangsung. Pada abad-abad pertama,  banyak umat Kristiani yang ditangkapi dan dihukum mati. Tidak sedikit di antara mereka dijadikan santapan binatang buas di Colloseum, sebagaimana tercermin dalam doa pembukaan Paus Benediktus. Karenanya, Colloseum merupakan saksi bisu keteguhan iman umat Kristiani di masa lalu. Mengenang sengsara Yesus di arena para martir menumpahkan darah, sungguh merupakan perpaduan yang luar biasa. Umat di Roma tak pernah melewatkan Jalan Salib Agung ini.

Seperti para pendahulunya, tahun ini Paus Benediktus XVI juga memimpin Ibadat Jalan Salib di Colloseum. Puluhan ribu orang turut menghadiri ibadat ini kendati cuaca tidak bersahabat. Umat yang datang membawa lilin tak bisa menyalakan lilin mereka karena hujan serta angin kencang. Ibadat dimulai pada jam 21.15.

Pada tahun-tahun sebelumnya, Paus berjalan ke 14 perhentian. Tahun ini Paus Benediktus XVI semula direncanakan hanya berjalan pada 3 perhentian terakhir. Namun karena cuaca buruk, akhirnya Paus tetap berada di bawah tenda di bukit Palatine yang berseberangan dengan Colloseum. Kardinal Camillo Ruini, Vikar Keuskupan Roma, menggantikan perannya berjalan ke 14 perhentian. Juru bicara Vatikan, Federico Lombardi, menjelaskan bahwa hal itu jangan ditafsirkan memburuknya kesehatan Paus. “Harap difahami, bulan depan usia beliau 81 tahun. Jadi wajar kalau beliau menghemat tenaga karena seluruh upacara Pekan Suci dipimpin langsung oleh beliau”, jelas Lombardi sebagaimana dilansir sejumlah Media Massa.

Pada akhir Ibadat, Paus berkata kepada umat yang hadir: “Terima kasih untuk tetap bersabar di bawah curahan hujan. Selamat Paskah!”

Heri Kartono OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP, 30 Maret 2008. Foto: Wahju Agung). 

Paskah 2008 di Vatikan.




BAWA PERSEMBAHAN SERASA MIMPI

 

Elisabet Retno Andrianti menangis haru. Bersama suaminya, Yohanes Sugeng Wiyono, ia mendapat kehormatan membawa persembahan ke tangan Paus pada Misa Minggu Paskah di Vatikan (23/03/08). “Serasa mimpi”, ujar pasangan dari Jogya ini.

Dihadiri puluhan ribu orang dan dalam curahan hujan deras, Misa Minggu Paskah berlangsung lancar di lapangan Santo Petrus, Vatikan. Bunga-bunga musim semi menghias bagian sekitar altar. Penjagaan kali ini terasa lebih ketat. Polisi terlihat lebih banyak dari biasanya, konon karena pengaruh ancaman Osama bin Laden beberapa hari sebelumnya. Dalam rekaman berdurasi 5 menit yang disiarkan televisi Al Jazeera dan kemudian disiarkan ulang oleh pelbagai media, termasuk CNN, Osama menyatakan bahwa Paus memulai Perang Salib baru serta menuduh Paus berada di belakang munculnya karikatur tentang nabi Mohammad yang meresahkan umat Islam. Vatikan menanggapi tuduhan tersebut sebagai ‘tak beralasan’.

Saat Mengagetkan.

Pada malam sebelumnya, Paus Benediktus XVI memimpin Misa Sabtu Suci di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Sebanyak 30 Kardinal turut mendampingi Paus. Basilika yang begitu besar malam itu terasa sesak. HIDUP yang hadir bersama Wahju Agung dan Novita Yulianti, dosen Atmajaya, Jogya, sempat berdesak-desakan saat memasuki Basilika. Sebanyak 38 orang dari kelompok Tour Stella Kwarta Wisata Jakarta, juga turut hadir.

Pada Misa Malam Paskah ini Paus membaptis 7 orang dewasa yang berasal dari Italia, Kamerun, Amerika Serikat, Peru dan China. Salah satu baptisan baru yang menarik perhatian adalah Magdi Allam, 55, seorang Islam kelahiran Mesir. Magdi dikenal luas sebagai seorang wartawan Surat Kabar Italia ternama Corriere della Sera. Ia banyak menulis tentang masalah Islam di Timur Tengah. Keputusannya untuk masuk Katolik mengagetkan banyak orang. 

Komunitas Islam Italia termasuk yang terkejut serta kecewa atas dibaptisnya Magdi Allam. Wakil Presiden Komunitas Islam Italia, Sergio Yahe Pallavicini kepada Reuters berkomentar: “Yang mengherankan saya adalah besarnya perhatian Vatikan pada pertobatan tersebut. Mengapa dia (Magdi) tidak dibaptis di paroki setempat saja?”, ujar Yahe.

Tentang dibaptisnya Magdi, pihak Vatikan menyatakan: “Bagi Gereja Katolik, setiap orang yang meminta untuk dibaptis setelah melalui pencarian pribadi yang mendalam dan setelah menjalani persiapan yang memadai, mempunyai hak untuk menerimanya”, ujar sebuah sumber di Vatikan. Magdi Allam sendiri berkomentar tentang pembaptisannya: “Sungguh suatu hari yang paling indah dalam hidupku!”

Merasa Kecewa.

Paus  Benediktus XVI memimpin seluruh rangkaian Pekan Suci, mulai Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Paskah serta Hari raya Paskah. Pada perayaan Jumat Agung, ada satu hal kecil namun menarik perhatian, khususnya bagi warga Yahudi. Setiap Jumat Agung, ada satu doa yang diucapkan bagi orang Yahudi. Paus Benediktus  pada bulan Februari yang lalu merubah rumusan doa tersebut. Rancangan rumusan yang baru berbunyi: “Marilah kita berdoa bagi orang-orang Yahudi, semoga Tuhan Allah kita menerangi hati mereka sehingga mereka mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Penyelamat bagi semua manusia”.

Rumusan baru ini mendapat banyak kecaman dari tokoh-tokoh Yahudi. Pemimpin umat Yahudi di Jerman, Rabbi Walter Homolka serta seorang pemimpin Yahudi di Amerika, Abraham Foxman termasuk yang kecewa atas doa tersebut. Walter Homolka, sebagaimana dikutip Spiegel Online (21/03/08), menyatakan bahwa doa tersebut menyakiti hati umat Yahudi serta menuduh Gereja Katolik memiliki kecenderungan anti Yahudi.

Kardinal Tarcisio Bertone, sekretaris Negara Vatikan, meyakinkan bahwa doa Jumat Agung ini bukanlah suatu usaha agresif Gereja Katolik untuk mempertobatkan umat Yahudi. Meski demikian, kalangan Yahudi tetap menyatakan ketidak puasannya. Dalam wawancara dengan Ansa (Kantor Berita Italia, 14/03/08), ketua Komite Internasional Yahudi untuk Konsultasi antar agama, Rabbi David Rosen, menyayangkan perubahan tersebut. Ia juga mengatakan bahwa delegasi para pimpinan Yahudi dari Yerusalem yang semula dijadwalkan berkunjung ke Vatikan, membatalkan kunjungan tersebut sebagai tanda protes. Nampaknya protes kalangan Yahudi yang terus bergulir, didengarkan pihak Vatikan. Pada Jumat Agung, rumusan yang dibacakan bersifat umum, tidak lagi menyebut harapan agar umat Yahudi mengakui Kristus sebagai penyelamat semua manusia.

Solusi Terbaik.

Usai perayaan Minggu Paskah, Paus menyampaikan Pesan Paskah, sebagaimana dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pesan yang disampaikannya, Paus Benediktus XVI menyinggung persoalan yang berkecamuk di Tibet, Timur Tengah serta Afrika. “Bagaimana mungkin kita tidak mengingat wilayah Afrika tertentu seperti Darfur dan Somalia, Timur Tengah yang tersiksa, khususnya Tanah Suci, Irak, Libanon dan akhirnya Tibet. Kepada semua pihak, saya mendorong hendaknya mencari jalan keluar yang memperhatikan perdamaian  serta kebaikan bersama!”.

Pesan damai Paus ditutup dengan berkat Urbi et Orbi (bagi kota dan dunia) yang biasa disampaikan seorang Paus pada hari Raya Paskah dan Natal. Pada kesempatan tersebut, Paus juga menyampaikan ucapan Selamat Paskah dalam 63 bahasa kepada puluhan ribu orang yang tetap menunggu dalam curahan hujan di lapangan Santo Petrus serta jutaan pemirsa lewat siaran langsung di 67 negara.

Mengikuti acara Pekan Suci di Vatikan memang berbeda dengan di Ciledug atau di Brebes. Mengikuti misa bersama puluhan ribu orang  dan dipimpin langsung oleh Sri Paus memberikan pengalaman yang luar biasa, sebagaimana dialami ibu Retno dari Jogya. Namun mengikuti misa hanya dengan puluhan orang kadang tidak kalah memikatnya, terutama ketika kita merasa dekat satu sama lain dan lebih-lebih dengan Dia yang kita rayakan!

Heri Kartono OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP, 30 Maret 2008. Foto persembahan: Felici).

 

 

Tuesday, March 18, 2008

Maria Minji Kim.








MENEMUKAN TUHAN SAAT BERNYANYI

Saat menyanyi lagu Maria gubahan Caccini dalam suatu perkawinan, banyak orang menangis haru. Kedua pengantin, bahkan Pastor Andre Notelaers OSC yang memimpin Misa meneteskan air mata. Minji Kim dengan suaranya yang nyaris sempurna memang sering menggetarkan hati pendengarnya. Namun saat itu, penyanyi asal Korea ini rupanya tidak hanya menggetarkan hati orang lain dengan lagu Marianya, hatinya sendiri juga ikut bergetar. “Saya merasa sedang membawakan sesuatu yang sakral dan agung. Ada getaran ajaib di dada, saat saya melantunkan lagu tersebut”, papar Minji. Gadis Korea yang beragama Budha itu menyadari ada sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Latar Belakang Agama Budha

Minji Kim lahir di Pusan, Korea Selatan, pada 9 Nopember 1973. Ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya, Kim Ghil Su, adalah seorang pengusaha yang sukses sementara ibunya, Kim Min Chong, bekerja sebagai dosen seni tradisional di Universitas Negeri Pusan. Kedua orang tuanya beragama Budha. Agama ini diwariskan secara turun temurun entah sejak kapan. Yang pasti kakek-neneknya adalah penganut agama Budha yang amat taat.

Orang tua Minji tak pernah melewatkan hari-hari besar agama Budha. Di rumahnya, segala peralatan doa agama Budha juga tersedia. Keluarga Minji bahkan memiliki vihara tersendiri tempat mereka berdoa. Vihara ini warisan dari nenek Minji. Dalam suasana agama Budha yang kental, Minji dibesarkan.

Bakat Minji dalam bidang tarik suara sudah muncul sejak masa kanak-kanak. Hal ini sebenarnya tidak mengherankan. Mamanya adalah seorang pencinta seni dan musik. Saat masih remaja, Minji tidak belajar di sekolah umum melainkan di Sekolah Menengah Musik di kotanya, Pusan. “Waktu itu saya penuh dengan mimpi. Saya bermimpi bahwa pada suatu saat saya akan menjadi seorang penyanyi besar!”, kenang Minji.

Setamat Sekolah Menengah Musik, Minji berangkat ke Milano, Italia untuk memperdalam bidang tarik suara. Guru vokalnya di Korea, menganjurkan agar Minji studi di Conservatorio Giuseppe Verdi, Milano. Waktu itu usia Minji baru 19 tahun. Ia tidak langsung ke Milano melainkan singgah beberapa hari di Roma. Seminggu di Roma Minji langsung jatuh cinta pada kota antik ini. Meski demikian, sesuai rencana, Minji tetap berangkat ke Milano dan belajar di Conservatorio G. Verdi.

Di Milano, Minji merasa tidak bahagia. Cuaca saat itu tidak bersahabat, selalu hujan dan dingin. Ia juga merasa tak memiliki kawan dan kesepian. Akhirnya, sesudah 4 bulan, Minji memutuskan pindah ke Roma. Di kota ini Minji diterima di Conservatorio Santa Cecilia yang tersohor hingga tamat.

Menangis dan Tak Mau Dibayar

Sesudah studi beberapa tahun, Minji mulai bernyanyi di tempat umum. Selain untuk mengembangkan bakatnya, juga mencari tambahan uang saku. Pada awalnya Ia sangat tidak percaya diri. Ia menyadari bahwa dirinya adalah orang asing. Dengan postur tubuh serta warna kulit yang berbeda, Minji selalu menarik perhatian orang. Biasanya orang langsung menyangka dia Chinese (orang Cina). Bagi orang Italia sulit membedakan antara orang Korea, Cina atau Jepang.

Karena memiliki rasa minder, Minji selalu mempersiapkan setiap penampilannya dengan ekstra hati-hati. Ia tak mau melakukan kesalahan sekecil apapun. Ia juga menyadari bahwa Roma adalah kota yang memiliki banyak penyanyi professional seperti dirinya.

Pada suatu perkawinan di Gereja, seperti biasanya, Minji mempersiapkan dengan baik. Itu adalah pengalaman awal ia menyanyi di Gereja. Saat ia menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Latin, Minji merasa mengucapkan sebuah kata secara salah. Minji begitu malu dan terpukul sesudahnya. Ia menangis amat sedih. Mauro, organist yang mengiringinya bernyanyi berusaha menghibur. “Tak ada yang tahu dan memperhatikan kesalahan kecil itu!”, ujar Mauro. Namun Minji tetap merasa sedih. Hari itu ia tidak bersedia dibayar karena merasa gagal.

Kesedihan Minji tidak hanya pada saat gagal bernyanyi dengan baik. Minji mengaku kerap sedih memikirkan jalan hidupnya sebagai penyanyi. Tinggal di Italia, negeri tempat lahirnya opera, adalah mimpi Minji Kim sejak masa remaja. Namun, sebagai seorang wanita yang hidup sendiri, jauh dari sanak-saudara, tidaklah mudah tinggal di negeri orang dengan bahasa dan budaya yang amat berbeda. “Cukup sering saya merasa resah, gelisah bahkan frustrasi. Ada saat tertentu saya ingin melepaskan profesi sebagai penyanyi dan kembali ke Korea, mencari pekerjaan lain”, tutur Minji dengan suara bergetar. Motivasinya untuk bernyanyi demi karier dan pekerjaan tidak jarang ia pertanyakan sendiri.

Hadiah yang Amat Besar.

Undangan untuk bernyanyi dalam upacara perkawinan di Gereja makin banyak . “Jujur saja, pada awalnya saya tidak pernah tertarik pada agama”, aku Minji. Ia bernyanyi di Gereja adalah karena tuntutan pekerjaan. Rupanya, lewat persiapan lagu-lagu kristiani yang ia bawakan, mendengarkan bacaan Injil dan kotbah, Minji pelan-pelan mulai tertarik. “Saya belajar dari mereka (orang Kristiani) tentang pengampunan, juga cinta. Mengampuni serta mencintai bukan saja orang lain tapi diri sendiri. Itu mengesankan saya”, tutur gadis berparas cantik ini.

Hal yang mengherankan, Minji memperhatikan bahwa setiap kali memasuki sebuah Gereja, ada perasaan damai di hatinya. “Serasa berada di rumah sendiri”, tutur Minji. Sejak itu ia mengaku, menyanyi di Gereja bukan lagi tuntutan pekerjaan melainkan panggilan jiwa.

Sesudah 15 tahun tinggal di Italia Minji akhirnya memutuskan untuk masuk agama Katolik. Pada malam Paskah (23/03/08), Minji dibaptis resmi di Gereja St. Giovanni Paolo al Cielo, Roma. Ia memilih Maria sebagai nama baptis, nama yang memang memiliki daya pikat tersendiri baginya. Kebahagiannya menjadi lengkap karena mama tercinta ikut hadir dalam upacara tersebut. Mama sengaja datang dari Korea untuk menunjukkan dukungannya bagi pilihan hidup puterinya.

Kini Maria Minji Kim serasa menemukan motivasi baru untuk bernyanyi, suatu motivasi yang jauh lebih mendalam daripada sekedar ambisi pribadinya. Dengan bernyanyi, ia ingin mengagungkan nama Tuhan. “Kesadaran ini memberi saya kekuatan serta kemantapan untuk terus bernyanyi”, tutur Minji dengan mata berbinar-binar.

Suara merdu Maria Minji Kim tidak hanya mengharukan pengantin, pastor dan umat di Gereja. Nampaknya, Tuhan juga ikut menikmati suara merdu dan lebih-lebih suara hati gadis Korea yang rupawan ini.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat Majalah HIDUP 24 Maret 2008).

Thursday, March 13, 2008

Setahun Paus Benediktus XVI


 

MEMBALIK KEKECEWAAN DAN KERAGUAN ORANG

Popularitas Paus Yohanes Paulus II begitu hebat sehingga orang sempat bertanya-tanya, apakah penggantinya sanggup mengimbanginya? Ketika Kardinal Joseph Ratzinger terpilih, banyak orang merasa kecewa, termasuk sebagian Media Massa. Mereka mempertanyakan, mengapa Ratzinger “si tukang breidel” yang konservatif itu yang dipilih? Seorang rekan asal Amerika Serikat waktu itu dengan kesal berkomentar: “Kali ini Roh Kudus tidak bekerja dengan baik!!”.

Kini, sesudah setahun berjalan, semua keraguan dan kekecewaan itu tidak terdengar lagi. Sebaliknya, kekaguman serta pujian orang atas Paus yang baru ini terus mengalir. Yang menyolok, jumlah orang yang datang untuk mengikuti audiensi umum -setiap hari Rabu pagi dan Minggu siang- meningkat pesat, melebihi jumlah pengunjung audiensi di tahun-tahun terakhir masa Yohanes Paulus II.

Tonggak-tonggak Penting.

Tak pelak, semasa setahun kepemimpinan Paus Benedictus XVI tonggak terpenting ádalah dikeluarkannya Ensiklik Deus Caritas Est (Allah ádalah Kasih, kutipan dari 1 Yoh.4: 8). Ensiklik ini menunjukkan dengan jelas arah kepemimpinan Paus Benedictus XVI. Semula banyak pengamat menduga Paus Ratzinger akan mengeluarkan suatu Ensiklik yang keras dan konservatif. Nyatanya tidak. Deus Caritas Est justru menampilkan wajah gereja yang lain, wajah gereja yang simpatik dan menawan. Ensiklik ini bicara tentang cinta, bukan cinta yang abstrak melainkan cinta yang konkrit dan manusiawi. Dalam Ensiklik ini dibedakan antara eros (cinta erotik) dan ágape (cinta spiritual). Keduanya, menurut Ensiklik ini, ádalah baik. Meski demikian, eros mengandung resiko direndahkan hinggá menjadi seks saja bila tidak diimbangi unsur spiritual. Dan memang, pada jaman sekarang eros telah diracuni dan direduksi sebagai seks murni, menjadi komoditi yang diperjual-belikan. Eros yang sejati diarahkan untuk memurnikan dan mematangkan manusia. Tentang caritas atau kasih, Ensiklik  menegaskan bahwa caritas/kasih itu harus bebas; tidak boleh digunakan untuk tujuan lain, termasuk sebagai alat kristenisasi. Lewat Ensiklik ini, Paus Benedictus XVI yang pernah mendapat 7 kali gelar Doctor Honoris Causa dari pelbagai universitas di dunia ini, dijuluki Paus berfikiran terang.

Sebagai uskup kota Roma, Paus mempunyai tempat tersendiri baik untuk kota Roma maupun untuk Italia. Kunjungan pastoral pertama Paus Benediktus XVI keluar kota Roma adalah ke Bari (29 Mei 2005), salah satu kota pelabuhan di Italia. Kota Bari dikenal antara lain karena menyimpan relikwi santo Nikolas dari Myra, seorang santo dari abad ke empat yang dikenal sebagai ‘Sinterklas’ yang populer itu. Kunjungan Paus Benediktus XVI  berkaitan dengan penutupan kongres Nasional Ekaristi. Dalam kotbahnya Paus antara lain menyebut Bari sebagai “tempat pertemuan dan dialog” dengan gereja Orthodok. Bari memang dikenal sebagai kota yang mempunyai kaitan erat dengan gereja Orthodok.

Kunjungan Apostolik Paus Benediktus XVI pertama keluar Italia adalah ke Koln, Jerman (18-21 Agustus 2005). Tujuan utama kunjungan ini pertama-tama adalah menghadiri festival Hari Kaum Muda Sedunia yang ke 20 yang dihadiri sekitar satu juta anak muda.

Peristiwa yang dinilai bersejarah dalam kunjungannya ke Jerman ini adalah saat Paus Benediktus  mengunjungi Sinagoga dan bertemu dengan komunitas Yahudi di Koln. Kunjungan ke sinagoga ini menarik sebab seorang paus asal Jerman dalam kunjungan pertamanya ke luar negeri justru berkunjung ke komunitas Yahudi!  Sejarah mencatat, akibat kekejaman rezim Nazi Jerman (1938-1945), 6 juta orang Yahudi tewas dan 11.000 di antaranya berasal dari Koln. Karenanya bisa dimengerti bahwa kunjungan Paus “Ratzinger” ke Sinagoga, menarik perhatian dunia.

Dalam sambutannya, Paus menyinggung sejarah hubungan Yahudi dengan Kristiani yang komplek dan acapkali menyakitkan. Paus menekankan pentingnya dialog antara Yahudi dan Kristiani dengan tidak menutup mata akan adanya perbedaan-perbedaan. Paus juga meyakinkan bahwa Gereja Katolik tetap bersikap toleran, hormat, bersahabat dan damai terhadap semua bangsa, kultur dan agama.

Kunjungan Paus ini merupakan tanda penghargaan pada kaum Yahudi. Kunjungan ini juga dinilai banyak orang mempunyai makna penting, khususnya dalam memajukan dialog Yahudi-Kristiani yang mempunyai sejarah panjang.

Komunitas Yahudi Koln saat ini berjumlah 5000 orang, tergolong salah satu komunitas Yahudi terbesar di Jerman dan yang tertua di belahan utara Alpen.

Selain mengunjungi Sinagoga, Paus pada kesempatan itu juga bertemu dengan perwakilan berbagai agama di Jerman seperti Islam, Kristen Protestan dan Kristen Ortodox.

Peristiwa, Sikap dan Pernyataan Paus.

Baru-baru ini, masyarakat Italia sempat terkejut dan kecewa ketika terbetik berita Paus Benediktus XVI direncanakan akan bertemu Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia. Beberapa tokoh politik, antara lain Romano Prodi, pemimpin oposisi, Piero Fassino, pemimpin partai Demokrat kiri, menyesalkan rencana pertemuan itu. Pertemuan tersebut dianggap sebagai kampanye terselubung Berlusconi. Italia memang sedang memasuki masa kampanye Pemilihan Umum. Sedangkan Pemilihan Umumnya sendiri akan diadakan pada tanggal 9 April 2006. Pertemuan Paus dengan Berlusconi, seandainya terjadi,  dapat ditafsirkan sebagai campur tangan Paus dalam urusan politik praktis. Untunglah kabar itu tidak benar. Pertemuan itu tidak pernah terjadi sampai saat ini, bahkan Berlusconi sendiri telah membantahnya.

Dalam berbagai kesempatan, Paus mengemukakan keprihatinannya yang mendalam tentang terorisme. Pada bulan Juli 2005 beberapa saat sesudah terjadi ledakan bom di London, Paus menyatakan sikapnya bahwa terorisme bukanlah akibat perbenturan antara dunia Barat dan Islam melainkan akibat tindakan fanatik sekelompok orang. Paus mengutuk terorisme sebagai suatu “penyimpangan moral”. Paus juga mendoakan agar Tuhan menhentikan tangan-tangan berdarah para teroris. Paus menghubungkan hal tersebut dengan beberapa serangan teroris yang waktu itu belum lama terjadi, yaitu serangan di Mesir, Inggris, Turki dan Irak. Yang mengejutkan adalah Paus tidak menyinggung sedikitpun tentang serangan teroris terhadap Israel. Hal ini membuat Israel berang dan kecewa, seperti dinyatakan Menteri Luar Negerinya, sehari sesudah pernyataan Paus.

Saat ini di Polandia telah terpasang Billboard besar, ucapan selamat datang kepada Paus Benediktus XVI. Paus menurut rencana memang akan mengunjungi Polandia pada 25-28 Mei yang akan datang. Selain ke Polandia, Paus juga akan berkunjung ke

Spanyol (3-9 Juli), Jeman (September 2006) dan Turki (Nopember 2006).

Pemasangan Billboard selamat datang jauh-jauh sebelum kehadirannya, merupakan pertanda yang amat jelas bahwa umat di Polandia amat gembira dan bergairah untuk menyongsong pemimpin spiritualnya.

Pada akhirnya, apakah seorang Paus populer atau tidak, bukanlah hal yang penting. Yang lebih penting adalah, apakah Paus sungguh mencerminkan karya Roh Kudus atau melulu karya pribadinya? Melihat apa yang dilakukan Paus Benediktus XVI setahun ini, amat jelas bahwa Roh Kudus telah sungguh berkarya dengan baik!

Heri Kartono. (dimuat di majalah HIDUP, 2 April 2006).

 

 

Aksi Damai Para Dominikan


AKSI DAMAI PARA DOMINIKAN.

Di tengah-tengah banyaknya reaksi keras terhadap Paus Benediktus, para Dominikan mengadakan Pawai Damai yang diikuti sekitar 500 orang peserta. Mereka berjalan dari Piazza Venezia menuju Colloseum di Roma. Apa yang mereka suarakan sebenarnya?

 “Bertahun-tahun kami membangun dialog dan kerja sama yang baik dengan umat muslim. Namun semuanya berantakan dalam lima menit gara-gara pidato Paus Benediktus XVI di Jerman. Saya tidak mau menyalahkan Paus atau bicara tentang isi pidato Paus. Saya hanya bicara kenyataan bahwa kemarahan umat Islam meledak dan di beberapa tempat disertai dengan kekerasan akibat pidato itu”, ujar Jean Jacques Perenois OP, seorang imam Dominikan yang bekerja di Mesir. Selanjutnya ia menjelaskan situasi umat katolik di Mesir yang berpenduduk mayoritas beragama Islam. Jacques Perenois menyampaikan kesaksiannya tersebut dalam Aksi Damai di Roma (21/9/06). Aksi Damai yang diikuti sekitar 500 orang ini diorganisir oleh para Dominikan, baik imam maupun suster. Selain para Dominikan, Aksi Damai dari Piazza Venezia sampai Colloseum ini diikuti juga oleh para imam dan suster dari konggregasi lain. Tampak di antara yang hadir antara lain P. Mark McDonald, MSC Pemimpin Umum Terekat MSC, Carlos Ridriguez, presiden SEDOS (organisasi para rohaniwan/wati di Roma), Piero Trabucco, mantan Jenderal Tarekat IMC serta sejumlah rohaniwan/wati Indonesia. Tak ketinggalan dalam aksi ini kaum awam, anak muda bahkan anak-anak juga turut ambil bagian. Selama aksi ini berlangsung, beberapa polisi turut mengawal dan mentertibkan lalu lintas yang sempat terganggu.

Kesaksian Dari Irak.

Di Colloseum, bangunan yang pernah menjadi tempat kekerasan terhadap umat kristiani di masa lalu, peserta Aksi Damai menyalakan lilin dan memanjatkan doa-doa. Sesudahnya, beberapa orang memberi kesaksian tentang kekerasan dan usaha perdamaian. Sr.Bernadette OP, yang berasal dari Irak, memberi kesaksian tentang situasi perang yang terjadi di negerinya. Dengan mata kepala sendiri beberapa kali ia menyaksikan peristiwa tragis: bom meledak, gedung-gedung hancur berantakan, orang-orang mati atau menjadi cacat. “Kerusakan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perang, tak bisa dibayangkan besarnya. Makanan-minuman sulit, situasi ekonomi berantakan dan orang tidak tahu harus mengadu kepada siapa?”, jelasnya dengan terbata-bata. Menurut Bernadette, di Irak ada lebih dari 150 suster Dominikanes yang asli orang Irak. Mereka juga ikut menanggung kesusahan akibat perang yang berlarut-larut. Sr.Bernadette menyampaikan kesaksiannya dalam bahasa Perancis yang langsung diterjemahkan dalam bahasa Italia. (Dalam Aksi Damai ini para suster Dominikanes asal Irak memanjatkan doa Bapa Kami dalam bahasa Arab, bahasa mereka sehari-hari). Selama perang di Irak, tercatat 22.615 tentara koalisi terbunuh atau luka serta 48.046 penduduk sipil Irak menjadi korban.

Jenderal Dominikan, Carlos Azpiroz Costa OP, yang juga hadir dalam Aksi Damai ini, menjelaskan tentang latar belakang aksi ini. Menurutnya, Ordo Dominikan (disebut juga Ordo Pengkotbah) mempunyai kepedulian tinggi terhadap persoalan keadilan dan perdamaian. Aksi Damai ini diselenggarakan atas prakarsa Komisi Keadilan dan Perdamaian Internasional Ordo Dominikan. Tanggal 21 September dipilih karena juga ditetapkan oleh PBB sebagai hari perdamaian sedunia. Dominikan, lewat Komisi Keadilan dan Perdamaian, sangat prihatin atas situasi yang terjadi di Timur Tengah belum lama ini. Perang dan kekerasan sepertinya tak ada hentinya. Ketika komisi ini sedang berkumpul di Adrian Michigan, USA (22-26 Juli 2006), sedang terjadi perang terbuka antara Israel dan Lebanon yang membawa banyak kehancuran. Didorong keprihatinan yang mendalam atas situasi di Timur Tengah inilah mereka memutuskan untuk berbuat sesuatu, mempromosikan perdamaian dalam pelbagai bentuk.

 Carlos Azpiroz yang berbadan subur ini selanjutnya mengajak para peserta Aksi Damai untuk tak jemu-jemunya menyuarakan harapan atas perdamaian. “Saya meminta seluruh anggota keluarga Dominikan di seluruh dunia untuk bersama-sama bergabung dengan kami dalam mengusahakan perdamaian. Kami percaya, seperti juga anda sekalian, bahwa Jesus Kristus mengundang kita menjadi pembawa damai dimanapun kita berada”, ujarnya meyakinkan.

Seruan perdamaian dari para Dominikan memang sangat dirasakan perlu pada masa sekarang ini, karena kekerasan memang ada dimana-mana. Di Itali, negara yang mayoritas penduduknya beragama Katolik, kekerasanpun sering terjadi. Kelompok Mafia dari Sisilia, misalnya, tak segan-segan menggunakan kekerasan dalam aksi mereka. Ketika Paus Yohanes Paulus II (1993) mengajak umat untuk tidak takut melawan kejahatan, kelompok Mafia yang merasa dipojokkan, membalasnya dengan mengebom dua gereja di Roma (Gereja Lateran dan San Giorgio) serta sebuah bangunan publik di Milano dalam waktu yang hampir sama.

Relevansi dengan Indonesia.

Pater Berty Tijow MSC yang ikut hadir mengatakan bahwa Aksi Damai merupakan momentum yang berharga untuk menggerakkan serta mengobarkan semangat perdamaian. Di Indonesia sendiri ada banyak orang yang mencari upaya damai, namun tidak sedikit pula yang mencari penyelesaian lewat kekerasan. “Lewat partisipasi Aksi Damai ini, kita tunjukkan solidaritas kita pada mereka yang menjadi korban ketidak adilan. Lewat aksi ini pula, kita menyatakan kesediaan untuk senantiasa mengupayakan perdamaian, kendati pada saat sulit sekalipun!”, ungkap imam asal Manado ini bersemangat.

Aksi Damai para Dominikan ini berlangsung hanya beberapa jam sebelum Tibo Cs dieksekusi. Berty menyadari bahwa ada banyak orang yang kecewa atas keputusan pemerintah yang tidak adil ini. Namun demikian, diakuinya bahwa pembalasan kekerasan atas kekerasan, tak pernah menyelesaikan masalah.

Heri Kartono (Dimuat majalah HIDUP: 8 Oktober 2006).

Thursday, March 6, 2008

KBRI Vatikan.


DIPLOMASI GAMELAN

KBRI VATIKAN 

Pada tahun-tahun terakhir, Indonesia  terkenal lewat  tragedi Tsunami di Aceh dan Bom di Bali. Dalam kedua peristiwa tersebut, Indonesia dikenal dalam nuansa tertentu. KBRI untuk Tahta Suci memperkenalkan Indonesia dalam warna yang lain, yaitu lewat kesenian. Pentas keliling grup kesenian KBRI Gong Wisnu Wara ini mendapat sambutan positif di mana-mana.

Disukai Publik Italia.

Silvia, Sergio dan Stefano adalah beberapa di antara penonton yang baru pertama kalinya menyaksikan kesenian Indonesia. Ketiganya merasa senang dan terkesan. “Tarian Indonesia tidak kalah bagus dengan tarian Jepang yang pernah saya lihat. Hanya, tarian Jepang lebih meditatif. Keduanya mempunyai daya tarik masing-masing. Musik gamelan ternyata enak didengar. Cuma, apakah gamelan bisa digunakan di diskotik atau tidak ya?”, kata Stefano yang masih berstatus mahasiswa ini. Lain halnya dengan Sergio. Setelah menyaksikan pementasan kesenian Indonesia, ia mengungkapkan kesan dan keinginannya: “Saya beruntung sekali bisa menyaksikan keindahan budaya Indonesia. Saya ingin mengajak keluarga saya untuk mengunjungi Indonesia”, papar pengusaha ini.

Pentas kesenian dari KBRI untuk Tahta Suci di kota Trento (awal April 2006) mendapat sambutan hangat masyarakat setempat.

Pementasan pertama Tim Kesenian KBRI Vatikan, “Gong Wisnu Wara” adalah pada tanggal 23 Juni 2005 di kota Roma. Pada kesempatan itu ditampilkan antara lain dua gendhing instrumentalia, tarian Golek Ayun-ayun, Tari Bondan, Tari Luh Sari dan Tari Yapong. Suster-suster Santo Volto pada malam itu ikut memperkuat Tim KBRI. Suster-suster yang kebanyakan berasal dari Flores ini, tanpa canggung membawakan Tari Giring-giring dan Tari Saman. Sementara frater Mammouth membawakan tarian pertobatan gaya Jawa Tengah. Tiket seharga 50 Euro (lebih dari setengah juta rupiah!) nyaris terjual habis. Penonton umumnya merasa terkejut dan senang ketika melihat hampir separuh dari pemain gamelan adalah orang-orang Italia sendiri. Beberapa tarian bahkan dibawakan oleh orang-orang Italia juga.

Sukses pementasan pertama ini membuat semangat dan kepercayaan diri para pemain makin mantap. Sejak itu, kelompok yang diresmikan, 3 Februari 2005 ini mendapat permintaan tampil di beberapa tempat antara lain di kota Mugio, Italia Utara, Cremona, Trento selain juga di kota Roma sendiri. Kegiatan pentas acap kali dibarengi kegiatan lain seperti pengumpulan dana untuk korban Tsunami, Pameran Foto, Pameran Perangko. Dana bantuan Tsunami yang terkumpul, telah diserahkan lewat Keuskupan Agung Medan. Dana tersebut  terutama untuk membeli 20 perahu lengkap dengan motor, jala dan pendingin bagi para nelayan di Aceh Singkil.

Diplomasi Publik.

“Promosi seni dan budaya Indonesia sesungguhnya merupakan bagian dari Diplomasi publik. Dan ini merupakan salah satu pelaksanaan fungsi dan tugas KBRI”, papar Dubes KBRI untuk Tahta Suci, Bambang Prayitno SH. Sejak awal kedatangannya ke Roma (awal 2004) Dubes asal Porong Jawa Timur ini telah melihat peluang kesenian sebagai sarana diplomasi yang ampuh. Maka secara bertahap cita-citanya itu mulai diwujudkan. Satu set gamelan Jawapun dibeli. Tidak hanya itu, ia mendatangkan seorang guru tari dan gamelan, yaitu Widodo Kusnantyo, dosen ISI Yogyakarta. Untuk pelaksanaan teknis di lapangan, Hadsono Nasehatoen, yang sudah lebih 30 tahun bekerja di KBRI Vatikan dipercaya untuk tugas tersebut. Kendati pada awalnya merasa ragu, Hadsono berhasil memajukan Tim kesenian KBRI.

Keberadaan Tim Kesenian KBRI Vatikan nampaknya mulai menarik minat orang-orang Italia. Lewat Hadsono yang fasih berbahasa Italia, para peminat musik Indonesia itu mulai bergabung. Tak kurang Prof.Giovanni Giuriati, Dosen Etnomusikologi di Universitas La Sapienza, Roma bergabung menjadi anggota Gong Wisnu Wara. Dalam perkembangannya kerja-sama KBRI dengan Universitas La Sapienza dikukuhkan dengan penanda-tanganan M.O.U (Memory of Understanding). Perjanjian tersebut memungkinkan sekitar 20 mahasiswa melakukan “stage” belajar gamelan atau tarian di KBRI Vatikan selama 50 jam dan mendapat dua angka kredit.

Pada saat ini para penabuh gamelan justru kebanyakan orang Italia, yaitu sebanyak 10 orang, sedangkan orang Indonesia hanya 3 orang dan satu orang Amerika.

Ketika diminta komentarnya, Widodo Kusnantyo mengaku pada mulanya merasa ragu untuk mengajar orang-orang Italia, terutama soal bahasa. “Sekarang saya bangga dan bersyukur. Mereka memiliki interes yang amat besar. Meskipun ada perbedaan antara musik diatonik dan pentatonik namun mereka relatif cepat menguasai musik gamelan!”, ujar Widodo penuh syukur.

Pada umumnya para pemain Italia dapat menikmati dan menghayati musik gamelan. Nicoletta dan Michela yang memainkan demung dan gender mengungkapkan hal tersebut.

Cultural-Link & Peningkatan mutu.

Sebagai strategi diplomasi publik, nampaknya Gong Wisnu Wara berhasil dengan baik. Kerja sama dengan pelbagai pihak adalah salah satu hasil konkritnya. Selain Universita La Sapienza, pada tanggal 12 April ini ditanda-tangani kerja sama KBRI Vatikan dengan kelompok lain, yaitu Conservatorio Statale di Musica di Latina (Conservatori Musik Negeri Kota Latina). Berdasar kesepakatan tersebut, Tim kesenian KBRI Vatikan akan mengadakan konser pada tanggal 18 Mei yang akan datang di kota Latina. Konser tersebut merupakan bagian dari tiga hari konser yang diorganisir oleh Conservatori dengan judul “Interaksi antara tulisan dan improvisasi”. Menurut rencana, konser tersebut akan direkam langsung dalam bentuk CD.

Sampai saat ini, KBRI Vatikan lewat Gong Wisnu Wara  telah berhasil menjalin kerja-sama dengan banyak kalangan, termasuk dengan beberapa Wali Kota, Keuskupan dan sejumlah Organisasi Kesenian. “Grup Gong Wisnu Wara telah memasuki cultural link di Italia”, jelas Hadsono dengan bangga.

Agenda tahun ini tergolong padat. Tim Kesenian yang sedang naik daun ini menurut rencana akan tampil antara lain di Kota Polignano al Mare dan di Roma mengisi acara Festival Musim Panas. Menurut rencana Tim Kesenian ini akan tampil juga di Penjara Velletri, menghibur para napi.

Banyaknya permintaan membuat Gong Wisnu Wara tertantang untuk meningkatkan kualitas mereka. Sekarang ini, sedang diusahakan untuk memperbanyak gendhing serta memperbaharui komposisi dan tarian. Selain itu, sejak pertengahan Maret yang lalu telah lahir  grup gamelan kedua.

Dubes RI Untuk Tahta Suci, Bambang Prayitno nampaknya boleh berbangga. Cita-citanya untuk membentuk kelompok kesenian sebagai bagian dari diplomasi publik telah berkembang dengan baik.

Ketika orang tidak mengerti satu sama lain, ketika orang berseberangan pandangan dan politiknya, orang masih tetap bisa bersama-sama menikmati suatu kesenian. Kesenian memang bisa menggetarkan siapapun yang memiliki hati!

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah HIDUP: 21 Mei 2006; Foto: Arsip KBRI Vatikan).

 

 

 

 

 

.

Tuesday, March 4, 2008

Christina Ina - Toto.







TAK HANYA COCOK DI KAMAR MANDI

Christina atau biasa dipanggil Ina bertutur: “Waktu itu kakak saya merehab kamar mandi. Ia meminta bantuan seorang pemborong muda. Sesudah selesai, kami puas karena hasil kerja pemborong itu baik sekali. Namun, sesudahnya kami menyadari, ternyata toilet dan wastafel-nya berbeda merk. Toilet bermerk TOTO sementara wastafelnya INA, sesuatu yang agak ganjil. Belakangan kami baru tahu, pemborong muda yang memang bernama Toto itu rupanya naksir saya. Dengan nekad dia mempersatukan namanya dan nama saya di kamar mandi”, ujar Ina tersipu-sipu.

Toto, pemborong nekad itu akhirnya berhasil menyunting Ina menjadi istrinya. Ina dan Toto rupanya tidak hanya cocok di kamar mandi. Namun, pasangan ini juga kompak dalam banyak hal. Dalam usaha misalnya, Toto adalah pengusaha dan pemborong, sementara Ina bertindak sebagai bendahara. Di parokinya, St. Laurentius Sukajadi-Bandung, Toto bertindak sebagai ketua lingkungan, sementara Ina membantu sebagai asisten sekaligus seksi sibuk. Pasangan ini memang memiliki tanggung-jawab yang besar terhadap lingkungannya. Lihat saja, saat berjalan-jalan ke Roma, mereka mendapat laporan via SMS bahwa salah satu warganya meninggal dunia. Kontan Toto dan Ina-pun langsung sibuk mengatur segala sesuatunya lewat SMS.

Sebagai pengusaha yang sibuk, sebenarnya pasangan Toto dan Ina tidak mempunyai banyak waktu luang. Meski demikian, untuk urusan Gereja, mereka selalu memberi prioritas. “Rumah kami sering digunakan untuk pertemuan atau latihan koor lingkungan”, jelas Ina.

Selain mengurus lingkungan, pasangan ini juga masih sempat mengikuti KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi) yang diselenggarakan di parokinya. Kursus yang diberikan kelompok dari Jakarta ini berlangsung setiap minggu selama enam bulan. “Sepulang dari Roma, kami harus menempuh ujian KEP. Makanya, di sela-sela jalan-jalan, kami menggunakan waktu kosong untuk mempelajari ini!”, ujar Ina sambil menunjukkan buku catatan KEP-nya yang lumayan tebal.

Saat ditanya, apakah mereka mempelajari KEP bersama-sama di kamar mandi, Ina menjawab tangkas: “Hanya Toto dan Ina yang boleh tahu itu!”….

Heri Kartono, OSC.

(Dimuat di majalah KOMUNIKASI edisi Februari 2008).

Monday, March 3, 2008

500 Tahun Swiss Guard.



 

 

PASUKAN DENGAN KESETIAAN TANPA BATAS.

Tahun 2006 ini pasukan khusus Vatikan, yang biasa dikenal dengan nama “Swiss Guard” memperingati 500 tahun keberadaannya di Vatikan. Pasukan yang mempunyai sejarah loyalitas dan keberanian yang luar biasa ini, sampai sekarang tetap bertekad untuk siap mengorbankan diri demi keselamatan Sri Paus. Bagaimana latar belakang dan sejarah pasukan yang memiliki seragam yang konon dirancang oleh Michael Angelo ini?

Bermula dari Tentara Bayaran.

Di masa lalu ketika situasi ekonomi di Eropa sulit, banyak orang menjadi tentara bayaran. Di antara tentara bayaran, yang terkenal pada saat itu adalah “Pasukan Helvetian”. “Pasukan Helvetian” adalah tentara bayaran yang berasal dari Swiss dan dikenal karena mempunyai reputasi yang baik. Sejarawan Latin, Tacitus pernah menulis:”Kaum Helvetian adalah para pejuang yang sangat termashyur karena keberaniannya”. Kaum Helvetian ini selain termashyur karena keberaniannya, juga disegani karena mereka ahli strategi perang. Sejarawan lain, Guicciardini menyebut mereka sebagai “the nerve and the hope of an army” (nadi dan harapan bagi pasukan).  Pada waktu itu tentara bayaran Swiss yang berjumlah sekitar 15.000 banyak diminta oleh Perancis dan Spanyol. Perjanjian/kontrak pertama dengan Perancis dimulai pada tahun 1453, ketika raja Charles VII berkuasa.

Bagaimana hubungan pasukan Swiss dengan Vatikan? Situasi pada saat itu tidak aman, banyak penyerbuan dan perampokan. Situasi ini memaksa Paus Julius II untuk memiliki pasukan keamanan tersendiri. Pilihan jatuh pada pasukan Helvetian Swiss.

Maka dibuatlah kesepakatan antara Vatikan dengan Pasukan Swiss. Tepat pada tanggal 22 Januari 1506, seratus limapuluh pasukan Swiss dibawah komandannya, Kapten Kasparvon Silenen, tiba di Vatikan. Dari Swiss mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Kedatangan mereka disambut dan diberkati oleh Paus Julius II sendiri. Hari kedatangan mereka diperingati sebagai hari lahirnya Swiss Guard di Vatikan.

Dikenal Karena Kesetiaan dan Keberanian.

Pada tanggal 6 Mei tahun 1527,  kota Roma dan Vatikan diserbu serdadu liar Spanyol. Para penyerbu yang berjumlah 22.000 orang itu  menyerang, menghancurkan dan merampas barang-barang berharga di sepanjang jalan. Pada saat itu Vatikan hanya dijaga oleh kurang dari 200 pasukan/ Swiss Guard. Kendati jumlahnya sangat tidak seimbang, pasukan Swiss ini dengan gagah perkasa mempertahankan Vatikan. Akibat dari serangan brutal itu, 147 dari 189 Swiss Guard tewas terbunuh, termasuk komandan mereka, Kaspar Roist. Namun demikian,  mereka berhasil menyelamatkan Paus Clement VII lewat “Passeto”, jalan rahasia yang menghubungkan  Vatikan dengan Castel Sant’Angelo, yang terletak di tepi sungai Tiber. Perlawanan yang gagah berani itu sampai kini diperingati secara khusus di kalangan Swiss Guard. Bahkan tanggal bersejarah tersebut, 6 Mei, dijadikan hari pelantikan dan sumpah anggota baru.

Kesetiaan dan keberanian Swiss Guard untuk menyelamatkan Paus, sampai sekarang masih terbukti. Pada saat Paus diserang Ali Agca, seorang Swiss Guard, Alois Estermann secara refleks melompat dan berusaha melindungi Paus dengan menjadikan dirinya sasaran tembak. Meskipun  usaha Estermann terlambat beberapa detik,  keberaniannya ini amat dihargai.

Kedisiplinan dan semangat juang Swiss Guard memang luar biasa. Pernah dalam suatu upacara, beberapa Swiss Guard berjaga dengan berdiri tegak berjam-jam tanpa bergerak sedikitpun. Seorang Swiss Guard rupanya kondisinya kurang bagus dan kelelahan. Meskipun demikian dia pantang menyerah dan tetap bertahan sampai akhirnya dia jatuh pingsan di bawah sorotan kamera televisi.

Bukan Sekedar Pasukan Kehormatan.

Seorang Swiss Guard, Kopral Zahner (25) pernah menceriterakan riwayat dirinya. Ia berasal dari keluarga katolik yang taat.  Sewaktu masih kecil, Zahner bersama orang tuanya biasa nonton siaran langsung perayaan Paskah dan Natal di Basilika St.Petrus, Vatikan. Suatu saat, mata Zahner tertumbuk pada dua orang “tentara” tinggi, gagah mengenakan seragam berwarna-warni. Waktu itu dia belum tahu bahwa “tentara” itu adalah Swiss Guard. Sejak itu dia bercita-cita untuk menjadi “tentara” Paus seperti mereka itu. Sampai kini Zahner merasa bangga dan bahagia bisa bertugas dekat dengan Sri Paus. “Mengabdi Paus merupakan cita-cita sekaligus kehormatan bagi saya”, ungkapnya dalam suatu wawancara.

Stefano del Croce sudah 6 tahun menjadi Swiss Guard. Ketika ditemui di tempat tugasnya, Stefano dengan ramah menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Menurutnya,  untuk menjadi anggota Swiss Guard pertama-tama harus beragama katolik dan Warga Negara Swiss. Umur dibawah 30 tahun dengan tinggi minimal 1,74 meter. Sebelumnya sang calon harus menyelesaikan latihan dasar lengkap dalam militer Swiss. Setelah mendapat pelbagai latihan khusus dan dinyatakan lulus, calon akan dilantik resmi dan diambil sumpah setianya. Dalam sumpahnya, seorang Swiss Guard antara lain menyatakan kesetiaan dan kesediaan untuk mengorbankan dirinya demi keselamatan Sri Paus.

Swiss Guard memiliki dua jenis pakaian seragam. Seragam yang biasa digunakan dalam upacara resmi adalah pakaian terusan yang unik dengan warna-warni menyolok: biru, merah, oranye dan kuning. Pakaian gaya jaman Renaissance ini sering disebut sebagai hasil desain Michael Angelo. Sebenarnya tidak. Seragam ini diciptakan oleh Jules Repond, komandan Swiss Guard pada tahun 1914 dengan mengambil inspirasi dari lukisan karya pelukis Raphael.

Pakaian seragam lainnya yang digunakan dalam tugas harian adalah berwarna biru dengan baret warna hitam. Pada musim dingin, selain “seragam resmi” dipakai juga mantol tebal warna gelap.

Pada awalnya dahulu Swiss Guard betul-betul berfungsi sebagai “pasukan keamanan”. Kini, Swiss Guard lebih berperan sebagai “Pasukan Kehormatan” yang berperan dalam upacara-upacara keagamaan. Meskipun demikian, sejak percobaan pembunuhuan Paus oleh Ali Agca, Swiss Guard dilatih juga ketrampilan bela diri dan penggunaan macam-macam senjata.

Masa bakti Swiss Guard adalah 2 tahun dan bisa diperpanjang sampai 25 tahun. Mereka terutama berjaga di empat gerbang utama Vatikan. Mereka bertanggung jawab atas keselamatan Paus, baik di lingkungan Vatikan maupun pada saat Paus mengadakan perjalanan ke luar negeri.

Peringatan kelahiran Swiss Guard yang ke 500 tahun ditandai dengan pelbagai acara, antara lain Misa khusus di kapel Sistina. Sejumlah mantan anggota Swiss Guard akan berjalan kaki dari Swiss menuju Vatikan pada tanggal 7 April yang akan datang. Mereka ingin napak-tilas pasukan Swiss Guard pertama yang berjalan kaki menuju Vatikan, 500 tahun yang lalu.

Swiss Guard, pasukan terkecil di dunia ini terkenal bukan saja karena bertugas di Vatikan namun terutama karena loyalitas dan keberaniannya yang telah teruji dalam sejarah. Pekerjaan apapun, bila dilakukan dengan dedikasi tinggi, akan mendatangkan kepuasan dan kehormatan bagi yang menjalaninya.

Profisiat.

Heri Kartono.  (Dimuat di majalah HIDUP, 18 Juni 2006).

 

 

 

Ursulin: Program Tertiet,


MENGIKUTI JEJAK PUTERI BRESCIA

 

Mengalami dan melihat secara langsung tempat-tempat bersejarah pendiri Tarekat, memberi kesan yang mendalam. Itulah yang dialami tigabelas suster Ursulin saat menyusuri jejak iman Santa Angela di kota Desenzano dan Brescia, Italia.

Setangkai Mawar dari Brescia.

Dengan terbata-bata menahan haru, Sr. Floren mengungkapkan perasaannya saat berada di tempat kelahiran Santa Angela Merici. Sudah lama ia mendengar kisah pendiri tarekatnya ini. Sudah lama pula ia merindukan untuk secara langsung mengetahui tempat-tempat paling bersejarah bagi kehidupan Angela. Karenanya, ketika ia berdiri di depan makam Bunda Angela, ia tak dapat menahan tangisnya. Sementara itu, Sr. Siska Pandong mengungkapkan pengalaman batinnya secara lain. Sr. Siska yang juga merasa terkesan, menuangkan kekagumannya dalam sebuah puisi berjudul Setangkai Mawar dari Brescia. Menurutnya, ia begitu terkesan atas kehidupan Angela, tokoh yang sudah lama ia kagumi. Suster asal Ruteng ini mengibaratkan Angela sebagai setangkai mawar. Kendati hanya setangkai, namun keharumannya semerbak ke seantero dunia.

Tiga belas suster Ursulin dari Indonesia mengadakan perjalanan napak tilas kehidupan St. Angela. Di antara kota-kota yang mereka kunjungi, Brescia dan Desenzano adalah dua kota paling penting dalam sejarah hidup Angela.

Kebanggaan Kota.

Angela Merici lahir dan tumbuh sebagai gadis remaja di Desenzano, sebuah kota kecil di pinggir danau Garda, Italia Utara. Kota ini begitu bangga atas Angela, warganya yang membawa harum nama Desenzano ke seluruh dunia. Kebanggaan itu tercermin dengan ditetapkannya Angela sebagai Santa Pelindung kota. Tidak hanya itu, sebuah patung Angela ukuran besar didirikan di Piazza Malvezzi, pusat kota Desenzano. Ketika para suster Ursulin mengunjungi dan berdiri di bawah patung Angela, secara spontan mereka menyanyikan sebuah lagu tentang Angela dalam bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang yang kebetulan lewat. Banyak di antara mereka yang sengaja berhenti untuk menyaksikan adegan ini.

Pada brosur tentang kota Desenzano, kita dapat melihat tempat-tempat bersejarah Santa Angela, lengkap dengan peta dan penjelasannya. Tempat kelahiran Angela di Via del Castello 96 dan rumah masa remajanya di Le Grezze (pinggiran kota Desenzano) ditandai dengan sebuah piagam peringatan dan tetap dipelihara dengan baik. Ketika berkunjung ke Casa Angela (Rumah Angela) para suster mengadakan misa sebagai bentuk penghormatan mereka. Seorang imam Salib Suci memang mendampingi mereka, sekaligus sebagai penterjemah dalam perjalanan.

Kendati lahir dan dibesarkan di Desenzano, namun sesudah dewasa Angela lebih banyak berkarya di Brescia. Angela juga wafat dan dimakamkan di kota ini. Karenanya tidak heran bahwa kota Bresciapun merasa memiliki Santa Angela. Angela ditetapkan sebagai salah satu Warga Agung kota Brescia, disejajarkan dengan Rotari, raja Lombardia dan Paus Paulus VI yang memang berasal dari Brescia asli.

Jenasah St. Angela sampai saat ini dapat kita lihat di gereja St. Afra. Jenasah tersebut terdapat dalam sebuah peti kaca dan terletak di kapel sebelah kanan altar. Selama beberapa hari di Brescia, para suster Ursulin tinggal di biara Santa Angela. Setiap hari mereka menyusuri jejak-jejak St.Angela yang banyak terdapat di beberapa tempat bersejarah di kota ini. Santa Angela, nampaknya menjadi kebanggaan kota Brescia dan Desenzano sekaligus.

Program Tertiat dan Akar Tarekat.

Sr.Madeleine, OSU, pemimpin rombongan, menjelaskan, napak tilas pendiri tarekat ini merupakan tahap akhir dari program tertiat suster-suster Ursulin. Menurutnya, pembentukan para suster mengalami beberapa tahap. Sesudah masa pendidikan awal, setiap suster terjun dalam karya nyata. Sebagian besar dari mereka bekerja di dunia pendidikan. “Berdasarkan pengalaman, usia antara 35-40 tahun adalah usia rawan. Sebagai religius, bisa saja seorang suster mengalami disorientasi, kekecewaan atau kejenuhan”, papar Madeleine. Program tertiat diadakan bagi suster seusia itu atau sekitar 10 tahun sesudah kaul pertamanya.

Program yang berlangsung selama tujuh bulan ini diisi dengan pelbagai masukan, mulai dari tinjauan Psikologi, Teologi sampai pendalaman hidup berkaul. Selain materi religius, diberikan juga pengetahuan umum, antara lain persoalan politik aktual dan masalah gender. Program ini ditutup dengan retret agung selama satu bulan. Retret agung adalah saat merefleksikan kembali perjalanan hidup membiara dalam suasana doa.

Selesai retret agung, para suster “dikembalikan” ke dunia nyata dalam bentuk live-in. Lokasi live-in kali ini kali ini adalah desa Lolomatua, Nias. Selama hampir satu bulan, para suster tinggal dan membantu para penduduk desa Lolomatua yang menderita akibat gempa.

Perjalanan ke luar negri merupakan bagian akhir dari rangkaian program tertiat. Sebenarnya ada dua tujuan: pertama, para suster diajak untuk mengenal akar tarekatnya yaitu dengan melakukan perjalanan napak tilas jejak Angela, khususnya di kota Brescia dan Desenzano. Kedua, mereka juga diperkenalkan dengan akar iman kristiani. Bagaimanapun, kota Roma dengan Vatikan dan gereja Santo Petrus merupakan pusat agama katolik, selain juga menyimpan banyak sejarah gereja. Pusat Ursulin sendiri ada di kota Roma. Karenanya para suster tinggal beberapa hari di kota Roma untuk tujuan tersebut.

Tempat lain yang dikunjungi adalah kota Asisi dan negeri Belanda. Asisi merupakan tanah kelahiran St.Fransiskus yang memberi banyak inspirasi pada hidup Angela. Sedangkan negeri Belanda merupakan cikal bakal suster Ursulin Indonesia.

Kesan Peserta.

Suster Regina Siu, salah satu peserta mengungkapkan kesannya dalam mengikuti program tertiat ini. Menurutnya, masa tertiat merupakan kesempatan yang baik untuk merenungkan kembali hidup religius. Hasil permenungannya ia tuliskan dalam buku hariannya. Hampir setiap saat ia mencatat hal-hal baru dan menarik yang dijumpainya. Ia bersyukur diperbolehkan mengikuti program ini. Ia juga mengaku merasa disegarkan lewat perjalanan ini. “Selama bekerja, kita larut dalam kesibukan. Masa tertiat sungguh membuat saya lebih menghayati hidup panggilan”, jelas suster yang bekerja sebagai guru merangkap ibu asrama di Ende ini.

Hal senada diungkapkan Sr. Utami atau biasa dipanggil Suster Uut. Perjumpaan dengan orang-orang dengan bahasa dan budaya yang berbeda, memperkaya wawasannya sebagai Kepala Sekolah Pariwisata di Malang.  “Kendati saya agak menderita karena jarang makan nasi, namun pengalaman yang saya peroleh amat memperkaya hidup saya”, ujarnya dengan logat Jawa Timurnya yang kental.

Menjalani program tertiat, termasuk mengalami dan mengenal asal-usul tarekat adalah sesuatu yang baik dan penting. Namun, mengamalkan teladan pendiri tarekat dalam kehidupan nyata adalah jauh lebih penting lagi.

Heri Kartono. (Dimuat di majalah HIDUP: 28 Mei 2006).