Tuesday, January 27, 2009

Pertemuan Internasional Sant'Egidio


JANGAN TAKUT BERMIMPI!

Seorang wanita asal Rwanda menceriterakan betapa sulit baginya untuk mempraktekkan soal pengampunan dan perdamaian. Tak bisa dilupakan bagaimana kedua orang tua serta sanak-saudaranya dibantai secara keji dalam kerusuhan antar etnis yang terjadi di negerinya. Dengan bantuan rekan-rekan komunitasnya, akhirnya ia tidak hanya mampu memaafkan para pembunuh keluarganya namun ia sendiri menjadi aktifis perdamaian yang gigih.

Kisah tersebut diceriterakan dalam acara sharing Pertemuan Internasional kelompok Sant’ Egidio (Roma, 10-24 Januari 2009). Hadir 130 peserta dari 30 negara. Dari Indonesia hadir 7 orang, yaitu perwakilan dari wilayah Jakarta, Yogya serta wilayah Timor. Pertemuan ini diselenggarakan dalam rangkaian peringatan 40 tahun berdirinya kelompok Sant’ Egidio.

Jangan Takut Bermimpi

Pertemuan yang berlangsung selama dua minggu penuh, diisi dengan pelbagai ceramah serta sharing peserta. Salah satu pembicara utama adalah Prof. Andrea Riccardi, pendiri Sant’ Egidio. Dalam ceramahnya ia memaparkan kembali sejarah berdirinya Sant’ Egidio. Andrea memulai kelompok ini bersama beberapa rekannya pada tahun 1968 di Roma. Pada saat itu Andrea masih duduk di bangku SMA. Secara rutin Andrea dkk berkumpul untuk berdoa, membaca Kitab Suci dan menolong kaum miskin di wilayah kumuh pinggiran kota Roma. Kelompok ini disebut Sant’ Egidio karena menggunakan gereja Santo Egidio di kawasan Trastevere, Roma, sebagai tempat mereka berkumpul. Kini anggota Sant’ Egidio tersebar di  70 negara.

“Empat puluh tahun yang lalu, tak terpikirkan bahwa kelompok Sant’ Egidio akan berkembang seperti sekarang. Apa yang dahulu hanya sebatas mimpi, ternyata dapat diwujudkan. Karenanya, janganlah takut untuk bermimpi!”, ujar Andrea sebagaimana dikisahkan oleh Ign. Teguh Budiono, peserta asal Jakarta.

Penceramah lain adalah Marco Impagliazzo, presiden kelompok Sant’ Egidio. Marco mengingatkan para peserta pentingnya mempertahankan spiritualitas dan semangat asli Sant’ Egidio. Marco menjelaskan dengan suatu perbandingan. “Peninggalan Fransiskus Assisi hingga kini masih tersimpan di kota Assisi. Namun spiritualitas serta jiwa Fransiskus tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sejak Fransiskus masih hidup (1182-1226) hingga kini, semangatnya tetap terpelihara dengan baik”, jelas Marco.

Prisca Nuriati atau biasa dipanggil Cing, peserta dari Indonesia, mengaku tergugah dengan ceramah Marco. Ia setuju bahwa semua anggota Sant’ Egidio harus tetap setia memelihara jiwa dan cita-cita pendiri kendati kondisi dan situasi setiap komunitas berbeda-beda. “Dengan cara demikian, regenerasi dapat terjamin dengan baik”, tutur Cing.

Sant’ Egidio tidak hanya membantu kaum miskin, namun memiliki banyak kegiatan lain. Salah satunya adalah mempromosikan perdamaian serta dialog antar agama. Pertemuan tokoh-tokoh agama 1986 di Asisi yang diprakarsai oleh Paus Yohanes Paulus II masih diteruskan dari tahun ke tahun oleh Komunitas Sant’ Egidio hingga kini. Usaha lain yang giat dilakukan kelompok ini adalah kampanye anti hukuman mati di seluruh dunia serta usaha pemberantasan penyakit Aids.

Sant’ Egidio di Indonesia

Di Indonesia kelompok Sant’ Egidio saat ini ada di Padang, Pekanbaru, Jakarta, Semarang,  Yogya,  Medan, Kupang dan Atambua. Kegiatan utama yang selalu dilakukan adalah doa dan mendengarkan Sabda Tuhan dari Kitab Suci. Di samping itu, kelompok ini rajin mengadakan pelbagai pelayanan untuk orang miskin seperti: mengirim makanan kepada gelandangan, sekolah informal untuk anak-anak jalanan, membantu lansia. Secara Nasional, kelompok Sant’ Egidio Indonesia pernah mengadakan beberapa kali pertemuan.

Dr. Valeria, pengurus Sant’ Egidio pusat, secara khusus memperhatikan perkembangan kelompok ini di wilayah Asia Timur termasuk Indonesia. “Saya sudah lebih dari 10 kali berkunjung ke Indonesia”, ujar Valeria dalam bahasa Indonesia. Menurut Valeria, kontak dengan para anggota terus dilakukan lewat surat berkala dan Website resmi yang dipublikasikan dalam pelbagai bahasa.

Banyak peserta menganggap Pertemuan Internasional Sant’ Egidio amat berharga dalam hidup mereka. “Kami bagaikan para rasul yang bertemu Yesus di gunung Tabor. Kami mendapat pencerahan dan kesegaran. Kini, tiba saatnya kami turun gunung untuk mengamalkan apa yang kami peroleh di sini”, ujar Ign. Teguh Budiono mewakili rekan-rekannya dari Indonesia. (Foto: Peserta dari Indonesia bersama Dr.Valeria Martano dan beberapa anggota Sant'Egidio asal Indonesia yang tinggal di Roma). 

Heri Kartono, OSC (Dimuat di Majalah HIDUP, edisi 15 Februari 2009).

 

Friday, January 23, 2009

Hari Migran Sedunia 2009



PERLUNYA SIMPATI SERTA PERLINDUNGAN

“Pada hari Migran dan Perantau sedunia ini, saya menghimbau setiap individu, komunitas maupun lembaga untuk bermurah hati kepada mereka yang telah meninggalkan tanah airnya”, ujar Paus disambut sorak-sorai ribuan immigran dan perantau yang berkumpul di lapangan Santo Petrus, Vatikan (18/01/09).

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tahun ini Hari Migran dan Perantau Sedunia diperingati secara khusus. Sejalan dengan Tahun Paulus, Paus Benediktus XVI memilih tema: “Santo Paulus Migran, Rasul bagi bangsa-bangsa asing”. Paulus memang lahir dari sebuah keluarga imigran di Tarsus. Paulus sendiri kemudian pergi ke banyak tempat untuk mewartakan Kabar Gembira hingga wafatnya sebagai migran dan martir di kota Roma.

Paus Benediktus XVI dikenal sebagai Paus yang amat peduli pada nasib kaum imigran. Pada saat berkunjung ke kota Brindisi misalnya, (15/06/08) hal pertama yang dikatakan Paus adalah tentang perlunya membela kaum imigran. Brindisi memang dikenal sebagai salah satu pintu masuk kaum imigran dari Kroasia, Montenegro, Albania dan bahkan dari Macedonia ke Italia.

Dalam kunjungannya ke Amerika Serikat (April 2008) beberapa kali Paus menyinggung nasib kaum Migran yang banyak tersebar di negeri Paman Sam tersebut. Kendati demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Kardinal Roger Mahony, Paus tetap menghormati hukum yang berlaku dan tidak mendukung orang melakukan tindakan illegal.

Komunitas Para Migran

Situasi politik yang tak menentu atau krisis ekonomi yang parah, kerap memaksa orang meninggalkan negerinya pergi ke negeri lain mengadu nasib. Italia adalah salah satu negara yang banyak dituju kaum imigran. Dari negara Filipina saja ada sekitar 100 ribu orang. Dari jumlah itu hampir separuhnya tinggal di kota Roma. Dalam setahun, tak kurang dari 11 juta dolar AS uang yang dikirim para migran Filipina ke kampung halamannya. Migran asal Filipina bukanlah yang terbanyak dari segi jumlah namun dari segi agama, migran Filipina menempati urutan terbanyak beragama Katolik. Salah satu gereja yang kerap digunakan komunitas Filipina adalah Basilika Santa Pudenziana. Gereja yang terletak di Via Urbana 160 Roma ini, pada hari Minggu dirayakan empat kali misa, sekali dalam bahasa Inggris dan tiga kali dalam bahasa Tagalog. Gereja selalu penuh!

Di Roma, ada banyak migran yang sukses baik dalam pekerjaan maupun hidupnya. Namun, tidak sedikit juga yang bernasib sebaliknya. Sulit mendapatkan pekerjaan, apalagi jika mereka datang tanpa kelengkapan dokumen. Migran gelap akan terus merasa was-was karena sewaktu-waktu bisa saja petugas menangkapnya. Selain itu, masalah lain juga tidak kalah peliknya, seperti adaptasi dengan bahasa dan budaya setempat.  Mengingat pelbagai kesulitan tersebut, para migran ini butuh bantuan, dukungan serta perlindungan. Selain itu, mereka juga butuh untuk bertemu dengan sesama bangsanya untuk saling menguatkan.

Menurut Frater Yance Guntur dari tarekat Scalabriani, di Roma ada sekitar 150 komunitas kaum migran. Komunitas-komunitas tersebut dibentuk berdasarkan agama, bahasa dan negara asal. Bagi yang beragama katolik, setiap hari Minggu mereka biasa berkumpul untuk merayakan misa dalam bahasa mereka masing-masing, seperti kelompok Filipina. Kesempatan tersebut, biasanya mereka gunakan juga untuk saling tukar informasi dan berbagi suka dan duka. “Para frater Scalabrini bersama para relawan membentuk Gruppo Contatto, yaitu grup yang menjadi penghubung komunitas migran yang satu dengan yang lainnya. Ada 6 frater kami yang bekerja dalam grup ini”, ujar frater asal Flores ini. Untuk memudahkan komunikasi, Gruppo Contatto membuat suatu website www.baobabroma.org .Bersama keuskupan Roma, grup ini setahun sekali mengadakan Festa dei Popoli bagi kaum migran secara meriah.

Pada Hari Migran dan Perantau Sedunia yang ke-95 (18/01/09), komunitas-komunitas Migran yang ada di kota Roma, berkumpul di lapangan Santo Petrus, Vatikan. Masing-masing kelompok datang dengan pakaian, musik serta atribut-atribut dari negaranya masing-masing. Tak lupa, sebagian dari mereka juga membawa bendera serta poster yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut. Mereka semua bergembira menyambut pidato Paus pada hari istimewa tersebut. Lapangan Santo Petrus yang luas, saat itu penuh dengan para migran yang berasal dari mancanegara. Simpati serta kepedulian Paus/gereja atas hidup mereka, merupakan hiburan amat berarti bagi mereka yang dipisahkan dengan sanak-saudara serta tanah airnya.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di Majalah HIDUP, edisi 15 Februari 2009).

 

Wednesday, January 21, 2009

Suprapto Martosetomo (Box)


MEMBERI ALTERNATIF TANPA PAKSAAN

“Pak, kalau aku sudah besar, aku pengen jadi guru!”, begitu ujar si kecil Lorenza Pradhina. Suprapto sang ayah sejenak terkejut mendengar cita-cita anak bungsunya yang saat itu baru masuk TK. Namun dengan ramah ia menjawab: “Wah, bagus sekali cita-citamu itu. Tapi, akan lebih hebat lagi kalau kamu bisa jadi gurunya dokter!”. Si kecil yang panasaran lantas bertanya: “Bagaimana caranya supaya aku bisa jadi gurunya dokter?”. Sang ayah dengan tersenyum menjawab: “Pertama-tama, kamu harus jadi dokter dulu!”. Percakapan tersebut rupanya amat membekas di hati puteri bungsunya. Kini Lorenza tercatat sebagai mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Kristen Kridawacana, Jakarta, tahun terakhir.

Percakapan di atas menggambarkan kepribadian sekaligus kearifan Suprapto, sang ayah yang juga seorang Duta Besar. Gagasan orang lain tidak langsung ditolak. Sebaliknya diterima dahulu, diikuti sambil sekaligus memberi alternatif. Dampaknya, seperti yang terjadi pada anak bungsunya. Sang anak mengikuti nasihat ayahnya tanpa sedikitpun merasa dipaksa.

Suprapto merasa beruntung. Karena istrinya, Yogyaswara Kustantina, dalam banyak hal selaras dengan dirinya. Baik dalam rumah tangga maupun dalam pekerjaan, Yogyaswara yang asal Yogya ini pandai membawakan diri. Kebetulan keduanya berasal dari alma-mater yang sama, Universitas Gajah Mada, Jogya. Keserasian serta keramahan pasangan ini memang mengesankan. Tidak heran bahwa sebuah keluarga Italia di Bolsano yang pernah berjumpa mereka, merasa amat terkesan. “Saya ikut bangga waktu mendengar kesan positif yang membekas kuat di hati keluarga ini tentang Dubes kita dan istrinya”, ujar Pastor Ignas Ledot SVD yang bertemu langsung keluarga Italia tersebut.

Heri Kartono, OSC (dimuat majalah HIDUP edisi 01/02/2009)

Suprapto Martosetomo



DUTA DENGAN KERAMAHAN MEMIKAT

Ketika didaulat untuk menyanyi, tanpa canggung ia berduet dengan istrinya, menyanyikan lagu romantis “Hatimu Hatiku”. Sesudahnya, pasangan ini berbaur dengan para pastor dan suster menari poco-poco.

Hal tersebut terjadi dalam suatu perayaan yang diadakan oleh Irrika (Ikatan Rohaniwan-wati Indonesia di kota Abadi, Roma), 11 Januari yang lalu. Suprapto Martosetomo, Dubes RI untuk Tahta Suci memang dikenal luwes dalam bergaul selain ramah dan bersahaja. Sikapnya ini membuat ia amat dekat dengan para pastor, suster dan bruder yang merupakan masyarakatnya.

Berbuat Baik Kepada Siapa saja

Keramahan serta keluwesan Suprapto, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang serta lingkungannya. “Saya ini berasal dari desa dan terbiasa hidup guyub seperti layaknya masyarakat pedesaan”, jelas Dubes kelahiran Genteng, Banyuwangi (24/04/54) ini. Selain alam pedesaan yang ramah, kedua orang tuanya yang berprofesi pedagang, mempunyai andil besar dalam membentuk karakternya. “Berbuat baiklah kepada siapa saja”, begitu ayahnya kerap memberi nasihat kepadanya. Sementara nasihat mendiang ibunya yang ia ingat adalah: “Jangan membuat orang kecewa. Kalau kecewa, orang tak akan kembali lagi!”.

Keramah-tamahan tidak hanya baik bagi pergaulan, namun sekaligus mendukung tugasnya sebagai seorang diplomat. “Dengan bergaul, saya jadi tahu permasalahan serta keluh kesah masyarakat”, ujarnya memberi alasan. Karena keramahannya pula, rumahnya pernah menjadi tempat mengungsi para mahasiswa. Itu terjadi saat ia bertugas di Manila, Filipina (1986-1990). “Saat itu terjadi usaha kudeta terhadap Pemerintahan Presiden Cory Aquino. Tentara pemberontak sudah menguasai beberapa wilayah di Metro Manila termasuk tempat mahasiswa indekost. Maka demi keselamatan, para mahasiswa bergabung di tempat saya. Hal ini memudahkan bila terjadi situasi darurat. Tugas saya kan harus melindungi masyarakat Indonesia!”, kenang Suprapto.

Suprapto Mertosetomo tidak hanya luwes dalam bergaul, namun ia juga serius dan bertanggung-jawab dalam mengemban tugasnya. Ketika HIDUP berkunjung ke kantornya, Suprapto sedang asyik membenahi arsip pribadinya. Arsip tersebut merupakan clipping berita dari pelbagai sumber tentang beragam persoalan yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Duta Besar. “Kebiasaan ini sudah lama saya lakukan, sejak penempatan pertama saya di Luar Negeri. Dengan cara ini saya bisa mengikuti perkembangan terbaru sekaligus memiliki arsip yang siap digunakan kapanpun dibutuhkan”, jelasnya.

Suprapto berkeyakinan, sebagai seorang Duta Besar, ia harus memiliki informasi sebanyak-banyaknya serta seakurat mungkin. Selain clipping yang biasa ia kumpulkan, Suprapto juga mengikuti pertemuan Asia Group secara berkala. Asia Group adalah kumpulan para Duta Besar untuk Vatikan, khususnya dari kawasan Asia. Beberapa negara lain seperti dari Timur Tengah dan Australia ikut juga bergabung dalam kelompok ini. Sebulan sekali kelompok ini bertemu untuk saling tukar informasi sambil mendengarkan seorang Guest of Honor, yaitu pembicara yang  diundang sesuai topik yang disepakati bersama.

Baginya, informasi yang lengkap dan akurat amatlah penting. “Seorang Duta Besar harus siap dengan semua permasalahan. Informasi yang kita peroleh amat berguna, selain dapat digunakan untuk memberi masukan ke dalam negeri”.

Masih dalam kaitan dengan tugas, Suprapto kerap berkeliling ke biara-biara yang dihuni orang-orang Indonesia. Beberapa biara yang pernah ia kunjungi antara lain biara di kota Orte, Ovada dan Allesandria. Di antara biara-biara tersebut, ada yang tergolong kontemplatif alias tertutup. Di biara kontemplatif, seperti di Vignanelo, pak Dubes dengan rombongan diterima di ruang tamu. Para suster muncul di balik terali besi. Meski demikian, keakraban dapat tetap terjalin. “Waktu itu, kami bernyanyi bersama. Saya dan rombongan di ruang tamu sementara para suster menyanyi dari balik terali besi itu”, ujar bapak dua anak ini.

Sambil berkunjung, Suprapto biasanya menanyakan kebutuhan para suster, terutama yang berkaitan dengan kelengkapan dokumentasi. Karenanya tidak heran bahwa kedatangan Duta Besar ini disambut dengan suka-cita. Pada saat kunjungan semacam ini, tak lupa Suprapto menyempatkan diri menemui Uskup yang membawahi biara yang dihuni orang Indonesia tersebut.

Mengharapkan Kunjungan Paus ke Indonesia

Sebagai Duta Besar untuk Tahta Suci, Suprapto merasa perlu mengetahui seluk-beluk Vatikan dengan baik. Vatikan adalah salah satu Negara Barat yang mengakui kemerdekaan Indonesia sejak awal. Sejak tahun 1947 sudah ada perwakilan Vatikan di Jakarta yang disebut Apostolic Delegate. Hubungan diplomatik kemudian dikukuhkan pada tahun 1950.

Menurut Suprapto, Vatikan meski kecil namun amat disegani dan memiliki pengaruh yang amat besar. Selain itu, Vatikan adalah negara yang mempunyai jaringan terbesar di dunia. “Lewat jaringan yang dimilikinya, informasi dapat diperoleh secara cepat dan tepat”, tutur Suprapto dengan nada kagum.

Bagi Indonesia, menjalin hubungan dengan Vatikan adalah amat penting artinya. “Saat diadakan hearing atau lebih popular dengan istilah fit and proper test di depan anggota Komisi I DPR, saya menekankan soal ini”, ujar alumnus Universitas Gajah Mada ini.

Negara Vatikan tak dapat dilepaskan dengan Paus sebagai kepala negaranya. Di mata Suprapto, Paus Benediktus XVI adalah orang yang sangat arif. Banyak hal besar telah diupayakan Paus asal Jerman ini. “Kunjungan bersejarah Raja Abdullah dari Arab Saudi ke Vatikan (6 Nopember 2007) serta niat baik Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al-Khalifa untuk menyumbang sebidang tanah guna pembangunan gereja di negaranya, adalah berkat usaha Paus Benediktus juga”, ujar anak ke-enam dari tujuh bersaudara ini. “Saya berharap bahwa Paus dapat berkunjung ke negara kita, Indonesia”, lanjutnya. Menurutnya, kunjungan Paus ke Indonesia akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak.

Prioritas: Inter-faith Dialog

Negara Indonesia adalah negara dengan penduduk amat beragam, baik suku, bahasa, agama maupun budayanya. “Kenyataan ini sudah ada, diakui serta dihargai sejak jaman Majapahit. Istilah Bhineka Tunggal Ika yang berasal dari Empu Tantular (abad 15), mencerminkan kenyataan tersebut”, papar diplomat yang pernah tugas di Inggris dan Pakistan ini.  

Penduduk terbesar Indonesia beragama Islam. Namun, pemeluk agama lain juga tidak sedikit. Supaya terjadi kerukunan di antara pemeluk agama yang berbeda, perlu adanya dialog yang terus menerus. Apalagi, dalam setiap golongan, selalu ada kelompok ekstremisnya. “Jumlah mereka kecil namun pengaruhnya besar”, ujar pria yang gemar olah raga badminton ini.

Tiap-tiap kedutaan memiliki kekhususannya tersendiri. KBRI untuk Tahta Suci terutama mengamati bidang inter-faith dialog serta sistem demokrasi di Indonesia”, paparnya. Tidak mengherankan bahwa Inter-faith dialog atau dialog antar umat beragama menjadi prioritas perhatiannya sebagai Duta Besar untuk Tahta Suci. Masalah ketegangan antara Barat, yang kerap diidentikkan dengan kristiani, dengan Islam, sering terdengar. Harus diakui bahwa dalam masyarakat Barat, ada semacam ketakutan terhadap dunia Islam atau lebih dikenal sebagai Islamophobia. Barangkali hal ini muncul sebagai dampak pemberitaan di media massa yang kerap kurang berimbang. Menurut Suprapto, apapun alasannya, haruslah ada kesamaan persepsi agar ketegangan dapat diatasi. Kesamaan pandangan bisa dicapai antara lain dengan cara berdialog.

Indonesia, menurut Suprapto, adalah negara yang amat aktif mengupayakan inter-faith dialog, baik di forum bilateral, regional maupun internasional. Ia sendiri tergolong getol mengikuti forum dialog. Misalnya, pada Juni 2008, Suprapto mengikuti The 2nd World Peace Forum yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, bertempat di Jakarta. Forum yang dihadiri berbagai kalangan agama dari Asia, Australia, Eropa maupun Timur Tengah ini bertujuan mencapai perdamaian dunia dan menghindari adanya penyalah gunaan agama untuk tujuan-tujuan politik.

Kegiatan terakhir berskala internasional yang dihadiri Suprapto adalah International Meeting of Prayer for Peace di Nicosia, Siprus. KBRI untuk Tahta Suci pernah juga menyelenggarakan inter-faith dialog yang diadakan di Vatikan (14/11/07). Acara ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia untuk Tahta Suci. Dari Indonesia hadir antara lain Prof. Din Syamsudin.

Suprapto menyadari, dialog tidak menghasilkan hasil yang cepat atau langsung kelihatan. Meski demikian, ia yakin bahwa lewat dialog segala kecurigaan dan salah sangka akan dapat diatasi. “Sekurang-kurangnya dari dua belah pihak mulai muncul toleransi”, katanya.

Sebenarnya toleransi dan hidup rukun antar pemeluk agama adalah sesuatu yang amat biasa di dalam masyarakat kita. Sekurangnya, itulah pengalaman pribadi Suprapto. Ia lahir dari keluarga Islam dan ia sendiri pemeluk Islam yang taat. Dari keluarga besarnya, ada beberapa saudaranya yang beragama kristiani. Bahkan, salah satu tante dari pihak ayah adalah seorang suster. “Kami terbiasa hidup rukun tanpa mempersoalkan agama. Demikianpun, saat saya kuliah di UGM, beberapa sahabat saya beragama kristiani. Dan kami bergaul akrab tanpa pusing status agama” ujarnya. Bila orang saling mengenal dengan baik, maka segala kecurigaanpun akan sirna dengan sendirinya. “Dialog adalah cara yang paling ampuh mendekatkan kita satu sama lain”, tutur pak Dubes mengakhiri pembicaraan.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 01/02/2009).

 

Monday, January 12, 2009

Basilika St.Maria dei Angeli Assisi.


CIKAL BAKAL FRANSISKAN

Basilika Santa Maria dei Angeli (Maria para malaikat) adalah gereja yang terletak di kaki bukit Assisi. Basilika ini dibangun antara tahun 1569 hingga 1679 melingkupi gereja kecil, Porziuncola, tempat paling suci bagi para biarawan Fransiskan. Di tempat inilah Santo Fransiskus dahulu menyadari panggilan hidupnya, hidup dalam kemiskinan sekaligus memulai gerakan Fransiskan. Bagaimana sejarah dibangunnya basilika yang termasuk tujuh gereja terbesar ini?

Sesudah Fransiskus meninggal, 3 Oktober 1226, para pengikutnya membangun pondok-pondok di sekitar Porziuncola. Dalam perjalanan waktu, semakin banyak peziarah yang datang ke Porziuncola ini. Porziuncola yang sempit tak bisa lagi menampung banyaknya orang yang datang. Perlu dibangun sebuah gereja besar yang menyatu dengan Porziuncola. Untuk membangun gereja besar, maka bangunan-bangunan di sekitar tempat suci Porziuncola dirobohkan, atas perintah Paus Pius V (1566-1572). Kapel Transito, tempat dahulu Fransiskus meninggal dunia, tetap dipertahankan. Pembangunan basilika dimulai pada tanggal 25 Maret 1569.

Dua arsitek ternama masa itu, Galeazzo Alessi dan Vignola merancang basilika bersejarah ini. Pembangunan basilika ini amat lamban karena kekurangan dana. Maklum, dana hanya mengandalkan sumbangan para dermawan. Pembangunan baru selesai penuh pada tahun 1679, lebih dari 100 tahun. Panjang basilika 126 meter, lebar 65 meter dan tinggi kubah 75 meter. Pada tahun 1684 ditambahkan sebuah menara lonceng. Sebenarnya dirancang lonceng kembar namun lonceng kedua tak pernah sempat dibangun.

Dalam sebuah gempa kuat, sebagian basilika rusak parah. Itu terjadi pada tanggal 15 Maret 1832. Perbaikan dimulai pada tahun 1836 dengan arsitek Luigi Poletti. Renovasi selesai pada tahun 1840. Sebuah patung Madonna degli Angeli (Maria para Malaikat) yang berlapis emas diletakkan di bagian atas gereja pada tahun 1930. Patung ini dibuat oleh Colasanti.

Hingga kini basilika St. Maria dei Angeli masih tetap dikunjungi peziarah. Orang datang tidak sekedar untuk mengagumi bangunan namun lebih-lebih untuk meresapkan teladan santo Fransiskus yang tetap dikagumi hingga kini.                 

Heri Kartono,OSC (ditulis untuk peserta Ziarah RS.St.Boromeus Bandung. Foto: Hendra & drg.Tina).

Thursday, January 8, 2009

Vatikan-Italia


BABAK BARU HUBUNGAN VATIKAN-ITALIA

Mulai tahun 2009 Vatikan tidak secara otomatis mengakui undang-undang yang diberlakukan pemerintah Italia, sebagaimana pernah disepakati dalam Perjanjian Lateran. Mengapa pula kaum gay marah dan berunjuk rasa?

Perjanjian Lateran

Perjanjian Lateran adalah kesepakatan antara Pemerintah Italia dengan Tahta Suci, Vatikan. Perjanjian yang disahkan pada 7 Juni 1929 ini ditanda-tangani oleh Perdana Menteri Benito Mussolini mewakili Raja Viktor Emmanuel III dan Kardinal Pietro Gasparri, mewakili Paus Pius XI. Perjanjian tersebut antara lain berupa pengakuan politis atas kedaulatan penuh Tahta Suci di dalam negara Vatikan yang pada saat yang sama  dikukuhkan. Selain itu, disepakati juga pengaturan posisi gereja serta agama Katolik di dalam Negara Italia. Kesepakatan ini disebut Perjanjian Lateran karena ditanda-tangani di Istana Lateran.

Berdasarkan Perjanjian Lateran pula, undang-undang atau aturan yang dikeluarkan pemerintah Italia diterapkan secara otomatis oleh Vatikan. Hal ini bisa dimengerti antara lain karena sebagian besar penduduk negara Vatikan adalah orang Italia bahkan berkewarga-negaraan Italia. Kendati demikian, Perjanjian Lateran juga memberi kekecualian, yaitu bila hukum yang dikeluarkan pemerintah Italia sungguh bertentangan secara mendasar dengan Hukum  Gereja.

Via della Conciliazione (Jalan Perdamaian), jalan yang membentang lebar di muka lapangan Santo Petrus Vatikan, dibangun atas perintah Mussolini. Jalan ini dibangun sebagai kenangan suksesnya kesepakatan antara pemerintah Italia dengan negara Vatikan. Jalan ini sekaligus juga sebagai simbol penghubung antara kota Vatikan  dengan jantung kota Roma.

Dalam perjalanan waktu, hubungan antara Vatikan dengan pemerintah Italia tidak selamanya berjalan harmonis. Dalam beberapa hal, justru timbul ketegangan serta perbedaan pandangan yang tajam, misalnya masalah perkawinan sejenis, aborsi, euthanasia.

Tidak otomatis lagi

Mgr. Jose Maria Serrano Ruiz, ahli hukum Gereja dari Vatikan, menyatakan bahwa aturan dan hukum yang dikeluarkan pemerintah Italia terlalu banyak, tidak menentu dan kerap berseberangan dengan ajaran Moral Gereja Katolik (L’Osservatore Romano, 31/12/08). Elio Vito, salah seorang menteri Italia, membenarkan hal tersebut. Vito juga mengakui bahwa banyak hukum di Italia ditulis secara buruk dan kerap tak bisa dimengerti.

Pada tanggal 1 Oktober 2008, Paus Benediktus XVI mengumumkan suatu undang-undang baru. Undang-undang bernomor LXXI ini, efektif baru berlaku sejak 1 Januari 2009. Berdasar Undang-undang baru yang ditanda-tangani Paus Benediktus XVI ini, Vatikan akan memeriksa terlebih dahulu hukum/aturan dari pemerintah Italia sebelum memutuskan untuk menerimanya. Dengan demikian, undang-undang baru ini mengakhiri aturan yang ditanda-tangani tahun 1929 di Lateran.

Aturan baru Vatikan ini menimbulkan kontroversi di Italia. Beberapa Surat Kabar dan politikus Italia mengkritik kebijaksanaan baru Vatikan tersebut. Editorial dari Harian La Repubblica dan La Stampa mengecam aksi Vatikan ini. Senator Giorgio Tonini dari partai oposisi Demokrat Italia, menyatakan keterkejutannya atas aturan baru Vatikan ini. Dalam wawancara dengan Harian La Stampa, Tonini mengatakan bahwa undang-undang yang dikeluarkan pemerintah Italia dibuat berdasarkan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dan opini publik, jadi bukan aturan yang sewenang-wenang.

Reaksi kecewa juga diungkapkan Massimo Franco, kolumnis harian Corriere. Ia mengatakan bahwa sebenarnya selama ini Vatikan tidak selalu menerima hukum/aturan pemerintah Italia secara otomatis. Menurut Massimo, aturan baru Vatikan ini ibarat sebuah peringatan bertopeng, sekaligus bisa dilihat sebagai ketidak percayaan terhadap pemerintah Italia.

Menyulut Kemarahan Kaum Gay

Aturan baru Vatikan tidak hanya berkaitan dengan pemerintah Italia namun juga dengan dunia Internasional. Segala kesepakatan Internasional, akan diteliti terlebih dahulu sebelum diterima.

Awal Desember yang lalu, Vatikan secara lantang menentang rencana deklarasi PBB yang memperjuangkan hak kalangan homoseksual. Deklarasi yang didukung 66 negara, termasuk 27 negara Uni-Eropa ini antara lain berisi seruan pencabutan undang-undang yang anti terhadap kalangan homoseksual di seluruh dunia. Dikatakan juga bahwa  orientasi seksual atau jatidiri seks tidak boleh menyebabkan seseorang dikenai sanksi, seperti hukuman mati, penahanan atau penjara. Saat ini terdapat sekitar 80 negara yang memiliki undang-undang anti kaum homoseksual. Bahkan, di tujuh negara, kalangan homoseksual dapat dijatuhi hukuman mati.

 Mgr. Celestino Migliore, pengamat Vatikan di PBB menyatakan bahwa deklarasi tersebut dapat digunakan untuk memaksa negara-negara mengakui perkawinan sesama jenis. Menurutnya, Vatikan menghargai usaha penghentian segala bentuk kekerasan terhadap kaum homoseksual. Hanya, rumusan kata-kata dalam deklarasi tersebut melampaui apa yang sebenarnya dimaksudkan. “Deklarasi tersebut tidak ada gunanya. Hanya menciptakan kategori baru yang perlu dilindungi dari diskriminasi. Juga hanya akan mendorong diskriminasi pernikahan kaum hetero tradisional. Negara-negara yang tidak mengakui pernikahan homoseksual, akan jadi sasaran tekanan”, jelas Migliore sebagaimana dikutip pelbagai media massa.

Sikap Vatikan yang menentang deklarasi PBB ini menyulut kemarahan kaum homo. Ratusan kaum homo/lesbian mengadakan unjuk rasa di depan lapangan St.Petrus Vatikan (05/12/08). Beberapa di antara mereka sempat secara demonstratif berpelukan dan berciuman sesama jenis. Aurelio Mancuso, Presiden kaum gay Italia, menyebut Vatikan sebagai jahat. “Apa yang terjadi saat ini sungguh amat penting”, ujar Massimo sesudah unjuk rasanya dibubarkan. “Banyak orang telah melancarkan kampanye global membela kehidupan dan martabat ribuan kaum gay, lesbian, transgender.  Politisi Vatikan yang jahat sebaiknya jangan menghalangi hak-hak azazi manusia”, ujar Massimo.

Babak baru hubungan Vatikan-Italia, bahkan dengan dunia Internasional telah dimulai. Ada banyak kontroversi dan kecaman. Namun, nampaknya Vatikan dan Paus Benediktus XVI akan tetap teguh dengan putusannya. (Foto: Unjuk rasa kaum Homo/Lesbian di Roma anti Vatikan)

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP, edisi 25 Januari 2009)

Thursday, January 1, 2009

Hari Perdamaian 2009.



KONFLIK GAZA WARNAI HARI PERDAMAIAN

Serangan brutal Israel ke Gaza menjelang akhir tahun (dimulai 27/12/08) mengagetkan banyak orang. Meski berdalih membalas serangan roket yang ditembakkan dari Gaza, tak urung tindakan Israel yang menewaskan lebih 350 korban jiwa ini menuai kecaman dari pelbagai penjuru dunia. Pawai Damai yang berlangsung di Roma (01/01/09) amat diwarnai tragedi di Gaza ini.

Hentikan Kekerasan

Paus Benediktus XVI adalah salah satu pemimpin dunia yang langsung mengecam tindakan brutal Israel. Sesudah doa Angelus (28/12/08) Paus menyerukan penghentian tindak kekerasan di Tanah Suci. Paus juga meminta komunitas internasional untuk melakukan apapun yang mungkin guna membantu menemukan jalan keluar dari konflik antara Israel dan Palestina. “Saya amat berduka atas jatuhnya korban jiwa, luka-luka maupun harta, atas penderitaan serta air mata para korban serangan balasan yang tragis dan berulang kali”, ujar Paus. Lebih lanjut Paus berkata: “Negeri asal Yesus tak bisa terus menerus menyaksikan pertumpahan darah semacam itu tanpa henti. Saya meminta agar kekerasan dihentikan dan agar gencatan senjata di Jalur Gaza diberlakukan kembali”, tegas Paus di hadapan ribuan umat yang mendengarkan di lapangan Santo Petrus, Vatikan.

Dalam kotbah misa Hari Raya Maria Bunda Allah (01/01/09) kembali Paus menyinggung masalah Gaza. Ia berharap agar komunitas internasional mengajukan usulan konkrit bagi terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina. Pada saat yang sama Paus berdoa agar kekerasan di Gaza dapat segera diakhiri.

Bulan Mei mendatang, Paus dijadwalkan akan berkunjung ke Israel. Banyak pihak menduga bahwa Paus akan membatalkan perjalanannya ke Israel akibat konflik yang sedang terjadi. Atas spekulasi tersebut, juru bicara Vatikan, Federico Lombardi menyatakan: “Jelaslah bahwa Vatikan mengikuti situasi yang sedang terjadi. Namun masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa kejadian tersebut menjadi faktor penentu”, jelas Lombardi sebagaimana dikutip pelbagai media massa (29/12/08).

Sementara itu, Kardinal Walter Kasper, yang bertanggung jawab atas hubungan dengan Israel mengingatkan perlunya kunjungan Paus ke Israel. Hubungan Vatikan dengan Israel banyak diwarnai ketegangan serta prasangka buruk. Pada Paskah yang lalu misalnya, doa bagi orang Yahudi yang diucapkan pada hari raya tersebut dituding sebagai seruan pertobatan bagi mereka. Selain itu, orang Yahudi masih menganggap bahwa Gereja Katolik, khususnya Paus Pius XII tidak berbuat banyak pada masa penganiayaan jaman Hitler. “Saya yakin bahwa kunjungan Paus ke Tanah Suci akan dapat menghapus prasangka buruk yang mewarnai hubungan kami dengan kaum Yahudi”, ujar Kasper kepada surat kabar L’Osservatore Romano (31/12/08). Kunjungan terakhir ke Israel dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 2000.

Perangi Kemiskinan Untuk Ciptakan Perdamaian

Pertikaian berdarah yang terjadi di Jalur Gaza hanyalah salah satu dari banyak wilayah konflik yang saat ini terjadi. Marco Impagliazzo, presiden kelompok San Egidio, dalam pidato mengawali Pawai Damai di Roma (01/01/09) mengatakan, sampai pada awal tahun 2009 terdapat 35 negara/wilayah yang masih dilanda perang dan kerusuhan. Tidak semua wilayah yang dilanda kerusuhan diberitakan media massa.

Sumber lain di Vatikan menerangkan bahwa korban kekerasan tidak hanya menimpa warga biasa tapi juga petugas Gereja. Sepanjang tahun 2008 ini, sekurangnya 20 petugas Gereja mati terbunuh. Di antara korban tersebut antara lain Uskup Agung Mosul di Irak, Mgr. Paulos Faraj Rahho, mati dibunuh para penculiknya (29/02/08); Pastor Otto Messmer SY dibunuh di apartemennya di Moskow (28/10/08) serta tiga imam di India tewas dalam kerusuhan anti Katolik.

Melihat masih banyaknya kerusuhan serta perang, usaha perdamaian dunia hingga saat ini masih amat relevan. San Egidio yang berpusat di kota Roma adalah salah satu kelompok yang giat mengupayakan gerakan perdamaian. Upaya perdamaian yang diprakarsai San Egidio antara lain mengadakan pawai damai besar-besaran setiap tanggal 1 Januari. Tahun 2009 ini pawai damai dilakukan serentak di 6 kota besar, yaitu Milano, Napoli, Firenze, Alesandria, Genova dan Roma sendiri. Di luar Italia, pawai damai yang diprakarsai kelompok yang sama ini juga dilakukan di beberapa kota di Jerman, Belgia, Monaco. Pawai damai kali ini banyak diwarnai pidato serta poster-poster mengecam serangan Israel ke Gaza yang baru saja terjadi. Di Roma pawai damai berlangsung dari Largo Giovanni XXIII menyusuri Via della Conciliazione dan berakhir di lapangan Santo Petrus, Vatikan.

Setiap tahun, Paus mengeluarkan suatu pesan perdamaian. Pesan perdamaian tahun ini bertema: Perangi Kemiskinan Untuk Menciptakan Perdamaian. Menurut Paus Benediktus XVI, kemiskinan kerap menjadi penyebab timbulnya suatu konflik. Sebaliknya, konflik dapat juga menyebabkan kemiskinan tragis yang berkelanjutan. Dewasa ini masih terdapat banyak orang yang hidup melarat. Sementara jurang antara yang kaya dan yang miskin makin lebar, termasuk di negara yang maju sekalipun. “Salah satu cara yang amat penting membangun perdamaian adalah melalui suatu bentuk globalisasi yang diarahkan pada kepentingan seluruh keluarga manusia….untuk itu dibutuhkan solidaritas global yang kuat antara negara-negara kaya dengan yang miskin”, ujar Paus.

Masih menurut Paus, untuk memerangi kemiskinan diperlukan kerja-sama baik di bidang ekonomi maupun hukum. Hal ini diperlukan guna memungkinkan komunitas internasional, khususnya negera-negara miskin, memetakan permasalahan serta penanganannya secara terkoordinasi.

Saat menerima pawai damai di lapangan Santo Petrus (01/01/09), Paus menghimbau para pemimpin dunia agar melakukan perubahan yang berarti bagi sistem finansial global. Menurutnya, pemecahan jangka pendek atas krisis keuangan yang sedang terjadi, tidaklah memadai. “Itu tidak cukup, seperti dikatakan Yesus, ibarat menambalkan kain baru pada kain yang sudah lapuk”, ujar Paus.

Kilas Balik Hari Perdamaian

Ditetapkannya tanggal 1 Januari sebagai Hari Perdamaian dimulai oleh Paus Paulus VI pada tahun 1968. Waktu itu Paus meminta semua orang yang berkehendak baik untuk merayakan hari pertama setiap tahun sebagai hari perdamaian di seluruh dunia. Ajakan Paus ini tidak hanya bagi orang Katolik namun juga bagi semua pemeluk agama lain.

 Dalam perkembangannya, PBB pun menganggap pentingnya suatu hari perdamaian yang berlaku bagi semua bangsa. PBB kemudian menetapkan hari Selasa ketiga bulan September sebagai Hari Perdamaian Internasional (1981). Pada tahun 2002, ketetapan Hari Perdamaian Internasional sedikit dirubah menjadi setiap tanggal 21 September. Sementara di lingkungan Gereja Katolik, tanggal 1 Januari tetap diperingati sebagai Hari Perdamaian Sedunia.

Perang tak pernah menghasilkan perdamaian. Baik penyerang maupun yang diserang keduanya tak dapat menikmati damai. Tanpa usaha bersama, nampaknya perdamaian akan makin jauh dari kenyataan.

Heri Kartono OSC (dimuat di Majalah HIDUP, edisi 18/01/09).