Monday, December 14, 2009

Maria Ch. Pudji Suhartini



SEMPAT DICEMOOH DAN DICURIGAI

Menjadi saksi Kristus tidak harus pergi ke ujung dunia. Kita dapat bersaksi di lingkungan sekitar kita. Itulah yang dilakukan Maria Ch. Pudji Suhartini (55). Niat baiknya untuk membantu anak-anak terlantar tetap ia jalankan kendati sempat dicemooh, dicurigai bahkan dimata-matai.

Setiap kali ia keluar rumah, ia melihat banyak anak-anak berkeliaran di jalanan tak jauh dari tempat kediamannya. Beberapa di antara mereka tergolong masih amat kecil. “Jadilah terang dunia. Jadilah garam dunia dimanapun kamu berada”, begitu teriang-ngiang kotbah pastor di parokinya saat Pudji melihat kumpulan anak-anak jalanan tersebut. Sebagai seorang kristiani, sekaligus pendidik, hatinya tergerak untuk berbuat sesuatu.

Berawal dari Permen Coklat

Suatu sore, berbekal sekantung permen coklat, Pudji seorang diri mendekati anak-anak jalanan di perempatan jalan Terusan Pasteur, Bandung. Permen coklat yang dibawanya itu ia tawarkan pada kawanan anak-anak yang sedang bergerombol. Dalam waktu singkat, habislah permen-permen di tangannya. Setelah menerima permen, anak-anak itupun langsung berlalu. Beberapa di antara mereka sempat mengucapkan terima kasih. Keesokan harinya, Pudji melakukan hal yang sama. Anak-anak datang dan menerima permen namun segera pergi meninggalkannya.

Pada hari ketiga, sesudah membagi-bagi permen, Pudji mencoba berdialog dengan mereka. Ada satu-dua anak yang mau diajak berbicara. Mungkin mereka mengharapkan pemberian lebih darinya. Sesudah beberapa saat, Pudji menawarkan diri untuk memberi bimbingan belajar. Tak lupa, Pudji menjelaskan bahwa dirinya adalah seorang guru. Rupanya ada beberapa anak yang tertarik dan bersedia mendapat pelajaran darinya.

Di ujung perempatan jalan, ada sebuah “gardu polisi” yang sedang dibangun. Bagian dasar gardu tersebut telah selesai disemen. Di tempat inilah pelajaran membaca, menulis dan berhitung dimulai (Januari 2004). Awalnya hanya sebagian kecil anak yang mengikutinya. Hari-hari selanjutnya semakin banyak anak yang ikut bergabung. Untuk menciptakan suasana gembira, sekali-kali Pudji mengajak ‘anak asuhnya’ menyanyikan lagu bersama-sama.

Lokasi Pudji mengajar, hanya beberapa ratus meter dengan kampus Universitas Kristen Maranatha. Kebetulan ada sejumlah mahasiswa Maranatha yang sedang membutuhkan penelitian anak jalanan untuk bahan skripsi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini kemudian bergabung membantu Pudji. Adanya para mahasiswa yang bersedia membantu makin memberi semangat Pudji sekaligus makin menghidupkan suasana. Tidak heran bahwa dari hari ke hari jumlah anak yang ikut bergabung makin banyak.

Beberapa anak memiliki semangat besar namun tak memiliki fasilitas. Buku dan alat tulispun mereka tak mampu membeli. Pudjipun tanpa pikir panjang merogoh koceknya untuk membantu mereka. Ketika jumlah anak yang ikut belajar makin besar, maka dibutuhkan dana yang lebih besar pula, terutama untuk alat tulis. Untunglah para mahasiswa Maranatha tergerak untuk ikut mencarikan dana. Pudji sendiri mendapat seorang sponsor yang bersedia membantu kegiatannya.

Dicemooh dan Dicurigai

Ketika gardu selesai dibangun dan mulai digunakan oleh polisi, maka Pudjipun kehilangan tempat mengajar. Kebetulan, pada saat yang sama, para mahasiswa Maranatha telah selesai juga dengan penelitian mereka. Adapun anak-anak sendiri masih bersemangat untuk mengikuti bimbingan. Melihat minat belajar anak-anak yang amat besar, Pudji akhirnya memutuskan menggunakan garasi di rumahnya sebagai tempat belajar (September 2005). Semula Euphrasius Budiyono, suami Pudji keberatan. Alasannya, kegiatan yang dilakukan istrinya dapat mengundang kecurigaan masyarakat sekitar. Maklumlah, Pudji sekeluarga beragama Katolik sementara hampir seluruh anak beragama Islam. Namun, melihat keteguhan hati sang istri, akhirnya Budiyonopun menyerah. Bahkan, setiap saat, Budiyono ikut membantu dengan mengeluarkan mobil dari garasi dan mengatur meja-kursi tempat bimbingan belajar anak-anak.

Sesudah kegiatan pengajaran berlangsung beberapa minggu, reaksipun mulai bermunculan. Warga Katolik sendiri umumnya merasa cemas dan tidak mendukung kegiatan Pudji. Bahkan, Pudji pernah difitnah dan dicemooh sebagai pahlawan kesiangan. “Saya sampai takut untuk ikut kegiatan di lingkungan sendiri”, ujar wanita kelahiran Yogyakarta ini sambil meneteskan air mata. Kegiatan Pudji sempat juga dicurigai oleh beberapa tokoh Islam. Pudji merasa selama pengajaran, selalu ada orang yang mondar-mandir di luar. “Nampaknya ada yang memata-matai kegiatan saya”, kenang Pudji. Kendati mendapat pelbagai reaksi negatif, Pudji tetap meneruskan kegiatannya. Ia amat bersyukur bahwa suami dan keempat anaknya mendukung aktivitasnya. Stefani, anak Pudji yang ketiga bahkan ikut membantu mengajar.

Anak-anak yang ikut pengajaran makin hari makin bertambah hingga mencapai 100 anak. Atas beberapa pertimbangan, Pudji akhirnya lebih memusatkan pada anak-anak usia dini, yaitu antara usia 2 hingga 6 tahun. Pudji tidak hanya mengajarkan calistung (baca-tulis dan berhitung) namun juga sopan santun dan tata krama pergaulan. Pudji merasa bersyukur bahwa anak-anak didiknya berubah menjadi santun, tidak lagi mengeluarkan kata-kata kasar dan tidak sedikit yang menjadi juara di sekolahnya.

Diakui Masyarakat

Adanya perubahan pada diri anak-anak dilihat juga oleh orang tua mereka. Tentu saja para orang tua menjadi gembira melihat anak-anak mereka menjadi pandai dalam pelajaran dan santun dalam pergaulan. “Saya sangat terharu ketika seorang tokoh masyarakat yang sebelumnya selalu menaruh curiga, akhirnya mengirim juga anaknya ikut bimbingan belajar”, papar Pudji dengan suara bergetar.

Pernah, pak Lurah bersama rombongan ibu-ibu PKK datang khusus menemui Pudji. Mereka menyatakan dukungannya sambil meminta Pudji untuk tetap melanjutkan bimbingan belajarnya. Pudji juga merasa gembira karena ada 5 wanita, semuanya beragama Islam, yang bersedia membantunya. Sebelumnya Pudji sempat dibantu muda-mudi Katolik dari paroki Pandu. Namun mereka tidak bertahan lama menghadapi tingkah anak-anak jalanan.

Untuk menyelenggarakan bimbingan belajar, diperlukan dana yang tidak sedikit. Biaya terutama dibutuhkan untuk membeli alat-alat tulis bagi anak-anak yang tidak mampu. Hal ini merisaukan hati Pudji. Penghasilannya sebagai Kepala TK Indriyasana tidaklah seberapa. Demikianpun tidak banyak donatur yang berminat membantu aktivitasnya. Suatu hari, dengan memberanikan diri, Pudji menemui pastor Agustinus Sudarno OSC, pastor parokinya. Pudji menceriterakan kegiatan yang dilakukannya sambil juga membeberkan kesulitan yang dihadapinya. Di luar dugaan, pastor paroki menaruh perhatian besar dan membantu sepenuhnya kegiatan Pudji. Sejak saat itu kegiatan menjadi makin teratur dan anak-anak yang tak mampu mendapat bantuan seperlunya.

Pada tanggal 3 Juli 2008, bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Pudji beserta anak asuhnya diundang Dinas Pendidikan ke Gubernuran. Pudji beserta anak-anak asuhnya diterima Dede Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Barat. Nampaknya Dede Yusuf amat terkesan atas kegiatan yang dilakukan Pudji. Bagi Pudji sendiri, undangan ke Gubernuran atas prakarsa Dinas Pendidikan ini merupakan pengakuan sekaligus penghargaan atas jerih payahnya selama ini.

Pudji memang patut bersyukur. Niat baiknya untuk membantu anak-anak terlantar tanpa membedakan agama, suku maupun status sosial akhirnya mendapat pengakuan. Maria Ch. Pudji Suhartini telah sungguh menjadi Terang dan Garam Dunia bagi masyarakat di mana ia tinggal.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 3 Januari 2010).

Sunday, December 13, 2009

Sani Suwanta





Berkat Terus Mengalir..

Sejak duduk di kelas I SMA, Irene Sani Sumawi telah bertaut hati dengan Josephat Suwanta Sinarya, teman karib kakaknya.

Setiap kali Suwanta mengunjungi kakaknya, Sani ikut menemuinya. Dari untaian perjumpaan itu, cinta pun bersemi di hati mereka. Saat itu Suwanta sudah menganut agama Katolik. Sementara Sani belum dibaptis.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya 14 Maret 1982, setelah Suwanta lulus sebagai seorang dokter dan Sani menamatkan studinya di IKIP Jurusan Bahasa Inggris, akhirnya mereka saling menerimakan Sakramen Perkawinan.

Seminggu sebelum menikah, Sani dibaptis menjadi Katolik. Kerinduannya menjadi pengikut Kristus pun akhirnya terwujud……….

Penuh Semangat

Berbekal ijazah IKIP, Sani bekerja sebagai guru bahasa Inggris di SMA St. Maria Cirebon. Dengan bersemangat, ia pun mengajar. Sementara sebagai dokter muda, sang suami bertugas di Ciwaringin, sebuah desa kecil sekitar 25 kilometer dari Kota Cirebon.

Sani pun ikut mendampingi suaminya. Mereka tinggal di sebuah rumah dinas yang serba sederhana. Waktu itu, Ciwaringin adalah sebuah desa yang lengang dan masih belum dialiri listrik. Penerangan di desa itu umumnya diperoleh dari petromaks, tak terkecuali rumah keluarga dokter Suwanta.

Setiap hari Sani harus pergi-pulang mengajar di Kota Cirebon. Meski aktivitasnya relatif padat, ia melakukannya dengan gembira. Ia bahagia bisa melebur di antara murid-muridnya.

Meski kesehariannya senantiasa sibuk, Sani tak kunjung putus merindukan kehadiran anak. Seiring waktu, kecemasan mulai menyergapnya karena tanda-tanda kehamilan tak kunjung datang. Padahal, usia perkawinan mereka sudah menginjak tahun ketiga.

Sesuai saran beberapa kerabatnya, dengan berat hati Sani berhenti mengajar. Ia berusaha untuk tidak kelelahan dan menjaga kesehatannya dengan seksama. Semua itu ia lakukan demi keinginannya memperoleh momongan.

Suwanta, sang suami, ikut berupaya secara maksimal. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan medis, akhirnya diketahui ada kekurangan pada Sani dan Suwanta. Mereka pun berobat ke pelbagai tempat, antara lain ke Surabaya dan Jakarta.

Sebuah tim dari Universitas Indonesia yang terdiri dari lima dokter dibentuk untuk membantu pasangan muda ini. Nyatanya, semua usaha yang mereka tempuh tidak membuahkan hasil sebagaimana mereka dambakan. Sani tetap tak kunjung mengandung.

Sani pun dirundung stres hingga ia mengidap penyakit asma. Ia sempat terpukul ketika mendengar seorang kerabatnya menyebut dirinya gabug (bahasa Cirebon, artinya mandul).

Syukurlah, meski tak mempunyai keturunan, Sani dan Suwanta tetap saling mencintai. Kendati demikian, sebagai suami-istri, ada saat-saat di mana mereka tidak sepaham. Pertengkaran pun tak terhindarkan. Pada saat-saat demikian, Sani sungguh merasa sendirian.

Dalam hati, ia sering berkata, “Jika aku memiliki anak, tentu aku dapat bermain-main dengan anakku dan tidak merasa sendirian seperti ini!” Keluh-kesah serta permohonan senantiasa ia lambungkan ke hadirat-Nya, terutama di tengah keheningan malam.

Yang terbaik

Sani bersyukur, keluarganya maupun keluarga sang suami tidak menuntut mereka harus memiliki keturunan. Sikap mereka itu melegakan batinnya. Perlahan-lahan Sani belajar menerima kenyataan bahwa perkawinannya memang tidak dikaruniai anak.

“Perkawinan tidak mutlak harus mempunyai keturunan. Tuhan memberi yang terbaik bagi kami,” begitu Sani kerap meyakinkan diri.

Tahun 1991, Sani bersama Suwanta mengikuti Seminar Hidup Baru dalam Roh. Melalui acara tersebut, mereka memperoleh kesegaran rohani. Sejak itu, perlahan-lahan Sani mulai melibatkan diri dalam aktivitas Gereja. Sani aktif di Stasi Jamblang dan di Paroki St. Joseph, Cirebon.

Nyatanya, dari hari ke hari, aktivitas Sani di lingkunagn Gereja semakin bertambah. Saat ini, ada beberapa kegiatan yang ia geluti secara rutin. Selama dua periode, ia dipercaya sebagai Koordinator Karismatik Paroki St. Joseph, Cirebon. Ia juga menjadi penanggung jawab toko paroki, aktif di seksi liturgi, menjadi penggerak Stasi Jamblang dan terlibat dalam sejumlah kegiatan insidental lainnya.

Karena Sani begitu aktif di lingkungan Gereja, suaminya pun berseloroh, “San, kamu aktif sekali di Gereja, mestinya kamu kos saja di Gereja!” Gelak tawa Sani pun pecah menanggapi komentar Suwanta.

Menemukan jawaban

Dari serangkaian permenungannya, Sani menemukan jawaban mengapa dirinya aktif di lingkungan Gereja. Pertama, ia merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu demi Gereja. Kedua, ia mendapat dukungan penuh dari sang suami. “Bagi saya, persetujuan dan dukungan suami penting sekali artinya,” ujar Sani dengan logat Cirebon yang kental.

Selain itu, ia mengaku aktif di gereja karena ingin sedikit membalas kasih Tuhan. Sani memang patut bersyukur kepada Tuhan. Karier suaminya sebagai dokter melesat. Saat ini, selain menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Waled Cirebon, Suwanta berhasil membangun sebuah rumah sakit pribadi bernama RS Sumber Waras di Ciwaringin. Sementara Sani mempunyai usaha apotik yang terbilang maju.

Dengan kian terlibat di lingkungan Gereja, Sani kian merasakan kebaikan Tuhan. Banyak hal tak terduga ia alami. Semisal, ketika ia menjadi Ketua Pembangunan Gereja Stasi Jamblang (2001-2002). Saat mengalami kesulitan dana, tiba-tiba muncul seorang bapak dari Jakarta yang menyumbang semen yang dibutuhkan.

Lewat mimpinya, bapak ini mendapat pesan untuk membantu pembangunan Gereja Stasi Jamblang. “Padahal, saya tidak tahu menahu di mana letak Stasi Jamblang,” ujar bapak yang murah hati itu. Beberapa kali kejadian semacam itu terjadi, membuat Sani terheran-heran sekaligus makin percaya bahwa Tuhan sungguh baik.

Sejak aktif di lingkungan Gereja, Sani merasa lebih tenang dan pasrah. “Dulu, kalau bepergian, saya tak bisa tenang karena terus memikirkan usaha saya. Sekarang saya dapat mempercayakan usaha saya kepada orang lain dan saya dapat bepergian dengan nyaman,” tutur wanita yang gemar melancong ke luar negeri ini.

Isu Miring

Tidak selamanya berkarya di lingkungan Gereja menyenangkan Sani. Ia pernah merasakan pengalaman getir, ketika dirinya difitnah menyalahgunakan dana Gereja. Peristiwa itu terjadi saat Sani sedang giat membangun Gereja Stasi Jamblang.

Pada saat bersamaan, Sani memang sedang membangun apotik dan rumah pribadi. Sementara insinyur yang membangun rumah Sani juga membantu pembangunan gereja. Kondisi ini sempat memunculkan isu miring dari sekelompok orang. “Saya dan suami saya merasa terkejut dan terpukul ketika fitnah itu sampai di telinga kami,” ujar Sani mengenang pengalaman pahitnya itu.

Pastor J. Widyasuhardjo OSC yang menjadi pastor parokinya saat itu, mengetahui bahwa isu tersebut sama sekali tidak benar. “Justru Ibu Sani bersama Pak Suwanta bekerja keras mencari dana. Bahkan, tak jarang mereka mengeluarkan dana dari kantong pribadi. Soalnya, paroki hanya memberi dana 10% saja dari anggaran keseluruhan. Sisanya dicari oleh panitia pembangunan,” tutur pastor yang kini bertugas di Paroki St Monika, Serpong, Tangerang ini.

Menurut Pastor Widya, Sani tergolong orang yang amat teliti di bidang keuangan. “Laporan keuangannya selalu rapih dan terinci sampai hal-hal kecil,” kenang pastor yang murah senyum ini. Pastor Widya menilai Sani sebagai sosok yang murah hati dan peduli pada kebutuhan Gereja.

“Pastor Blessing OSC, Penanggung Jawab Stasi Jamblang yang sudah sepuh, pernah diantar berobat mata ke Singapur, bahkan diajak berziarah ke Yerusalem atas biaya keluarga Ibu Sani,” tambah Pastor Widya.

Padre Pio

Di usia menjelang 50 tahun, Sani makin menyadari segala yang ia peroleh adalah anugerah Tuhan. Termasuk seisi keluarganya yang mengikuti jejaknya menjadi Katolik. “Yang terakhir menjadi Katolik adalah papi,” ujar wanita kelahiran Cirebon, 3 November 1957 ini terharu.

Belum lama ini, Sani bersama Suwanta berkunjung ke San Giovanni Rotondo Italia, tempat Padre Pio berkarya semasa hidupnya. Sebelumnya, mereka memang sangat terkesan pada kisah Padre Pio, imam Kapusin yang telah menyembuhkan banyak orang.

Dengan berjalannya waktu, Sani makin merasakan kebaikan Tuhan. Meski ia dan sang suami tak memperoleh keturunan, banyak berkat mengalir dalam hidupnya………

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 4 Maret 2007).

Dr.Markus Solo Kewuta SVD.


Dari Lewouran Menuju Vatikan

Ketika ia ditugaskan studi Islamologi, diam-diam ayahnya gelisah. Sang Ayah tidak setuju anaknya menggumuli bidang yang menurutnya berbahaya. Kini, justru karena bidangnya itu, Dr. Markus Solo duduk sebagai anggota Dewan Kepausan.

KEGELISAHAN sang ayah tampaknya cukup beralasan. Ia sering mendengar berbagai kerusuhan bernuansa agama di banyak tempat. Karena itu ia sempat meminta Markus Solo, anaknya, untuk menghentikan studi Islamologi dan bahasa Arab. Markus yang menaruh hormat pada ayahnya, kala itu tak dapat memenuhi permintaan ayahnya. Ketaatannya pada pimpinan tarekat lebih diutamakan daripada memikirkan keselamatan pribadi.

Pada bulan Juli tahun lalu. Markus Solo Kewuta resmi diangkat menjadi anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama. Andai ayahnya masih hidup, pastilah ia akan bangga melihat anaknya menjadi orang Indonesia pertama yang duduk dalam jabatan terhomat itu.

Markus lahir di kampung Lewouran, Flores Timur (4/8/68). Ayahnya, Nikolaus Kewuta adalah seorang petani sederhana sementara ibunya Getrurd bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kedua orangtua ini telah meninggal dunia. Ayahnya meninggal tahun 2005 sedangkan ibunya tahun 1985. Markus adalah anak bungsu dari lima bersaudara.

Saudara sulungnya, Yosef Bukubala adalah seorang imam SVD juga. Markus mengaku, cita-citanya menjadi imam tumbuh saat mendengarkan kisah-kisah menarik tentang seminari yang disampaikan kakak sulungnya ini. “Perjalanan panggilan kakak saya menjadi motivasi sekaligus inspirasi bagi saya juga.”, ujar penggemar sepakbola ini.

Pulau Flores, khususnya di kampung halamannya, mayoritas penduduk beragama Katolik. Tidak banyak umat dari agama lain. Markus mulai menyadari kenyataan pluralitas Indonesia melalui buku-buku yang dibicaranya. Lelaki yang selalu menjadi juara kelas ini memang rajin membaca sejak Sekolah Dasar. Mulai saat itu, ia juga tertarik mengenal agama lain khususnya Islam.

Mengenal Islam

Keinginan Markus mengenal agama Islam mulai terpenuhi kuliah Islamologi di Seminar Tinggi Ledalero. Selesai studi Filsafat di Ledalero, ia meneruskan studi Teologi di Austria (1992-1997). Di Austria, ketertarikannya pada Islam tetap melekat. Skripsi yang ia tulis juga berkaitan dengan agama Islam, judulnya : Humanisierung der Handhabung des Gesetzes im Koran (Humanisasi Penerapan Hukum Agama Islam dalam al-Qur’an).

Setelah memperoleh gelar Master Teologi, Markus sempat bekerja di sebuah paroki di propinsi Salzburg, Austria, tempat kelahiran pemusik terkenal Wolfgang Amadeus Mozart, selama dua tahun. Tahun 1999 ia melanjutkan studi Doktorat Teologi Fundamental di Universitas Innsbruck, Austria. Tahun 2002 ia berhasil meraih gelar Doktor Teologi dengan predikat Summa Cum Laude.

Pimpinan tarekat tampaknya mengamati, Markus mempunyai minat besar pada masalah dialog agama terutama dengan Islam. Karena itu, kendati Markus telah meraih gelar doctor di bidang Teologi, pimpinannya menugaskan lagi untuk studi Bahasa Arab dan Islamologi. Untuk itu, ia sempat studi di Kairo, Mesir, kemudian di PISAI (Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies) Roma. Markus menyelesaikan studi ini sampai tingkat Licensiat.

Ketika studi di Kairo (2002-2003), imam bertubuh bongsor ini berkenalan dengan Presiden PCID (Pontifical Council for Interreligious Dialogue atau Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama) Mgr. Michael Fitzgeralg, yang sedang melawat ke Kairo. Beberapa tahun kemudian (2005) saat Dewan Kepausan menyelenggarakan Konferensi Internasional Dialog Antar Agama di Wina, Austria, Markus Solo Juga diundang.

Waktu itu, Markus memang sudah kembali ke Austria dan bertugas sebagai Rektor Institut Afro-Asia di Wina. Mgr. Fitzgerald sendiri yang mengundang Markus. Pada kesempatan itu Markus diperkenalkan dengan tokoh-tokoh PCID dan peserta konferensi yang lain. (Mgr. Fitzgerald kini beralih tugas sebagai Nuntius di Mesir).

Penasihat Paus

Pertemuan dengan para tokoh PCID itu amat menentukan perjalanan Markus selanjutnya. Rupanya PCID melihat mantan Ketua Irrika (Ikatan Rohaniwan/wait Indonesia di Kota Abadi) ini sebagai sosok yang tepat untuk duduk sebagai anggotanya.

Setelah melewati proses screening, termasuk wawancara, Januari 2007 Markus mendapat panggilan untuk bergabung dengan PCID. “Rasanya seperti mimpi. Saya tak pernah membayangkan dapat bergabung dalam tim Penasihat Sri Paus”, tutur Markus yang fasih berbahasa Jerman, Italia, Inggris, dan Arab ini.

Juli 2007, Markus, yang kerap disapa Padre Marco, diterima resmi bekerja di PCID. Ia menempati Desk Dialog Kristen-Islam untuk wilayah Asia. Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara. Tugas utamanya adalah memantau serta mengikuti perkembangan Dialog Kristen-Islam di wilayah tersebut. Informasi yang ia peroleh lewat berbagai jalur, ia observasi dan simpulkan untuk kemudian di serahkan pada Presiden PCID.

Informasi tersebut diteruskan juga ke Sekretariat Vatikan. Tugas lain yang tak kalah penting adalah menyiapkan berita-berita tertulis (instructions) untuk setiap Nuntius (Duta Besar Vatikan) baru di wilayah tanggung-jawabnya. Selain itu, bersama rekan PCID yang lain, Markus ikut menerima kunjungan ad-Limina para Uskup seluruh dunia.

Pertemuan dengan para uskup tersebut merupakan ajang tukar informasi tentang perkembangan mutakhir dialog Kristen-Islam. Selain itu, PCID juga memberikan peneguhan serta motivasi kepada para uskup untuk terus mempromosikan dialog.

Ciptakan Lagu

Bekerja di lingkungan Vatikan menuntut kerja keras serta disiplin tinggi. Markus yang doyan makan kentang ini, bekerja dari Senin hingga Sabtu. Kantornya terletak di depan Basilika Santo Petrus, Vatikan. Hari Minggu adalah satu-satunya hari untuk beristirahat.

Biasanya ia mengisi waktu luangnya untuk mengembangkan hobinya di bidang musik. Sejak kecil ia memang senang bernyanyi. Ketika masuk seminari, Markus sudah mampu memimpin koor bahkan menciptakan lagu. Sudah cukup banyak lagu rohani yang ia ciptakan, salah satunya lagu Bawalah Daku ke Sion. Lagu ini ia gubah tahun 1992.

Hobi Padre Marco dalam hal musik sempat membawanya masuk dapur rekaman. Kaset pertamanya dikeluarkan tahun 2001, bersama salah seorang keponakannya. Kaset tersebut berisi lagu-lagu pop daerah Flores Timur. Sekarang ini ia sedang menantikan DVD terbarunya bernama Album Agora Volume 1. Album yang dibuat bersama rekan-rekan SVD ini berisi lagu-lagu rohani dalam bahasa Italia, Jerman, dan Indonesia.

Beberapa lagu merupakan ciptaannya sendiri dan sebagian lagi merupakan terjemahan lagu-lagu Italia dengan aransemen baru. Markus merasakan, hobinya di bidang musik ini merupakan selingan yang segar dan seimbang dari tugas-tugasnya yang cukup berat.

Menjadi orang Indonesia pertama yang duduk dalam Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama merupakan kebanggaan tersendiri. Markus menyadari, tugas yang diembannya tergolong berat. Ia tak tahu apa yang akan terjadi kelak pada dirinya. Namun, ia tahu bahwa dirinya harus bekerja keras dengan semangat pengabdian total. Itulah sumbangsih yang dapat ia berikan untuk Gerejanya yang ia cintai.

Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 20 Januari 2008).

Tuesday, November 10, 2009

Frans Garnaen


NYARIS KEHILANGAN SEGALANYA

Seluruh keluarga sempat terguncang saat anak bungsunya dinyatakan menderita penyakit yang belum ada obatnya. Demi kesembuhan si bungsu, anak kesayangannya, Frans Garnaen melakukan segala upaya, termasuk hendak menjual mobil dan rumah satu-satunya..

Frans Garnaen adalah pria kelahiran Palembang yang mengadu untung di kota Bandung. Selepas SMA, Frans langsung bekerja di bank NISP. Di tempat kerjanya ini Frans bertemu Martha Dede Herlina yang kemudian dinikahinya (1974).

Sesudah beberapa tahun, Frans memutuskan keluar dari tempat kerjanya dan membuka usaha sendiri. Sementara itu, Dede, sang istri, juga mengikuti jejaknya keluar dari Bank dan membuka kantin di garasi rumah. Lokasi rumah Frans saat itu memang cukup strategis, berada tepat di depan Universitas Kristen Maranatha. Baik usaha Frans maupun istrinya berkembang dengan baik.

Pasangan Frans-Dede dikaruniai dua anak: Angela Ilona dan Veronica Imelda. Mereka sekeluarga hidup rukun bahagia. Ilona dan Imelda mendapat pendidikan di sekolah Katolik hingga sarjana. Ilona lulus dari jurusan Akutansi sementara Imelda jurusan Hukum. Keduanya menyelesaikan kuliah di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Aktif di Gereja

Sejak Frans membuka usaha sendiri, ia mulai aktif di lingkungan Gereja. Ia dapat mengatur waktu kerjanya sesuai dengan kebutuhan. Nampaknya Frans memang amat menyukai aktivitasnya di Gereja. Bayangkan saja, ia aktif di Legio Maria, Persekutuan Doa Kharismatik, Anggota Dewan Paroki Inti, Prodiakon bahkan Katekis. Ia memang pernah mengikuti Kursus Pemuka Jemaat tahun 1996. Sejak itulah pastor paroki memberinya tugas tambahan: menjadi pengajar katekumen.

Sebagai katekis, nama Frans amat populer. Di paroki Pandu ada beberapa kelompok ketekumen. Umumnya, para katekumen ingin masuk kelasnya Frans. “Pak Frans kalau mengajar tidak bertele-tele dan mudah dimengerti”, ujar Margreet memberi komentar.

Sebagai Prodiakon, tugas Frans antara lain mengunjungi dan membagi komuni untuk orang-orang sakit dan jompo. Tidak jarang, ia juga diminta untuk memimpin upacara pemakaman. Kerelaan Frans untuk membantu orang lain yang kesusahan memang mengagumkan. Sesibuk apapun, bila ada panggilan tugas dari Gereja, ia langsung bersedia dan melaksanakannya. Banyaknya waktu yang digunakan Frans untuk Gereja, sempat juga mengundang protes istri dan anak-anaknya. Tentang hal ini, Ilona, anak tertua mengungkapkan: “Papie kadang-kadang terlalu aktif di Gereja sehingga kurang waktu untuk kami!”, ujarnya.

Mengguncang Seluruh keluarga.

Pada awalnya hanya Frans yang aktif di gereja. Istri dan anak-anak hanya sekedar pergi ke Gereja pada hari Minggu, lain tidak. Keadaan ini berubah saat Frans mengadakan doa bersama dalam keluarga. Sejak itu Dede, istrinya tergerak untuk ikut aktif dalam salah satu organisasi Gereja. Demikian juga Ilona dan Imelda kedua anak Frans. Imelda, anak bungsunya aktif sebagai lektor dan mengajar agama anak-anak. Tidak jarang, Imelda menemani Frans saat bertugas membagi komuni untuk orang sakit. Imelda yang cantik, ramah dan pandai bergaul, amat cepat disukai orang-orang yang mereka kunjungi.

Aktivitas dan ketentraman Frans sekeluarga sempat terganggu bahkan terguncang hebat. Suatu hari Imelda menderita sakit. Sesudah menjalani sejumlah pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa Imelda menderita penyakit yang belum ada obatnya. Imelda divonis menderita kelainan darah pada sumsum tulang belakangnya. Antibody yang dihasilkannya terlalu banyak dengan akibat menyerang HB (hemoglobin)-nya sendiri. Menurut istilah kedokteran, Imelda menderita dua macam penyakit sekaligus: auto immune anemia haemolitig dan penyakit PNH (Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria) yang menyebabkan rusaknya jaringan sel-sel darah merah.

Karena penyakitnya itu, Imelda harus sering menjalani transfusi darah. Menurut dokter, penyakit jenis ini membuat pasien menderita kesakitan hebat pada semua persendian. Anehnya, Imelda, tak pernah mengeluh. Sebaliknya, dalam sakitnya, Imelda justru makin aktif di lingkungan gereja. Ia bahkan masuk dalam kelompok Doa Syafaat. Nampaknya, dengan sengaja Imelda tidak ingin menunjukkan penderitaannya pada orang lain, khususnya kepada orang tuanya. Frans sering terharu menyaksikan ketabahan serta semangat anaknya yang luar biasa.

Saat divonis menderita penyakit yang langka (1998) Imelda masih kuliah. Kendati sering keluar masuk Rumah Sakit, ia dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu relatif singkat, 3 ½ tahun. Setelah lulus, Imelda sempat bekerja di kantor Advokat di Jakarta, kemudian membuka usaha garmen pakaian tidur di Bandung.

Menjual rumah dan mobil.

Tahun 2003, penyakit Imelda makin parah. Dua hari sekali ia harus transfusi 4 hingga 6 labu darah yang sulit dicari. Maklum, darah yang ditransfusikan harus terlebih dahulu “dicuci” tiga kali di PMI.

Frans juga berusaha menghubungi ahli cangkok sumsum tulang belakang di Australia. Ia tahu kemungkinan keberhasilannya kecil. Sebab sumsum yang didonor harus dari satu gen dengan satu golongan darah yang sama. Ilona, orang yang paling dekat, ternyata memiliki golongan darah AB sementara Imelda B.

Seringnya Imelda keluar-masuk Rumah Sakit, membuat keuangan keluarga menjadi berantakan. Tambahan, pada waktu itu dunia sedang dilanda krisis moneter alias krismon. “Bisnis saya sedang hancur. Saya tak punya uang lagi untuk membiayai Imelda”, kenang Frans. Setelah berkonsultasi dengan Dede, istrinya, Frans berniat untuk menjual mobil dan rumahnya. Semuanya ia pertaruhkan demi kesembuhan anak tercinta.

Mulailah Frans mencari calon pembeli rumah dan mobilnya itu. Orang-orang yang dihubungi bertanya: “Untuk apa mobil dan rumah dijual?”. Ketika mereka tahu alasan penjualan, mereka mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, secara spontan mereka memberi bantuan pada Frans. Tidak hanya itu, mereka juga memberi tahu kawan-kawan Frans tentang kesulitannya. Ternyata semua kawan Frans yang mendengar, menaruh perhatian dan simpati besar. Merekapun tak segan-segan untuk memberi bantuan. Frans amat terbantu dan terharu sekaligus. “Kebaikan teman-teman merupakan kemurahan Tuhan yang tak dapat saya bayangkan sebelumnya”, ujar Frans terbata-bata.

Imelda sendiri ketika tahu rencana orang tuanya untuk menjual mobil dan rumah, menolak rencana tersebut. Dengan bijaksana, Imelda kala itu berkata: “Bagaimana kalau saya tidak sembuh? Papie, mamie dan Cici mau tinggal di mana?”, katanya. Dengan sungguh-sungguh Imelda meminta kedua orang tuanya untuk mengurungkan niat penjualan tersebut.

Imelda, anak kesayangan, rupanya tahu bahwa penyakitnya tak mungkin untuk disembuhkan. Iapun memasrahkan hidupnya ke dalam tangan Tuhan. Sebelum menutup mata, Imelda sempat mengatakan kepada mamie-nya: “Saya sudah tidak kuat lagi Mie. Serahkan saya pada Tuhan. Terima kasih atas doa teman-teman mamie selama ini. Saya sudah menyelesaikan tugas-tugas saya. Saya telah membawa mamie, papie dan cici menderita. Hanya satu yang belum kita lakukan, kita belum dapat pergi ke Jepang, seperti yang mamie inginkan, melihat gunung Fujiyama”. Dede, sang mamie, tak kuasa menahan harunya. Dalam penderitaannya, Imelda masih memikirkan dirinya yang memang pernah bercita-cita melihat Gunung Fujiyama. Imelda meninggal dunia dalam keadaan tersenyum pada 22 Maret 2004.

Frans Garnaen, tak pernah lelah bekerja di ladang Tuhan. Sepeninggal Imelda, anaknya, Frans meneruskan kegiatannya mengajar katekumen, mengirim komuni kepada orang sakit dan memimpin upacara pemakaman. Ia juga bersyukur bahwa usaha keluarganya berangsur-angsur membaik kembali. Pada April yang lalu, Dede, istrinya bersama Ilona, anak sulungnya, mendapat kesempatan ikut tour ke Jepang. Pastilah Imelda juga senang melihat mamie-nya akhirnya berhasil melihat Gunung Fujiyama yang lama diimpikannya. (foto: koleksi keluarga Frans Garnaen).

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 6 Desember 2009).

Wednesday, October 28, 2009

Kota Assisi


TERMASHYUR DI MANCANEGARA

Assisi yang berada di provinsi Perugia, wilayah Umbria, Italia, adalah sebuah kota kecil, terletak di atas bukit. Kota tua (didirikan sekitar tahun 300 sebelum Masehi) ini, berpenduduk 27.000 jiwa. Ada banyak pilihan untuk mencapai kota Assisi. Dari Roma, anda dapat naik Kereta Regional (kereta api murah yang berhenti di setiap stasiun). Dengan kereta jenis ini, waktu tempuh memang agak lama, 2 ½ jam.

Kendati kecil, Assisi termashyur di seluruh dunia dan menjadi kebanggaan orang Italia. Salah satu keistimewaan Assisi, kota ini telah melahirkan 6 orang suci atau santo/santa. Dari ke enam santo ini, tentu saja yang paling populer adalah Santo Fransiskus. Sebuah kota besar di USA diberi nama atas namanya, yaitu San Francisco, California (1776).

Basilika Santo Fransiskus Assisi

Pergi ke kota Assisi tanpa berkunjung ke basilika yang satu ini serasa kurang lengkap. Basilika Santo Fransiskus sering dianggap sebagai trademark kota Assisi. Tempatnya yang menjulang di atas bukit, membuat basilika ini dapat dilihat dari kejauhan. Di kalangan para pengikut Fransiskus, basilika ini disebut Bunda Gereja dari Ordo Fransiskan. Kini basilika ini diakui sebagai salah satu warisan dunia.

Pembangunan basilika dimulai tahun 1228, sesudah Fransiskus dinyatakan sebagai orang kudus. Tanah gereja yang berlokasi di atas bukit, merupakan sumbangan dari Simone Pucciarello. Dahulu bukit ini disebut Collo d’inferno (bukit neraka) karena banyak penjahat dieksekusi di tempat ini. Sesudah dibangun gereja, bukit ini disebut Collo di Paradiso (bukit Firdaus).

Peletakan batu pertama dilakukan oleh Paus Gregorius IX. Basilika ini dirancang oleh Elia Bombardone, salah seorang pengikut pertama Fransiskus. Bagian bawah basilika selesai pada tahun 1230. Pada pesta Pantekosta tahun itu (25 Mei 1230) jenasah Fransiskus yang masih utuh dipindahkan dari basilika St.Clara (dahulu bernama gereja St.George) ke basilika baru ini. Hingga kini banyak peziarah datang dari pelbagai penjuru dunia untuk berdoa di depan makam Fransiskus.

Basilika bagian atas mulai dibangun pada tahun 1239 dan selesai tahun 1253. Basilika Santo Fransiskus merupakan tonggak bersejarah seni Italia. Maklum banyak bagian dari basilica ini dihias seniman-seniman ternama masa itu, seperti Cimabue dan Giotto. Salah satu lukisan Cimabue yang dianggap sebagai karya terbaiknya adalah lukisan Bunda Maria bersama Santo Fransiskus. Lukisan ini dapat kita lihat di salah satu dinding basilica.

Paus Nikolas IV yang sebelumnya adalah pimpinan tertinggi Ordo Fransiskan, mengangkat basilika ini ke status Gereja Kepausan pada tahun 1288. Basilika ini pernah menjadi pusat perhatian dunia saat Paus Yohanes Paulus II berkumpul dan berdoa bersama pimpinan agama-agama lain di tempat ini (27 Oktober 1986). Peristiwa yang sama diulangi lagi pada Januari 2002.

Cikal Bakal Fransiskan

Di Assisi ada banyak bangunan dan gereja yang bersejarah. Salah satunya adalah Basilika Santa Maria dei Angeli (Maria para malaikat). Basilika ini merupakan gereja di atas gereja. Maklumlah di dalam Basilika Santa Maria dei Angeli, terdapat gereja kecil, Porziuncola yang dibangun oleh Fransiskus dan kawan-kawannya. Di tempat ini pula Santo Fransiskus dahulu menyadari panggilan hidupnya, hidup dalam kemiskinan sekaligus memulai gerakan Fransiskan.

Sesudah Fransiskus meninggal, 3 Oktober 1226, para pengikutnya membangun pondok-pondok di sekitar Porziuncola. Dalam perjalanan waktu, semakin banyak peziarah yang datang ke Porziuncola ini. Porziuncola yang sempit tak bisa lagi menampung banyaknya orang yang datang. Perlu dibangun sebuah gereja besar yang menyatu dengan Porziuncola. Untuk membangun gereja besar, maka bangunan-bangunan di sekitar tempat suci Porziuncola dirobohkan, atas perintah Paus Pius V (1566-1572). Kapel Transito, tempat dahulu Fransiskus meninggal dunia, tetap dipertahankan. Pembangunan basilika dimulai pada tanggal 25 Maret 1569.

Setiap kota memiliki riwayat serta kebanggaannya tersendiri. Fransiskus yang telah melahirkan gerakan Fransiskan yang begitu dahsyat, tidak hanya menjadi kebanggaan warga kota Assisi, namun kebanggaan kita semua.

Heri Kartono,OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 25 Oktober 2009).

Tuesday, October 6, 2009

Ordo Salib Suci



OSC MENYONGSONG 800 TAHUN

Dalam usia menjelang 800 tahun, OSC untuk pertama kalinya menggelar Kapitel Jenderal di Indonesia. Di Indonesia, ordo yang memiliki pakaian mirip pinguin ini tersebar di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara hingga Papua. Dalam Kapitel yang lalu, komunitas normatif menjadi isyu yang sempat memanas. Ada apa gerangan?

Kapitel Jenderal OSC (27 Juli-18 Agustus) dihadiri oleh 23 Kapitularis dari pelbagai penjuru dunia. Selain kapitularis, hadir juga periti (staf ahli) dari Eropa, Amerika Serikat, Kongo, dan Indonesia. Psikolog Paulus Hidayat dari Indonesia hadir sebagai fasilitator, sementara Mgr. John Corriveau, OFMCap, dari Canada, sebagai konsultan. Dalam Kapitel ini Mgr. Dr. Glen Lewandowski, OSC terpilih menjadi Magister General OSC untuk kedua kalinya. Sementara 2 Konselor baru yang terpilih adalah Dr. James Hentges OSC dan Dr. Rudyanto Subagio OSC.

OSC adalah ordo Kanonik Regulir yang mementingkan hidup bersama dan juga memelihara liturgi bersama. Dengan kata lain hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan sesuatu yang normatif, musti ada. Sejalan dengan perkembangan jaman, pada abad ke-19, OSC memulai misinya ke Amerika Serikat, Brasil, Kongo dan Indonesia. Di daerah misi, seperti Indonesia, para biarawan OSC yang sedikit jumlahnya, harus melayani beberapa wilayah sekaligus. Akibatnya, para anggota OSC jarang berkumpul bersama. Dengan kata lain, OSC di tempat misi, tidak hidup dalam suatu komunitas besar seperti di negeri asalnya. Perkembangan ini terus berlangsung hingga kini. Identitas OSC dengan komunitas normatif-nya dipertanyakan kembali. Topik ini ramai diperbincangkan dalam Kapitel Jenderal yang lalu. Sebagian peserta Kapitel menghendaki suatu perubahan radikal sementara yang lain menginginkan perubahan harus dilakukan dengan memperhitungkan situasi setempat. Untunglah cara radikal tidak disepakati dalam pertemuan akbar ini.

Berpusat di Bandung

Atas tawaran Vatikan, OSC mendapat tugas untuk menangani wilayah yang sekarang menjadi Keuskupan Bandung. Pada bulan Februari 1927 tiga orang OSC, J.H.Goumans, J.de Rooij dan M.Nillesen tiba Bandung. Mereka menggantikan tujuh orang Jesuit yang sebelumnya bertugas di tempat ini. Tiga orang OSC ini harus melayani Bandung, Cimahi, Garut, Tasikmalaya dan Cirebon. Pada awalnya, para biarawan ini terutama melayani orang-orang Belanda atau Indo yang tinggal di bumi Parahyangan.

Umat katolik pribumi pada saat itu belum banyak. Awalnya umat pribumi dikumpulkan di kapel biara Ursulin. Dalam perkembangannya, mereka mendapat tempat di Paroki St. Odilia, Bandung. Dalam waktu singkat, Bandung diangkat oleh Roma menjadi Prefektur Apostolik (1932) dan Vikariat Apostolik (1941). Perkembangan Ordo Salib Suci di Indonesia nyaris terputus dengan pecahnya Perang Dunia II. Pada masa pendudukan Jepang, hampir semua imam OSC ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang. Beberapa orang OSC meninggal dunia dan yang lainnya sakit. Namun semangat para biarawan OSC tetap membara. Sesudah masa pendudukan Jepang berakhir, OSC melanjutkan karya mereka kembali, khususnya di tatar Sunda.

Pelayanan kepada umat pribumi makin ditingkatkan seiring dengan makin bertambahnya orang pribumi yang masuk Katolik. Seorang anak Kuwu, putera Sunda asli, Ludovicus Doewe Prawiradisastra, masuk Katolik (25/05/27). Bapak Doewe amat berjasa sebagai pionir berdirinya sekolah dan gereja Katolik di paroki Ciledug-Cirebon. Selanjutnya peristiwa tak terduga yang menggembirakan adalah masuknya ribuan umat Sunda yang berpusat di desa Cigugur-Kuningan menjadi Katolik. Semula mereka menganut kebatinan Agama Djawa Sunda (ADS). Peristiwa masuknya sekitar 8000-an umat Sunda ini (1964) amat mencengangkan. Sebab, umat Sunda kerap diindentikkan dengan agama Islam. Agama Islam memang berakar kuat di sebagian besar suku Sunda. Yang jelas, peristiwa ini mempengaruhi pola pelayanan pastoral keuskupan Bandung. Salah satunya adalah diupayakannya buku-buku pelajaran agama serta liturgi berbahasa Sunda. Dari kelompok ini pula OSC mendapat banyak anggota baru yang asli Sunda.

Sementara itu, pada tahun 1958, OSC propinsi St.Odilia, Amerika Serikat, memulai misinya di tanah misi Asmat, Papua. Hingga kini, OSC di Papua masih dibawah propinsi St.Odilia.

Tonggak Baru

Pada awalnya, keuskupan Bandung identik dengan OSC. Maklumlah di masa lalu, hampir tidak ada imam dari konggregasi lain atau projo di keuskupan ini. Beberapa karya menonjol yang diprakarsai biarawan OSC antara lain: pendirian Seminari Menengah Cadas Hikmat dan Seminari Tinggi di Cicadas, Bandung (1947). Sepuluh tahun kemudian, Seminari Tinggi dipindahkan ke Jalan Pandu. Selanjutnya, Uskup Bandung Mgr. Arntz OSC didukung pimpinan OSC dan uskup Bogor waktu itu, Mgr. N.J.C. Geise OFM, memulai pendirian Universitas Katolik Parahyangan Bandung (1955).

OSC yang masuk dan berkarya di Jawa Barat berasal dari Belanda. Dengan demikian selama bertahun-tahun, OSC Indonesia berada dibawah naungan OSC propinsi Belanda. Pada tahun 1977, OSC di Bandung mencatat sejarah baru saat diangkat statusnya menjadi Propinsi. Nama yang dipilih adalah OSC Propinsi Sang Kristus, Indonesia. Dengan status baru ini, OSC Sang Kristus menjadi lebih mandiri, termasuk dalam menerima calon-calon, mengadakan pendidikan dan bidang finansial.

Salah satu sumbangan OSC Sang Kristus yang tidak dimiliki OSC di tempat lain adalah karya Rumah Retret. Rumah Retret Pratista di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, didirikan pada tahun 1986. Sejak didirikan, hingga kini, Pratista banyak dimanfaatkan umat dari Bandung, Jakarta maupun tempat lain. Umat Protestanpun banyak memanfaatkan rumah retret yang besar, asri dan berhawa sejuk ini.

Dengan terus bertambahnya anggota, OSC Sang Kristus mulai melebarkan sayapnya. Sejak tahun 1981, OSC Sang Kristus mulai membantu Keuskupan Agats, Papua. Selanjutnya, berkarya di Pulau Nias, Keuskupan Sibolga (1989). Pada tahun yang sama, juga memulai karya di Keuskupan Agung Jakarta. Beberapa tahun kemudian, OSC menerima tawaran untuk berkarya di Keuskupan Agung Medan (1994).

Menyongsong Yubileum 800

Pada tahun 2010 nanti, OSC akan merayakan ulang tahunnya yang ke 800. Pesta Yubileum ini ditandai dengan beberapa hal penting. Tiap-tiap propinsi telah menyiapkan serangkaian acara di wilayahnya masing-masing. OSC Indonesia, misalnya, menerbitkan kalender khusus bekerja sama dengan KKI-KWI. Selain itu, membuat kaos oblong khas OSC, Novena Salib di tiap-tiap paroki, retret umat di Pratista, pertemuan Misdinar dan pelbagai kegiatan lainnya. Perayaan Yubileum sendiri sudah dibuka resmi pada 18 Agustus yang lalu, sekaligus sebagai penutupan Kapitel Jenderal 2009. Yubileum ini nantinya akan ditutup pada bulan September 2010 di biara pusat St.Agatha, di dekat kota Nijmegen, Belanda.

Mgr. Pujasumarta Pr, Uskup Bandung, yang diundang dalam perayaan OSC turut memberikan sambutan. Dalam sambutan yang disampaikannya dalam bahasa Inggris, Mgr.Puja antara lain mengatakan: “OSC hadir di keuskupan ini melalui banyak karya yang baik di tengah-tengah umat, juga di bidang pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga Universitas Parahyangan. Karya dan kehadiran OSC telah amat berarti dan relevan bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar kami. Pada peringatan 800 tahun OSC, anda mengundang saya dan umat keuskupan ini. Karenanya, pada kesempatan ini, saya dari lubuk hati yang tulus ingin mengucapkan terima kasih atas kualitas kehadiran anda sekalian”, demikian Mgr.Pujasumarto. Sambutan Uskup Bandung yang simpatik dan hangat tersebut amat dihargai semua anggota OSC yang hadir.

Sementara itu, pimpinan OSC memanfaatkan perayaan ulang tahun OSC ke 800 sebagai kesempatan untuk menata kembali kehidupan ordo. Kapitel Jenderal yang lalu bertema Starting afresh from the Place of Light (Memulai dengan segar dari Tempat Cahaya) mengindikasikan adanya suatu pembaharuan. Hidup bersama dalam suatu komunitas dengan menekankan perayaan liturgi, menjadi arah ordo ke masa depan. Arah baru ordo ini jelas menjadi tantangan besar bagi OSC Indonesia. Maklumlah, sampai saat ini, OSC Indonesia sebagian besar berkarya di paroki-paroki dengan hanya beberapa anggota saja. Nampaknya, tidak mudah mengkombinasikan harapan ordo dengan kenyataan di lapangan.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 18 Oktober 2009).

Sejarah OSC


PERNAH NYARIS PUNAH

Ketika Perang Salib sedang berkecamuk, lahirlah Ordo Salib Suci atau OSC (Ordo Sanctae Crucis). Ordo yang tergolong tua ini sebenarnya memiliki nama lengkap yang lumayan panjang, yaitu Ordo Sanctae Crucis Canonicorum Regularum Sub Regula S. Agustini. Pendiri ordo ini adalah Theodorus de Celles, seorang ksatria Perang Salib. Theodorus adalah anak bangsawan dari Belgia. Sekitar tahun 1210, Theodorus bersama rekan-rekannya memulai kehidupan membiara dengan mengacu pada cara hidup umat kristiani awal: hidup bersama sehati-sejiwa tertuju pada Allah. Itulah cikal bakal lahirnya OSC. Pada tahun 1211 Theodorus dkk mendirikan biara Clair-Lieu di Belgia Selatan. Lokasi biara pertama OSC ini hingga kini masih kerap dikunjungi.

OSC semakin berkembang dan diakui resmi oleh Paus Innocentius IV pada 23 Oktober tahun 1248. Perkembangan terutama di Eropa Barat seperti Belgia, Belanda, Jerman, Austria, Perancis.

Gereja, sempat mengalami beberapa gempuran badai seperti gelombang reformasi, sekularisasi dan Revolusi Perancis. Tak ketinggalan, OSC juga mengalami gempuran yang sama. Banyak biara OSC ditutup karena pelbagai kesulitan, termasuk karena berkurangnya anggota. Pada tahun 1840, anggota OSC hanya tinggal empat orang saja. OSC nyaris punah!

Beruntung, dalam situasi sulit OSC memiliki H. van den Wijmelenberg, seorang pemimpin yang cemerlang. Di bawah kepemimpinan Wijmelenberg-lah, Ordo ini pelan-pelan bangkit dan berkembang lagi dengan cepat. Pada awal abad ke 20, OSC mulai melebarkan sayapnya ke pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Perkembangan baru ini membawa konsekuensi masalah identitas Ordo yang hingga kini menjadi perbincangan serius. Sebab, di wilayaj misi, OSC umumnya tidak tinggal dalam suatu komunitas normatif.

Pemimpin Umum OSC yang sekarang adalah Mgr. Dr.Glen Lewandowski, O.S.C. Pada Kapitel Jenderal yang lalu, Mgr.Glen terpilih kembali sebagai Magister Jenderal OSC periode 2009-2015. Glen Lewandowski adalah Magister General OSC yang ke-57. Ia lahir di Minnesota (Amerika Serikat) pada tahun 1947 dan menjalani pendidikan awal di seminari OSC, Onamia (Minnesota), dan di Universitas St. John, Collegeville (Minnesota). Ia mengucapkan kaul dalam Ordo Salib Suci pada tanggal 28 Agustus 1970.

Glen menempuh pendidikan teologi di Fort Wayne (Indiana) dan di universitas St. John, Collegeville. Setelah ditahbiskan pada tahun 1974 kemudian menjalani pastoral di salah satu paroki OSC di keuskupan Agung Detroit. Tidak lama kemudian ia meneruskan studinya dibidang teologi di Universitas Chicago dimana ia memperoleh gelar doktor bidang Kitab Suci.

Tidak lama setelah lulus sebagai doktor bidang Kitab Suci, Glen berkarya sebagai dosen di fakultas teologi STFT Abepura, Papua, Indonesia. Selama 22 tahun berkarya di Papua, ia menjabat juga sebagai pimpinan OSC di Papua.

Di Roma, Mgr. Glen sangat aktif dalam The Union of Superior General (perkumpulan para pimpinan tarekat/Ordo) sebagai Dewan Eksekutif. Mgr. Glen juga ditunjuk oleh Paus Benediktus XVI sebagai salah satu bapak sinode ketika sinode uskup-uskup yang lalu tentang sabda Allah.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 18 Oktober 2009).

Monday, September 21, 2009

Mocellin Mirko






MENGGUGAT TUHAN

Mocellin Mirko mengalami bahwa hidup itu indah dan amat menyenangkan. Namun keberuntungan tidak selamanya berpihak padanya. Dua peristiwa dahsyat telah mengguncang ketentraman hidupnya. Ia bahkan sempat menggugat Tuhan.

Masa-masa Manis

Mocellin Mirko adalah pemuda tampan, berbadan tinggi dan tegap. Pembawaannya yang supel dan ramah membuat ia mudah disukai orang. Marina Bianchin, gadis manis dan periang adalah pacar Mirko. Keduanya bekerja di Rumah Sakit Umum Bassano del Grappa, Italia Utara. Marina bekerja sebagai perawat sementara Mirko sebagai pengemudi ambulans. Karena sering bertemu di tempat kerja itulah mereka saling jatuh cinta.

Sesudah berpacaran selama beberapa tahun, merekapun menikah (03/10/87). Setelah menikah, pengantin baru ini memilih berbulan madu ke Indonesia. Mereka tertarik Indonesia karena kerap mendengar tentang negeri ini dari sahabat mereka, seorang Imam Indonesia. Mirko dan Marina menghabiskan waktu satu bulan penuh menjelajah Jawa, Bali dan Sulawesi. Tak lupa, mereka juga pergi ke Brebes, mengunjungi orang tua sahabat mereka itu. Seluruh perjalanan bulan madu ini mereka abadikan dalam bentuk foto dan slides. Mereka menyimpannya hingga saat ini sebagai kenangan yang manis.

Mirko dan Marina dikaruniai 3 anak yang sehat yaitu Giada, Yuri dan Devis. Mereka hidup rukun dan bahagia. Secara rutin mereka mengadakan acara bersama seperti menikmati liburan atau pergi ke gereja bersama. Keluarga ini memang dikenal aktif di lingkungan Gereja. Marina tercatat sebagai anggota Koor paroki sementara anak-anak aktif sebagai misdinar.

Mirko dan Marina sadar betul bahwa contoh orang tua dalam hal pendidikan agama adalah amat penting, terutama bagi pertumbuhan iman anak-anak mereka. Karenanya, pada kesempatan istimewa seperti Pembaptisan, Komuni Pertama serta Krisma ketiga anaknya, mereka menyiapkannya dengan sungguh-sungguh. Kebetulan pihak paroki juga menaruh perhatian serius pada ketiga acara penting tsb. Bagi Mirko dan Marina, hidup terasa amat manis. Segalanya berjalan dengan begitu baiknya. Mereka memiliki rumah sendiri dengan taman dan garasi mobil.

Mimpi Buruk

Ibarat roda yang berputar, hidup tidak selamanya berjalan mulus dan menyenangkan. Demikian juga dengan kehidupan Mirko sekeluarga.

Setiap tahun Mirko sekeluarga mengadakan acara liburan bersama. Pada tahun 2001, mereka memutuskan untuk berlibur ke Kroasia. Merekapun berangkat dengan hati riang gembira. Liburan selalu menjadi saat-saat yang membahagiakan baik bagi Mirko, Marina maupun anak-anak.

Hari pertama di Kroasia, tanggal 1 September 2001, Mirko sekeluarga mengunjungi sebuah taman rekreasi yang luas dan indah. Di tempat ini disediakan kuda-kuda sewaan untuk para turis. Mirko menyewa 5 kuda untuk dirinya, istri serta ketiga anaknya. Selama hampir satu jam mereka menikmati keindahan taman sambil mengendarai kuda masing-masing.

Pada suatu saat, entah mengapa, kuda yang ditunggangi Marina menjadi liar. Kuda ini meringkik keras, melompat-lompat liar dan kabur dengan kecepatan tinggi. Marina terlempar dari atas kuda dan langsung pingsan. Celakanya, kuda-kuda yang lain menjadi terkejut dan semuanya melakukan hal yang sama. Mirko, Giada dan Yuri terlempar dari kuda. Tak ada yang terluka serius. Nasib buruk menimpa Devis. Si bungsu ini sempat terlempar namun kaki kanannya tersangkut pada bechel, lingkaran pengait kaki. Kuda berlari kencang, menyeret Devis dengan posisi kepala di bawah. Tak ayal lagi sepanjang beberapa ratus meter, kepala Devis membentur tanah, batu dan tersepak kaki belakang kuda. Akibatnya mengerikan. Tengkorak kepala Devis retak, bagian dahi robek dan yang paling memilukan, bola mata kiri Devis keluar dari tempatnya.

Semua orang tak sampai hati melihat wajah Devis. Mirko yang menyaksikan kondisi anaknya yang luar biasa memilukan, mengaku saat itu menggugat Tuhan dengan geram. “Tuhan, apa salah kami? Dan mengapa harus menimpa si kecil yang bahkan belum mengenal dosa?”, gugat Mirko.

Devis segera dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Dokter mengatakan bahwa nasib Devis ditentukan dalam 48 jam pertama. Selama menunggu Devis, Marina tak henti-hentinya berdoa di luar ruang operasi. “Bunda Maria, tolong anak kami. Seandainya engkau menyelamatkan Devis, aku berjanji akan berterima kasih dengan berjalan kaki ke Vicenza!”, ujar Marina dalam doanya. Di Vicenza terdapat gua Maria tempat orang berziarah. Adapun jarak Bassano ke Vicenza sekitar 50 Km.

Nasib baik masih berpihak pada Devis. Selama dua tahun, Devis menjalani tiga kali operasi serta pelbagai perawatan khusus. Berangsur-angsur Devis sembuh kembali. Mata kirinya juga dapat berfungsi seperti sedia kala. Semua orang menganggap kesembuhan Devis sebagai suatu mukjijat. Marina ditemani Mirko memenuhi janjinya kepada Bunda Maria, berjalan kaki dari Bassano menuju Vicenza. Mereka berangkat jam 11 malam dan tiba di Vicenza jam 10 pagi. Peziarahan dengan jalan kaki ini mereka ulangi hingga tiga kali. Mirko dan Marina memang amat bersyukur atas kesembuhan Devis yang mereka cintai.

Cobaan Masih Berlanjut

Dengan sembuhnya Devis, kehidupan normal kembali mewarnai keluarga Mirko. Canda tawa mulai terdengar kembali seperti sedia kala. Namun, itu hanya berlangsung beberapa tahun saja.

Tanggal 15 Agustus 2007, Mirko membonceng Devis bepergian ke gunung, tak jauh dari rumah mereka. Pada saat pulang, rem motor tiba-tiba blong, tak berfungsi. Karena jalanan menurun tajam, tak ayal lagi motorpun meluncur dengan derasnya. Di depan mereka melaju sebuah mobil dengan kecepatan sedang. Mirko berfikir, motor akan melaju makin kencang. Seandainya jatuh ke sebelah kanan, akan fatal karena masuk jurang. Maka, satu-satunya jalan untuk menghentikan adalah dengan cara menabrakkan diri. Untuk melindungi anak bungsunya, dengan sengaja Mirko ‘memasang’ kaki kanannya sebagai tameng. Akibatnya luar biasa. Lutut kanan Mirko hancur dan tulang kakinya patah di dua tempat. Devis juga menderita patah kaki, tergencet antara motor dan mobil.

Selama beberapa bulan Mirko dan Devis harus menjalani perawatan intensif. “Kasihan, istri saya Marina sempat stress. Ia harus merawat kami berdua, sementara ia sendiri tetap bekerja dan mengurus rumah sekaligus. Selain itu, keuangan kami juga kocar-kacir karena peristiwa ini”, tutur Mirko.

Pertengahan Agustus yang lalu, Mirko menjalani operasi untuk kedua kalinya. Dua minggu sesudahnya, ia sudah mulai berjalan kaki dengan bantuan tongkat.

Dua peristiwa dahsyat telah mengguncang kehidupan Mirko sekeluarga. Mirko mengaku amat berat menanggung pengalaman pahit itu. Namun, ia juga mengaku bahwa peristiwa tersebut tidak memadamkan imannya kepada Tuhan. Sebaliknya, pengalaman getir itu membuatnya makin berserah pada Tuhan. “Betapa rapuhnya hidup kita manusia. Betapa segala sesuatu dapat berubah dalam sekejap. Hanya kepada Tuhan kami dapat menyerahkan hidup kami”, ujar Mirko. Marina, yang duduk di sampingnya, mengangguk-anggukan kepala, menyetujui ucapan suaminya. (Foto: Mirko dengan istri dan anak-anaknya).

Heri Kartono OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 1 Nopember 2009).

Saturday, September 12, 2009

Setahun Yohanes Paulus II (2006)


SETAHUN TANPA KAROL WOJTYLA.

Dalam cuaca awal musim semi yang cerah dan dihadiri sekitar 40 ribu orang, misa peringatan setahun meninggalnya Paus Yohanes Paulus II (3/4/06) berlangsung khidmat dan meriah di lapangan St.Petrus, Vatikan.

Menyentuh Hati.

“Sejak awal misa saya merasa terharu. Saya terkenang kembali saat-saat Paus Yohanes Paulus II masíh hidup dan sering tampil di muka umum!”, papar Sr. Kornelia Silalahi FCJM yang sudah 9 tahun tinggal di kota Roma. Sr.Kornelia tidak sendirian. Sepanjang misa yang dipimpin langsung Paus Benedictus XVI ini, banyak orang terharu bahkan menangis. Beberapa orang yang menangis bahkan sempat “tertangkap” kamera televisi dan muncul dalam layar lebar yang terpasang di empat penjuru lapangan St.Petrus.

Misa sendiri mulai jam 17.30 namun orang sudah antri masuk sejak tiga jam sebelumnya. Jumlah pintu masuk dengan metal detector, dua kali lebih banyak daripada biasanya. Karenanya, antrian tergolong cepat dan lancar. Pelbagai kelompok dan rombongan memasuki lapangan St.Petrus dengan tertib. Di sana-sini terlihat rombongan dari Polandia dengan membawa bendera nasional mereka: putih-merah kecil-kecil. Sebagian di antara mereka malah membawa bendera ukuran besar. Tidak sedikit juga yang datang membawa gambar Paus Yohanes Paulus II dalam pelbagai ukuran.

Paus Benediktus XVI yang mengenakan kasula warna merah, dalam kotbahnya antara lain memuji pribadi Paus Yohanes Paulus II. Menurutnya, Yohanes Paulus II adalah pribadi yang solid, kuat, penuh iman, tidak kenal rasa takut dan tanpa kompromi. Pribadinya yang kuat ini menyentuh hati banyak orang. “Terima kasih atas peziarahannya keliling dunia dan khususnya peziarahannya yang terakhir yang merupakan penderitaan dan kematiannya!”, ujar Benediktus XVI. Kotbah Paus Benediktus beberapa kali terhenti oleh tepuk tangan meriah umat yang hadir.

Malam sebelumnya Paus Benediktus XVI memimpin acara ‘tuguran’ di lapangan St.Petrus. Lebih dari sepuluh ribu umat, kebanyakan anak muda, berjaga-jaga dan berdoa dengan membawa lilin di tangan mereka.

Persiapan yang Baik dan Perhatian Mass Media.

Misa setahun meninggalnya Paus Yohanes Paulus II disiarkan secara langsung oleh RAI 1 (TV Nasional Italia) dan diliput beberapa TV manca negara. Acara ini terkesan disiapkan dengan sangat baik. Dua panggung didirikan secara khusus di samping kiri dan kanan altar. Hiasan yang memenuhi sekitar altar dikerjakan dengan sangat bagus, mendukung suasana liturgis. Untuk mengikuti upacara, dibagikan booklet pada pintu masuk. Booklet mungil dengan illustrasi lukisan-lukisan abad XV ini berisi tata perayaan lengkap dengan lagu-lagunya.

Di sekitar lapangan St.Petrus banyak polisi berjaga-jaga namun tidak terkesan ‘angker’. Beberapa mobil ambulans stand by di tempat-tempat strategis. Pemerintah kota Roma juga turut berpartisipasi antara lain dengan membagikan air mineral secara cuma-cuma kepada semua yang hadir.

Karol Wojtyla nampaknya masih tetap mempunyai daya tarik, kendati telah tiada. Sejumlah stasiun televisi seperti CNN dan RAI 1 menayangkan sajian khusus untuk mengenang setahun kepergiannya. Italia yang sedang ‘sibuk’ menyongsong Pemilu, tetap menempatkan berita setahun meninggalnya Paus Yohanes Paulus II di halaman pertama koran-koran mereka.

Makam Yohanes Paulus II yang selama ini tak pernah sepi pengunjung, dalam seminggu terakhir mendapat kunjungan berlipat-lipat. Tak kurang presiden Italia sendiri Carlo Azeglio Ciampi menyempatkan diri berkunjung dan berdoa di makam Yohanes Paulus II pada hari Minggu pagi (2/4/06). Tak ketinggalan, warga Indonesia yang tinggal di kota Roma, juga mengadakan misa khusus di kapel kecil di sebelah makam Paus Yohanes Paulus II. Misa dipimpin oleh Pater Sylwester Pajak SVD yang pernah lama bekerja di Indonesia.

Setahun Wojtyla telah pergi. Orang tetap merasa kehilangan. Perhatian besar yang ditunjukkan pelbagai kalangan menunjukkan kedekatan hati orang pada Paus yang pernah berkeliling ke lebih 140 negara ini. Nampaknya, sesudah setahun kematiannya, Paus Karol Wojtyla ini tetap lekat di hati umatnya.

Heri Kartono. (dimuat di HIDUP edisi...2006).