Monday, June 30, 2008

Dokuman Vatikan tentang Homoseksualitas.


 

SIKAP TEGAS VATIKAN DAN TUDINGAN DISKRIMINASI

Baru-baru ini Vatikan melalui Konggregasi untuk Pendidikan, yang membawahi seminari, mengeluarkan suatu dokumen penting. Dokumen ini berkaitan dengan orang yang homoseksual dan kemungkinannnya masuk seminari dan ditahbiskan. Dokumen itu sendiri tertanggal 4 November 2005 (pesta St.Carolus Boromeus, pelindung para seminaris), disetujui oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 31 Agustus 2005 namun baru dikeluarkan secara resmi pada tanggal 29 November 2005. Instruksi Vatikan setebal 6 halaman ini sebenarnya tidak berbicara tentang homoseksualitas secara keseluruhan. Homoseksualitas dibicarakan dalam kaitan dengan seleksi penerimaan, pendidikan dan tahbisan para frater.

Homoseksualitas dan Sikap Tegas Vatikan.

Homoseksual adalah orang yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Perlu dibedakan antara tendensi homoseksual dan tindakan homoseksual. Tendensi homoseksual ialah orang yang mempunyai kecenderungan tertarik secara seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Sedangkan tindakan homoseksual adalah tindakan hubungan seksual yang terjadi antara  sesama jenis. Dokumen Vatikan ini membedakan homoseksualitas menjadi dua kelompok: Yang “Deep-seated homosexual tendencies” dan Yang “Only the expression of a transitory problem”(artikel 10).

Yang dimaksud dengan Deep-Seated homosexual tendencies adalah mereka yang memiliki kecenderungan kuat/berurat-akar dalam pribadinya. Tendensi jenis ini digolongkan sebagai ‘objectively disordered’, secara objektif tidak beres alias menyimpang. Orang yang memiliki kecenderungan semacam ini akan sulit untuk berelasi secara benar, baik dengan lelaki ataupun perempuan. Gereja menghormati pribadi ybs namun dengan tegas melarang ybs untuk diterima di seminari atau masuk suatu tarekat/konggregasi kudus.  Selain itu,  dokumen ini juga melarang dengan tegas mereka yang melakukan tindakan homoseksual dan mereka yang menyokong “gay culture” untuk diterima masuk seminari.

Adapun tendensi yang disebut “Only the expression of a transitory problem” adalah kecenderungan homoseksualitas yang hanya merupakan masalah transisi perkembangan jiwa. Bila ada calon yang memiliki tendensi jenis ini, maka harus sudah beres (sudah sembuh betul) sekurang-kurangnya 3 tahun sebelum tahbisan diakon. Jika kecenderungan tersebut sudah dianggap hilang/sembuh, barulah sang calon dapat ditahbiskan sebagai diakon untuk kelak juga tahbisan imam.

Dokumen Vatikan ini sebenarnya berbicara tentang kesiapan calon imam dalam jenjang pendidikan. Tentang pendidikan yang bermutu, dikatakan dalam instruksi ini, para pendidik dan pembina calon imam di seminari harus memperhatikan 4 dimensi penting dalam membentuk calon imam, agar kelak menjadi imam yang berkualitas. Ke-empat dimensi tersebut adalah dimensi kepribadian, kerohanian, pengetahuan dan pastoral. Singkat kata, seorang calon imam haruslah orang yang sehat dan matang secara afektif. Hanya orang yang matang secara afektif, dapat berelasi secara benar.

Dokumen ini terutama ditujukan kepada para Uskup, para pembesar Tarekat dan para pendidik di Seminari yang bertanggung-jawab langsung atas penerimaan para calon imam. 

Banyak orang menduga  bahwa latar belakang munculnya dokumen ini adalah adanya pelbagai skandal pedofili (=pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang melibatkan para rohaniwan katolik, khususnya di Amerika Serikat, Austria dan Polandia.

Pelbagai Reaksi.

Dokumen ini langsung mendapat banyak reaksi, baik reaksi positif maupun negative, khususnya di Barat. Seorang pakar Hukum Gereja, Dr. Alexander Pytlik menyambut baik kehadiran dokumen tersebut. Menurutnya, instruksi ini mengingatkan kembali tanggung jawab uskup, pembesar tarekat maupun para pembina di Seminari dalam membimbing calon imam serta dalam memutuskan apakah seorang calon layak atau tidak untuk ditahbiskan.

Dr.Heike Sturm dosen teologi moral di Bonn, Jerman, menyatakan bahwa Vatikan bersikap diskriminatif dalam menyikapi persoalan homoseksual. “Dokumen tersebut menyudutkan kaum homoseksual dan masih tetap memandang kaum homoseksual secara negatif dan di sisi lain memberi keleluasaan  bagi yang heteroseksual atau biseksual”, paparnya.

Sementara itu, Pater Hermann Kugler SJ, ahli psikoterapi dari Munchen mengkritik sikap Vatikan yang melihat homoseksual masih seperti “penyakit psikis”. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pada tingkat praksis, dokumen tersebut sulit dipraktekkan. Misalnya, tidak mudah melihat dan menilai seseorang memiliki kecenderungan homoseksual. Bila seseorang tidak mengakui dirinya homoseksual atau kedapatan melakukan tindakan homoseksual, bagaimana bisa diketahui ia seorang homo?

Pater Timothy Radcliffe, mantan Jenderal Dominikan, dalam artikelnya di majalah Tablet menulis bahwa ada imam-imam homo yang hebat dan mereka juga jelas mendapat panggilan dari Allah.

Konteks Indonesia.

Skandal para imam di Indonesia dalam hal homoseksualitas atau pedofilia nyaris tidak pernah terdengar di Mass Media. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi kasus semacam itu. Selain itu, apakah tidak ada imam atau religius di Indonesia yang homoseksualitas? Itupun tidak ada yang berani menjamin.

Dr.CB.Kusmaryanto,SCJ, dosen Pascasarjana Gajah Mada, yang dihubungi via E-mail, menulis bahwa dokumen ini tidak menjadi bahan polemik di Indonesia. Dalam khasanah umum (surat kabar dan majalah) nampaknya juga tidak ada reaksi. “Dalam perbincangan dengan beberapa orang, saya tidak mendapat orang yang opisisi dengan pendirian Vatikan ini. Sebaliknya, banyak orang yang mendukungnya”, papar doktor moral lulusan Roma ini. .

Peter Aman,OFM yang sedang study S3 bidang Moral menyatakan bahwa dokumen Vatikan tersebut baik dan bisa diterima, apalagi dalam konteks Indonesia. Di Barat, makna perkawinan dan keluarga sudah mulai bergeser. Demikian juga pandangan masyarakat Barat tentang kehidupan, termasuk masalah homoseksualitas sangat berbeda. Seorang imam yang diharapkan mengabdikan seluruh hidupnya demi Tuhan dalam bentuk hidup selibat, haruslah orang yang sungguh sehat dan matang pribadinya.

Sejalan dengan Peter, Sr.Rina Rosalina MC mengemukakan pendapat yang hampir sama. “Saya setuju sekali dengan dokumen Vatikan ini. Seorang imam itu dituntut untuk menjadi panutan umatnya. Lha kalau imamnya homo, bagaimana dengan umatnya?”. Lebih lanjut suster kelahiran Bandung ini menambahkan, “Masyarakat di Indonesia menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang tidak normal, tidak umum. Pandangan umum masyarakat ini harus dihargai, tidak bisa diremehkan begitu saja”, tandas suster yang lama bertugas di Roma ini.

Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan Anton Subianto,OSC. Ketika diminta pendapatnya, dosen filsafat Unpar ini mengatakan: “Saya sangat setuju bahwa calon imam atau religius haruslah seorang yang sehat secara jasmani dan rohani dan harus matang kepribadiannya seperti ditulis dalam instruksi Vatikan itu. Namun demikian, rasanya tidak adil bahwa orang homoseksualitas secara otomatis dianggap ‘objectively disordered’, dianggap tidak beres. Menurut saya, tidak ada jaminan bahwa orang yang heteroseksual pasti sehat rohaninya. Imam atau calon imam heteroseksual juga mempunyai kemungkinan berbuat tidak benar dalam hal seksualitas. Karenanya, masalah utama bukanlah soal homoseksual atau heterokseksual namun soal pembinaan yang baik. Bila seorang homoseksual bersedia dan berkomitmen untuk hidup selibat dan menghargai ajaran gereja, mengapa harus dihalangi menjadi imam?” papar mahasiswa Universitas Lateran program doktorat ini.

Lepas dari pro-kontra atas dokumen, kita perlu menghargai niat baik Vatikan. Vatikan berharap agar gereja di masa depan tidak lagi disibukkan kasus-kasus homoseksualitas di kalangan para imamnya. Munculnya pelbagai kasus pedofilia di pelbagai tempat, sungguh telah membawa akibat buruk bagi gereja. Meskipun demikian, suatu dialog yang jujur tentang homoseksualitas kiranya perlu tetap terbuka lebar-lebar.

Heri Kartono,OSC. (Dimuat di Majalah MENJEMAAT, awal 2006).

 

 

 

 

 

Wednesday, June 11, 2008

Ellie dan Toos Leermakers.


2000 KM BERSEPEDA DEMI VATIKAN

Berbekal keinginan kuat untuk melihat Vatikan, juga sambil mengisi waktu liburan, dua wanita nekad bersepeda dari Belanda ke Italia menempuh jarak lebih dari 2000 Km. Mereka mengaku kagum dan puas menyaksikan Basilika St. Petrus yang megah.

Barangkali istilah bonek bisa diterapkan pada dua wanita setengah baya ini: Ellie Leermakers (58) dan Toos Leermakers (56). Dua kakak-beradik ini bersepeda dari sebuah kota kecil dekat Eindhoven, Belanda menuju Italia. Rute mereka melewati Jerman, Austria, Swiss baru masuk Italia. Alat pencatat jarak yang terpasang pada sepeda mereka, menunjukkan angka 2100 Km, saat mereka tiba di Roma (06/06/08). Rata-rata mereka menempuh jarak 100 Km setiap harinya.

Bersepeda bukanlah hal yang asing bagi kedua wanita Belanda ini. Toos yang bekerja di sebuah Farmasi, biasa menggunakan sepeda menempuh jarak 15 Km ke tempat kerjanya. Sementara Ellie kakak-nya, seorang perawat, juga cukup sering menggunakan sepeda. “Bagi kami, orang Belanda, bersepeda adalah hal yang amat biasa. Sebagian besar penduduk di negeri kami gemar naik sepeda, baik sebagai alat transportasi maupun untuk olah raga. Hal ini didukung dengan fasilitas jalan sepeda yang amat nyaman dan aman di seluruh negeri”, tutur Ellie bangga.

Pecah Ban.

Sebelum memulai perjalanan, Ellie dan Toos terlebih dahulu mempelajari rute yang akan dilalui. Mereka memiliki beberapa peta, baik peta Eropa maupun peta masing-masing negara yang akan mereka lewati. Umumnya perjalanan berlangsung lancar dan aman. Perjalanan paling berat adalah saat di Austria. “Waktu itu kami harus melewati pegunungan Alpen dengan ketinggian 1800 M. Selain medan berat menanjak, cuaca juga dingin serta berkabut”, kenang Ellie.

Saat mereka memasuki Italia, di tengah jalan yang sepi, ban belakang sepeda milik Toos pecah. Mereka tidak panik. Dengan terampil, mereka berdua mengganti sendiri ban yang pecah tersebut. “Kami memang sudah siap dengan pelbagai kemungkinan yang bisa terjadi, termasuk ban pecah”, jelas Toos. 

Satu hal yang kerap mereka lakukan di jalan adalah masuk gereja dan berdoa. “Bila saat istirahat tiba dan kami melihat gereja, biasanya kami berhenti sejenak di sana. Kami masuk gereja itu, menyalakan lilin serta berdoa. Kami merasa perlu mengucapkan terima kasih pada Tuhan atas perjalanan yang telah kami lalui sekaligus memohon keselamatan bagi perjalanan selanjutnya”, papar Toos dan Ellie memberi alasan.

Mangagumi Basilika Santo Petrus.

Bagi Toos dan Ellie, tujuan perjalanan besar ini adalah untuk mengisi liburan sekaligus berjiarah ke Vatikan. Karena itu, begitu sampai di Roma, hal pertama yang mereka lakukan adalah berkunjung ke Basilika Santo Petrus. Kendati sering melihat Basilika Santo Petrus lewat tayangan telivisi, Toos mengaku terpesona saat melihat langsung Gereja terbesar di dunia ini.

“Belum pernah saya melihat Gereja sebesar, seindah dan semegah ini”, ujar Toos tentang Basilika Santo Petrus, Vatikan. Menurut Toos, Basilika Santo Petrus bukan hanya mengesankan sebagai sebuah gedung Gereja yang besar dan agung namun sekaligus sebagai maha karya seni dan arsitek yang luar biasa.

Toos dan Ellie tinggal selama satu minggu di kota Roma. Selain Vatikan dengan Basilika Santo Petrus yang mereka kagumi, mereka juga amat menikmati suasana kota Roma yang antik dan bersejarah. 

Pastor Harry Leermakers OSC, kakak kandung Ellie dan Toos yang bertugas di Nijmegen, Belanda, ketika diminta komentarnya, mengatakan: “Kami sebagai famili Leermakers merasa sangat bangga atas prestasi perjalanan kedua adik saya ini”, ujar pastor yang pernah bertugas di Bandung.

Perjalanan bersepeda ke Roma untuk Ellie dan Toos bukanlah perjalanan jarak jauh pertama mereka. Dua tahun lalu, mereka juga bersepeda ke kota Santiago de Compostela, Spanyol, sekitar 2500 Km dari kota mereka. Santiago adalah salah satu kota pejiarahan kristiani di Eropa yang banyak dikunjungi setiap tahunnya. Di Katedral Santiago, tersimpan relikwi Santo Yakobus.

Menikmati liburan sambil berjiarah serta olah-raga adalah gabungan yang unik namun sehat. Sekurangnya itulah yang dirasakan Ellie dan Toos. Pada usia menjelang 60 tahun, mereka tetap merasa sehat dan segar baik jasmani maupun rohani mereka.

Heri Kartono,OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP, edisi 29 Juni 2008).

 

 

Sunday, June 8, 2008

Paus Benediktus XVI.


iPOD BARU DAN MIMPI YANG TERTUNDA

Ketika berkunjung ke stasiun Radio Vatikan beberapa waktu yang lalu, Paus Benediktus XVI mendapat hadiah iPOD Nano.  Para karyawan radio Vatikan memberi itu sebagai tanda kenang-kenangan.  iPOD terbaru keluaran Apple ini bentuknya kecil dan tipis. Kendati mungil, iPOD ini konon dapat memuat 1000 lagu di dalamnya!  Nampaknya para karyawan radio Vatikan sangat faham bahwa salah satu kegemaran Paus Benediktus di waktu senggangnya adalah musik. Sejak sebelum menjadi Paus, Ratzinger dikenal tidak hanya sebagai pemikir yang handal, namun juga sebagai pemain piano yang terampil.  Saat-saat senggangnya selalu ia pergunakan untuk bermain piano. Lagu-lagu gubahan Mozart dan Bethoven  adalah favoritnya.

Sejak terpilih menjadi Paus, kegiatan dan jadwal Ratzinger memang berubah banyak. Seperti dilaporkan salah satu Media, Benediktus XVI nyaris tidak memiliki lagi waktu untuk pribadi. Kebebasan, saat senggang, kontak dengan teman-teman lama dan saudara-saudara yang sebelumnya dilakukan secara rutin, kini menjadi terbatas. Sebagai seorang Kepala Negara, jadwal dan kegiatan-nya serba terprogram. Selain itu, kemanapun ia pergi, selalu mendapat penjagaan.

Sewaktu masih menjabat sebagai prefek Konggregasi Doktrin dan Iman, Ratzinger pernah beberapa kali mengajukan pengunduran diri. Ia tidak ingin menghabiskan seluruh hari tuanya di Vatikan. Mimpinya adalah kembali ke dunia pendidikan dan menikmati masa pensiun yang tenang. Namun Paus Johanes Paulus II tidak pernah mengabulkan permintaannya.  Kini, sesudah terpilih sebagai Paus, ia harus melupakan mimpi-mimpi yang pernah ia miliki.

Selain musik, Ratzinger dikenal senang dengan seni dan budaya. Ia juga gemar membaca karya sastra klasik. Hal ini antara lain tercermin dalam Ensiklik yang belum lama ini dikeluarkannya. Benediktus mengutip satu cuplikan dari “Divine Comedy” karya Dante untuk memperkarya Ensikliknya. Sesudah menjadi Paus, waktu untuk membaca santaipun praktis sulit diperoleh lagi.

Setiap liburan musim panas, seperti ditulis Mgr.Gerald M.Barbarito, Ratzinger selalu pergi ke rumah keluarganya di Regensburg, Jerman. Sejak ia dipilih sebagai Paus, hal itu tidak dimungkinkan lagi.

Pada musim panas tahun lalu, mengikuti jejak pendahulunya, Benediktus  pergi ke Castel Gandolfo untuk berlibur. Ia ditemani sekretaris pribadinya, Mgr. Georg Gaenswein, asisten kepausan, Angelo Gugel serta dua biarawati yang mengurus keperluan Paus. Hampir tidak ada perubahan di Vila kepausan Castel Gandolfo, kecuali kehadiran sebuah piano.

Paus Johanes Paulus II seorang filsuf professional, juga olah ragawan, biasa menikmati liburannya dengan mendaki bukit di sekitar Castel Gandolfo. Sebaliknya, Benediktus XVI, seorang teolog, lebih banyak mengisi waktu liburnya dengan membaca buku, menulis, atau bermain musik. Sekali-kali ia menggunakan saat doa siangnya untuk berjalan-jalan di hutan sekitar Castel Gandolfo. Tidak jarang ia bertemu dengan penduduk setempat atau anak-anak kampung. Tanpa canggung sedikitpun Benediktus biasanya menyapa dan bercakap-cakap dengan mereka.

Sebenarnya, saat liburpun, Benediktus tidak sepenuhnya terbebas dari pekerjaan. Ia tetap menjalankan beberapa tugasnya. Pada saat tertentu, seperti terjadi pada musim panas yang lalu, paus diserbu banyak wartawan yang meminta pendapat dan komentarnya tentang serangan bom di London.

Barangkali Benediktus, yang pada bulan April 2006 ini berusia 79 tahun, sadar benar bahwa ia harus melupakan mimpi-mimpi pribadinya. Cita-citanya untuk menikmati hari tua,  mengajar atau memainkan gubahan Mozart, Bethoven sesukanya terpaksa ia buang jauh-jauh. Namun sebagai orang yang memiliki iman teguh, ia tahu bahwa pada saatnya kelak, ia tidak hanya memainkan musik melainkan sekaligus dapat bermain sepuas-puasnya bersama para penggubah musik pujaannya. 

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah HIDUP, edisi 2 April 2006. Foto: L'Osservatore Romano).

 

 

 

Friday, June 6, 2008

Kardinal Hong Kong.



KARDINAL BARU DAN PERSOALAN GEREJA DI CINA.

 

Dari 15 kardinal baru yang diresmikan Paus Benediktus XVI (25/03/06), satu berasal dari Hong Kong, yaitu Kardinal Joseph Zen Ze-Kiun S.D.B.  Pengangkatan uskup Hongkong menjadi Kardinal oleh Vatikan ini mengundang reaksi keras Cina. Menteri luar negeri Cina, Li Zhaoxing memberi komentar tajam:”Kami berharap Vatikan tidak mencampuri urusan dalam negeri Cina!”, paparnya. Bagaimana sebenarnya perkembangan gereja Katolik di Cina?

Pasang-Surut Gereja Katolik di Cina.

Ibu Erna dari Bandung, pernah berkunjung dua kali ke Beijing. Pada kunjungannya yang kedua (2005) ia sempat pergi ke gereja pada hari Minggu. Waktu itu gereja amat penuh. Perayaan Ekaristi hampir tidak ada bedanya dengan di Bandung, hanya ada layar lebar di dalam gereja untuk membantu umat mengikuti lagu-lagu. Suasana di dalam Gereja juga seperti Gereja Katolik pada umumnya, ada salib, altar, lilin,    patung Bunda Maria. Karenanya ia merasa nyaman. Selesai Misa, ada acara ramah-tamah sambil minum kopi. Ibu Erna tidak mengerti bahasa Cina, untung anaknya yang memang tinggal di Beijing, selalu menemaninya. Ia merasa senang bisa mengikuti Misa di Beijing.  Di balik suasana yang ‘wajar dan menyenangkan’ ini, rupanya gereja di Cina menyimpan sejarah tersendiri.

Sejarah agama kristen di Cina sering dikaitkan dengan Rasul Thomas (yang dipercaya pernah ke India) bahkan dengan Bartholomeus. Namun, menurut sejarawan Bar Hebraeus, agama kristen masuk Cina baru pada permulaan abad kesebelas.

Pada permulaan abad ketiga belas, Ordo Fransiskan dan Dominikan mulai masuk Cina. Kendati demikian, misi agama Kristen baru mapan dan berakar sebenarnya sejak masuknya Jesuit di bawah pimpinan Matteo Ricci (masuk lewat Macao tahun 1583). Waktu itu agama kristen menyebar sampai ke propinsi Kwang-tung, Nan-king, Shanghai, Hang-chou bahkan mencapai Peking. Sukses Matteo Ricci di Cina tidak lepas dari sikap tolerannya terhadap kultur Cina setempat. Sayang perjalanan selanjutnya, agama Kristen di Cina terus mengalami jatuh bangun dan harus menghadapi pelbagai hambatan, sampai sekarang. 

Pada awal abad ke 20, agama Kristen sempat mengalami pertumbuhan pesat. Tahun 1922 Vatikan mengutus duta besarnya yang pertama ke Cina. Empat tahun kemudian, diangkat enam uskup Cina. Pada tahun 1949 di Cina sudah terdapat 137 wilayah keuskupan dengan sekitar 4 sampai 5 juta umat Katolik. Ketika Mao Zedong mengambil alih kekuasaan, terjadi perubahan drastis.

Mao Zedong memproklamirkan Republik Rakyat Cina yang komunis pada 1 Oktober  1949.  Di bawah pemerintahan komunis, umat Kristen mulai mengalami penganiayaan. Wakil Vatikan ketika itu diusir dari Cina. Para imam dipenjarakan atau dikirim ke kamp konsentrasi. Demikianpun para pemuka gereja dan keluarganya mengalami nasib yang hampir sama. Gereja sepenuhnya dibawah kontrol ketat penguasa. Sejak saat itu pemerintah melarang segala bentuk campur tangan dari luar, termasuk dari Vatikan.

Seorang uskup dari Shanghai, Mgr. Kung Pin Mei tidak menggubris larangan pemerintah. Dengan gigih ia tetap menunjukkan kesetiaannya kepada Gereja Katolik yang mengakui Paus di Roma. Atas sikapnya ini, Mgr. Kung ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup.  Paus Yohanes Paulus II mengangkat Mgr.Kung menjadi kardinal “in pectore” (dengan diam-diam tanpa pengumuman) pada tahun 1979. Sampai wafatnya (Maret 2000) sikap Kardinal Kung tidak pernah berubah. Kesetiaan Kardinal Kung terhadap gereja dan Paus di Roma menjadi teladan bagi banyak umat di Cina. 

Gereja Bawah Tanah dan Harapan di Masa Depan.

Pada awal tahun 1980, terjadi perkembangan baru. Warga gereja harus bergabung pada gereja yang dikendalikan oleh partai komunis. Ada sedikit kebebasan namun

gereja tetap dilarang  mengakui Paus sebagai pimpinan. Secara resmi sebagian besar umat katolik Cina terdaftar sebagai anggota “Perhimpunan Patriotis” bentukan pemerintah komunis. Kendati demikian, tidak sedikit umat yang aktif di gereja bawah tanah yang mengakui Paus di Roma. Kegiatan gereja bawah tanah ini bukan tanpa resiko. Banyak di antara mereka, termasuk uskup yang ditangkap, dipenjarakan bahkan disiksa.

Di bawah pemerintahan komunis, segala kegiatan gereja dikendalikan pemerintah.

Pendidikan calon imam di seminari, pengangkatan seorang uskup semuanya diatur oleh pemerintah. Sementara itu gerakan gereja bawah tanah tetap berjalan. Jumlah umat Katolik di Cina sekarang ini sekitar 4 juta. Angka tsb belum termasuk jumlah umat gereja bawah tanah yang menurut perkiraan mencapai 10 juta.

Ada banyak konggregasi imam, bruder, suster yang bekerja di Cina secara klandestin alias rahasia. Umumnya mereka bekerja sebagai pekerja sosial atau sebagai pengajar atau apa saja yang memungkinkan. Mereka harus menjaga agar identitas mereka sebagai religius tidak diketahui. Mereka juga secara diam-diam menerima anggota baru dari kalangan umat Cina. “Belum lama ini sepuluh konfrater kami di sana mengucapkan kaul kekal dalam suatu upacara hampir tengah malam”, papar seorang imam Indonesia yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya. “Memang banyak pejabat komunis yang baik hati dan bersimpati pada karya kami. Namun, segala sesuatu bisa terjadi, bila kami ceroboh. Beberapa kali pernah terjadi, ada penyusup seolah-olah bersimpati, padahal mencelakakan kami”, jelas imam asal NTT ini. Pernyataan senada juga disampaikan seorang suster Indonesia yang beberapa anggotanya bekerja di Cina.

Tanda-tanda akan adanya perubahan sebenarnya sudah mulai muncul. Ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal dunia, Cina mengirimkan ucapan bela sungkawa. Ketika itu sempat muncul kabar bahwa Cina akan mengirim utusannya untuk menghadiri upacara pemakaman, ternyata tidak. Diduga Cina marah karena Vatikan menerima delegasi dari Taiwán. 

Paus Benedictus XVI pernah menyatakan bahwa salah satu prioritasnya adalah menciptakan kembali hubungan diplomatik dengan Cina. Kardinal Angelo Sodano, selaku Menteri Luar Negeri Vatikan sempat mengungkapkan, bahwa Vatikan mempunyai rencana untuk memindahkan kantor perwakilan dari Taipei, Taiwán ke Beijing. Menurut kalangan pengamat, kendala terbesar adalah sikap Beijing yang tetap menolak mengakui otoritas Paus atas penunjukkan uskup agung untuk memimpin gereja Katolik di Cina.

Hongkong, meskipun memiliki status otonomi khusus, tetap di bawah pemerintahan Cina. Karenanya pengangkatan Uskup Hongkong, Joseph Zen Ze Kiun, S.D.B. menjadi kardinal oleh Paus, membuat Cina berang. Vatikan dituduh mencampuri urusan dalam negeri Cina.

Ibu Erna merasa senang bahwa setiap kali mengunjungi anak bungsu-nya di Beijing, ia bisa menjalankan kewajibannya mengikuti misa. Perasaan senangnya pastilah akan terusik bila ia mengetahui bahwa di balik suasana yang ‘wajar dan nyaman’ umat Katolik Cina sebenarnya menyimpan sejumlah persoalan yang belum terpecahkan sampai sekarang!

Heri Kartono (dimuat di HIDUP, 23 April 2006)

 

Wednesday, June 4, 2008

Sr. Rina Rosalina, MC



MENJAGA KESEIMBANGAN ANTAR REGIO

Sejak thn 2000 Ia dipilih sebagai ekonom di kongregasinya. Ia adalah orang pertama dari kawasan Asia untuk posisi ini. Bagaimana hingga ia dipercaya mengatur keuangan tarekat yang memiliki lebih dari 600 anggota dan tersebar di 14 negara?

Sr. Rina Rosalina adalah sosok yang berpembawaan tenang. Ia mengerjakan segala tugasnya tanpa banyak cakap. Tugas utamanya adalah mengatur seluruh keuangan tarekatnya. Sistem keuangan kongregasi Misionaris Claris, dimana Sr.Rina menjadi anggotanya, bersifat sentralisasi. Itu berarti semua keuangan diatur dari pusat. Rinalah yang paling bertanggung-jawab, menerima laporan serta mengupayakan pengaturan yang adil, baik bagi regio yang berkelimpahan maupun yang pas-pasan. Ia musti peka agar para suster yang bekerja di wilayah yang miskin, seperti di India, mendapat bantuan yang memadai. Dengan kata lain, Rina harus pandai-pandai menjaga keseimbangan bidang finansial antar Regio (wilayah).

“Sistem sentralisasi membutuhkan seorang ekonom yang selain cakap juga memiliki kepekaan serta kebijaksanaan. Suster Rina selama ini telah menjalankan tugasnya sebagai ekonom tarekat dengan baik”, ujar Sr. Sisilia Rizky Indriani MC, rekan Rina.

Mengejutkan.

Sr. Rina Rosalina dilahirkan di Bandung (26/12/60). Ia merupakan anak ke enam dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Roesniawan (alm) adalah seorang wiraswasta-wan sementara Ana, ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga biasa.  Tentang ayahnya, Rina memberi komentar: “Ayah saya rajin dalam kegiatan di Gereja. Ia mengenal dengan baik para pastor yang bertugas di paroki kami”, ujarnya. 

Sejak kecil Rina senang bergiat di lingkungan gereja. Ia pernah aktif di kelompok Anak-anak Yesus (semacam Sekolah Minggu); Legio Maria serta Koor Gita Remaja di paroki Bunda Tujuh Kedukaan, Bandung. Waktu kecil, ia senang bila melihat seorang suster dengan jubahnya. Namun, cita-cita untuk menjadi suster belum ia rasakan. Keinginannya untuk masuk biara, baru ia rasakan amat kuat pada tahun terakhir di SMA. Pada waktu itu Rina sekolah di SMA St. Aloysius Bandung. Masih teringat, saat pertama kali ia mengemukakan keinginannya itu, teman-temannya merasa terkejut. Sebenarnya tidak hanya teman-teman di sekolah, keluarga besarnya juga terheran-heran. “Dari keluarga kami, baik dari pihak nenek maupun kakek, tidak ada yang pernah menjadi rohaniwan/wati. Karena itu, kami semua terkejut”, kenang Agatha Liliana, kakak kandung Rina. 

Sejak itu Rina mulai serius mencari info tentang biara. “Secara kebetulan saya melihat poster mengenai hari panggilan. Saya lalu menulis surat ke Pastor Joseph Diaz Viera SVD, direktur KKI saat itu. Dari beliaulah saya mendapat alamat Misionaris Claris. Sayapun mulai berkontak dengan para suster MC baik yang di Madiun maupun yang di Surabaya”, paparnya. Akhirnya, pada bulan Maret 1981, Rina resmi menjadi postulan Kongregasi Misionaris Claris di Madiun.

Pengalaman Internasional.

Tahun 1986 hingga 1990, tarekat menugaskan Rina kuliah di Universitas Widya Mandala, Surabaya bagian akutansi hingga S1. Selesai kuliah, Rina ditempatkan di Rumah Sakit Santa Clara Madiun di bagian administrasi. Sejak itu ia tak pernah lepas dari urusan finansial.

Rina rupanya memang berbakat dalam urusan keuangan. Semua tugas yang ia terima, ia selesaikan dengan baik. Melihat kemampuannya yang menonjol di bidang keuangan, Rina ditarik ke Roma (1996) untuk menimba pengalaman lebih luas. Tak lama kemudian, ia diangkat sebagai bendahara Regional dan tinggal di Pamplona, Spanyol. Di tempat barunya, meskipun dengan budaya serta bahasa berbeda, ia cepat menyesuaikan diri. Rina diakui pandai mengatur waktu, kerjanya efektif. Para suster sering terkagum-kagum melihat kecepatannya dalam melakukan sesuatu.

Sebagai bendahara regional yang bertanggung-jawab atas wilayah Spanyol, Rina telah menunjukan kinerja yang memuaskan. Karena itulah, dalam Kapitel Jenderal (2000), Rina terpilih sebagai Ekonom Umum dengan suara bulat. Menjadi bendahara yang bertanggung jawab atas seluruh keuangan kongregasi, sungguh merupakan suatu kehormatan sekaligus tantangan baginya. Ia merasa terharu karena para suster memberi kepercayaan penuh atas tugas penting tersebut. Iapun meninggalkan Pamplona untuk menempati pos barunya di Roma 

Tahun 2002, Madre Teresa Botello Uribe, pimpinan umum saat itu, meninggal dunia. Setahun kemudian (April 2003) diadakan Kapitel Jenderal, untuk memilih penggantinya. Madre Julia Meijueiro Morosini terpilih sebagai Jenderal baru. Pada saat yang sama, Rina terpilih kembali sebagai Ekonom Umum, hingga kini.

Bertindak Tepat Pada Waktunya.

Sr. Rina adalah Ekonom Umum pertama yang berasal dari kawasan Asia. Tarekatnya, Misionaris Claris, merupakan kongregasi internasional. Anggotanya berjumlah lebih dari 600 orang, tersebar di 14 negara, antara lain: Spanyol, Mexico, Jepang, Amerika Serikat, Nigeria, India, Korea, Rusia, Indonesia. Rina menguasai bahasa Spanyol, Italia serta Inggris. Kemampuan berbahasanya ini amat menunjang pelaksanaan tugasnya sebagai Ekonom Umum.

Sebagai seorang ekonom, Rina diakui memiliki kemampuan membuat kalkulasi finansial secara tepat. Kepandaiannya ini tentu saja amat menguntungkan tarekat. Dalam soal pengeluaran dana, Rina dikenal strict, amat berhati-hati. Kendati demikian, ia tak akan segan-segan untuk mengeluarkan dana kalau memang diperlukan. Selain itu, Rina dikenal sebagai sosok yang disiplin  dan bisa tegas. Bila ada yang tidak beres, Rina tak sungkan untuk menegur.

Madre Julia Meijueiro Morosini, pimpinan umum, merasa puas dengan kinerja Rina. “Saya merasa puas dan berterima kasih bahwa ia mampu menunaikan tugasnya dengan sangat baik”, ujar Madre saat diminta komentarnya. Masih menurut Madre, Rina adalah sosok yang sabar dan amat bertanggung-jawab pada tugas yang dipercayakan padanya. “Sebagai ekonom, selain setia dan jujur, Sr. Rina sangat tahu bertindak tepat pada waktunya!”, tambah Madre Julia dengan nada bangga.

Lumpia dan Lasagna.

Kendati menduduki jabatan penting, Rina tetap berpenampilan sederhana. Ia dapat bergaul dengan siapa saja tanpa canggung. Tak heran bahwa ia memiliki banyak sahabat. Di luar tugas resminya sebagai ekonom, Rina kerap melakukan kegemarannya: merangkai bunga, memasak serta berenang. Tanpa diminta, ia sering membantu suster yang bertugas merangkai bunga di kapel. Dalam soal masak ia juga piawai.  Secara khusus, ia dikenal pandai membuat Lasagna serta Lumpia. 

Pada tanggal 22 Mei yang lalu, Rina merayakan pesta perak hidup membiara di komunitasnya, Roma. Dua suster lain, yaitu Sr. Ileana Rivera Pereira dan Sr. Maria del Dulce Nombre Lomeli juga merayakan pesta yang sama. Rina merasa bahagia bahwa ia telah menjalani hidup membiara selama 25 tahun dengan baik. Kebahagiaan-nya menjadi sempurna karena dua orang kakaknya dari Bandung, Gerarda Rosana serta Agatha Liliana datang, ikut merayakan hari istimewa tersebut.

Sr. Rina Rosalina, dengan bakatnya, dapat mengelola keuangan kongregasinya dengan baik. Ia tahu bahwa keuangan bisa menjadi berkat, sejauh digunakan dengan tepat, mewujudkan misi luhur tarekatnya.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di majalah HIDUP edisi 22 Juni 2008).

 

 

Tuesday, June 3, 2008

San Giorgio al Velabro.


 

GEREJA PERKAWINAN SEPANJANG TAHUN

Anda berniat untuk kawin?  Datanglah ke gereja San Giorgio al Velabro di pusat kota Roma. Di gereja  ini banyak dilangsungkan perkawinan, khususnya pada musim semi dan musim panas. Gereja tua ini dibangun pada abad ke VI, pada saat Paus Leone II (682-683) bertahta. Lonceng gereja yang menjulang tinggi dan berbentuk amat klasik, dibangun belakangan, yaitu antara abad 12-13.  Bentuk gereja yang sekarang ini adalah hasil pemugaran pada tahun 1920.

Dibanding gereja-gereja lain yang bertebaran di kota Roma, San Giorgio tergolong gereja yang amat sederhana tanpa banyak ornamen bagian dalamnya. Kendati demikian, gereja ini amat laku untuk perkawinan. Konon ada legenda bahwa menikah di gereja ini perkawinannya akan langgeng. Percaya atau tidak namun dalam setahun ada lebih dari 200 pasang menikah di sini. Padahal, gereja ini hanyalah salah satu dari 24 gereja yang ada di paroki Santa Maria in Campetelli Roma. Perkawinan di gereja San Giorgio nyaris ada sepanjang tahun, kecuali masa Pra-Paskah. Orang Italia lebih senang memilih hari Sabtu atau Minggu untuk perkawinan, kadang-kadang juga hari biasa. Namun, hari Selasa dan Jumat tidak akan pernah dipilih, karena hari yang sial untuk perkawinan, menurut kepercayaan mereka. Orang Italia juga percaya bahwa tanggal 17 adalah angka yang buruk untuk perkawinan sedangkan angka 13 tidak jadi masalah!.

Gereja San Giorgio tidak sekedar nama saja. Di gereja ini tersimpan juga relikwi dari Santo Giorgio yang dipindahkan ke gereja ini pada jaman Paus Zakharia tahun 749. Kendati kecil dan tua, San Giorgio dianggap sebagai salah satu peninggalan amat berharga bagi Italia. Karenanya tidak heran, ketika Mafia Sicilia hendak menarik perhatian publik, salah satu sasaran bom mobil mereka adalah gereja ini. Itu terjadi  tanggal 27 Juli 1993. Sebuah bom mobil yang diparkir disamping gereja diledakkan tengah malam dan menghancurkan seluruh bagian depan gereja dan sebagian dari rumah pastor yang terletak di sebelahnya. Pada saat yang sama, bom juga meledak di Basilika Lateran, ketedralnya kota Roma. Teror bom itu sendiri merupakan reaksi kemarahan para mofioso Sicilia atas kecaman keras dari Paus Yohanes Paulus II terhadap kelompok ini pada kunjungannnya ke Palermo/Sicilia bulan Mei 1993. Akibat ledakan ini, gereja ditutup untuk perbaikan yang berlangsung selama 3 tahun penuh. Sungguh mengagumkan bahwa para ahli dapat mengembalikan gereja pada bentuknya yang semula dari kepingan2 yang tersisa.

Sejak tahun 1938 Ordo Salib Suci dipercaya oleh Vatikan (diwakili oleh Luigi Sincero, kardinal yang bertanggung jawab atas gereja ini)  sebagai pengelola gereja San Giorgio. Para rohaniwan Salib Suci menempati bangunan yang berdampingan dengan gereja. Pada tahun 1982, Lambert Graus, Jenderal OSC pada saat itu, menetapkan rumah di Roma ini sebagai pusat sekaligus tempat tinggal Jenderal Ordo Salib Suci sampai sekarang ini. Para imam OSC yang studi lanjut di Roma, biasanya tinggal di rumah ini. Sekarang ini pastor Anton Subianto OSC tinggal di sini. Sejak semester yang lalu ia studi S3 bidang Filsafat di Universitas Lateran, Roma.

(H.Kartono, dimuat di majalah KOMUNIKASI edisi…..2006).

Monday, June 2, 2008

Medjugorje.


MEDJUGORJE SETELAH

SEPEREMPAT ABAD

 

Kendati jutaan orang setiap tahun berziarah  dan banyak orang mengaku telah mengalami pelbagai mujijat, namun penampakan Bunda Maria di Medjugorje masih belum mendapat pengakuan resmi dari Gereja sampai sekarang. Apa yang salah?

Kisah Enam Sekawan. 

Pada tanggal 24 Juni 1981 sekitar jam 6 sore, Ivan dan Mirjana pergi ke bukit Crnica untuk mencari beberapa domba mereka yang tersesat. Pada saat itu mereka melihat seorang wanita muda dengan bayi di tangannya memanggil mereka. Karena terkejut dan takut, Ivan dan Mirjana tidak berani mendekati wanita misterius itu. Keesokan harinya, Ivan dan Mirjana mengajak satu lagi kawannya, Vicka pergi ke bukit yang sama. Di tempat itu mereka melihat kembali wanita dengan bayinya itu. Kali ini ketiganya berlutut dan berdoa. Mereka percaya bahwa wanita itu adalah Gospa, bahasa Kroatia untuk menyebut Bunda Maria. Vicka sempat pergi memanggil beberapa teman yang lain, yaitu Jakov, Ivanka dan Marija.

Itulah awal penampakan Bunda Maria di Medjugorje, Bosnia-Herzegovina kepada enam remaja desa. 

Selanjutnya keenam remaja ini secara terus menerus mendapat penglihatan Bunda Maria  disertai sejumlah pesan. Para imam Fransiskan yang bertugas di paroki setempat memberi kesempatan pada enam remaja ini untuk menceriterakan penglihatan dan pesan Maria di dalam gereja. Pesan-pesan Maria ditujukan kepada umat manusia secara menyeluruh dan meminta orang untuk berdoa, bertobat dan menempatkan Tuhan pada tempat utama dalam hidup mereka. Kini, pesan-pesan Maria disebarkan keseluruh dunia dalam pelbagai bahasa, sampai saat ini. 

Sejak berita penampakan itu tersebar, orang-orang mulai berdatangan ke Medjugorje untuk berziarah. Tidak sedikit orang yang datang mengalami pelbagai mujijat, termasuk mujijat penyembuhan. Rita Klaus, seorang guru dari Evan City, Pennsylvania, USA adalah salah satu orang yang mengalami mujijat. Ia secara ajaib sembuh dari penyakit lumpuhnya berkat perantaraan Bunda Maria dari Medjugorje. Terjadinya banyak mujijat membuat Medjugorje semakin banyak dikunjungi orang. Kini setiap tahun lebih dari satu juta orang dari pelbagai penjuru dunia datang berziarah ke tempat ini. Tidak sedikit juga buku ditulis tentang peristiwa penampakan maupun mujijat yang terjadi. 

Penyelidikan Ilmiah.

Penampakan Bunda Maria kepada sejumlah orang dan terjadinya banyak mujijat, mengundang banyak ahli untuk menyelidiki kebenaran fakta tersebut. Sebuah komisi Teologi Internasional Perancis-Italia dilaporkan mengadakan penyelidikan intensif atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di Medjugorje. Komisi ini selain terdiri atas para Teolog, juga dibantu ahli-ahli dari pelbagai bidang ilmu yang berbeda, seperti para Dokter medis dan Psikiatris. Hasil penyelidikan mereka dipublikasikan pada tanggal 14 Januari 1986 di Paina, dekat kota Milan, Italia. Mereka menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Medjugorje adalah benar gejala adi kodrati dan menganjurkan agar gereja mengakui kebenaran peristiwa Medjugorje. 

Sebuah tim lain dari Perancis, dipimpin oleh Henri Joyeux, mengadakan serangkaian penyelidikan/test neurologist dengan menggunakan alat EEG dan EKG. Dengan alat-alat ini mereka mengamati gejala internal yang terjadi pada orang-orang yang mengalami penampakan. Mereka tidak menemukan adanya manipulasi atau rekayasa pada diri orang-orang tersebut. Hasil penyelidikan mereka dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul: Etudes medicales et scientifique sur les Apparitions de Medjugorje  (Paris, 1986).

Menunggu Pengakuan Gereja.

Penampakan Bunda Maria di Medjugorje pada tahun ini telah genap berlangsung selama 25 tahun. Nama Medjugorje, tidak asing lagi bagi umat Katolik di seluruh dunia. Kendati demikian, penampakan Maria di Medjugorje masih belum mendapat pengakuan resmi dari Tahta Suci. 

Menurut Hukum Gereja, Uskup setempat mempunyai hak penuh untuk menyelidiki peristiwa semacam itu yang terjadi di wilayah keuskupannya. Apabila Uskup setempat menyatakan bahwa penampakan tersebut tidak terbukti kebenarannya, maka kasusnya dengan sendirinya akan ditutup.

Pada tahun 1990, Mgr. Zanic dari keuskupan Mostar yang membawahi wilayah Medjugorje mengemukakan keraguannya atas penampakan yang terjadi di Medjugorje. Pada bulan Nopember tahun yang sama, Konperensi Para Uskup (waktu itu masih Yugoslavia) membuat pernyataan senada. Para uskup menganggap penampakan di Medjugorje sebagai “Non constat de supernaturalitate” yang berarti bahwa penampakan tersebut tidak konsisten dan tidak bisa dibuktikan sebagai peristiwa adi kodrati.

Pada bulan Oktober 1997, Mgr. Ratko Peric, Uskup Mostar yang baru, mengeluarkan pendapat resminya tentang penampakan Maria di Medjugorje. Menurutnya penampakan di Medjugorje tidak terbukti sebagai gejala adi kodrati. Mgr. Ratko tidak melarang orang bepergian ke Medjugorje namun melarang pelbagai aktivitas resmi yang mendukung peristiwa tersebut sebagai otentik. Lebih jauh, Mgr. Ratko melarang orang menulis tentang penampakan Maria yang tidak diakuinya itu.

Paus Yohanes Paulus II yang dikenal mempunyai devosi kuat terhadap Bunda Maria,  pernah dikabarkan mengakui adanya peristiwa penampakan Maria di Medjugorje.

Kardinal Ratzinger (kini Paus Benediktus XVI) membantah berita tersebut. Bantahannya disampaikan secara tertulis pada bulan Juli 1998.

Banyak orang mempunyai devosi kuat terhadap Bunda Maria, termasuk mengadakan ziarah ke tempat-tempat yang diakui mempunyai kaitan dengan Maria. Harus diakui bahwa devosi terhadap Maria mempunyai banyak dampak positif. Namun, bila tidak hati-hati, semangat yang berlebihan bisa membawa dampak negatif juga.

Tentang hal ini Glen Lewandowski OSC, mantan dosen STFT Fajar Timur, Abepura, memberi catatan: “Selalu ada bahaya bahwa orang terlalu menempatkan Maria pada tempat yang sentral sehingga seolah-olah lebih penting daripada Tuhan Yesus atau bahkan Tuhan Allah sendiri”, paparnya. Lebih lanjut, Glen juga mengingatkan bahwa orang sering mempunyai kecenderungan mengejar hal-hal yang sensasional seperti penyembuhan dramatis daripada menekuni iman sehari-hari yang biasa.

Apakah penampakan Maria di Medjugorje akan mendapat pengakuan Gereja? Nampaknya, ada pengakuan atau tidak, ada penampakan atau tidak, Bunda Maria tetap mempunyai tempat khusus di hati banyak orang beriman!

Heri Kartono. (Dimuat di HIDUP edisi Juli 2006? Foto: dari dr.Irene)