Wednesday, April 30, 2008

BR. ROGER TAIZE


 

MENGENANG ROGER LOUIS SCHUTZ

     Selasa malam, 16 Agustus 2005 (atau Rabu dinihari WIB) adalah hari yang naas bagi Bruder Roger Louis Schutz, 90, pendiri komunitas Taize. Dalam kebaktian malam, seorang wanita kurang waras asal Rumania, 36, berdiri dan menikam Br.Roger pada tenggorokan tiga kali berturut-turut. Br.Roger meninggal dunia 15 menit kemudian.  Peristiwa ini mengguncangkan sekaligus membuat panik sekitar 2500 peziarah yang mengikuti acara kebaktian malam tersebut. Wanita pembunuh langsung diringkus pada saat itu juga. Kematian Br.Roger mendapat perhatian banyak tokoh agama di dunia. Tak kurang Paus Benediktus XVI menyampaikan rasa duka-cita yang mendalam. Br.Roger dimakamkan pada hari Selasa, 23 Agustus 2005 jam 14.00 waktu setempat.

Berawal dari Keprihatinan.

     Roger Schutz adalah anak seorang pendeta Protestan di Swiss. Roger sendiri belajar teologi, mengikuti jejak ayahnya. Pada tahun 1940, dalam suasana perang dunia II, Roger berangkat ke Perancis Selatan dan menetap di desa Taize, di sebuah rumah kosong yang sudah rusak. Ketika itu usianya baru 25 tahun. Roger menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan para pengungsi perang serta tempat perlindungan bagi orang Yahudi yang dikejar-kejar Nazi. Di rumahnya itu ia mengajak orang-orang di sana untuk berdoa secara hening.

     Dua tahun kemudian beberapa temannya bergabung bersama Roger. Ketika perang telah usai, Roger dan teman-temannya bertekad untuk meneruskan karya pelayanan mereka. Tidak hanya itu, mereka sepakat membuat komitmen bersama untuk hidup membujang dan sederhana seumur hidup.

     Pada masa itu bangsa-bangsa Eropa terpecah-belah, termasuk juga perpecahan hebat di kalangan agama Kristen (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan dsb). Melihat kenyataan yang memprihatinkan tsb, Roger dan kawan-kawannya bertekad untuk membawa persatuan dan perdamaian. Karenanya, kelompok Taize ini tidak mempersoalkan latar belakang anggotanya. Sekarang ini kelompok persaudaraan Taize berjumlah sekitar 90 bruder yang berasal dari 25 negara, termasuk dua dari Indonesia (Br.Francesco dari Jogya dan Br.Andre dari Tegal, keduanya dari latar belakang Katolik).

     Pola hidup kelompok ini makin lama makin dikenal dan disukai banyak orang, khususnya kaum muda. Nyaris sepanjang tahun komunitas Taize ini mendapat kunjungan orang. Seminggu sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, penulis bersama empat rekan dari Indonesia berkunjung ke Taize dan menginap selama tiga hari. Pada saat itu sekurangnya ada 4000 anak muda yang datang dari pelbagai penjuru dunia. Para peziarah ini sebagian besar ditampung di tenda-tenda yang telah disediakan, sebagian lagi (termasuk penulis) di tempatkan dalam kamar-kamar (satu kamar diisi 6 orang). Makan-minum disediakan secara sederhana. Taize seolah-olah menjadi tempat yang baik untuk beristirahat, merenung, berdoa, bernyanyi bahkan juga bekerja. Selalu ada yang menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan, baik mencuci piring kotor sampai membersihkan WC dan kamar mandi. Menurut situs Taize, setiap tahun tempat ini dikunjungi sekitar 100.000 orang, kebanyakan anak-anak muda. Banyak pemimpin agama berkunjung ke tempat ini juga. Salah satunya adalah Paus Yohanes Paulus II yang berkunjung ke Taize pada 5 Oktober 1986.

Memenuhi Kerinduan Akan Perdamaian dan Kejenuhan atas Kebaktian Resmi.

     Acara utama di Taize adalah doa. Doa bersama diadakan tiga kali sehari: pagi, siang dan malam. Ketika lonceng berbunyi bertalu-talu, semua orang meninggalkan pekerjaannya dan berbondong-bondong menuju gedung gereja. Gedung gereja sendiri merupakan bangunan yang amat sederhana, nyaris seperti tempat parkir besar. Ibadat “gaya Taize” amat khas. Keheningan adalah factor yang amat menonjol. Tidak ada kotbah, kecuali hari Minggu, itupun amat singkat.  Salah satu yang membuat Taize dikenal luas adalah lagu-lagunya. Lagu-lagu yang dilantunkan pada saat ibadat, mempunyai kekhasan: baik lagu maupun syairnya sederhana dan singkat. Satu lagu diulang beberapa kali menjadi semacam renungan tersendiri. Salah satu syair lagu-nya adalah sebagai berikut:

Ubi caritas et amor

Ubi caritas Deus ibi est.

(Dimana ada kasih dan cinta,

Di mana ada cinta, di sanalah Tuhan berada).

     Para peziarah yang bersimpuh di lantai karpet, merasa tidak banyak dibebani dengan ritual yang resmi. Segala suasana doa, termasuk interior gedung gereja seakan membantu mereka mendekatkan diri dengan Yang Kuasa. Kesejukan dan ketenangan batin dirasakan semua orang yang hadir. Taize tidak saja memenuhi kerinduan orang akan perdamaian, melainkan juga melepaskan orang dari kejenuhan ritual resmi yang kaku.

     Semangat dan cara doa Taize dalam waktu singkat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. “Pertemuan Doa Akbar Taize” diadakan secara berkala di pelbagai Negara. Di Eropa tahun ini akan diadakan di Milano. Biasanya setiap pertemuan akbar doa Taize Eropa, Sekretaris Jenderal PBB selalu memberikan kata sambutan tertulis, sebagai respon positif terhadap orang-orang Kristen yang mencoba menghadirkan kedamaian dan kebersamaan di bumi ini.

     Br.Roger adalah simbol dialog agama yang berhasil. Br.Roger adalah simbol perdamaian. Kini, pendekar perdamaian ini telah tiada. Ia telah menyalakan sebuah lilin dalam kegelapan malam. Terang itu akan terus bernyala lewat Roger-Roger yang telah dilahirkannya di seluruh dunia.

Heri Kartono (Roma, 19 Agustus 2005).

 

    

     

Monday, April 28, 2008

Handoko Indosiar.


 

ANTARA VATIKAN DAN CIGUGUR 

“Orang Katolik itu sering diidentikan kaya. Kalau orang hanya melihat tayangan dari Vatikan dengan Basilika Santo Petrus yang agung atau Katedral Jakarta yang megah, gambaran tersebut bisa saja terbentuk. Tapi, orang katolik kan banyak juga yang miskin dan berada di desa-desa kecil. Karenanya, Indosiar dalam momentum khusus tidak hanya menayangkan siaran langsung dari Vatikan, tapi juga dari gereja-gereja di desa kecil, seperti Cigugur di Kuningan”, papar Handoko, dirut Indosiar.

Handoko didampingi istrinya mampir ke Roma dalam perjalanan kembali ke Indonesia. Sebelumnya, ia bersama rombongan Indosiar berbelanja Film di Cannes.

“Tahun ini Indosiar akan menyiarkan secara langsung acara Paskah dari desa Cisantana, (masih di wilayah sekitar Cigugur/Kuningan) pagi hari dan sore harinya Misa Paskah dari Vatikan”. Ketika ditanya mengapa memilih desa Cisantana dan bukan salah satu paroki di Flores, Handoko menjawab: “Lha, kalau acara gereja Katolik dari daerah NTT kan biasa, tapi kalau dari daerah pasundan seperti Cisantana, tentu mempunyai daya tarik tersendiri!”, ujarnya.

Menurutnya, siaran tentang kehidupan beragama di desa-desa tidak kalah menarik. Ia memberi contoh: “Di salah satu desa di Jawa Tengah, untuk mencapai gereja, orang sering harus berjalan kaki melewati pematang sawah. Tentu saja perjalanan itu membuat kaki mereka kotor berdebu. Untunglah di dekat gereja di sediakan pancuran air bening tempat orang membasuh kaki sebelum memasuki gereja. Gambaran kehidupan sederhana seperti ini bagus untuk mengimbangi kesan kaya orang-orang Katolik”, papar pria yang sudah dikaruniai dua cucu ini. 

Heri Kartono. (Dimuat di majalah HIDUP, April 2006 ?).

 

Saturday, April 26, 2008

Dr. Leo Kleden SVD.


 

USKUP BUKAN HABITAT

“Dulu para misionaris datang ke Indonesia yang miskin dengan segala kebesaran dan modal yang tidak sedikit. Kini, kalau orang Flores datang dan berkarya di Roma atau di New York, apa yang bisa dibawa, selain tangan kosong? Kenyataan ini tidak perlu mengecilkan hati. Kendati kita tidak membawa apa-apa, kita memiliki semangat, iman dan keyakinan yang bisa ditawarkan pada mereka!”, ujar Leo Kleden SVD. Lebih lanjut Leo menuturkan, dalam suatu kunjungan ke Belanda, seorang misionaris yang sudah agak lanjut berkata kepadanya: “Leo, kami telah bekerja di masa lalu. Kini giliran kalian meneruskan estafet Obor”. 

Obor pewartaan nampaknya memang sudah beralih ke timur.  Tarekat SVD bekerja di 70 negara. Sebagian besar anggota SVD sekarang berasal dari Indonesia. Leo merasa bangga bahwa imam SVD Indonesia bisa diterima dan bekerja dengan baik di Italia, Jerman, Rusia, Brasil dan negara-negara lain.

Leo menceriterakan hal tersebut dalam acara perpisahannya (24/09/06) dengan warga Indonesia di kota Roma. Doktor Filsafat lulusan Leuven, Belgia, ini baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai anggota Dewan General tarekatnya. Ia merasa cukup bertugas di luar negeri selama 7 tahun. “Saya akan kembali ke Flores dan mengajar Filsafat di Ledalero”, ujar Leo. Imam kelahiran Lewoneda, Flores 28-6-50 ini mengaku bahwa mengajar baginya merupakan panggilan dan ia menikmatinya. Baginya, mengajar filsafat seolah-olah merupakan habitat-nya yang sejati.

Beberapa teman mengatakan bahwa Leo kembali ke tanah air pada saat yang tepat. “Ada empat lowongan jabatan uskup di Indonesia. Dan Leo memenuhi kriteria untuk menjadi seorang Uskup”, ujar seorang imam dari Bandung. Menanggapi gurauan ini, Leo Kleden menjawab ringan: “Menjadi Uskup, bukan habitat saya!”, katanya, disambut tawa rekan-rekan yang mengganggunya.

Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP, 12 Nopember 2006).

 

Thursday, April 24, 2008

Br. Joseph de Louw OSC



PIONIR KEUSKUPAN AGATS.

Biarawan Salib Suci pertama kali datang ke Agats, Papua 15 Desember 1958. Selama dua bulan lebih, empat orang OSC berlayar dari pelabuhan di Los Angeles,  Amerika Serikat menuju Indonesia dengan menumpang kapal SS Monterey. Salah satu di antara mereka adalah Bruder Joseph de Louw atau biasa dipanggil Br. Joe. Bruder ini turut menjadi saksi berdirinya Keuskupan Agats-Asmat (Agustus 1969).

“Saat saya datang, daerah Asmat masih amat sederhana. Orang-orang Asmat waktu itu sebagian besar malah belum berpakaian,” kenang Joe. Salah satu jasa Br. Joe selama berkarya di Asmat adalah membangun lapangan terbang di Ewer, Agats. Ia bersama penduduk Asmat bergotong royong membuat lapangan terbang sederhana sepanjang 800 meter. Berkat kerja kerasnya ini. Asmat dapat dijangkau lewat udara, dengan pesawat kecil jenis Cessna.

Sesudah hampir 25 tahun berkarya di Asmat, Br. Joe kembali ke Amerika Serikat dan tinggal di biara OSC Onamia, Negara bagian Minnesota. Kenangan tentang karyanya di Asmat diungkap kembali dalam perayaan 75 tahun hidup membiara, Minggu, 20/05/2007. Pada perayaan itu hadir Mgr. A. Sowada OSC, mantan Uskup Agats pertama.

Dalam usianya yang menginjak 93 tahun, Br. Joe masih tampak sehat dan ceria. Kendati tubuhnya mulai bungkuk dan berjalan dengan tongkat, ia terlihat bersemangat saat berceritera tentang Asmat.

Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP, Juni 2007).

Catatan: Misionaris pertama yang berkontak dan masuk wilayah Asmat adalah Pastor Gerard Zegwaard MSC. Pastor ini mengunjungi Asmat pertama kali pada tahun 1950.

Wednesday, April 23, 2008

Br. Marcel Smits, OSC











TRAGEDI SILIH BERGANTI

Perjalanan hidupnya penuh dengan pengalaman pahit. Namun, yang paling menyakitkan adalah saat kehilangan rekan-rekan terdekatnya. Mereka dibantai  secara keji dan mayat-mayatnya dicampakan ke sungai. Kendati pelbagai pengalaman pahit, semangat hidup Marcel tak pernah surut.

Tak lama sesudah berkaul, Bruder Marcel Smits OSC menerima penugasan di daerah misi Asmat/Agats. Meski daerah ini bukanlah wilayah misi yang mudah, tak ada rasa gentar menghampirinya. Waktu itu (1961) informasi tentang Asmat/Agats masih serba mengerikan. Ia mendengar bahwa suku Asmat masih primitif. Mereka masih suka berperang serta memenggal kepala manusia. Namun Marcel amat yakin, Tuhan menugaskan dirinya melalui pimpinan ordonya.

Beberapa saat menjelang keberangkatannya, Ia mendapat kabar bahwa rencananya berkarya di Asmat/Agats urung. Saat itu tengah berlangsung konflik antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia berkaitan dengan status Papua Barat.

Menuju Kongo, Afrika.

Pada waktu bersamaan, daerah misi di Kongo, Afrika, membutuhkan tenaga misionaris. Nasib Marcel yang sempat tak menentu pun berubah. Pimpinan Ordo mengutusnya ke Kongo. “Kali ini, tanpa persiapan memadai, saya langsung berangkat,” kata bruder kelahiran Belanda, 21 Nopember 1933.

Biarawan berjanggut lebat ini datang ke Kongo dari negeri Belanda yang sudah maju dan modern. Di negeri asalnya, segala keperluan bisa diperoleh dengan mudah. Sebaliknya, situasi di Kongo (1961) amat memprihatinkan.

Orang Kongo hidup di pondok-pondok sederhana. Umumnya mereka makan ubi, pisang dan kentang sewaktu-waktu. “Anak-anak dan sebagian orang dewasa tidak berpakaian karena miskin. Sekolah-sekolah hampir tidak terurus karena tidak ada dana”, paparnya.

Para misionaris datang ke Kongo tidak hanya mewartakan Injil tapi juga berkarya di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Sebelum berangkat ke tanah misi, Marcel mengikuti kursus teknik selama beberapa bulan di Belanda.

Di Kongo, sesuai dengan keahliannya, Marcel bekerja di bidang mekanik. Ia mengurus dan merawat kendaraan para misionaris, membangun gedung, memasang pipa air dan semua yang berkaitan dengan teknik serta bangunan. “Saya masih merangkap sebagai sopir Uskup Cremers Andrè. Tiada hari saya lalui tanpa kesibukan”, tandas biarawan yang mengucapkan kaul pertamanya 28 Februari 1954.

Tak Terlupakan.

Tanggal 30 Juni 1960, Kongo berhasil merebut kemerdekaan dari penjajahan Belgia. Namun, hanya selang satu bulan, terjadi pembelotan dan pemberontakan dimana-mana. Pemberontak Simba (dalam bahasa Swahili, berarti singa) adalah kelompok pemberontak berhaluan kiri dan terkenal ganas. Kebanyakan anggotanya buta huruf dan animis. Hampir semua misionaris: imam, suster, bruder, termasuk Marcel ditangkap dan dipenjarakan oleh kelompok itu.

“Menjadi tahanan dari para pemberontak bodoh di Afrika sungguh mengenaskan”, kenang Marcel. Makanan serba kurang, fasilitas sederhana pun tak ada. Para misionaris ini diperlakukan tidak manusiawi oleh para pemberontak Simba.

Kendati kondisi amat memprihatinkan, semangat Marcel tetap tinggi. Berkat keahliannya di bidang mekanik, ia sering diminta memperbaiki kendaraan pemberontak atau hal-hal teknis lainnya.

Pada bulan ketujuh, Marcel bersama dua biarawati disuruh pergi ke wilayah Kongo Perancis membeli makanan serta beberapa keperluan lainnya. “Tugas ini diberikan langsung oleh Kolonel Makondo, pemimpin pemberontak”, katanya.

Diduga pemberontak sengaja melepasnya karena jasa-jasanya menolong mereka di bidang mekanik. Selanjutnya Marcel tidak kembali ke tempat tahanan pemberontak. Sebenarnya secara pribadi, ia ingin kembali, solider dengan rekan-rekannya. “Tentara Belgia yang waktu itu mulai berdatangan ke Kongo melarang kami kembali”, imbuh Marcel.

Dua bulan berselang, Marcel mendengar kabar bahwa seluruh tahanan pemberontak Simba dibunuh secara keji satu per satu. Mayat mereka dibuang ke Sungai Rubi dan tak pernah ditemukan lagi. Beberapa saksi mata, antara lain seorang perawat, memberi kesaksian tentang kebrutalan  para pemberontak. Pembantaian massal ini terjadi di Buta, 30 Mei 1965. Marcel berlinangan air mata, saat menceriterakan bagian ini.

Di antara para tahanan yang dibantai, yang terbanyak adalah biarawan Salib Suci, 21 orang. Di tempat terpisah, yaitu di kota Dakwa, dua biarawan OSC lebih dahulu dibunuh, Nopember 1964.

Marcel sangat terpukul mendengar kabar duka itu. Tiga rekan seangkatannya sekaligus sahabat-sahabatnya yaitu Bert Timmers, Jan Verhoeven dan Huub van Lieshout ikut menjadi korban keganasan para pemberontak. “Kehilangan mereka seperti kehilangan sanak keluarga sendiri”, kenangnya sedih.

Ketegaran Mengabdi.

Peristiwa Buta dan Dakwa  yang menyebabkan rekan-rekan setarekatnya terbunuh, amat mempengaruhi hidup Marcel. Selama beberapa pekan ia sulit menerima kenyataan bahwa orang-orang yang ia kenal dengan baik, orang-orang yang datang dari jauh untuk mengabdi, telah menjadi korban kebiadaban. 

Hidupnya pun sempat terasa berbeda tanpa kehadiran sahabat-sahabat yang dikasihinya. Setelah situasi mereda, Marcel memutuskan tetap berkarya di Kongo. Ia menyadari, pada umumnya orang-orang Kongo baik.

Semangat pengabdian Marcel maupun rekan-rekan setarekatnya tak surut, kendati jumlah mereka amat berkurang. Kehidupan para biarawan yang penuh dedikasi ini perlahan-lahan menarik perhatian para pemuda Kongo.

Sejak tahun 1980-an, panggilan kaum muda Kongo mulai bermunculan. Dalam kurun waktu tersebut, pimpinan tarekat meminta Marcel membangun kompleks pendidikan, rumah novisiat, asrama para frater dan kapel. Kerja kerasnya berbuah melimpah. Kini ordonya memiliki sekitar 70 putra daerah Kongo.

Peristiwa Mengguncangkan.

Setelah 31 tahun berkarya di Kongo, kekuatan fisik Marcel mulai menurun. Ternyata, berada dalam tahanan dengan kondisi mengenaskan selama tujuh bulan, mempengaruhi fisiknya.

Saat cuti ke negeri Belanda, ia memeriksakan kesehatannya. Menurut dokter, jantungnya lemah dan kondisinya berbahaya. Ia disarankan tinggal di tempat yang tak jauh dari praktik dokter atau rumah sakit. Karena alasan kesehatan, pimpinan Ordo memindahkannya dari Kongo. Tahun 1992, dengan berat hati Marcel terpaksa meninggalkan Kongo, daerah yang amat dicintainya. 

Karena semangatnya masih tinggi, pimpinan menempatkannya di Pusat Ordo Salib Suci di Roma. Tugas utamanya adalah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan  gereja di mana ia tinggal. “Saya juga bertanggung-jawab atas pemeliharaan kebun, mengurus kendaraan serta segala urusan teknik”, tambahnya. 

Belum genap setahun tinggal di Roma, terjadi peristiwa mengguncangkan. Suatu malam, 27 Juli 1993, saat para penghuni rumah tengah terlelap, ledakan dahsyat menghentak. Rumah bergoyang hebat. Terdengar teriakan kesakitan di sana-sini. Marcel terlempar dari tempat tidurnya. Seketika ia melihat kamarnya berantakan, barang-barang berserakan. Ternyata, sebuah mobil berisi bom yang diparkir persis di depan gereja diledakkan. Akibatnya, teras gereja hancur total. Sebagian rumah rusak parah. Beberapa rekannya terluka. Seorang pastor projo dari Lampung (bukan Semarang) yang sedang bertamu, menderita patah tulang. Marcel sendiri hanya menderita luka-luka ringan. 

Pada waktu hampir bersamaan, ada dua tempat lainnya yang dibom kelompok Mafia Sicilia. Konon, aksi pengeboman itu merupakan balasan mereka atas khotbah keras Paus Yohanes Paulus II saat berkunjung ke Sicilia.

Akibat ledakan bom, biara tak bisa lagi dihuni. Semua penghuninya mengungsi ke Denderleeuw, Belgia, kecuali Marcel dan seorang rekannya. “Pimpinan menugaskan saya ikut mengawasi pembangunan biara kembali”, ujarnya. Selama hampir lima tahun, dari hari ke hari dengan setia ia mengikuti perkembangan restorasi gereja dan rumah biara. 

Kini, di usia menjelang 74 tahun, Marcel tetap setia menjalani kesehariannya. Ia dikenal ramah, selalu siap membantu orang lain dan tak pernah mengeluh. Ia memang tak banyak tahu tentang filsafat atau teologi, tetapi ia tahu bahwa pengabdian bukanlah kata-kata kosong. Baginya, pengabdian adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan terkadang harus dibayar dengan harga yang amat mahal!

Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP, Vol.61 No.25, Juli 2007).

Catatan: Pada tanggal 15 Februari 2008, Br. Marcel pindah dari Komunitas OSC di Roma ke Diest, Belgia.

Tuesday, April 22, 2008

Bupati Agats-Asmat.


 

KALAU TIDAK SEKARANG KAPAN LAGI? 

“Membangun Asmat di atas pilar-pilar budaya Asmat. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”, itulah slogan yang mengantar Yuvensius Biakai menjadi Kepala Daerah pertama kabupaten Asmat, Papua.

Yuvens dengan slogannya yang mengena itu memang berbicara tentang kenyataan. Di masa lalu, budaya Asmat sempat dinilai negatif oleh pemerintah dan kurang dihargai.

“Bangunan adat yang disebut Jew atau Rumah Bujang pernah hendak dimusnahkan gara-gara dianggap sebagai sumber timbulnya kanibalisme di antara suku Asmat. Padahal, Rumah Bujang merupakan pilar penting budaya Asmat. Selain itu, di masa lalu pembangunan di daerah ini selalu berpola top down, ditentukan oleh pejabat tanpa memperdulikan kebutuhan yang sesungguhnya dari masyarakat. Padahal, untuk membangun, kita musti mengerti terlebih dahulu kebutuhan masyarakat. Tanpa mengerti adat setempat dengan baik, pembangunan bisa salah arah”, ujar Yuvens.

Kini, sebagai bupati sekaligus putera daerah Asmat, Yuvens berusaha memenuhi janjinya dengan memperhatian aspek budaya dalam membangun daerahnya.

Ketika berbicara tentang gereja Katolik di Asmat, bapak sembilan anak ini menjelaskan: “Para misionaris dahulu datang ke Asmat dengan tujuan mulia dan dengan dedikasi tinggi memajukan masyarakat Asmat. De fakto, masyarakat Asmat mayoritas beragama Katolik. Jadi wajar bila pemerintah daerah menganggap gereja sebagai mitra kerjanya”, jelas ketua Lembaga Masyarakat adat Asmat ini.

Secara pribadi, Yuvens mengaku memiliki kedekatan batin dengan gereja. Ia pernah bercita-cita menjadi pastor dan sempat kuliah di STFT Abepura sampai tingkat Sarjana Muda. Selain itu, dari tahun 1981-2002, ia menjadi karyawan keuskupan yang bertugas sebagai kurator Museum Asmat. Alasan lain, dirinya pernah dilantik sebagai diakon permanen. “Diakon adalah jabatan seumur hidup. Sampai saat ini saya masih sekali-kali memimpin Kebaktian di Gereja Syuru, stasi yang dipercayakan gereja pada saya”, ujar Yuvens bangga.

Keseimbangan dan Keharmonisan.

Sudah sejak lama daerah Asmat didatangi para pendatang. Setelah Asmat menjadi kabupaten, para pendatang semakin banyak mengalir, antara lain dari Toraja, Maluku, Makasar dan Jawa. Para pejabat pemerintahan seperti Camat, Kepala Polisi, dokter, umumnya juga pendatang. Bahkan, toko-toko yang bertebaran di seantero wilayah Asmat, hampir semuanya dikelola oleh pendatang. Kendati demikian, secara umum relasi antara penduduk asli dengan pendatang baik. “Orang Asmat menjunjung tinggi prinsip keseimbangan dan keharmonisan, baik dengan alam di sekitarnya maupun lebih-lebih dengan sesama manusia”, tutur Juvens.

Para pendatang yang umumnya memiliki sejumlah kelebihan, diakui memberi kontribusi bagi kemajuan Asmat. “Selama mereka menghargai orang Asmat, maka mereka tidak akan pernah diganggu. Tapi, bila ada yang menghina orang Asmat, misalnya mengatakan orang Asmat itu bodoh, tanpa ragu saya akan mengusirnya”, tegas Yuvens menutup pembicaraan.

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah HIDUP, 12 Nopember 2006).

Monday, April 21, 2008

Agats-Asmat.




SUDAH BERKUMIS BELUM BISA BACA!

“Di Kabupaten ini, banyak orang yang sudah berkumis dan berusia 18 tahun masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Selain itu, tidak sedikit anak SD, bahkan SMP, yang masih belum bisa membaca dengan lancar!”, ujar Pastor Bowo OSC yang sudah 7 tahun bertugas di Agats. Apa yang dipaparkan Bowo, diakui juga oleh Pastor Maxi Manek OSC mantan Delegatus Pendidikan Keuskupan Agats.

Sebetulnya masalah pendidikan dan kesehatan telah menjadi perhatian para misionaris sejak kedatangan mereka ke Asmat. Dalam kurun tahun 1953-1958, banyak guru didatangkan, baik guru agama (katekis) maupun guru formal. Mereka datang dari Mimika, Muyu, Kei, Toraja dan Jawa. Para guru ini didatangkan untuk mengajar agama sekaligus mengajar baca-tulis bagi anak-anak Asmat.

Salah seorang yang giat memperjuangkan masalah pendidikan di Asmat adalah pastor Jan Smit OSC. Waktu itu (1965) Jan Smit sebagai direktur persekolah daerah Asmat, mendirikan sekolah baru di Pirimapun. Hal ini rupanya tidak berkenan bagi pemerintah. KPS (Kepala Pemerintahan Setempat) di Agats, W.Fimbaij, meminta Smit untuk menutup sekolah tersebut dengan alasan pemerintah akan mendirikan sekolah di daerah tsb. Jan Smit tetap berpegang pada pendiriannya, apalagi ia mendapat dukungan dari Merauke. Jan Smit harus membayar mahal atas sikapnya yang teguh. Ia ditembak mati oleh W.Fimbaij, penguasa daerah yang kalap.

Untuk mengenang jasanya, nama Jan Smit diabadikan sebagai nama pelindung YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) Keuskupan Agats.

Tidak Mengambil Ijasah.

Sr.Fransisca Pandong OSU, Kepala Sekolah SMP St.Yohanes Pemandi, Agats, menceriterakan bahwa tidak sedikit siswa yang telah lulus tapi tidak mengambil Ijasah mereka. “Mereka tidak menganggap perlu ijasah”, ujar Sr.Sisca ini. Lebih lanjut, suster asal Flores ini menuturkan bahwa tidak sedikit siswa yang tidak mampu membayar SPP. “Tingkat kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan masih rendah”, ujarnya dengan nada prihatin. Apa yang dipaparkan Sr.Fransisca OSU menggambarkan kondisi pendidikan secara keseluruhan di daerah Asmat.

HIDUP sempat mengunjungi beberapa sekolah di Agats dan di kecamatan Atsj. Pada umumnya sarana dan fasilitas sekolah amat minim. “Di sekolah yang jauh dari Agats, kondisi lebih parah lagi. Anak-anak tidak mampu membeli buku dan guru-guru sering kehabisan kapur tulis”, tutur Ote, pastor paroki Atsj.

Situasi yang tidak kondusif membuat kegiatan sekolah sering macet. Guru-guru tidak datang mengajar sampai berminggu-minggu. Sebaliknya, para muridpun sering ikut orang tua ke hutan dalam waktu yang lama. “Biasanya mereka saling tuding. Guru berkilah tidak mengajar karena murid tidak ada. Sementara para orang tua menjawab, karena guru tidak datang maka mereka mengajak anak-anaknya ikut ke hutan”, jelas pastor asal Nias ini dengan wajah serius.

Hal lain yang dirasakan adalah kurangnya kualitas serta dedikasi para guru. “Yayasan Katolik yang umumnya tidak mempunyai dana cukup, mendapat bantuan tenaga guru dari pemerintah. Akibatnya, dedikasi serta loyalitas guru sering dipertanyakan. Guru-guru lebih loyal pada pemerintah yang menggaji mereka dan Yayasan kewalahan dalam mengatur serta mengkoordinir mereka”, ujar Maxi Manek yang pernah menjadi ketua YPPK Jan Smit.

Pendidikan Berpola Asrama.

Pihak Keuskupan lewat Delpen dan YPPK Jan Smit terus mengupayakan pelbagai perbaikan dan peningkatan. Demikianpun pihak pemerintah, lewat kepala daerah yang baru, memberikan perhatian yang berarti. Secara bertahap pemerintah ikut andil dalam perbaikan sarana gedung maupun lapangan sekolah.

Salah satu usaha Keuskupan untuk memajukan anak-anak Asmat adalah mengupayakan sistem pendidikan berpola asrama. Anak-anak Asmat dari daerah-daerah terpencil, setamat SD dikirim ke Agats untuk melanjutkan pendidikan mereka. Anak-anak ini ditampung di asrama. Asrama Puteri yang diresmikan pada tahun 1962 semula ditangani oleh para suster PBHK (Puteri Bunda Hati Kudus). Sejak tahun 1964 pengelolaan asrama puteri diserahkan ke tangan suster TMM hingga kini. Sementara itu asrama Putera yang semula dikelola para bruder OSC, kini ditangani oleh tenaga awam.

Sr.Fransisca TMM, kepala Asrama Puteri, menjelaskan bahwa lewat pendidikan di asrama, diharapkan anak-anak mendapat pelbagai ketrampilan praktis. Dengan demikian, kelak mereka bisa mandiri dalam hidup di masyarakat. Untuk itu, diwaktu senggang, anak-anak mendapat pelbagai pelajaran ketrampilan seperti: memasak, menjahit, menyulam. “Tujuan lebih jauh adalah mendidik mereka menjadi manusia otentik dan integral”, tutur Sr.Fransisca. Suster yang sudah beberapa tahun tinggal di Agats ini mengaku bahwa mendidik anak-anak dari masyarakat peramu tidaklah mudah.

Mengusahakan pendidikan yang bermutu memang tidak gampang. Kendati demikian, sambil menyadari keterbatasan yang ada, Keuskupan Agats lewat YPPK Jan Smit terus mengupayakan pendidikan yang lebih baik di wilayahnya.

Heri Kartono.

(Dimuat di majalah HIDUP, 12 Nopember 2006)

Sunday, April 20, 2008

Oktavianus Harry Wibowo.



MENDADAK GUGUP

Oktavianus Wibowo adalah mahasiswa filsafat Universitas Urbanianum, Roma. Saat ini ia sedang menempuh semester empat. Oktavianus tinggal di sebuah keluarga Italia yang tidak memiliki anak. Bagaimana sampai pemuda kelahiran Mentawai (11/10/82) ini kuliah di Roma dan tinggal di sebuah keluarga Italia? Menurut Okta, itu semua karena jasa kelompok Sant’ Egidio. Kelompok inilah yang mengupayakan dia kuliah di Roma, sementara keluarga Italia dimana Okta tinggal, adalah juga anggota kelompok yang sama.

Di luar kegiatan kuliah, anak bungsu dari 7 bersaudara ini aktif di lingkungan komunitas Sant’ Egidio. “Setiap malam saya datang ke Komunitas (Sant’ Egidio) untuk bergabung berdoa. Di luar itu saya banyak membantu orang-orang cacat, baik cacat mental maupun fisik”, ujar Okta yang mengenal Sant’ Egidio saat ia duduk di bangku SMA Xaverius Padang.

Pada saat Paus Benediktus XVI mengunjungi kelompok Sant’ Egidio (07/04/08), Oktavianus dipercaya mewakili kawasan Asia menyambut Paus. Okta diberi tugas untuk menjelaskan secara singkat keberadaan Sant’ Egidio di wilayah Asia dalam bahasa Italia kepada Bapa Suci. Tentu saja dirinya amat senang dan bangga mendapat kehormatan itu. Ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya, menghafalkan kata demi kata bahkan sempat berlatih berbicara sendiri. Iapun merasa mantap.

Saat sudah benar-benar di hadapan Sri Paus dan menjabat tangan Bapa Suci, Oktavianus Harry Wibowo mendadak gugup. Penjelasan singkat yang sudah disiapkan dengan sempurna, tiba-tiba menghilang entah kemana. Andrea Riccardi, pendiri Sant’ Egidio yang ikut mendampingi, sempat bingung juga. Akhirnya dengan terbata-bata, Okta berhasil juga menyelesaikan tugasnya. “Berada begitu dekat dengan Bapa Suci membuat saya mendadak gugup dan kehilangan kata-kata”, ujar Oktavianus, mentertawakan kegugupan dirinya.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP, 11 Mei 2008).

 

 

 

Friday, April 18, 2008

Petrus Tripomo, Pr.



DARI STASI HINGGA TAKHTA SUCI

Petrus Tripomo Pr bukanlah pembesar Gereja, apalagi petinggi Vatikan. Meski demikian, imam asal Lampung Tengah ini dapat dengan leluasa keluar masuk Vatikan tanpa harus antri atau melalui pemeriksaan khusus. Mengapa demikian?

Berkat jasa Rm. Petrus Tripomo, sepasang suami-istri asal Jogya berhasil diterima pihak Vatikan untuk menjadi pembawa persembahan pada Misa Paskah yang lalu. Rm. Tri memang bukan petinggi Gereja namun kegiatan informalnya membuat ia mengenal para pembesar Vatikan, khususnya yang berkaitan dengan liturgi. Tidak hanya itu, Rm. Tri juga memiliki Pass/Kartu Tanda Pengenal khusus. Dengan pass tersebut ia bisa masuk Vatikan lewat pintu manapun tanpa harus antri atau lewat pemeriksaan metal detector. Itu semua berkat aktivitasnya sebagai anggota Coro Guida (Koor Penuntun). Coro Guida adalah  Koor andalan Vatikan yang biasa tampil pada upacara liturgi yang dipimpin langsung oleh Sri Paus.

Berawal dari Koor Stasi.

Petrus Tripomo, menurut pengakuannya sendiri, bukanlah seorang ahli musik atau penyanyi handal. Yang pasti, ia memang tertarik pada musik dan menaruh minat pada bidang liturgi, terutama yang berkaitan dengan lagu. Ia belajar musik secara otodidak sejak kecil. Anak ketiga dari enam bersaudara ini sudah mulai tahu notasi dan bernyanyi saat ia duduk di kelas 3 Sekolah Dasar. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan kelompok koor di Gereja stasinya, Sendangmulyo. Saat duduk di bangku SMP, Tri sudah mampu mengiringi koor paroki dengan alat musik harmonium (Organ yang menggunakan pedal).

Saat belajar di Seminari Menengah Palembang, Tri bergabung dengan paduan suara SMA Xaverius sebagai kegiatan ektra kulikulernya. Paduan suara di bawah bimbingan ibu Helena Pende ini hampir selalu meraih juara pertama pada setiap perlombaan. Lewat kegiatan yang diikutinya, pengalaman serta pengetahuan Tri di bidang musik semakin hari semakin bertambah. Iapun mulai mencoba-coba mengarang lagu sendiri.

Tiga lagu karangan Tri pernah dimuat di majalah HIDUP (1992). Saat itu ia kuliah di Seminari Tinggi Pematang Siantar sebagai calon imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang. Salah satu karangan Tri sempat digunakan untuk lomba menyanyi anak-anak di salah satu paroki di Pematang Siantar, Keuskupan Agung Medan. Tri ditahbiskan sebagai imam pada 29 Juni 1998. Sesudah tahbisan, Tri sempat bertugas beberapa tahun di paroki Metro Lampung, Unit Pastoral Bakauheni dan Unit Pastoral Liwa. Selama bertugas di paroki, Tri tetap memberi perhatian pada musik liturgi, termasuk musik untuk anak-anak. Karena minatnya yang besar pada liturgi, Uskup Tanjungkarang mengirimnya untuk studi lanjut bidang liturgi di Institut Pontifical San Anselmo, Roma (2005) hingga kini.

Menjadi anggota Coro Guida, Vatikan merupakan kebangggaan tersendiri baginya, selain juga pengorbanan serta komitmen. “Saya harus rela mengorbankan waktu saya, baik untuk latihan maupun untuk mengikuti upacaranya sendiri”, tutur Tri. Bergabung dengan Coro Guida, di samping karena minat pribadi, ada juga motivasi lain.  “Lewat kegiatan ini saya menimba banyak pengalaman positif sekaligus dapat membandingkan antara teori liturgi di bangku kuliah dengan liturgi dalam praktek. Liturgi yang semula saya anggap kering ternyata bisa amat hidup dan memikat!”, ujar Tri. “Satu keuntungan lagi, lewat kegiatan ini saya dapat mengenal dari dekat para imam dan suster yang bekerja di kantor liturgi Vatikan, termasuk pimpinan tertingginya, Mgr. Guido Marini. Itulah sebabnya rekomendasi saya tentang petugas liturgi lebih mudah diterima mereka”, tambah Tri tersenyum simpul.

Ketua Irrika

Selain aktif dalam kegiatan tarik suara, Tripomo juga memiliki kesibukan lain. Pada tanggal 13 Mei tahun lalu, ia terpilih sebagai ketua Irrika (Ikatan Rohaniwan/wati Indonesia di Kota Abadi/Roma). Saat ini Irrika memiliki 773 anggota. Tentang terpilihnya sebagai ketua Irrika, Tri berkata: “Saya merasa tidak mampu. Masih banyak pastor lain yang lebih mampu untuk memimpin. Pilihan ini saya terima sebagai tugas yang berat sekaligus sebagai pengabdian pada sesama”, ujar imam kelahiran Sendangmulyo, Kalirejo, Lampung Tengah (09/01/70) ini merendah.

Kendati mengaku tidak mampu, Irrika dibawah pimpinan Tri dapat berjalan dengan baik. Berbagai program yang dirancang oleh Tri bersama pengurus Irrika yang lain berjalan lancar. Kerja sama dengan pihak luar, khususnya dengan KBRI untuk Tahta Suci terjalin secara harmonis. Dua kegiatan terakhir yang dilakukan bersama KBRI untuk Tahta Suci adalah Rekreasi ke San Gabriele (13/04) dan Pentas Budaya di Bolzano, Italia Utara (18-20/04).  Saat rekreasi ke San Gabriele, pihak KBRI menyumbang ongkos satu Bis serta makan siang untuk 165 orang. Selain itu, Duta Besar, bapak Suprapto Martosetomo, masih memberi hadiah 4 raket bulutangkis serta beberapa slop shuttlecock.

Pentas Budaya di Bolzano diselenggarakan oleh pihak KBRI bekerja sama dengan Irrika. Selain Misa inkulturasi bernuansa Indonesia, beberapa anggota Irrika, ikut aktif dalam pertunjukan Gamelan serta tari-tarian tradisional Indonesia.

Saat ditanya kiatnya dalam menjalankan tugas sebagai ketua Irrika, dengan ringan Tri menjawab: “Perlu pendekatan yang tepat. Selain itu, informasi serta komunikasi dengan semua pihak harus jelas dan lancar”, jelas Tri.

Teladan Hidup  Sang Ayah.

Tahun yang lalu, Petrus Tripomo mengalami kesedihan mendalam. Ayah yang menjadi teladan hidupnya meninggal dunia. Semasa hidupnya, Florentinus Slamet Hs, ayah Tri, adalah seorang katekis, sementara ibunya, Victoria Sarjilah, ibu rumah tangga biasa. Sebagai katekis purna waktu, ayahnya rajin mengunjungi kelompok-kelompok jemaat yang dibinanya. “Ayah biasa mengunjungi jemaat binaannya yang berjarak puluhan kilometer dengan sepeda onthel dan kerap pulang larut malam”, kenang Tri. “Dengan segala keterbatasannya, ayah banyak membantu orang-orang yang ada di sekitarnya. Teladan hidup ayahlah yang menumbuhkan cita-cita imamat dalam hati saya”, lanjut Tri.

Saat mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras, Tri sedang kursus bahasa Jerman, mengisi waktu liburan musim panas. Sepuluh hari menjelang kematiannya, ayah meminta romo paroki untuk memberinya sakreman perminyakan. Saat itu Tri sempat berbicara dengan ayahnya lewat telpon. “Ayah saya mengungkapkan kesiapannya bila Tuhan memanggilnya. Ayah juga berpesan agar saya tetap terus belajar dengan tenang”, ujar Tri terbata-bata. “Ayah tidak hanya pandai mengajar orang lain soal iman, dia sendiri sungguh mempraktekan apa yang diajarkannya”, ujarnya lagi tentang ayah yang dibanggakannya itu. Pada hari Selasa, 21 Agustus 2007 Florentinus Slamet, katekis yang rajin itu dipanggil Tuhan.

Petrus Tripomo masih tetap bernyanyi di Vatikan, hingga saat ini. Ia terus bernyanyi dengan penuh iman, iman yang ia terima dari mendiang Florentinus Slamet ayahnya. Tripomo, imam Diosesan ini, tidak bisa hadir pada saat kematian sang ayah tercinta. Namun ia yakin, lagu-lagu yang ia lambungkan sepenuh hati dapat mangantar ayahnya ke tempat Bapa di Surga dengan penuh suka-cita.

Heri Kartono,OSC (Dimuat di Majalah HIDUP, 4 Mei 2008).

 

 

Wednesday, April 16, 2008

Katolik Amerika.


KATOLIK AMERIKA PASCA SKANDAL

Skandal seksual yang melibatkan sejumlah imam di Amerika Serikat amat merugikan nama baik Gereja. Peristiwa ini juga berdampak besar bagi para imam.

Lima tahun lalu (2002) skandal seks pedofilia (pelanggaran seksual terhadap anak-anak) yang melibatkan para imam meledak di Amerika Serikat. Kasus yang paling terkenal sekaligus sebagai pemicu kegemparan adalah kasus yang dialami John J.Geoghan, seorang imam Keuskupan Boston.

Selama 30 tahun bertugas sebagai imam di enam paroki, John Geoghan dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap 130 remaja. Lewat proses pengadilan yang banyak disiarkan media massa, John dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Namun, nasib naas telah menantinya di penjara. Tanggal 23 Agustus 2003, John Geoghan mati dibunuh Joseph Druce, seorang narapidana seumur hidup. Ada dugaan bahwa Druce dibayar orang untuk menghabisi John.

Kasus yang dialami John Geoghan amat memalukan dan menodai nama baik Gereja Katolik di AS. Kasus ini juga merugikan Gereja secara finansial. Keuskupan Boston dipersalahkan mempekerjakan imam yang jelas-jelas bermasalah sehingga menimbulkan banyak korban. Bahkan karena kasus tersebut, keuskupan ini harus mengeluarkan uang jutaan dolar AS, baik untuk membayar para korban maupun untuk menanggulangi masalah itu. Tidak hanya itu, atas desakan banyak pihak, akhirnya Uskup Boston Kardinal Bernard Francis Law mengundurkan diri dari jabatannya tanggal 13 Desember 2002.

Pada kurun waktu yang hampir sama, kasus-kasus serupa juga muncul di pelbagai keuskupan lain, seperti keuskupan Davenport, Iowa, San Diego dan Tucson.

Menjauhi Remaja

Pemberitaan besar-besaran atas kasus-kasus pedofilia yang dilakukan para imam berdampak amat besar. Stephen J. Rossetti, seorang imam sekaligus psikolog dari Washington menyatakan banyak imam menjadi ketakutan untuk berpastoral di antara remaja atau kaum muda. Dalam wawancara dengan National Catholic Reporter, Rossetti berkata, “Seorang imam menyatakan pada saya bahwa ia sebelumnya melakukan pastoral kategorial kaum remaja. Banyak kegiatan dilakukannya dan melibatkan banyak kaum muda. Namun sekarang, Ia tidak bersedia lagi melakukan tugas tersebut!” 

Ada sekitar 25 ribu imam di seluruh USA. Sebagian besar dari mereka enggan berpastoral di antara kaum remaja sesudah meledaknya skandal seksual. Umumnya para imam menyatakan tidak mau ambil resiko dituduh terlibat pedofilia. Mereka takut bila terjadi suatu tuduhan atas dirinya, Gereja tidak akan melindungi mereka. Sebab, Konferensi  Waligereja Amerika Serikat dalam pertemuannya di Chicago, Juni 2002, telah menetapkan sebuah kebijakan antara lain: bila seorang imam dituduh melakukan pelanggaran seksual, imam tersebut akan segera ditarik dan diberhentikan dari segala tugas, sampai kasusnya tuntas di pengadilan. 

Pastor Gary Bechard melaporkan, di Keuskupan Agung Detroit ada seorang imam yang dituduh melakukan pelanggaran seksual terhadap seorang remaja. Imam ini langsung diberhentikan dari segala tugasnya. Di pengadilan, segala tuduhan tidak dapat dibuktikan. Imam ini dinyatakan bersih, tidak bersalah. Sayang, imam ini tidak dapat kembali bertugas di parokinya sebab namanya sudah terlanjur tercemar. Imam yang malang ini merasa bahwa para Uskup lebih mementingkan nama baik institusi daripada memberi perlindungan yang wajar bagi para imamnya.

Kasus lain, ada sejumlah imam yang dituduh melakukan pelanggaran seksual yang terjadi puluhan tahun yang lalu (aturan hukum di AS memungkinkan hal ini). Pada umumnya tuduhan-tuduhan tersebut tidak berdasar karena tidak cukup saksi-saksi dan bukti yang memadai. Yang pasti, akibat tuduhan tersebut nama baik sang imam menjadi tercoreng. Diduga, ada orang-orang yang mencoba mengail di air keruh, melontarkan tuduhan dengan harapan mendapat keuntungan finansial dari pihak Gereja. 

Lebih Tenang.

Pastor Andrew Greeley yang dikenal sebagai sosiolog dan novelis, menyesalkan keputusan banyak imam untuk menjauhi kaum remaja sejak tahun 2002. “Sungguh suatu kesalahan amat besar menjauhi kaum remaja”, ujar penulis banyak novel laris ini. Sikap kehati-hatian yang berlebihan para imam dengan menjauhi remaja tidak hanya merugikan kehidupan rohani anak muda tetapi juga membahayakan kelangsungan Gereja di masa depan. 

Rossetti melihat gejala ini dari sisi lain. Menurutnya, panggilan menjadi imam di kalangan remaja tumbuh justru lewat pergaulan secara dekat dengan para imam. “Bagaimana mengharapkan panggilan dari kalangan remaja bila tidak ada kontak dengan mereka?”, keluh Rossetti. Kini, sesudah lima tahun berlalu, banyak kalangan berharap situasi akan membaik. 

Harry Davis, seorang diakon awam dari Paroki  Holy Redeemer, Washington D.C. mengakui pemberitaan skandal seksual yang melibatkan para imam memang berdampak luas. Namun sekarang, situasi sudah jauh lebih tenang. “Kami juga sadar media massa secara tidak seimbang telah memberitakan kasus-kasus ini untuk memojokkan Gereja. Lihat saja, kasus pedofilia terjadi juga di kalangan pramuka atau di sekolah-sekolah, namun nyaris tidak mendapat pemberitaan. Hanya kalau kasus ini menimpa seorang imam, kasus tersebut diberitakan secara besar-besaran”, ujar Harry ketika ditemui HIDUP di rumahnya.

Masih menurut Harry, tahun ini ada lima tahbisan imam di Keuskupan Agung Washington. Bahkan di keuskupan lain, seperti di Keuskupan St. Paul, Minnesota, ada enam orang ditahbiskan. Peristiwa ini merupakan pertanda baik bagi Gereja Katolik AS.

Bob Rossi OSC, seorang imam yang bertugas di Phoenix, Arizona, menyetujui pendapat Harry Davis. Ia menambahkan bahwa sudah beberapa tahun terakhir tak pernah terdengar ada kasus pelecehan seksual yang melibatkan rohaniwan. Di paroki St. Vincent de Paul, di mana Bob sering melayani, dampak skandal seks para imam hampir tidak terasa lagi. Ia mengakui, hubungan antara imam dengan anak-anak dan remaja menjadi lebih kaku. Meski demikian, Bob mengingatkan, suasana seperti itu tidak hanya ada di lingkungan Gereja tapi juga di masyarakat luas di AS. “Di sekolah-sekolah, guru-guru tidak boleh sembarangan menyentuh anak-anak. Di masyarakat luas, orang dewasa umumnya juga diharapkan untuk tidak mendekati atau menyentuh anak-anak,” tandas Bob.

Imam Salib Suci yang pernah bertugas di Brasil ini menambahkan: “Peristiwa lima tahun lalu itu memang menggoncangkan kehidupan Gereja Katolik. Di balik peristiwa tersebut, saya yakin ada dampak positifnya juga. Yang pasti, pimpinan Gereja sekarang menjadi lebih berhati-hati dalam setiap mengambil suatu keputusan”, tutur Bob saat ditemui seusai merayakan Misa.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di Majalah HIDUP, 10 Juni 2007).

 

 

 

Tuesday, April 15, 2008

Gereja Belanda



BUKAN LAGI PENGEKSPOR MISIONARIS

DI Belanda ada banyak biara dan gereja ditutup. Sebagian dijual dan beralih fungsi: ada yang menjadi hotel, museum bahkan ada pula yang menjadi masjid.

Di pusat Kota Maastricht, Belanda, ada sebuah hotel unik bernama Kruisheren Hotel. Unik karena dari luar bentuknya persis sebuah gereja abad pertengahan. Ternyata, semula memang hotel ini adalah kompleks biara dan Gereja Salib Suci (Kruisheren) yang telah beralih tangan alias dijual. Konon bentuk luar bangunan ini dilindungi pemerintah sebagai warisan budaya. Hanya bagian dalamnya diubah disesuaikan dengan keperluan hotel. Sr. Melanie CB yang tinggal tidak jauh dari situ mangatakan, hotel ini tergolong laris manis.

Pengaruh Generasi Hippi.

Gereja Katolik Belanda pernah mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan penyebaran agama Katolik. Kini wajah Gereja Katolik di Negara berpenduduk 16,5 juta jiwa ini telah mengalami perubahan amat besar. Jean van de Kok dalam sebuah tulisannya menjelaskan, perubahan drastis mulai terjadi sekitar tahun 1960-an. Generasi masa itu disebut Generasi Hippi yang hidup seenaknya tanpa mengindahkan tata moral generasi sebelumnya. Salah satu ciri generasi Hippi adalah seks bebas dan eksperimen dengan narkoba. Generasi tahun 1960-an ini juga amat anti agama yang mapan. 

Selain pengaruh kaum Hippi, situasi ini diperburuk dengan perkembangan Gereja Katolik masa itu. Pastor Rein Vaanhold OSC, kepala biara di Uden, Belanda menjelaskan, pada saat itu di kalangan intern Gereja muncul Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan segala perubahannya. “Dari sanalah mulai timbul keguncangan. Salah satu akibatnya, pada era itu banyak pastor, suster dan bruder meninggalkan kehidupan membiara”, papar imam Belanda kelahiran Garut, Jawa Barat ini 

Situasi ini membuat jumlah orang yang pergi ke Gereja turun tajam. Demikian pula panggilan menjadi rohaniwan/wati nyaris tidak ada lagi. Sementara itu, semakin banyak pendatang, khususnya dari Maroko dan Turki masuk membawa agama mereka.

Negeri Pengekspor Misionaris.

Realita yang terjadi sekarang sangat berbeda dengan yang terjadi sekitar tahun 1850-an. Saat itu Gereja Katolik Belanda mengirimkan banyak misionaris ke pelbagai penjuru dunia. Para pastor, suster, bruder misionaris yang bertugas di Indonesia umumnya berasal dari negeri Kincir Angin. Salah satu misionaris asal Belanda adalah Romo Van Lith SJ (1863-1926), peletak dasar Gereja Katolik di Jawa, khususnya di Jawa Tengah.

Pastor Rein Vaanhold mengakui, di masa lalu Belanda memang merupakan salah satu negeri pengekspor misionaris. Begitu banyak misionaris asal Belanda hingga di Airport Schipol-Amsterdam disediakan sebuah ruang tunggu khusus untuk para misionaris. Ruang tunggu ini dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang amat baik dan gratis. “Sekarang segala fasilitas dan kemudahan itu sudah tidak ada lagi”, kenangnya.

Beralih ke Spiritualitas.

Kaum muda Belanda saat ini amat berminat pada spiritualitas, kendati mereka tidak lagi pergi ke Gereja. Menurut Pastor Rein, kaum muda memang tidak terlalu tertarik pada lembaga Gereja namun mereka terbuka pada spiritualitas ordo-ordo tua seperti Fransiskan, Agustinian dan Dominikan. “Kelompok-kelompok doa seperti Taize atau Focolare amat diminati kaum muda Belanda. Mereka banyak juga yang tertarik pada spiritualitas dari Timur, khususnya ajaran Hindu Budha”, lanjutnya.

Perkembangan Gereja Katolik di Belanda secara kuantitas memang memprihatinkan. Apa yang terjadi di Belanda sekarang, tak dapat dilepaskan dari situasi Gereja di masa lalu. Kita memang percaya bahwa Gereja akan menemukan jalannya sendiri. Kendati demikian, tidak ada salahnya kita menimba pengalaman dari Gereja Katolik di Belanda demi kebaikan Gereja di Tanah Air.

Heri Kartono,OSC (Dimuat majalah HIDUP, 2 September 2007).

Monday, April 14, 2008

Kunjungan Paus ke Sant' Egidio.



NYARIS TAK MAMPU BERBICARA

Sebelum melakukan kunjungan besar ke USA, Paus Benediktus XVI mengunjungi kelompok Sant’ Egidio di Roma (07/04). Pada kesempatan tersebut, seorang anggota Sant’ Egidio asal Indonesia mendapat kepercayaan mewakili Asia bertemu Paus.

“Sahabat-sahabat Komunitas Sant’ Egidio yang terkasih, kalian telah memulai langkah-langkah awal kalian di kota Roma dalam tahun-tahun sulit sesudah 1968. Anak-anak Gereja telah memelopori tindakan kasih. Karisma kalian kemudian menyebar ke pelbagai penjuru dunia. Sabda Tuhan, cinta untuk Gereja, perhatian terhadap orang miskin, sharing Kitab Suci, adalah bentuk-bentuk kesaksian kalian. Saya berterima kasih atas karya kerasulan kalian. Saya juga berterima kasih atas upaya-upaya perdamaian yang kalian lakukan yang menandai komunitas kalian”, ujar Paus Benediktus XVI kepada anggota Sant’ Egidio yang memadati gedung serta halaman Gereja St. Bartolomeus, Roma.

Gereja Santo Bartolomeus adalah salah satu Gereja yang digunakan kelompok Sant’ Egidio untuk berkumpul secara teratur. Lokasi gereja ini sedikit unik, terletak di pulau kecil, di tengah-tengah sungai Tiber yang membelah kota Roma. Gereja St. Bartolomeus ditetapkan sebagai tempat peringatan para martir abad ke 20 oleh mendiang Paus Yohanes Paulus II pada ulang tahun kelompok Sant’ Egidio yang ke-25. Kali ini Paus Benediktus XVI mengunjungi Gereja yang menyimpan relikwi Rasul Bartolomeus ini dalam rangka ulang tahun Kelompok Sant’ Egidio yang ke -40.

Sambutan Antusias.

Paus tiba di pelataran Gereja St. Bartolomeus pada jam 17.30 (07/04/08). Umat yang sudah menanti menyambut Paus dengan penuh antusias. Umat yang hadir tidak hanya anggota Sant’ Egidio namun juga para gypsi (orang-orang kumuh yang biasa dilayani kelompok Sant’ Egidio). Tidak hanya itu, komunitas-komunitas Sant’ Egidio dari pinggiran kota Roma datang dengan bis-bis membawa orang-orang tua, cacat dan orang-orang miskin. Semuanya berbaur menyongsong Paus dengan antusias yang sama. 

Turut menyambut Paus, antara lain Kardinal Camillo Ruini, Vikar Roma, Uskup pembantu Ernesto Mandara, pendiri sekaligus penanggung-jawab Sant’ Egidio Andrea Riccardi serta Ketua Sant’ Egidio Marco Impagliazzo. Mgr. Matteo Zuppi serta Mgr. Vincenzo Paglia yang banyak terlibat dengan kelompok Sant’ Egidio terlihat juga di antara rombongan para penjemput Paus.

 

Pendiri Sant’ Egidio, Prof. Andrea Riccardi, dalam sambutannya mengatakan: “Kami merasa tersentuh atas kunjungan Bapa Suci dalam rangka ulang tahun Sant’ Egidio yang ke-40. Bagi kami, kunjungan Bapa Suci merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Karena lahir di Roma, kami kelompok Sant’ Egidio merasa sebagai anak terhadap Bapa Suci, Uskup Roma. Kelompok Sant’ Egidio di belahan dunia lainpun tetap merasa sedikit bagian dari Roma juga”, tutur Andrea.

Andrea Riccardi memulai kelompok Sant’ Egidio bersama beberapa rekannya pada tahun 1968 di Roma. Pada saat itu Andrea masih duduk di bangku SMA. Bersama beberapa temannya Andrea secara rutin berkumpul untuk berdoa, membaca Kitab Suci dan menolong kaum miskin di wilayah kumuh pinggiran kota Roma. Kelompok ini disebut Sant’ Egidio karena menggunakan gereja Santo Egidio di kawasan Trastevere, Roma, sebagai tempat mereka berkumpul. Kini Komunitas Sant’ Egidio memiliki 50 ribu anggota tersebar di  70 negara.

“Sant’ Egidio tidak hanya membantu kaum miskin, namun memiliki banyak kegiatan lain. Salah satunya adalah mempromosikan perdamaian serta dialog antar agama. Pertemuan tokoh-tokoh agama 1986 di Asisi yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II masih diteruskan dari tahun ke tahun oleh Komunitas Sant’ Egidio hingga kini. Tahun lalu, saat pertemuan antar tokoh agama diadakan di Napoli, hadir beberapa tokoh Indonesia, diantaranya Prof. Din Syamsudin.

Merasa Gugup.

Oktavianus Wibowo, anggota Sant’ Egidio asal Indonesia mendapat kepercayaan mewakili Sant’ Egidio wilayah Asia untuk bertemu Paus. Oktavianus amat senang dan bangga atas kepercayaan tersebut. Ia diminta untuk menjelaskan secara singkat keberadaan kelompok Sant’ Egidio di wilayah Asia kepada Paus Benediktus. Pemuda yang sedang studi Filsafat di Universitas Urbanianum ini mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Namun, saat ia berhadapan langsung dengan Sri Paus, Oktavianus merasa begitu gugup dan nyaris tidak mampu berkata-kata. Akhirnya dengan terbata-bata, Oktavianus berhasil juga menyelesaikan penjelasannya dalam bahasa Italia.

Di Indonesia kelompok Sant’ Egidio ada di Padang, Pekanbaru, Jakarta, Semarang,  Yogya,  Medan, Kupang dan Atambua. Secara Nasional, kelompok Sant’ Egidio Indonesia pernah mengadakan pertemuan persahabatan untuk para imam dua kali di Klaten, Jateng pada 2004 dan 2006. Tahun ini rencananya akan diadakan di Jakarta (9-12 Juli). Prof. Andrea Riccardi pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 1999.

Rm. Petrus Puspobinatmo SJ , imam Jesuit yang mengenal kelompok Sant’ Egidio dari dekat, saat ditanya komentarnya, mengatakan bahwa kunjungan Paus amat bermakna. “Dalam konteks ulang tahun ke -40, kunjungan Paus Benediktus XVI menjadi konfirmasi dari Gereja akan apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan kelompok Sant’ Egidio”, ujar Puspo.

Heri Kartono, OSC (Foto: dokumentasi Sant' Egidio; Dimuat di HIDUP, 4 Mei 2008).

 

Friday, April 11, 2008

Sahabat Lama.


VERY NICE PERSON!

Kawan yang satu ini berparas cantik. Tidak heran bahwa ia sempat menjadi icon majalah populer Cosmopolitan, Jakarta. Tidak heran juga bahwa beberapa kali menjadi bintang iklan. Bahkan, ketika ia pergi ke Kualalumpur untuk sekedar jalan-jalan, suatu perusahaan tiba-tiba menghampirinya dan menawarinya untuk menjadi bintang iklan produk mereka. Padahal, begitu banyak gadis Malaysia bersusah-payah antri untuk bisa dipilih, dengan segala cara dan…gagal!

Menjadi orang yang cantik rupawan, mungkin menjadi dambawaan banyak wanita. Namun, kebahagiaan hidup tidak ditentukan oleh kecantikan. Sekurangnya, begitulah pengakuan sahabat lamaku ini. Perjalanan hidupnya tidak selalu mulus. Dalam sebuah catatan pribadinya, sobatku ini menulis:

"Perlahan aku mencoba berdiri, perlahan aku mencoba untuk berjalan kembali meski dengan langkah gontai. Kucoba menata kembali serpihan-serpihan yang masih tersisa hanya untuk memberikan satu semangat dan kekuatan bahwa aku harus terus berjalan. Aku tidak ijinkan diriku menyerah, berjuang untuk sesuatu yang sangat bernilai untuk kuperjuangkan....jiwa yang hilang. Meski bertahun lamanya harus kulalui".

Sobatku ini memang mengalami pahit-getirnya kehidupan. Namun, ia tidak sudi menyerah, sekedar meratapi nasib hidupnya. Justru lewat benturan batu dan cadas, ia mampu berdiri kembali. Pengalaman getirnya ibarat jamu yang pahit namun menyehatkan. Ia selalu menemukan alasan untuk bersyukur. Ia senantiasa menemukan seberkas sinar dalam kegelapan, mutiara dalam timbunan sampah, kasih Tuhan dalam penderitaan. Pengalaman pahit hanya menjadi kesialan bagi orang dungu tapi menjadi guru yang berguna bagi orang yang bijak.

Sobat, saat engkau mengunjungiku, seorang tak dikenal di Piazza Navona secara spontan berkata kepada-mu: "Very nice person!". Dia tidak memuji kecantikan-mu, namun keindahan yang terpancar dalam pribadimu. Aku terharu dan ikut bangga mendengarnya.

Nti, nuhun pisan atas kunjunganmu. Tiga hari yang mengesankan. Terima kasih atas pertemanan kita, lama juga ya....25 tahun!

Heri Kartono.


Monday, April 7, 2008

Jessica Belicia Cahyono.



MEMILIH GIGI TANGGAL

Teman-teman tentu pernah mengalami masalah dengan gigi. Demikian juga dengan teman kita ini, Jessica Belicia Cahyono. Beberapa kali giginya bergoyang. Ia biasanya memilih giginya tanggal sendiri daripada pergi ke dokter. “Kan lumayan bisa menghemat”, kata Jessica memberi alasan.

Di luar masalah gigi, kawan kita yang satu ini rajin mengikuti pelbagai kejuaraan. Meski umurnya baru 8 tahun namun piala hasil kejuaraan yang sudah ia kumpulkan lebih dari 80, tepatnya 82 piala! Hebat kan? Yang lebih mengagumkan, piala-piala tersebut berasal dari tiga bidang yang berbeda, yaitu menggambar, menyanyi dan matematika.

Jessica yang lahir di Canberra, Australia (19/11/99) memang patut bersyukur karena memiliki banyak bakat. Tahun ini Jessica keluar sebagai juara I menggambar tingkat SD se-Bandung Raya (Mei 2007). Waktu ia masih di TK, ia juga meraih juara I lomba mewarnai dengan mengalahkan sekitar 500 saingannya (Februari 2006). Piala yang ia kumpulkan selama mengikuti pelbagai kejuaraan menggambar dan mewarnai adalah sebanyak 70 buah.

Selain menggambar, gadis cilik yang tak pernah menunda tugas ini senang juga menyanyi. Hobinya yang satu ini sudah muncul sejak ia belum sekolah. Dimana saja ia berada, maunya menyanyi. Pada saat ada lomba menyanyi di Pasar Seni ITB (2006), Jessica mendaftarkan diri. Ternyata ia langsung keluar sebagai juara I. Tentu saja ia gembira sekali, apalagi pialanya bagus berbentuk Ganesha emas. Dari hobi menyanyi ini, Jessica sudah mengumpulkan 10 piala hasil mengikuti kejuaraan di berbagai kesempatan. Untuk lebih mengasah bakatnya di bidang tarik suara, Jessica berlatih di bawah bimbingan Christopher Abimanyu yang terkenal itu.

Teman-teman, ternyata masih ada satu lagi bakat Jessica yang patut dibanggakan. Bakat ketiganya adalah matematika. Jessica memang senang menghitung, terutama yang berkaitan dengan ceritera. Kalau ada soal yang ada ceriteranya, pasti deh Jessica akan tenggelam menekuninya. Ketika ada Kompetisi Matematika tingkat SD se-Bandung, Jessica ikut mendaftarkan diri. Hasilnya, ia meraih juara II, padahal pesertanya banyak lho! Dari kemampuannya di bidang matematika, Jessica baru mengumpulkan 2 piala.

Jessica memang hebat, memiliki banyak bakat. Meskipun demikian, teman kita ini tidak sombong lho! Salah satu sifatnya justru suka mengalah. Baik terhadap adik lelakinya di rumah maupun terhadap teman-teman di sekolahnya, Jessica hampir selalu mengalah. Kesediaannya untuk mengalah dan bersabar terhadap orang lain memang besar, mungkin karena terbiasa bersabar menunggu giginya tanggal….

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di Rubrik Anak-anak Majalah HIDUP, No..../2007; Foto: kiriman Paulus Cahyono).

Misionaris Claris.


25 TAHUN TANPA MADRE INES

Dibanding tarekat lain yang sudah berumur ratusan tahun, Misionaris Claris tahun ini baru memperingati 25 tahun meninggalnya sang pendiri. Kendati tergolong baru, tarekat ini berkembang sangat baik di empat belas negara, termasuk di Indonesia.

Pemimpin Sejati.

Maria Ines Teresa Arias, pendiri tarekat Misionaris Claris, baru meninggal 25 tahun yang lalu. Tepatnya, ia meninggal pada tanggal 22 Juli 1981 di Roma. Ada banyak suster yang masih mengenang dengan baik Sr. Maria Ines, salah satunya adalah Suster Concepcion Casas, pimpinan biara Misionaris Claris di Roma. Sr. Concepcion ini pernah 20 tahun tinggal dalam satu komunitas bersama Sr. Maria Ines.

Menurutnya, Sr. Maria Ines, atau biasa disebut Madre Ines, adalah orang yang cerdas sekaligus bijaksana. Ia terbiasa memikirkan segala sesuatu secara sistematis, terencana dan tepat. Selain itu, prediksinya tentang banyak hal pada umumnya benar. Meskipun cerdas dan menduduki jabatan pimpinan, Sr. Maria Ines tidak pernah sombong. Sebaliknya, ia adalah sosok yang amat bersahaja, selalu optimis dan berfikir positif. Di atas semuanya, ia adalah seorang yang memiliki iman yang kuat dan seorang teman serumah yang menyenangkan. “Dia memang seorang pemimpin sejati!”, tutur Suster Concepcion  meyakinkan.

Sr.Maria Inez adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ia lahir di Ixtan del Rio, Nayarit, Meksiko pada tanggal 7 Juli 1904. Ayahnya, Eustaquio Arias adalah seorang pengacara sedangkan ibunya, Maria Espinoza , ibu rumah tangga biasa. Keluarga Eustaquio adalah penganut Katolik yang taat. Anak-anak, termasuk Maria Inez, mendapat pendidikan agama yang baik sejak masa kanak-kanak mereka.

Maria Ines tumbuh sebagaimana layaknya gadis-gadis lain pada jamannya. Ketika usianya menginjak dua puluh tahun, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Dalam buku hariannya Ia menulis antara lain: “Saya merasa ada sesuatu yang sedang terjadi dalam hidup saya….saya sangat yakin bahwa ada sesuatu yang belum saya mengerti terjadi pada diri saya…”, tulisnya.

Dalam perkembangannya, Maria Ines menyadari bahwa Tuhan memanggilnya untuk menjalani kehidupan yang khusus, yaitu hidup membiara.

Pada 7 Juli 1929, Maria Ines masuk biara kontemplatif, yaitu tarekat Suster Claris yang Miskin di Los Angeles, California. Pada waktu itu para suster Claris Meksiko sedang berada dalam pengungsian (USA) karena pengejaran agama Katolik yang sedang berlangsung di Meksiko.

55 Tahun Transformasi Tarekat.

Pada saat Sr.Maria Ines mengucapkan kaul sementaranya, ia justru merasakan suatu panggilan yang lain. Kelak menjadi jelas bahwa ia terpanggil untuk mendirikan suatu tarekat baru, yaitu Konggregasi Misionaris.

Pada tanggal 23 Agustus 1945, dengan persetujuan pimpinan biaranya dan juga restu dari pejabat Gereja, Maria Ines memulai tarekat barunya di kota Cuernavaca, Meksiko. Waktu itu lima suster lain ikut bergabung dengannya. Salah satu kekhasan tarekat baru ini adalah memiliki janji ketaatan mutlak pada Sri Paus, seperti layaknya para Jesuit.

Pada tanggal 31 Mei 1951, Madre Ines mengirimkan permohonan pengesahan atas tarekat baru ini ke Tahta Suci. Dalam waktu kurang dari satu bulan, kongregasi baru ini mendapat pengesahan dari Vatikan, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1951. Kongregasi ini mendapat nama resmi yang baru, yaitu Misioneras Clarisas del Santissimo Sacramento (Misionaris Claris Dari Sakramen Maha Kudus).  Peristiwa yang terjadi 55 tahun yang lalu ini dikenal sebagai hari Transformasi, yang berarti perubahan dari biara kontemplatif menjadi kongregasi misionaris.

Madre Maria Ines-Teresa saat itu ditunjuk oleh Tahta Suci sebagai Superior General yang pertama. Pada tahun itu juga (1951), Sr.Maria Ines mengirim tiga orang susternya ke tanah misi pertama, yaitu Jepang. Dengan berbekal bahasa Inggris, tiga orang suster Misionaris Claris ini memulai karya mereka di negri Sakura. Mereka langsung mendapat kesulitan karena tidak banyak orang Jepang pada waktu itu yang mengerti bahasa Inggris. Hanya dengan ketekunan dan keuletan yang luar biasa, tiga orang suster MC ini berhasil menjalankan misinya dengan baik. Kini tercatat sekitar 60 suster asli Jepang masuk dalam konggregasi ini.

Selain ke Jepang, Misionaris Claris juga menyebar ke beberapa negara lain seperti: Sierra Leone, Nigeria, Amerika Serikat, Costa Rica, Irlandia, Spanyol dan Italia. Jumlah anggotanya di seluruh dunia mencapai 600 suster, suatu jumlah yang cukup besar untuk sebuah tarekat yang baru.

Pada tahun ini dua peristiwa penting (55 tahun Transformasi Tarekat dan 25 tahun wafatnya Madre Maria Ines) dirayakan secara bersama-sama. Di Roma, sejumlah acara diadakan khusus untuk memperingati dua tonggak tarekat tersebut. Puncak peringatan diadakan pada hari Minggu, 25 Juni 2006. Peringatan ini diawali dengan perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh pastor Albino Marin.

Perkembangan di Indonesia.  

Tanggal 15 September 1960 adalah hari yang bersejarah. Pada tanggal tersebut, tiga orang suster Misionaris Claris untuk pertama kalinya datang ke Indonesia, tepatnya di kota Madiun, Jawa Timur. Mereka datang atas undangan Administrator Apostolik waktu itu, yaitu Mgr. Gaetano Alibrandi.

Pada awalnya tiga suster pionir ini berkarya di Poliklinik dan BKIA Panti Bagija, milik keuskupan. Kini, sesudah 46 tahun, Misionaris Claris telah memiliki  66 anggota Indonesia. Para suster Indonesia ini selain dari Jawa, juga datang dari pelbagai daerah lain. Mereka berkarya di Madiun, Surabaya, Jakarta dan Flores. Adapun karya mereka terutama di bidang kesehatan dan pendidikan. Sebagian di antara mereka juga berkarya di bidang pastoral. Secara berkala, mereka mengirim beberapa anggotanya untuk study lanjut di luar negri, khususnya Roma.

Sr. Maria Veronica Endah Wulandari M.C, propinsial Indonesia yang kebetulan sedang berada di Roma menyatakan bahwa tarekatnya mempunyai prospek yang baik di masa depan. “Setiap tahun selalu ada calon-calon yang bergabung dengan kami. Sekurang-kurangnya ada dua atau tiga orang yang kami terima”, tutur Suster asal Surabaya ini.

Ketika ditanya komentarnya tentang peringatan dua peristiwa bersejarah tarekatnya ini, ia berkata: “ Dua peringatan ini amat penting artinya bagi kami. Peristiwa ini merupakan momentum tepat bagi para anggota untuk lebih mengenal dan mendalami spiritualitas Madre Ines, pendiri tarekat kami”, tutur propinsial yang menguasai beberapa bahasa asing ini.

Perjalanan sebuah tarekat, seperti halnya hidup manusia, adalah perjalanan pencarian yang terus menerus. Berhenti sejenak dalam momentum khusus adalah suatu kebutuhan, supaya bisa melangkah lagi dengan kesegaran baru.

Heri Kartono (Dimuat Majalah HIDUP No..., 2006)

 

 

 

 

Saturday, April 5, 2008

Jackie Chan Melayat Paus.


“JACKIE CHAN” MELAYAT PAUS

Saat Paus Yohanes Paulus II meninggal dunia, pelayat yang datang luar biasa banyaknya. Lebih 2 juta orang memasuki kota Roma. Penjagaanpun amat ketat. Untuk memasuki Basilika Santo Petrus, dimana jenasah dibaringkan, merupakan perjuangan tersendiri.  Banyak pelayat sesudah berdesakan selama 12 jam, baru sampai di depan jenasah. Saya dan dua rekan juga mengalami hal itu, terjebak lautan manusia.

Waktu itu, Rabu (6/4/2005) malam, rombongan Presiden AS George W Bush datang melayat ke Vatikan. Antrian pelayat umum untuk sementara dihentikan. Penjagaan dari pihak polisi menjadi berlipat ganda. Semua akses jalan menuju Basilika ditutup dan dijaga polisi. Beberapa orang mencoba masuk dengan berbagai dalih, termasuk saya, tapi tidak diijinkan.

Tiba-tiba seorang Tionghoa, gagah, dengan wajah serius minta ijin kepada polisi untuk masuk ke Basilika. Dengan meyakinkan dia menunjukkan kartu identitas lengkap dengan foto; namun semua keterangan tertulis dalam bahasa Mandarin. Ia juga berbicara dalam bahasa Mandarin. Tentu saja pak polisi kebingungan, tidak mengerti. Namun, melihat gaya Si Tionghoa yang meyakinkan sebagai orang penting, polisi akhirnya mengijinkan dia masuk. Ketika melihat ada yang diijinkan masuk, polisi lain, temannya, bertanya: “Chi è?” (Siapa dia?). Dengan enteng polisi yang ditanya menjawab sekenanya: “Jackie Chan!”.

Saya dan kawan saya tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban asbun itu!

(Heri Kartono. Dimuat di Kompas Cyber: 08/04/2005).