Wednesday, October 28, 2009

Kota Assisi


TERMASHYUR DI MANCANEGARA

Assisi yang berada di provinsi Perugia, wilayah Umbria, Italia, adalah sebuah kota kecil, terletak di atas bukit. Kota tua (didirikan sekitar tahun 300 sebelum Masehi) ini, berpenduduk 27.000 jiwa. Ada banyak pilihan untuk mencapai kota Assisi. Dari Roma, anda dapat naik Kereta Regional (kereta api murah yang berhenti di setiap stasiun). Dengan kereta jenis ini, waktu tempuh memang agak lama, 2 ½ jam.

Kendati kecil, Assisi termashyur di seluruh dunia dan menjadi kebanggaan orang Italia. Salah satu keistimewaan Assisi, kota ini telah melahirkan 6 orang suci atau santo/santa. Dari ke enam santo ini, tentu saja yang paling populer adalah Santo Fransiskus. Sebuah kota besar di USA diberi nama atas namanya, yaitu San Francisco, California (1776).

Basilika Santo Fransiskus Assisi

Pergi ke kota Assisi tanpa berkunjung ke basilika yang satu ini serasa kurang lengkap. Basilika Santo Fransiskus sering dianggap sebagai trademark kota Assisi. Tempatnya yang menjulang di atas bukit, membuat basilika ini dapat dilihat dari kejauhan. Di kalangan para pengikut Fransiskus, basilika ini disebut Bunda Gereja dari Ordo Fransiskan. Kini basilika ini diakui sebagai salah satu warisan dunia.

Pembangunan basilika dimulai tahun 1228, sesudah Fransiskus dinyatakan sebagai orang kudus. Tanah gereja yang berlokasi di atas bukit, merupakan sumbangan dari Simone Pucciarello. Dahulu bukit ini disebut Collo d’inferno (bukit neraka) karena banyak penjahat dieksekusi di tempat ini. Sesudah dibangun gereja, bukit ini disebut Collo di Paradiso (bukit Firdaus).

Peletakan batu pertama dilakukan oleh Paus Gregorius IX. Basilika ini dirancang oleh Elia Bombardone, salah seorang pengikut pertama Fransiskus. Bagian bawah basilika selesai pada tahun 1230. Pada pesta Pantekosta tahun itu (25 Mei 1230) jenasah Fransiskus yang masih utuh dipindahkan dari basilika St.Clara (dahulu bernama gereja St.George) ke basilika baru ini. Hingga kini banyak peziarah datang dari pelbagai penjuru dunia untuk berdoa di depan makam Fransiskus.

Basilika bagian atas mulai dibangun pada tahun 1239 dan selesai tahun 1253. Basilika Santo Fransiskus merupakan tonggak bersejarah seni Italia. Maklum banyak bagian dari basilica ini dihias seniman-seniman ternama masa itu, seperti Cimabue dan Giotto. Salah satu lukisan Cimabue yang dianggap sebagai karya terbaiknya adalah lukisan Bunda Maria bersama Santo Fransiskus. Lukisan ini dapat kita lihat di salah satu dinding basilica.

Paus Nikolas IV yang sebelumnya adalah pimpinan tertinggi Ordo Fransiskan, mengangkat basilika ini ke status Gereja Kepausan pada tahun 1288. Basilika ini pernah menjadi pusat perhatian dunia saat Paus Yohanes Paulus II berkumpul dan berdoa bersama pimpinan agama-agama lain di tempat ini (27 Oktober 1986). Peristiwa yang sama diulangi lagi pada Januari 2002.

Cikal Bakal Fransiskan

Di Assisi ada banyak bangunan dan gereja yang bersejarah. Salah satunya adalah Basilika Santa Maria dei Angeli (Maria para malaikat). Basilika ini merupakan gereja di atas gereja. Maklumlah di dalam Basilika Santa Maria dei Angeli, terdapat gereja kecil, Porziuncola yang dibangun oleh Fransiskus dan kawan-kawannya. Di tempat ini pula Santo Fransiskus dahulu menyadari panggilan hidupnya, hidup dalam kemiskinan sekaligus memulai gerakan Fransiskan.

Sesudah Fransiskus meninggal, 3 Oktober 1226, para pengikutnya membangun pondok-pondok di sekitar Porziuncola. Dalam perjalanan waktu, semakin banyak peziarah yang datang ke Porziuncola ini. Porziuncola yang sempit tak bisa lagi menampung banyaknya orang yang datang. Perlu dibangun sebuah gereja besar yang menyatu dengan Porziuncola. Untuk membangun gereja besar, maka bangunan-bangunan di sekitar tempat suci Porziuncola dirobohkan, atas perintah Paus Pius V (1566-1572). Kapel Transito, tempat dahulu Fransiskus meninggal dunia, tetap dipertahankan. Pembangunan basilika dimulai pada tanggal 25 Maret 1569.

Setiap kota memiliki riwayat serta kebanggaannya tersendiri. Fransiskus yang telah melahirkan gerakan Fransiskan yang begitu dahsyat, tidak hanya menjadi kebanggaan warga kota Assisi, namun kebanggaan kita semua.

Heri Kartono,OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 25 Oktober 2009).

Tuesday, October 6, 2009

Ordo Salib Suci



OSC MENYONGSONG 800 TAHUN

Dalam usia menjelang 800 tahun, OSC untuk pertama kalinya menggelar Kapitel Jenderal di Indonesia. Di Indonesia, ordo yang memiliki pakaian mirip pinguin ini tersebar di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara hingga Papua. Dalam Kapitel yang lalu, komunitas normatif menjadi isyu yang sempat memanas. Ada apa gerangan?

Kapitel Jenderal OSC (27 Juli-18 Agustus) dihadiri oleh 23 Kapitularis dari pelbagai penjuru dunia. Selain kapitularis, hadir juga periti (staf ahli) dari Eropa, Amerika Serikat, Kongo, dan Indonesia. Psikolog Paulus Hidayat dari Indonesia hadir sebagai fasilitator, sementara Mgr. John Corriveau, OFMCap, dari Canada, sebagai konsultan. Dalam Kapitel ini Mgr. Dr. Glen Lewandowski, OSC terpilih menjadi Magister General OSC untuk kedua kalinya. Sementara 2 Konselor baru yang terpilih adalah Dr. James Hentges OSC dan Dr. Rudyanto Subagio OSC.

OSC adalah ordo Kanonik Regulir yang mementingkan hidup bersama dan juga memelihara liturgi bersama. Dengan kata lain hidup bersama dalam suatu komunitas merupakan sesuatu yang normatif, musti ada. Sejalan dengan perkembangan jaman, pada abad ke-19, OSC memulai misinya ke Amerika Serikat, Brasil, Kongo dan Indonesia. Di daerah misi, seperti Indonesia, para biarawan OSC yang sedikit jumlahnya, harus melayani beberapa wilayah sekaligus. Akibatnya, para anggota OSC jarang berkumpul bersama. Dengan kata lain, OSC di tempat misi, tidak hidup dalam suatu komunitas besar seperti di negeri asalnya. Perkembangan ini terus berlangsung hingga kini. Identitas OSC dengan komunitas normatif-nya dipertanyakan kembali. Topik ini ramai diperbincangkan dalam Kapitel Jenderal yang lalu. Sebagian peserta Kapitel menghendaki suatu perubahan radikal sementara yang lain menginginkan perubahan harus dilakukan dengan memperhitungkan situasi setempat. Untunglah cara radikal tidak disepakati dalam pertemuan akbar ini.

Berpusat di Bandung

Atas tawaran Vatikan, OSC mendapat tugas untuk menangani wilayah yang sekarang menjadi Keuskupan Bandung. Pada bulan Februari 1927 tiga orang OSC, J.H.Goumans, J.de Rooij dan M.Nillesen tiba Bandung. Mereka menggantikan tujuh orang Jesuit yang sebelumnya bertugas di tempat ini. Tiga orang OSC ini harus melayani Bandung, Cimahi, Garut, Tasikmalaya dan Cirebon. Pada awalnya, para biarawan ini terutama melayani orang-orang Belanda atau Indo yang tinggal di bumi Parahyangan.

Umat katolik pribumi pada saat itu belum banyak. Awalnya umat pribumi dikumpulkan di kapel biara Ursulin. Dalam perkembangannya, mereka mendapat tempat di Paroki St. Odilia, Bandung. Dalam waktu singkat, Bandung diangkat oleh Roma menjadi Prefektur Apostolik (1932) dan Vikariat Apostolik (1941). Perkembangan Ordo Salib Suci di Indonesia nyaris terputus dengan pecahnya Perang Dunia II. Pada masa pendudukan Jepang, hampir semua imam OSC ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang. Beberapa orang OSC meninggal dunia dan yang lainnya sakit. Namun semangat para biarawan OSC tetap membara. Sesudah masa pendudukan Jepang berakhir, OSC melanjutkan karya mereka kembali, khususnya di tatar Sunda.

Pelayanan kepada umat pribumi makin ditingkatkan seiring dengan makin bertambahnya orang pribumi yang masuk Katolik. Seorang anak Kuwu, putera Sunda asli, Ludovicus Doewe Prawiradisastra, masuk Katolik (25/05/27). Bapak Doewe amat berjasa sebagai pionir berdirinya sekolah dan gereja Katolik di paroki Ciledug-Cirebon. Selanjutnya peristiwa tak terduga yang menggembirakan adalah masuknya ribuan umat Sunda yang berpusat di desa Cigugur-Kuningan menjadi Katolik. Semula mereka menganut kebatinan Agama Djawa Sunda (ADS). Peristiwa masuknya sekitar 8000-an umat Sunda ini (1964) amat mencengangkan. Sebab, umat Sunda kerap diindentikkan dengan agama Islam. Agama Islam memang berakar kuat di sebagian besar suku Sunda. Yang jelas, peristiwa ini mempengaruhi pola pelayanan pastoral keuskupan Bandung. Salah satunya adalah diupayakannya buku-buku pelajaran agama serta liturgi berbahasa Sunda. Dari kelompok ini pula OSC mendapat banyak anggota baru yang asli Sunda.

Sementara itu, pada tahun 1958, OSC propinsi St.Odilia, Amerika Serikat, memulai misinya di tanah misi Asmat, Papua. Hingga kini, OSC di Papua masih dibawah propinsi St.Odilia.

Tonggak Baru

Pada awalnya, keuskupan Bandung identik dengan OSC. Maklumlah di masa lalu, hampir tidak ada imam dari konggregasi lain atau projo di keuskupan ini. Beberapa karya menonjol yang diprakarsai biarawan OSC antara lain: pendirian Seminari Menengah Cadas Hikmat dan Seminari Tinggi di Cicadas, Bandung (1947). Sepuluh tahun kemudian, Seminari Tinggi dipindahkan ke Jalan Pandu. Selanjutnya, Uskup Bandung Mgr. Arntz OSC didukung pimpinan OSC dan uskup Bogor waktu itu, Mgr. N.J.C. Geise OFM, memulai pendirian Universitas Katolik Parahyangan Bandung (1955).

OSC yang masuk dan berkarya di Jawa Barat berasal dari Belanda. Dengan demikian selama bertahun-tahun, OSC Indonesia berada dibawah naungan OSC propinsi Belanda. Pada tahun 1977, OSC di Bandung mencatat sejarah baru saat diangkat statusnya menjadi Propinsi. Nama yang dipilih adalah OSC Propinsi Sang Kristus, Indonesia. Dengan status baru ini, OSC Sang Kristus menjadi lebih mandiri, termasuk dalam menerima calon-calon, mengadakan pendidikan dan bidang finansial.

Salah satu sumbangan OSC Sang Kristus yang tidak dimiliki OSC di tempat lain adalah karya Rumah Retret. Rumah Retret Pratista di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, didirikan pada tahun 1986. Sejak didirikan, hingga kini, Pratista banyak dimanfaatkan umat dari Bandung, Jakarta maupun tempat lain. Umat Protestanpun banyak memanfaatkan rumah retret yang besar, asri dan berhawa sejuk ini.

Dengan terus bertambahnya anggota, OSC Sang Kristus mulai melebarkan sayapnya. Sejak tahun 1981, OSC Sang Kristus mulai membantu Keuskupan Agats, Papua. Selanjutnya, berkarya di Pulau Nias, Keuskupan Sibolga (1989). Pada tahun yang sama, juga memulai karya di Keuskupan Agung Jakarta. Beberapa tahun kemudian, OSC menerima tawaran untuk berkarya di Keuskupan Agung Medan (1994).

Menyongsong Yubileum 800

Pada tahun 2010 nanti, OSC akan merayakan ulang tahunnya yang ke 800. Pesta Yubileum ini ditandai dengan beberapa hal penting. Tiap-tiap propinsi telah menyiapkan serangkaian acara di wilayahnya masing-masing. OSC Indonesia, misalnya, menerbitkan kalender khusus bekerja sama dengan KKI-KWI. Selain itu, membuat kaos oblong khas OSC, Novena Salib di tiap-tiap paroki, retret umat di Pratista, pertemuan Misdinar dan pelbagai kegiatan lainnya. Perayaan Yubileum sendiri sudah dibuka resmi pada 18 Agustus yang lalu, sekaligus sebagai penutupan Kapitel Jenderal 2009. Yubileum ini nantinya akan ditutup pada bulan September 2010 di biara pusat St.Agatha, di dekat kota Nijmegen, Belanda.

Mgr. Pujasumarta Pr, Uskup Bandung, yang diundang dalam perayaan OSC turut memberikan sambutan. Dalam sambutan yang disampaikannya dalam bahasa Inggris, Mgr.Puja antara lain mengatakan: “OSC hadir di keuskupan ini melalui banyak karya yang baik di tengah-tengah umat, juga di bidang pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga Universitas Parahyangan. Karya dan kehadiran OSC telah amat berarti dan relevan bagi masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar kami. Pada peringatan 800 tahun OSC, anda mengundang saya dan umat keuskupan ini. Karenanya, pada kesempatan ini, saya dari lubuk hati yang tulus ingin mengucapkan terima kasih atas kualitas kehadiran anda sekalian”, demikian Mgr.Pujasumarto. Sambutan Uskup Bandung yang simpatik dan hangat tersebut amat dihargai semua anggota OSC yang hadir.

Sementara itu, pimpinan OSC memanfaatkan perayaan ulang tahun OSC ke 800 sebagai kesempatan untuk menata kembali kehidupan ordo. Kapitel Jenderal yang lalu bertema Starting afresh from the Place of Light (Memulai dengan segar dari Tempat Cahaya) mengindikasikan adanya suatu pembaharuan. Hidup bersama dalam suatu komunitas dengan menekankan perayaan liturgi, menjadi arah ordo ke masa depan. Arah baru ordo ini jelas menjadi tantangan besar bagi OSC Indonesia. Maklumlah, sampai saat ini, OSC Indonesia sebagian besar berkarya di paroki-paroki dengan hanya beberapa anggota saja. Nampaknya, tidak mudah mengkombinasikan harapan ordo dengan kenyataan di lapangan.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 18 Oktober 2009).

Sejarah OSC


PERNAH NYARIS PUNAH

Ketika Perang Salib sedang berkecamuk, lahirlah Ordo Salib Suci atau OSC (Ordo Sanctae Crucis). Ordo yang tergolong tua ini sebenarnya memiliki nama lengkap yang lumayan panjang, yaitu Ordo Sanctae Crucis Canonicorum Regularum Sub Regula S. Agustini. Pendiri ordo ini adalah Theodorus de Celles, seorang ksatria Perang Salib. Theodorus adalah anak bangsawan dari Belgia. Sekitar tahun 1210, Theodorus bersama rekan-rekannya memulai kehidupan membiara dengan mengacu pada cara hidup umat kristiani awal: hidup bersama sehati-sejiwa tertuju pada Allah. Itulah cikal bakal lahirnya OSC. Pada tahun 1211 Theodorus dkk mendirikan biara Clair-Lieu di Belgia Selatan. Lokasi biara pertama OSC ini hingga kini masih kerap dikunjungi.

OSC semakin berkembang dan diakui resmi oleh Paus Innocentius IV pada 23 Oktober tahun 1248. Perkembangan terutama di Eropa Barat seperti Belgia, Belanda, Jerman, Austria, Perancis.

Gereja, sempat mengalami beberapa gempuran badai seperti gelombang reformasi, sekularisasi dan Revolusi Perancis. Tak ketinggalan, OSC juga mengalami gempuran yang sama. Banyak biara OSC ditutup karena pelbagai kesulitan, termasuk karena berkurangnya anggota. Pada tahun 1840, anggota OSC hanya tinggal empat orang saja. OSC nyaris punah!

Beruntung, dalam situasi sulit OSC memiliki H. van den Wijmelenberg, seorang pemimpin yang cemerlang. Di bawah kepemimpinan Wijmelenberg-lah, Ordo ini pelan-pelan bangkit dan berkembang lagi dengan cepat. Pada awal abad ke 20, OSC mulai melebarkan sayapnya ke pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Perkembangan baru ini membawa konsekuensi masalah identitas Ordo yang hingga kini menjadi perbincangan serius. Sebab, di wilayaj misi, OSC umumnya tidak tinggal dalam suatu komunitas normatif.

Pemimpin Umum OSC yang sekarang adalah Mgr. Dr.Glen Lewandowski, O.S.C. Pada Kapitel Jenderal yang lalu, Mgr.Glen terpilih kembali sebagai Magister Jenderal OSC periode 2009-2015. Glen Lewandowski adalah Magister General OSC yang ke-57. Ia lahir di Minnesota (Amerika Serikat) pada tahun 1947 dan menjalani pendidikan awal di seminari OSC, Onamia (Minnesota), dan di Universitas St. John, Collegeville (Minnesota). Ia mengucapkan kaul dalam Ordo Salib Suci pada tanggal 28 Agustus 1970.

Glen menempuh pendidikan teologi di Fort Wayne (Indiana) dan di universitas St. John, Collegeville. Setelah ditahbiskan pada tahun 1974 kemudian menjalani pastoral di salah satu paroki OSC di keuskupan Agung Detroit. Tidak lama kemudian ia meneruskan studinya dibidang teologi di Universitas Chicago dimana ia memperoleh gelar doktor bidang Kitab Suci.

Tidak lama setelah lulus sebagai doktor bidang Kitab Suci, Glen berkarya sebagai dosen di fakultas teologi STFT Abepura, Papua, Indonesia. Selama 22 tahun berkarya di Papua, ia menjabat juga sebagai pimpinan OSC di Papua.

Di Roma, Mgr. Glen sangat aktif dalam The Union of Superior General (perkumpulan para pimpinan tarekat/Ordo) sebagai Dewan Eksekutif. Mgr. Glen juga ditunjuk oleh Paus Benediktus XVI sebagai salah satu bapak sinode ketika sinode uskup-uskup yang lalu tentang sabda Allah.

Heri Kartono (dimuat di majalah HIDUP edisi 18 Oktober 2009).