Friday, October 31, 2008

Vera Teulings


MEMBERI SECERCAH CAHAYA

“Orang sering menganggap saya sudah tua, padahal usia saya baru 30 tahun!”, ujar Vera berseloroh. Vera Teulings, wanita asal Belanda ini sudah tidak muda lagi. Tahun ini usianya 86 tahun. Namun, seperti diakuinya sendiri, ia memang berjiwa muda. Pensiunan dosen psikologi ini setiap tahun masih senang berkeliling ke luar negeri. Dengan uang pensiun yang dihematnya, ia bisa melancong beberapa kali ke Italia, Mesir bahkan juga ke Indonesia. “Saya pernah menjelajah dari Menado sampai ke Bandung”, tutur Vera, saat ditemui di Roma (29/10/08).

Di luar hobinya melancong, Vera aktif sebagai anggota ACAT (Action by Christians Against Torture) suatu gerakan kristiani menentang penyiksaan, khususnya di dalam penjara. ACAT diakui serta didukung penuh oleh Amnesty International. Salah satu kegiatan Vera yang dilakukannya secara rutin adalah berkorespondensi dengan 10 terpidana mati yang tersebar di AS, Mesir, Thailand dan Zambia. “Orang terpidana mati biasanya merasa terbuang dan tak ada yang memperhatikan. Karenanya, korespondensi dengan orang luar, bagi mereka sungguh amat berarti”, ujar Vera sungguh-sungguh. Vera mengaku bahwa surat-menyurat yang ia lakukan bukanlah surat basa-basi melainkan sebuah sharing mendalam. Kemampuannya dalam psikologi amat membantunya mengerti orang dalam pelbagai situasi.

Saat Vera melancong ke Mesir, ia menyempatkan diri mengunjungi empat sahabat penanya di dalam penjara. “Mereka amat terharu dan menghargai kunjungan maupun perhatianku”, kenang Vera. Pertemuan langsung ini membuat korespondensi sesudahnya makin sering dan lebih terbuka.

Vera Teulings masih terus berbuat kebaikan di usianya yang senja. Saat ditanya apa yang membuatnya terdorong memperhatikan para terpidana mati, ia berkata: “Apa yang saya lakukan hanyalah memberi secercah cahaya bagi mereka yang berada dalam kesepian dan kegelapan”, jawab wanita yang gemar membuka internet ini.

Heri Kartono,OSC (dimuat di majalah HIDUP, edisi 18/01/09).

 

Sinode Para Uskup 5-26 Okt 2008


PENTINGNYA TRIPLE DIALOG

Topik Sinode kali ini adalah tentang Firman Tuhan. Berkaitan dengan topik tersebut, lebih dari separuh peserta Sinode diberi kesempatan untuk menyampaikan paparan singkat. Salah satu peserta yang mendapat kesempatan tersebut adalah Mgr. Ign. Suharyo Pr dari Indonesia. Mewartakan Sabda Allah, menurutnya harus sesuai dengan situasi setempat, mempertimbangkan konteks yang ada. Dalam kaitan itu, Uskup Semarang ini menekankan pentingnya Triple Dialog, yaitu dialog dengan agama-agama lain, dialog dengan budaya dan dialog dengan kaum miskin.

Negara-negara di Asia, termasuk Indonesia, amat diwarnai tiga realitas tersebut, yaitu kehadiran agama besar lain seperti Islam untuk Indonesia; adanya beragam budaya serta kemiskinan. Bila gereja ingin berhasil dalam pewartaan Firman Tuhan, gereja harus berhubungan dan hidup dengan realitas tersebut. Dengan kata lain, ketiga realitas ini musti berperan dalam membangun jati diri gereja di  Indonesia.

Dalam penjelasannya kepada HIDUP, Mgr. Suharyo mengakui bahwa realitas gereja sendiri amat beragam di Indonesia. Gereja di Flores jelas berbeda dengan gereja di Jakarta. Karenanya, bisa saja penekanan dialog di wilayah gereja yang satu berbeda dengan di gereja lainnya.

Tiga realitas kunci yang dipaparkan di atas, menurut Rm.Puspo SJ, sangat sentral dan penting untuk Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah menjadi perhatian lama untuk kontekstualisasi teologi di Asia. Puspo memberi contoh, seorang teolog Sri Lanka, Pater Aloysius Pieris, SJ dalam bukunya An Asian Theology of Liberation (1988) juga mengupas tentang hal ini. Masih menurut Puspo, Gereja di Indonesia amat menyadari pentingnya tiga hal yang dipaparkan Mgr. Suharyo. “Arah dan haluan pastoral Gereja di Indonesia sudah memperhatikan realitas kemiskinan, keberagaman agama serta budaya dengan segala permasalahannya. Semua itu perlu untuk terus ditingkatkan menjadi kesadaran menggereja yang makin konkrit”, ujar imam Jesuit yang sedang studi di Roma ini.

Pastor Agus Rachmat OSC, dosen Filsafat Universitas Parahyangan Bandung, saat dihubungi lewat e-mail memberi catatan tentang dialog. Menurutnya, dialog bukanlah sekedar demi mempertebal simpul sambung rasa, simpati serta solidaritas, melainkan harus memperluas wawasan iman kita. Selain itu, dialog mustinya dapat memperkaya tradisi spiritual kristiani. “Prinsip dialogis sebenarnya merupakan penerapan dari semangat aggiornamento (keterbukaan) serta ecclesia semper reformanda (gereja yang selalu diperbaharui) yang menjiwai Konsili Vatikan II”, tegas Agus.

Pentingnya dialog dengan agama-agama serta budaya lain mendapat perhatian besar dalam sinode para uskup. Pada sidang hari Kamis (16/10/08) para Bapak Sinode berharap agar umat Kristiani berperan aktif dalam kehidupan masyarakat. Umat Kristiani, khususnya di wilayah Afrika dan Asia Pasifik diminta untuk tidak ragu mengambil nilai-nilai positif dari agama setempat. Kendati demikian, Sinode juga mengingatkan adanya bahaya synkretisme, sesuatu yang kerap disuarakan juga oleh Paus Benediktus XVI dalam beberapa kesempatan yang berbeda.

Khusus tentang agama Islam, Sinode mencatat adanya beberapa kesamaan titik pijak yang penting seperti penolakan terhadap sekularisme, liberalisme, pembelaan atas hak hidup tiap-tiap manusia serta peneguhan atas pentingnya peran sosial agama. Sinode menegaskan perlunya suatu dialog yang jujur dan terbuka.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008)

 

Thursday, October 30, 2008

Sinode Uskup XII


PESAN AKHIR DAN RABBI COHEN

Suatu Sinode biasanya merumuskan suatu pesan akhir singkat, semacam kesimpulan dari pertemuan tiga minggu ini. Sebuah tim bertugas membuat pesan akhir tersebut. Menurut sebuah sumber, orang paling berperan dalam penulisan pesan akhir kali ini adalah Uskup Gianfranco Ravasi, seorang ahli Kitab Suci, berpengalaman mengajar 40 tahun.

Empat Gagasan Pokok

Ada 4 gagasan pokok pesan akhir Sinode yang disampaikan lewat sebuah gambaran. Keempat gagasan pokok tersebut adalah: Suara, Wajah, Rumah serta Jalan Sabda. Berikut adalah penjelasan singkatnya.

Suara Sabda: Adalah Suara Illahi yang menjadi asal mula terciptanya alam semesta. Suara ini pula yang merasuk ke dalam sejarah, sejarah yang diwarnai dosa manusia, penderitaan serta kematian. Suara Illahi dapat kita temukan dalam Kitab Suci yang kita baca sekarang dengan tuntutan Roh Kudus.

Wajah Sabda adalah Yesus Kristus, putera Allah yang hidup dalam sejarah umat manusia. Adalah Yesus Kristus yang mengungkapkan kepenuhan arti Kitab Suci. Kristianitas adalah agama yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus yang menampilkan Allah Bapa.

Rumah Sabda. Yang dimaksud dengan Rumah Sabda adalah Gereja. Ada 4 pilar penting yang menopang gereja, sebagaimana dijelaskan St. Lukas: pertama adalah Pengajaran.  Dengan kata lain, membaca dan mengerti Kitab Suci serta mewartakannya kepada semua orang. Kedua, Memecahkan Roti atau ekaristi yang merupakan sumber serta puncak kehidupan dan missi gereja. Umat Allah diundang untuk menikmati santapan rohani lewat liturgy Sabda dan komuni. Ketiga adalah Doa. Bacaan Kitab Suci yang mengandung doa mengantar kita pada meditasi, doa dan kontemplasi. Pada gilirannya ini akan mempertemukan kita dengan Kristus, Sang Sabda yang hidup. Keempat, Ikatan Persaudaraan. Orang Kristiani tidak cukup hanya menjadi pendengar Sabda namun sekaligus pelaksana Sabda.

Gambaran terakhir adalah Jalan Sabda. Sabda Tuha harus menemukan jalan untuk sampai ke dunia, di tengah-tengah keluarga, sekolah, budaya. Pada masa ini ada pelbagai jalan Sabda, termasuk di dalamnya lewat komunikasi elektronik, televisual dan segala jenis komunikasi lainnya. Sabda Allah perlu jalan yang tepat untuk sampai pada kita semua. Itulah rangkuman pesan akhir yang disampaikan Sinode para Uskup kepada kita semua.

Rabbi Cohen dan Kontroversi Paus Pius XII

Ada beberapa momentum dalam Sinode Para Uskup ke-12 yang mendapat perhatian luas Media Massa. Salah satunya adalah kehadiran Rabbi Shear-Yasyuv Cohen (80), pemimpin Rabbi dari Haifa, Israel. Ini merupakan kehadiran pertama seorang pemimpin Yahudi dalam Sinode para uskup di Vatikan. Rabbi Shear-Yasyuv Cohen yang hadir pada hari pertama Sinode berbicara tentang sejarah panjang, keras dan menyakitkan hubungan antara Yahudi dengan Katolik. Rabbi menyebutnya sebagai ‘sejarah penuh darah dan air mata’.

 Pada kesempatan tersebut Rabbi Cohen menyatakan rasa syukur yang tulus atas undangan Sri Paus untuk hadir dalam pertemuan para pemimpin gereja Katolik dunia. Ia menyebut kehadirannya sebagai tanda ‘harapan serta pesan kasih’. Ia juga menyinggung usaha untuk membina relasi yang sudah dimulai sejak Paus Yohanes XXIII dan mencapai puncaknya pada Paus Yohanes Paulus II.

Di samping itu, Rabbi Shear-Yasyuv Cohen juga menyinggung peranan pemimpin agama yang kurang nyata di masa perang, saat orang Yahudi dianiaya dan dibantai secara keji pada jaman Nazi. Menurutnya, Paus Pius XII yang bertahta dari 1939-1958 seharusnya berbuat lebih banyak untuk menolong orang-orang Yahudi dari pembantaian.

Kepada Reuters (06/10/08), Rabbi Shear-Yasyuv Cohen mengatakan bahwa dia tak akan datang seandainya tahu bahwa Sinode para uskup ini dikaitkan dengan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII. (Tanggal 9 Oktober 2008 dirayakan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII di Basilika Santo Petrus, Vatikan). “Kami merasa, seharusnya mendiang Paus Pius XII berbicara lebih lantang daripada yang ia lakukan”, ujarnya. Masih menurut Rabbi Cohen, orang Yahudi tak bisa melupakan dan memaafkan diamnya Paus Pius XII. Pernyataan Rabbi Cohen ini mendapat pemberitaan luas di Media Massa.

Juru bicara Vatikan, Tarcisio Bertone menyanggah tudingan bahwa Paus Pius XII tidak membela kaum Yahudi di masa perang. Menurutnya, di Roma saja atas arahan Paus Pius XII, ribuan orang Yahudi disembunyikan dan dilindungi di dalam 155 biara yang tersebar di kota Roma. (Associated Press, 07/10/08).

Sementara itu Surat Kabar Vatikan, Osservatore Romano menyebut Paus Pius XII sebagai ‘manusia damai’ yang telah melakukan yang terbaik pada masa yang penuh kekerasan. Sumber Vatikan, sebagaimana dikutip Reuters (08/10/08), mengatakan bahwa Paus Pius XII bekerja di belakang layar untuk membantu kaum Yahudi. Alasannya, bila  Paus melakukan intervensi secara terang-terangan, situasi akan makin memburuk. Banyak buku telah ditulis tentang masa yang gelap itu. Sebagian besar sepakat bahwa situasi akan makin buruk bagi orang Yahudi seandainya saat itu Paus berbicara keras dan terbuka menentang Hitler.

Dibawah Paus Yohanes Paulus II, sejak 2 September 2000 telah dimulai proses kanonisasi Paus Pius XII. Banyak orang Yahudi, sebagaimana diwakili Rabbi Cohen, tidak menyukai peristiwa ini namun proses kanonisasi nampaknya akan tetap berjalan terus.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 02 Nopember 2008).

Wednesday, October 29, 2008

Lourdes



TEMPAT ZIARAH UMAT KATOLIK

Lourdes semula adalah kampung kecil di sebuah kaki bukit, terletak di wilayah Pyrenees, barat daya Perancis. Luas kota ini 37 km2. Sejak terjadinya penampakan Maria kepada Bernadette Soubirous (1858) Lourdes menjadi salah satu tempat peziarahan utama bagi umat Katolik. Kini, dengan penduduk hanya 15.000, Lourdes mampu menampung 5 juta peziarah setiap musimnya. Dengan memiliki 270 hotel, Lourdes menjadi kota yang memiliki hotel terbanyak kedua sesudah Paris. Tahun 2008 ini, saat merayakan 150 tahun penampakan Bunda Maria, Lourdes kedatangan lebih banyak turis lagi dari pelbagai penjuru dunia.

Kota Lourdes berada pada ketinggian 420 m. Dari arah selatan, mengalir sungai Gave de Pau melewati kota ini. Salah satu anak sungai Gave de Pau melintasi pinggiran Grotto (Gua), tempat peziarahan.

Lourdes banyak dikunjungi peziarah terutama mulai bulan Maret hingga Oktober (saat cuaca tergolong nyaman, tidak terlalu dingin!). Mata air yang ada di Grotto dipercaya memiliki daya penyembuhan. Banyak orang datang karena mengharapkan suatu mujijat, terutama berkaitan dengan penyembuhan. Padahal, peziarahan pertama-tama bukanlah demi suatu mujijat.

Sejak Lourdes dinyatakan sebagai tempat peziarahan, hingga kini tempat ini telah didatangi sekitar 200 juta orang! Gereja Katolik sendiri yang cukup hati-hati dalam menyatakan adanya suatu mujijat, mengakui secara resmi bahwa telah terjadi 67 mujijat penyembuhan di Lourdes.

Sebagai kota yang didatangi begitu banyak pengunjung, Lourdes yang kecil ini penuh dengan pelbagai toko souvenir, khususnya yang berkaitan dengan benda-benda rohani. Tidak semua pengunjung suka adanya suasana komersialisasi ini. Untunglah di sekitar tempat ziarah, orang dilarang berjualan.

Di Lourdes, anda bisa berdoa atau berendam di sumber air dekat grotto. Namun, jangan lewatkan acara penting dan menarik yaitu prosesi lilin dan sakramen maha kudus. Oya, satu lagi informasi yang mungkin perlu diketahui. Di Lourdes ada banyak kelompok-kelompok sukarela yang siap membantu, khususnya orang sakit. Salah satu kelompok yang terkenal adalah Hospitalité Notre-Dame de Lourdes. Selamat berziarah!

Heri Kartono, OSC (ditulis untuk peserta ziarah RS. St. Boromeus Bandung).

Monday, October 27, 2008

Sinode Para Uskup


MEMBANGKITKAN GAIRAH BARU ATAS KITAB SUCI

Sinode para Uskup yang berlangsung selama tiga minggu diakhiri dengan Misa Agung dipimpin oleh Paus Benediktus XVI (26/10/08). Dalam kotbahnya, Paus antara lain berharap agar para Uskup Cina daratan yang dilarang hadir oleh pemerintah Komunis Cina tetap bertekun dalam kesulitan. Pada kesempatan yang sama Paus mengumumkan rencana lawatannya ke Afrika bulan Maret 2009.

Sinode para Uskup berlangsung sejak 5 – 26 Oktober 2008.  Ini adalah Sinode biasa Para uskup yang ke XII. Sinode Para uskup adalah lembaga yang didirikan oleh Paus Paulus VI pada 15 September 1965. Hal ini merupakan jawaban atas keinginan para bapak Konsili Vatikan II yang menghendaki mempertahankan semangat positif yang dialami selama Konsili. Sinode barasal dari dua kata Yunani yang berarti berkumpul bersama. Sinode merupakan pertemuan religius dimana para uskup dari seluruh dunia berkumpul bersama Bapa Suci. Wakil Indonesia dalam Sinode ini adalah Mgr. Ign. Suharyo Pr dan Mgr. A.B. Sinaga OFMCap.

Sinode  yang digelar dengan topik The Word of God in the Life and Mission of the Church (Sabda Allah dalam Kehidupan dan Misi Gereja) ini dihadiri 253 Uskup, Uskup Agung dan Kardinal dari seluruh penjuru dunia. Ada pula beberapa peserta yang bukan Uskup, seperti Mgr. Dr. Glen Lewandowski OSC. Ia merupakan salah satu perwakilan pimpinan tarekat religius. Di samping itu, ada juga sejumlah tokoh yang diundang sebagai pendengar. Beberapa tokoh ternama seperti Bruder Alois dari Taize dan Enzo Bianchi, pimpinan komunitas Bose hadir sebagai undangan khusus. Untuk pertama kalinya, Sinode ini dihadiri juga oleh perwakilan dari agama lain.

Sasaran sinode, seperti ditulis John Allen Jr, adalah membangkitkan kecintaan/  gairah baru atas Kitab Suci. Pada saat yang sama Sinode ingin mendorong umat Katolik untuk membaca KS dalam tradisi gereja yang hidup. Dengan demikian, diharapkan kita dapat berpegang pada iman dan akal sekaligus. (The National Catholic Reporter, 17 Oktober 2008).

Kesepakatan dan Ketegangan

Dalam Sinode ini ada banyak hal yang menjadi kesepakatan bersama. Beberapa di antaranya: Pertama, Sabda Tuhan dalam gereja Katolik  dimengerti lebih luas dari sekedar teks tertulis sebuah Kitab Suci. Sabda Tuhan pertama-tama mengacu pada sebuah pribadi Jesus Kristus.

Kedua, Kitab Suci harus dibaca dalam konteks gereja, tradisi, ajaran doktrin serta ibadat. Dengan kata lain, ada kaitan erat antara Injil dan liturgi, khususnya Misa.

Hal lain yang menjadi kesepakatan umum: Injil bukanlah sekedar sebuah literatur kuno. Karenanya Injil tak bisa ditafsirkan hanya dengan kacamata sejarah serta kritik literatur. Interpretasi Injil harus lebih mendalam, yaitu pada exegese theologis yang menghubungkan studi Kitab Suci dengan iman gereja serta perjuangan nyata manusia.

Dalam sinode juga muncul beberapa topik yang sempat menimbulkan ketegangan meski tidak sampai menjadi debat terbuka. Dua contoh topik yang menimbulkan ketegangan adalah topik Petugas Sabda Awam serta masalah Metode Kritis-historis sebagai cara untuk membaca serta mengerti Kitab Suci. Di beberapa tempat, dimana kehadiran seorang imam amat langka, maka umat melakukan Ibadat Sabda yang dipimpin seorang awam. Kenyataan ini memunculkan keprihatinan baik dari sisi teologis maupun praktis.  Apakah Ekaristi sebagai satu-satunya sumber dan puncak kehidupan Kristiani? Yang jelas, di beberapa daerah, umat tak akan pernah berkumpul bila harus menunggu perayaan Ekaristi. Ibadat Sabda adalah solusi dari situasi ini. Secara praktis, sejumlah Uskup khawatir bahwa mempromosikan pelayan sabda awam terlalu gencar, akan berakibat menurunnya minat kaum muda menjadi imam. 

Ketegangan yang lumayan tinggi terjadi antara kelompok yang menekankan eksegese kritis historis untuk mengerti Kitab Suci dengan tepat dan kubu yang lebih menekankan penafsiran rohani. Metode kritis-historis adalah suatu cara mengerti Kitab Suci dengan memanfaatkan hasil penyelidikan sejarah serta kritik literatur. Dengan cara ini Kitab Suci dapat dimengerti secara tepat baik dari sisi sejarah maupun sastra. Tidak semua orang sependapat dengan pendekatan ini. Thomas Rosica, sarjana Kitab Suci asal Kanada, memberi gambaran tentang hal ini. “Kami semua dilatih sebagai ahli bedah’, ujarnya. “Maksudnya, para ekseget (ahli Kitab Suci) belajar bagaimana memotong ayat-ayat dalam Kitab Suci secara persis dan mampu mengalisa artinya secara tepat. Yang sering dilupakan adalah, kami sedang membedah tubuh yang hidup, bukan sebuah mayat”, papar Rosica, penanggung jawab Press briefing Sinode berbahasa Inggris. 

Ketegangan dua kubu ini mengundang intervensi Paus Benediktus XVI, sesuatu yang amat jarang terjadi. Mgr. Dr.Glen Lewandowski OSC, salah satu peserta Sinode, menceriterakan tentang intervensi Paus tersebut. Menurutnya, Paus sambil mengutip dokumen Dei Verbum 12 menyatakan bahwa metode kritis historis adalah cocok untuk menafsirkan suatu teks dalam konteks asal mula sejarahnya. Sebab, bagaimanapun Kitab Suci memiliki dimensi sejarah dan manusiawi yang harus diketahui serta ditafsirkan. Dilain pihak, teks Kitab Suci memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar unsur sejarah dan manusiawi. Arti terdalam serta spiritual inilah yang kiranya perlu digali. Dengan kata lain, mengerti Kitab Suci secara akademik dan spiritual haruslah saling melengkapi. Yang jelas, intervensi Paus berhasil meredakan ketegangan yang sempat terjadi.

Mengagumkan, Memperkaya

Dalam Sinode ini banyak orang mendapat kesempatan untuk berbicara. Dari 253 peserta Sinode, sekitar 220 memberi paparan, masing-masing selama 5 menit. Sesudah waktu lima menit, microphone otomatis akan berhenti. Sistem ini berlaku bagi semua orang dan berjalan efektif. Banyak peserta merasa kagum atas cara kerja panitia. Hebatnya, semua paparan yang disampaikan pada pagi hari, siang harinya sudah langsung tersedia, tercetak rapi bagi semua peserta. “Pendapat Max Weber bahwa Vatikan merupakan salah satu birokrasi modern yang paling efisien, rupanya masih tetap berlaku”, ujar seorang peserta penuh kekaguman. Selain rasa kagum, ada cukup banyak peserta yang menyimpan kekecewaan. Dokumen akhir dan resmi dikeluarkan Vatikan dalam bahasa Latin. Beberapa peserta, termasuk Glen Lewandowski, kecewa dan mengeluh, mengingat bahasa Latin tidak banyak dimengerti lagi.

Seorang Uskup dari Zambia, Mgr. George Cosmas Zumair Lungu saat ditanya kesannya mengikuti Sinode, mengaku amat tertarik dan senang. “Sangat menarik mengamati beragam pandangan para pemimpin gereja dari pelbagai penjuru dunia. Ada perbedaan cara pandang di antara para peserta, khususnya antara peserta dari negara maju seperti Eropa Barat dan peserta dari negara berkembang, seperti negara-negara di Afrika. Sinode ini memperkaya wawasan saya”, ujarnya dalam bahasa Inggris.

Mgr. Ign. Suharyo mempunyai kesan tersendiri tentang Sinode ini. Ia amat tertarik pada proses sinodalitas yang terjadi. “Orang dari latar belakang budaya serta bahasa yang berbeda dapat bersama-sama mencari jalan terbaik demi kepentingan gereja. Panitia dipilih oleh sidang dan usul-usul ditetapkan melalui voting. Sungguh suatu dinamika yang menarik!”, ungkap Uskup yang berpembawaan tenang ini. Lebih lanjut, mantan Dosen Kitab Suci ini berharap bahwa para peserta Sinode dapat membawa serta menerapkan hasil sinode sampai ke akar rumput di tempatnya masing-masing. “Ini PR yang tidak mudah!”, ujar Suharyo.

Sinode para uskup yang berlangsung selama tiga minggu diselingi beberapa acara ringan. Salah satunya, Paus menjamu peserta Sinode dengan pertunjukan Orkes Simphoni dari Vienna di bawah asuhan Maestro Christoph Eschenbach. Orkes lengkap yang menyajikan Symphony keenam gubahan Anton Bruchner ini diselenggarakan di Basilika Santo Paulus di luar tembok Roma (13/10/08).

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008).

 

 

Sunday, October 5, 2008

Agustina Prasetyo


SULITNYA MENGERTI JALAN TUHAN

Sejak kecil, ia mengalami kerasnya kehidupan. Ketika hidup mulai membaik, ia kembali ditimpa kemalangan yang amat pahit. Suaminya meninggal dan ia harus berjuang lagi sendirian dan dalam himpitan ekonomi yang menyesakkan. Namun, ia tak pernah menyerah pada nasib.

Pada suatu hari minggu seorang kawan mengajaknya pergi ke gereja. Ketika ayahnya tahu bahwa ia pergi ke gereja, ayah begitu marah. “Ayah menghukum aku tidak boleh keluar dari rumah pada hari minggu”, kenang Agustina Prasetyo. Peristiwa tersebut terjadi saat ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tina adalah anak tunggal. Ayahnya keturunan Tionghoa, tidak memiliki agama. Sementara ibunya, keturunan Jawa, hanya mengenal ajaran-ajaran kejawen. 

Kendati orang tua melarangnya pergi ke gereja, Tina tetap mengikuti pelajaran agama katolik dengan diam-diam di sekolahnya. Ia memang mengenal dan tertarik pada agama katolik lewat sekolahnya. Saat lulus SMP, Tina masih belum mendapat kesempatan juga untuk dibaptis. Di SMA, ia meneruskan pelajaran agama dengan tekun. Ia berharap, suatu saat ada jalan yang memungkinkannya untuk dibaptis. Jalan itu terbuka lebar ketika ayahnya menderita penyakit kulit yang aneh. Penyakit itu berawal dari borok kecil di kepala kemudian merambah ke seluruh tubuh. Pada saat ayah dirawat di Rumah Sakit, sekelompok pendoa kristiani datang dan mendoakannya. Rupanya ayah begitu tersentuh oleh doa tersebut. Sejak itu, ayah tidak lagi melarangnya pergi ke Gereja. Tina kemudian dibaptis masuk Katolik, setelah lebih dahulu ibunya dibaptis. Ayah juga pada akhirnya dibaptis masuk katolik.

Bermimpi Melihat Dunia

Salah satu kemampuan Tina yang menonjol sejak di bangku SMP adalah bahasa Inggris. Dengan kemampuan bahasanya itu, ia banyak membaca kisah-kisah dari luar negeri. “Sejak itu aku bermimpi untuk bisa menjelajah ke negeri lain!”, papar Tina. Baginya, keinginan untuk pergi ke luar negeri adalah benar-benar bagaikan sebuah mimpi. Bagaimana tidak? Karena penyakit ayah yang tak kunjung sembuh, ayah tak mampu lagi bekerja. Akibatnya, kondisi ekonomi keluarga menjadi berantakan. “Jangankan untuk pergi ke luar negeri, untuk hidup sehari-haripun sudah sulit, bahkan rumahpun kami tak punya”, kenang Tina. 

“Keadaan keuangan begitu terpuruk, tak ada biaya untuk meneruskan sekolah. Ibu membuka warung makan kecil-kecilan. Aku sendiri mencari uang dengan cara memberi kursus bahasa Inggris pada adik-adik kelasku. Itu tidak cukup. Untunglah para tanteku bermurah hati membantu pembiayaan sekolahku hingga tamat SMA”, lanjut penggemar traveling ini.

Setamat SMA, Tina melanjutkan kuliah di sebuah Akademi Bahasa Asing di kotanya, Semarang. Hal itu terjadi atas bantuan salah seorang paman-nya. Pada saat kuliah itulah, suatu hari Tina melihat pengumuman tentang program pertukaran pemuda Indonesia-Kanada. Dengan polos dan tanpa persiapan apapun, Tina mengikuti tes seleksi. Ternyata ia lulus dan berhak mewakili Jawa Tengah pergi ke Kanada. Peristiwa tersebut amat bersejarah dalam perjalanan hidupnya. “Bagaimana tidak? Itulah pertama kali aku keluar dari kota Semarang, pertama kali naik Kereta Api, pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta dan pertama kali ke Luar Negeri!”, kisah Tina dengan senyum khasnya.

Kepergiannya ke Kanada ternyata membawa pelbagai keberuntungan sesudahnya. Hidupnya seakan mengalir amat mulus, serba menyenangkan. Sepulang dari Kanada, Tina mendapat kesempatan lagi pergi ke luar negeri. Kali ini ke Australia melalui program Lions Club. Sesudah itu, ia masih sekali lagi ke Kanada sebagai Project Leader. Yang paling membahagiakan adalah saat ia bertemu seorang pemuda bernama Aswan Prasetyo yang kemudian menjadi suaminya. Tina amat beruntung memiliki suami yang setia, jujur dan lembut hati. Di luar kesibukannya, Tina masih sempat kuliah lagi, yaitu di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata hingga tamat.

Cobaan yang Menyesakkan

Roda keberuntungan nampaknya belum berpihak pada Tina selamanya. Tahun 1997 menjadi titik balik segalanya. Saat itu timbul krisis ekonomi. Kantor tempat suami bekerja terkena imbasnya. Banyak terjadi aksi demo di kantor yang memiliki lebih dari 10.000 karyawan tersebut. Situasi kerja yang tak menentu membuat Aswan Prasetyo, sang suami, mulai diliputi stres.  Kondisi tersebut rupanya mempengaruhi juga kesehatan fisiknya. 

Pada suatu sore, secara kebetulan Tina mengamati bahwa kuku tangan suaminya membiru. Menurut dokter, sang suami mengalami kekurangan oksigen dan harus segera mendapat perawatan. Aswan kemudian dirawat di RS. Telogorejo, Semarang. Seminggu di Rumah Sakit, tidak membawa perubahan apapun juga. Karenanya diputuskan untuk membawa Aswan pulang, dirawat di rumah.

Suatu hari, sebuah kabar datang dari Jakarta. Ibu Aswan dirawat di Rumah Sakit Mitra dan kondisinya amat parah, tinggal menghitung hari saja. Mendengar ini, Aswan kendati sakit, memaksa diri untuk pergi ke Jakarta. Setibanya di Jakarta, Aswan bukannya menengok ibu melainkan dilarikan ke RS di Pondok Indah karena kondisinya yang melemah. Beberapa hari kemudian Aswan dipindahkan ke RS Harapan Kita.

Kakak Aswan yang berprofesi dokter, berusaha mengetahui persis penyakit Aswan. Ia mengirimkan data-data penyakit Aswan ke Singapura. Ternyata, menurut analisa dokter di Singapura, Aswan menderita penyakit kanker paru-paru. Padahal, selama ini yang dideteksi adalah jantung! Pemberitahuan tentang penyakit Aswan datangnya terlambat. Kondisi Aswan kala itu sudah amat lemah. Aswan masih dipindahkan sekali lagi ke Rumah Sakit lain, yaitu RS. Pelni. Saat itu juga Aswan langsung masuk ruang ICU. Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Aswan meninggal dunia di ruang ICU. Ia pergi hanya selang beberapa jam setelah ibunya juga meninggal di tempat terpisah. Tina amat terpukul menyaksikan Aswan, suaminya pergi untuk selamanya. “Aku diam…aku marah…aku kecewa…karena Aswan lebih mencintai maminya daripada aku…dia pergi bersama maminya pada hari yang sama!”, papar Tina tentang perasaannya saat itu.

Bahtera rumah tangga yang telah dibangun bersama, kini hancur sudah. “Aku telah memberikan separuh dari jiwa ragaku kepada Aswan, suamiku. Aku nyaris tak memiliki tenaga lagi untuk mengayuh serpihan bahtera yang tersisa. Aku harus berjuang keras, berpikir realistis terhadap situasi baru yang harus aku hadapi”, ujar Tina terbata-bata. Dalam keputus asaan, Tina menggugat Tuhan. “Apa salah dan dosaku sehingga aku harus menanggung cobaan seberat ini?”. Betapa sulitnya mengerti jalan Tuhan bagi Tina saat itu.

Kemarahan kepada Tuhan atas nasib hidup yang dideritanya, mulai luluh saat Tina mengikuti retret di pertapaan Karmel Malang. Lewat permenungan yang mendalam, Tina kembali diyakinkan bahwa Tuhan Yesus tak akan pernah meninggalkannya sendirian.

Banyak Jalan ke Roma

Tidak enak menjadi seorang janda muda. Waktu itu usia Tina 34 tahun. Ia berusaha menjaga citra diri serta membatasi lingkungan pergaulan. Nyaris ia hanya beranjak dari rumah, kantor dan sekolah anaknya, Nathalie Prasetyo. Kendati demikian, tetap saja selalu ada orang yang usil, berniat mengganggu kehidupannya.

Saudara serta sahabat-sahabat Tina menganjurkan agar ia menikah lagi. Kesempatan itu datang saat tanpa sengaja ia berkenalan dengan Davide Magini, seorang pria Italia. Perkenalan itu sendiri terjadi lewat internet. “Saat melihat fotonya di internet, aku tahu, dia adalah jodohku”, tutur Tina. Hubungannya dengan Davide sebenarnya nyaris mustahil. Selain dipisahkan oleh jarak,  perbedaan budaya serta latar belakang yang menyolok, kesulitan paling besar adalah masalah komunikasi. Davide hanya mengerti bahasa Italia sementara Tina bahasa Inggris. Meski demikian, segala kesulitan itu pada akhirnya menjadi suatu batu ujian yang kokoh sebelum keduanya sepakat untuk menikah (29/12/2000). 

Sesudah menikah, Tina menetap di sebuah kota kecil, tidak jauh dari Roma. Kebahagiaan Tina menjadi lengkap dengan lahirnya Nicolas, buah cintanya dengan Davide. Kesulitan hidup tetap muncul di sana-sini. Meski demikian, Tina kini merasa lebih nyaman. Ia yakin bahwa Tuhan tak meninggalkannya, apalagi kini ia memiliki Davide yang senantiasa mendampinginya.

Heri Kartono OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 2 Nopember 2008).