Monday, March 23, 2009

Kunjungan Paus ke Afrika




MEWARTAKAN PESAN PERDAMAIAN

Lawatan Paus Benediktus XVI yang pertama kali ke benua Afrika (17-23 Maret) telah berakhir. Di Angola Paus dielu-elukan sejuta umat. Kendati demikian, komentarnya mengenai  penanggulangan penyakit AIDS mendapat kritikan tajam.

Sebanyak 60 ribu orang memadati stadion sepak bola Yaounde, ibu kota Kamerun untuk mengikuti misa akbar yang dipimpin Paus Benediktus XVI (19/3). Sebagian umat yang tidak kebagian tempat, harus puas mengikuti misa dari luar stadion. Padahal, sebagaimana dilaporkan BBC News, tidak sedikit umat yang menunggu sepanjang malam untuk dapat masuk Stadion. Presiden Kamerun Paul Biya beserta istri Chantal Biya, turut hadir dalam misa ini. Paus memang mendapat sambutan yang amat hangat (passionate welcome) dari umat Katolik Kamerun.

Sambutan hangat sudah terasa sejak hari pertama Paus tiba di bandara Internasional Yaounde (17/3). Ribuan orang berjajar di jalan yang dilalui Paus, dari bandara hingga kediaman Duta Besar Vatikan di Kamerun, tempat Paus menginap. Banyak di antara mereka mengenakan T Shirt bergambar Paus atau atribut-atribut lain, juga dengan gambar Paus Benediktus XVI. Dalam kunjungannya ke Angola (20-23/3) Paus juga mendapat sambutan yang tidak kalah meriah.

Sinode Para Uskup

Rangkaian kunjungan Paus selama sepekan di Afrika, antara lain untuk menarik perhatian dunia internasional soal isu kelaparan, kemiskinan dan konflik senjata yang banyak melanda Afrika. “Di tengah penderitaan atau kekerasan, kemiskinan atau kelaparan, korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, kita tidak boleh tinggal diam”, ujar Paus seusai disambut Presiden Kamerun Paul Biya.

Salah satu hal penting dalam kunjungan ini adalah pengumuman Paus tentang program kerja Sinode kedua Para Uskup untuk Afrika. Sinode tersebut akan diadakan di Vatikan Oktober mendatang. Adapun temanya adalah: Gereja di Afrika dalam pelayanan Rekonsiliasi, Keadilan dan Perdamaian”. Seorang uskup sempat berkomentar bahwa Sinode ini diadakan pada saat yang tepat, dimana Afrika amat membutuhkan rekonsiliasi serta perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian. Sinode pertama para Uskup untuk Afrika dibuka oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1994.

Dalam pertemuan dengan para uskup di Kedutaan Vatikan, Yaounde, Paus antara lain berkata: “….Apa yang dapat dilakukan Sinode tahun ini untuk membangun Afrika yang haus akan rekonsiliasi, perdamaian serta keadilan? Perang suku, pembunuhan massal serta genocide (pemusnahan suatu suku/ras tertentu) yang terjadi di benua ini semestinya menantang kita secara khusus: Jika benar bahwa di dalam Yesus Kristus kita adalah satu keluarga….seharusnya tidak ada lagi kebencian, ketidak-adilan serta perang”, ujarnya. Masih menurut Paus, Sinode kedua untuk Afrika merupakan kesempatan penting yang menawarkan harapan besar, baik bagi Afrika maupun seluruh dunia. “Rebutlah kesempatan yang diberikan Tuhan bagi kalian. Jawablah panggilan-Nya untuk membawa rekonsiliasi, penyembuhan serta perdamaian bagi komunitas dan masyarakat kalian”, tegas Paus.

Selama di Kamerun, Paus antara lain bertemu Presiden Paul Biya di istana kepresidenan; bertemu para Uskup Kamerun; bertemu 22 tokoh Muslim Kamerun; mengunjungi pusat Rehabilitasi Orang cacat yang didirikan oleh Kardinal Paul Emile Leger dan merayakan misa bersama umat. Pada hari Jumat pagi (20/3), Paus bertolak menuju Negara Republik Angola.

Rekonsiliasi dan Perdamaian

Menurut laporan CNN, diperkirakan satu juta orang menghadiri misa akbar yang dipimpin Paus Benediktus XVI (Minggu 22/3). Misa di alam terbuka ini berlokasi di pinggiran Luanda, ibu kota Angola. Pada kesempatan tersebut, Paus mengajak warga Angola untuk membangun negerinya sesudah puluhan tahun dilanda perang saudara. “Secara tragis awan jahat telah menaungi Afrika, termasuk negara Angola tercinta”, ujar Paus. “Saya datang ke Afrika untuk mewartakan pesan pengampunan, harapan dan hidup baru di dalam Kristus”, lanjut Paus disambut tepuk tangan hadirin.

Dari 17 juta penduduk Angola, 60% beragama Katolik. Agama Katolik masuk Angola 500 tahun yang lalu. Angola adalah negara bekas jajahan Portugis sejak abad 16 hingga tahun 1975. Selama hampir tiga dasawarsa, negeri yang memiliki kekayaan minyak dan intan ini babak belur dilanda perang saudara (sebanyak 15 ribu orang tewas, termasuk para misionaris dalam perang saudara yang baru berakhir tahun 2002). Karena itulah pesan perdamaian Paus dirasa amat cocok dan aktual.

Antusias orang dalam menyambut Paus sempat memakan korban jiwa. Hal ini terjadi di stadion Luanda, menjelang pertemuan Paus dengan kaum muda (21/3). Insiden terjadi ketika pintu gerbang stadion dibuka, empat jam sebelum kedatangan Paus. Saat berdesak-desakan masuk, jatuh korban jiwa. Dua orang gadis tewas di tempat terinjak-injak, sementara 40 orang lainnya luka-luka, sebagian dilarikan ke Rumah Sakit. Salah seorang korban yang selamat, Conceicao Cassange, mengatakan bahwa stadion amat penuh dan temperatur amat panas. Saat itu, sebanyak 30 ribu orang memadati stadion, sebagian besar memang kaum muda namun ibu-ibu banyak juga  yang ikut hadir sambil membawa bayi mereka. 

Pastor Federico Lombardi, juru bicara Vatikan, mengatakan bahwa Paus sangat terkejut saat diberi tahu tentang kecelakaan tersebut. Esok harinya, saat merayakan misa akbar, Paus menyatakan duka cita yang mendalam atas tragedi tersebut. “Saya sampaikan simpati saya kepada keluarga dan teman-teman mereka dan duka cita mendalam, sebab mereka (kedua gadis yang tewas) datang untuk menemui saya. Saya juga berdoa bagi mereka yang menderita luka-luka”, ujar Paus.

Selama di Angola, Paus antara lain bertemu presiden Republik Angola, Jose Eduardo Dos Santos di Istana kepresidenan di Luanda, juga bertemu petinggi Negara serta korps diplomatik; bertemu para Uskup Angola dan São Tomé; bertemu kaum muda di stadion Dos Coqueiros serta merayakan misa akbar bersama umat.

Masalah Aids dan Kondom

Salah satu hal yang mendapat publikasi luas adalah komentar Paus tentang masalah penanggulangan penyakit AIDS. Menurut laporan UNAIDS tahun 2006, sub-Sahara Afrika adalah kawasan paling parah terkena AIDS dibandingkan kawasan manapun di dunia. Hampir sepertiga atau sekitar 22,5 juta orang dewasa dan anak-anak hidup dengan HIV di kawasan tersebut. Banyak lembaga internasional berusaha membantu mengatasi masalah AIDS ini. Salah satu usaha yang paling populer adalah dengan cara membagi-bagi kondom sebagai bentuk pencegahan penularan.

Menurut Paus, kondom tidak akan menyelesaikan persoalan epidemi AIDS di benua ini. “Anda tidak bisa menyelesaikan (epidemi AIDS) dengan distribusi kondom. Sebaliknya, justru menambah persoalan”, ujar Paus. Pernyataan yang langsung mengundang kontroversi tersebut, disampaikan Paus kepada para wartawan dalam penerbangannya dari Itali menuju Kamerun.

Pernyataan Paus mengundang kecaman banyak pihak. Sejumlah menteri dan politisi dari Perancis, Jerman, Spanyol, Belgia dan Luxemburg adalah di antara yang memberi reaksi keras. Menurut mereka, pernyataan Paus mengaburkan bukti ilmiah yang ada dan beresiko membahayakan banyak jiwa di kawasan sub-Sahara Afrika. The New York Times dalam editorialnya mengecam pernyataan Paus, demikian juga Organisasi Kesehatan Dunia. Beberapa kalangan sekuler menggambarkan Paus terisolasi dari dunia nyata. Spanyol dikabarkan sedang menimbang-nimbang untuk mengirim satu juta kondom ke Afrika guna memerangi penyebaran penyakit AIDS. “Penentangan Paus terhadap kondom, mengesankan bahwa dogma agama lebih penting daripada kehidupan rakyat Afrika”, ujar Rebecca Hodes dari Treatment Action Campaign di Afrika Selatan.

Terhadap pelbagai kecaman internasional tersebut, L’Osservatore Romano, Surat Kabar resmi Vatikan, menuduh bahwa Mass Media telah mengecilkan arti kunjungan Paus ke Kamerun dan Angola dengan polemik masalah penghentian penyebaran penyakit AIDS. Sementara Avvenire, Surat Kabar milik para Uskup Italia, menyebut para pengkritik tidak mengerti kedalaman dari pernyataan Paus.

Kepedulian Gereja/Paus tentang kondom hanyalah bagian dari ajaran yang lebih luas dengan tujuan mengajak orang untuk hidup lebih baik. Pada tahun 2005, Paus Benediktus pernah menyatakan kepada para Uskup Afrika bahwa kontrasepsi, termasuk kondom, adalah salah satu di antara trend yang membawa orang pada kemerosotan moralitas seksual. Dengan kata lain, pernyataan Paus tentang kondom sebenarnya jauh lebih luas jangkauannya daripada sekedar masalah mengatasi penyebaran penyakit AIDS, yaitu masalah perilaku seksual yang sehat dan bertanggung-jawab. Juru bicara Vatikan, Pastor Federico Lombardi menyatakan bahwa pendapat Paus Benediktus XVI sesuai dengan pendapat para pendahulunya.

Hari Senin sore (23/3) Paus tiba kembali di Roma, disambut unjuk rasa sekitar 50 orang kaum homo dan atheist. Mereka berdemonstrasi di luar lapangan Santo Petrus, Vatikan, sambil membawa kondom sebagai protes atas komentar Paus.

Lepas dari kontroversi masalah kondom dan AIDS, kunjungan Internasional kesebelas Paus Benediktus XVI dan yang pertama ke benua Afrika dinilai amat positif. “Saya bahagia bahwa Paus telah datang dan memberkati negeri ini. Semoga membawa banyak perubahan yang baik”, ujar Antem Cecilia, seorang guru.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 5 April 2009).

 

Tuesday, March 10, 2009

Prof. Giovanni Giuriati.


MAESTRO GAMELAN DARI ITALI

Saat studi doktorat di Amerika Serikat, ia berkenalan dengan musik gamelan, baik gamelan Jawa maupun Bali. Kini, Profesor musik etnis ini tidak hanya mahir memainkan pelbagai instrumen gamelan, namun juga mengajarkannya.

“Saya masih ingat betul saat pertama kali memainkan gemelan dalam pentas resmi di KBRI di Massachussets Avenue, Washington DC. Waktu itu kami di bawah bimbingan seorang pengajar dari Bali. Sungguh suatu pengalaman yang amat menggembirakan sekaligus mengesankan”, kenang Professor Giovanni Giuriati, dosen Etnomusikologi pada Universitas La Sapienza, Roma.

Giovanni mengaku sudah tertarik pada seni sejak kanak-kanak. Tak heran bahwa saat remaja, ia memutuskan masuk sekolah menengah khusus bidang seni. Sesudahnya, ia juga meneruskan kuliah bidang seni hingga tingkat doktorat. Gelar doktornya ia peroleh dari Universitas Maryland, AS, dengan spesialisasi musik Asia Tenggara. Saat itu ia dibawah bimbingan Ki Mantle Hood, seorang professor yang ahli di bidang musik Jawa dan Bali.

Kerja-sama dengan KBRI Vatikan

Kecintaannya pada musik Indonesia terus berlanjut. Selesai meraih gelar doktorat di AS, ia kembali ke Roma. Di kota tempat kelahirannya ini, Giovanni mengajar di Universitas La Sapienza. Di universitas ini, selain memberi kuliah, Giovanni juga memimpin penelitian tentang musik Bali.

Pengetahuan serta kemahiran Giovanni di bidang musik gamelan, makin sempurna saat ia berkenalan dengan I Wayan Puspayadi, seorang musikus dan penari asal Bali yang saat itu bekerja di KBRI untuk Italia. Sekitar tahun 1990-an Giovanni bergabung dengan Gong Kebyar dibawah binaan I Wayan Puspayadi.

Sejak tahun 2005, Prof.Giovanni menjalin kerja sama dengan KBRI untuk Tahta Suci. Hal ini bermula dari perkenalannya dengan Hadsono Nasehotoen, seorang pencinta kesenian dan bekerja di KBRI Vatikan. Kebetulan KBRI Vatikan memiliki perangkat gamelan lengkap, bahkan memiliki seorang pengajar sendiri, yaitu bapak Widodo Kusnantyo, seorang dosen ISI Jogyakarta yang diperbantukan. Dalam perkembangannya kerja-sama KBRI dengan Universitas La Sapienza dikukuhkan dengan penanda-tanganan M.O.U (Memory of Understanding). Perjanjian tersebut memungkinkan sekitar 15 mahasiswa (terutama jurusan Sastra dan Filsafat) melakukan “stage” belajar gamelan atau tarian di KBRI Vatikan selama 50 jam dan mendapat dua angka kredit. Pada akhir semester, sebagai penutup stage, para mahasiswa menunjukkan kebolehannya bermain gamelan dalam suatu pertunjukan terbuka. Selesai semester resmi, beberapa mahasiswa masih meneruskan secara sukarela belajar gamelan, meski tidak mendapat kredit lagi.

“Kerja-sama ini sudah berjalan selama empat tahun. Secara pribadi saya merasa sangat bahagia mendapat kesempatan yang ditawarkan pihak KBRI Tahta Suci. Dengan demikian, para mahasiswa tidak hanya mengenal secara teoritis kesenian Indonesia namun juga berlatih memainkannya. Untuk itu, saya berterima kasih pada Duta Besar RI untuk Tahta Suci, Bambang Prayitno yang merintis kerja-sama ini dan pada Duta Besar Suprapto Martosetomo yang meneruskannya hingga kini”, ujar Giovanni dengan gembira. Pihak KBRI Vatikan sendiri memandang kerja-sama ini penting. “Promosi seni dan budaya Indonesia sesungguhnya merupakan bagian dari diplomasi publik. Dan ini merupakan salah satu pelaksanaan fungsi dan tugas KBRI”, ujar seorang pejabat KBRI Vatikan.

Bermain Tanpa Notasi

“Hampir semua orang Barat bermain instrumen dengan notasi. Demikian juga para mahasiswa di sini, semua bermain gamelan dengan notasi. Tanpa notasi, mereka akan kebingungan. Tapi, Prof. Giovanni sudah bisa memainkan hampir semua instrumen gamelan Jawa yang ada di KBRI Vatikan, tanpa notasi. Ia mampu memainkan gamelan dengan perasaan, seperti layaknya orang Jawa”, tutur Widodo Kusnantyo, pengajar gamelan.

Widodo yang sudah lebih 4 tahun bergaul dekat dengan Prof.Giovanni, merasa terkesan akan kepribadiannya. “Giovanni adalah sosok yang ulet, pekerja keras dan memiliki rasa seni yang tinggi. Ia sangat antusias mempelajari kebudayaan serta kesenian lain”, paparnya. Lepas dari keahliannya dalam bidang musik, Widodo menilai Giovanni sebagai pribadi yang ramah, supel dan tanggap akan situasi. Lebih dari itu, lewat Giovanni pula banyak orang Italia mulai mengenal dan menyukai kesenian Indonesia, khususnya gamelan.

Bersama para mahasiswa binaannya dan bekerja sama dengan pihak KBRI Vatikan, Prof.Giovanni beberapa kali mengadakan pentas kesenian Indonesia, antara lain di kota Trento, Cremona, Como, Polignano al Mare dan berkali-kali di kota Roma. Mereka tidak hanya menampilkan kesenian gamelan tapi juga beberapa tarian Indonesia seperti Tari Merak, Tari Bondan, Tari Golek Ayun-ayun, Tari Saman dan Tari Pertobatan. Yang terakhir adalah tarian ciptaaan Diakon Mammouth OSC yang sedang bertugas di Roma. Pentas kesenian Indonesia ini memang kerap juga melibatkan para rohaniwan-wati Indonesia yang ada di kota Roma. Pada umumnya tanggapan dari publik Italia amat baik. Tidak sedikit di antara penonton berkeinginan untuk melancong ke Indonesia seusai menyaksikan keindahan kesenian yang mereka nikmati.

Penghargaan dan Pengakuan

Kiprah Prof. Giovanni di bidang etnomusikologi secara bertahap mendapat pengakuan serta penghargaan pelbagai pihak. Saat ini, misalnya, ia menjabat sebagai presiden European Society for Ethnomusicology (Esam), suatu kedudukan yang amat bergengsi. Selain itu, Giovanni saat ini juga duduk sebagai direktur Intercultural Institute for Comparative Music Studies yang berpusat di Venezia.

Dari pihak pemerintah Italia, lewat Menteri Pendidikan dan Menteri Luar Negeri, Prof. Giovani mendapat  sejumlah grant (dana) untuk memimpin penelitian musik di Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Kamboja. Dalam kaitan ini, pria penggemar olah raga ski ini berulang kali melawat ke Indonesia, terutama Bali. Selain ke Indonesia, ia juga kerap pergi ke Kamboja. Ia masih teringat, saat pertama kalinya ke Kamboja (1986), situasi di sana masih porak-poranda akibat perang jaman pemerintahan Pol Pot. “Makanan, air dan keperluan sederhanapun sulit di dapat”, kenang penggemar masakan rendang ini. Selama tiga kali liburan musim panas, Giovanni pergi ke Kamboja untuk mengajar di Universitas Phnom Pehn, Kamboja. Bidang yang ia ajarkan adalah metodologi pengembangan sumber daya lingkungan serta budaya. Kendati demikian, dengan tinggal selama 3 kali di Kamboja, Giovanni mengaku dirinya banyak belajar dari kehidupan orang-orang di sana.

Keahlian sekaligus kegemaran Prof. Giovanni Giuriati dapat berkembang dengan baik antara lain karena mendapat dukungan penuh istrinya, Grabriella. Maklum, sang istri adalah juga seorang musikus. Grabriella mengajar musik di Sekolah Menengah di Roma, bermain piano dan ikut bermain gamelan di bawah bimbingan sang suami tercinta.

Giovanni memang patut bersyukur, karena keahlian, kegemaran serta kehidupan rumah-tangganya dapat berjalan seiring-sejalan. Dan sebenarnya tidak hanya Giovanni, namun juga semua orang yang menyaksikan sepak-terjangnya patut untuk bersyukur. Betapa tidak, lewat sosok yang ramah dan sederhana ini, keindahan musik Asia, khususnya gamelan, dapat dinikmati banyak orang. Dan lewat musik pula kerukunan kedua bangsa dapat terjalin dengan amat manisnya! 

Catatan: 

1. Foto: Prof.Giovanni bersama pak Hadsono dari KBRI Vatikan. 2. Terima kasih pada pak Hadsono yang memberi ijin saya menggunakan foto ini.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 29 Maret 2009).