Saturday, October 2, 2010

Heri Kartono, OSC (tulisan Ari Benawa).


MELEWATI MOMENTUM SULIT

Keinginan Pastor Heribertus Kartono, OSC sebenarnya menjadi imam yang dekat dengan umat di daerah terpencil. Kenyataannya, ia menjalani beragam tugas silih berganti. Ia merasa seperti dikejar-kejar waktu. Bahkan, ia sempat ingin mengundurkan diri.

Pembesarnya, Pastor Agus Rachmat, OSC tentu tidak begitu saja mengabulkan keinginannya. Ia menawari Pastor Heri Kartono, OSC pergi ke Australia untuk mengatur kembali hidup religiusnya yang hampir kandas.

Pastor Heri berangkat, dan tinggal di Katedral Armidale New South Wales, pada tahun 1995. Di tempat ini, ia bekerja membantu pastor paroki, dan mengajar di St Mary Primary School, yang dikelola oleh Suster-suster Ursulin. Sesekali ia juga membantu di O’Connor High School. “Saya sangat menikmati tugas di Armidale, apalagi Pastor Richard Gordon baik hati, dan menjadi teman sharing yang menyenangkan,” akunya.

Tinggal selama lima bulan di Armidale, ia merasa di segarkan kembali. Di penghujung 1995, Pastor Heri kembali ke Indonesia. Meskipun, sebenarnya Uskup Armidale, Mgr. Kevin Manning memintanya untuk bertugas selamanya di Armidale.

Pastor Heri menyatakan siap untuk menerima tugas kembali . Namun, ia meminta pada Provinsial untuk diperbolehkan bekerja di luar Jawa. Provinsial mengizinkan hanya untuk jangka waktu satu tahun. Kebetulan OSC mendapat tawaran untuk bekerja di Keuskupan Agung Medan. Romo Heri kemudian ditugaskan di keuskupan ini. Ia ditempatkan di tanah Karo, Kabanjahe. Sesudah satu tahun, Pastor Heri meminta untuk tetap diperbolehkan bertugas di Sumatera.

Pada tahun 1997, Pastor Heri dipercaya merintis paroki baru, yaitu Paroki Santa Maria Tanjung Selamat, Medan. Sebelum Pastor Heri datang, sempat muncul penolakan dari umat setempat. Semua aktivis paroki membubuhkan tanda tangan penolakan atas kehadiran pastor baru. Padahal, berjumpa pun belum. Sesudah beberapa waktu bertugas di tempat ini, ia pun diterima umat dengan baik. ”Saya senang sekali diizinkan berkarya di antara orang-orang Batak merupakan pengalaman yang sangat berharga, bagi saya”, akunya.

Konselor Jenderal

Rencana berkarya di luar Jawa selama satu tahun, pun menjadi lebih dari lima tahun. Tahun 2001, ia kembali ditugaskan di Pulau Jawa. Pada tahun 2003, Pastor Heri mewakili Indonesia menghadiri Kapitel Jenderal Ordo Salib Suci di Brazil, dan ia terpilih sebagai Konselor Jenderal OSC 2003-2009. Ia adalah OSC dari Indonesia partama yang diangkat menjadi Konselor Jenderal. OSC dipimpin Magister Jenderal, didampingi dua Konselor Jenderal. Biasanya yang terpilh adalah wakil dari Eropa atau Amerika Serikat. Pastor Heri pun menempati pos barunya di Roma. ”Yang menarik bertugas sebagai Konselor Jenderal adalah saya menjadi tahu seluk beluk Ordo ini terutama dari sisi permasalahan dan pergulatannya,” jelasnya.

Oktober 2009, Pastor Heri kembali ke Indonesia. Ia sempat bertugas membantu di Paroki St. Yusuf Cirebon, Jawa Barat atas permintaannya sebagai masa transisi sebelum mengemban tugas resmi. Pada Februari 2010, ia ditugaskan sebagai pastor paroki St. Helena Curug Tangerang.

Paroki ini beruntung memiliki lahan yang luas. Gereja bisa menampung lebih dari 1000 umat. Lebih dari itu, keterlibatan umat tergolong tinggi. Banyak orang hebat di paroki ini. Saya banyak belajar dari mereka. Tugas saya di paroki ini jauh berbeda dengan ketika saya di Tanjung Selamat. Di paroki ini saya lebih sebagai pemersatu dan pendorong mereka,” papar pastor Heri.

Jejak Panggilan

Pastor Heri Kartono adalah putera ke-4 dari delapan bersaudara, buah kasih Bernardus Bambang Sudjono dan Lucia Kartinah. Semasa kecil, bersama keluarganya di Cirebon. Ayahnya asli Cepu, dibaptis setelah anak ke-2 lahir. Sejak kecil, Heri pun sudah didekatkan dengan tradisi Katolik. Setiap Minggu, seperti anggota keluarga lain, ia diwajibkan ke gereja. Jarak rumah ke gereja , hanya satu kilometer. ”Sejak kecil saya ikut Misdinar. Saya sekolah di SD St. Thomas, satu-satunya SD Katolik di Ciledug, Cirebon,” terangnya.

Sebenarnya, semasa kekil Heri tidak mengidolakan sosok imam. Waktu itu, Pastor paroki di Ciledug, Cirebon, adalah Jan van der Pol OSC. Menurutnya, Romo Jan merupakan orang yang tidak pandai berkotbah dan tidak dekat dengan anak-anak.

Jika ditanya, apa yang membuatnya ingin jadi imam, Romo Heri menjawab “Tidak tahu. Yang pasti, sejak kecil saya ingin jadi pastor. Itu saja. Waktu keinginan itu saya utarakan pada orangtua, sempat tidak diperbolehkan. Orangtua menganggap saya masih terlalu kecil. Keinginan untuk menjadi imam pun sempat tenggelam. Keinginan itu timbul kembali ketika saya kelas III SMP. Kebetulan anak dari Pakdhe yang tinggal di Salatiga datang. Ia bercerita tentang Seminari. Syukur, saya diizinkan orangtua untuk masuk seminari. Lebih bersyukur lagi karena saya diterima di Seminari St Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang. Di tahun ke-4, saya sempat berpikir untuk menjadi Biarawan Trapis, OCSO, di Rawaseneng, Temanggung Jawa Tengah. Tetapi, akhirnya saya memilih Ordo Sanctae Crucis atau Ordo Salib Suci”, imam kelahiran Cirebon, 2 Maret 1956 ini berkisah.

Heri Kartono menjalani calon imam OSC di Bandung : Novisiat, dilanjutkan dengan studi Filsafat dan Teologi di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), hingga tahun 1983. Tahun Orientasi Pastoral dijalankan di Paroki Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya. Pada 15 Agustus 1984, ia ditahbiskan imam oleh Bapak Uskup Bogor, Mgr. Harsono, di Katedral Bandung.

Setelah tahbisan, Pastor Heri tetap berkarya di Tasikmalaya hingga tahun 1986. Setelah itu, ia ditugaskan untuk belajar Teologi Moral di Alphonsianum, Universitas Lateran, Roma. Ia menyelesaikan studinya, dan meraih gelar Master, tahun 1989.

Sepulang dari Roma, ia ditugaskan mengajar Teologi Moral dan Etika di Universitas Parahyangan, Bandung. Ia berkarya hingga 1995, sebelum berangkat ke Australia. Selama di Bandung, Pastor Heri dipercaya memegang beberapa jabatan dan pekerjaan. Selain sebagai dosen full-time, ia mengelola majalah Keuskupan Bandung KOMUNIKASI, mengemban tugas sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Filsafat Unpar, sebagai Magister yang harus membina 42 frater OSC, sebagai Pastor Mahasiswa, dan memimpin dua komisi di Keuskupan Bandung. ”Harus saya akui, saat itu situasinya memang menuntut demikian,” ujarnya.

Penulis

Pada 12 Agustus 2010, Pastor Heri me-launching bukunya, berjudul ”Ketika Semua Jalan Telah Tertutup”. Di dunia tulis menulis, pastor Heri bukanlah sosok asing. Selain pernah memimpin di majalah KOMUNIKASI, ia juga pernah mengelola Majalah Keuskupan Agung Medan MENJEMAAT. Selama di Medan, ia pun menjadi kontributor untuk majalah Hidup, hingga ketika ia tugas di Roma . Dari Roma, ia menulis untuk rubrik Majalah HIDUP, seperti Mancanegara, Eksponen, Kesaksian, bahkan juga rubrik anak-anak. Ia sering menulis untuk Rubrik Kesaksian, lebih-lebih karena ia sering berjumpa dengan orang yang punya pengalaman iman yang luar biasa.

Judul ”Ketika Semua Jalan Telah Tertutup” diambil dari salah satu dari 14 kesaksian dalam buku tersebut. Ini kisah dari Pasutri Ganda Kusuma yang sukses dalam usahanya. Namun, bertahun-tahun mereka tidak dikaruniai anak. Pelbagai cara telah mereka tempuh, baik medis maupun alternatif. Terakhir, pasutri ini berobat ke Amerika Serikat. Di sanalah dokter meyakinkan bahwa kemungkinan untuk memperoleh anak amat kecil. Ketika jalan seolah-olah telah tertutup, mertua pak Ganda menyarankan mereka untuk berziarah ke Laurdes. Padahal, waktu itu pasutri ini belum dibaptis. Sepulang dari Laurdes itulah Ibu Ganda mengandung anak pertama dan kemudian disusul anak kedua.

Pastor Heri sebenarnya tidak bermaksud menerbitkan buku. Suatu saat, Pastor Agus Surianto,Pr. Direktur Obor menawarkan menerbitkan kisah-kisah tersebut. Buku yang diberi kata pengantar oleh Prof. Ir Purnomo Yusgiantoro (menteri Pertahanan); Ir H. Salahuddin Wahid (adik Gusdur) dan Trias Kuncahyono (wakil Pemred Harian Kompas) ternyata laku keras. Andre Silalahi, bagian marketing OBOR menyatakan bahwa hanya dua Minggu sesudah launching, persediaan buku telah habis.

Momentum-memontum sulit pun dapat dilalui. “Saya bisa melewatinya berkat Tangan Tuhan yang selalu terulur,” tandas Romo Heri, hingga sampai sekarang saya bisa menjadi imam bagi umat-Nya.

(Ditulis oleh Ari Benawa/PGU. Dimuat di Majalah HIDUP 26 September 2010).


Friday, May 21, 2010

Prisca Hardian Nila Sari


GENDING JAWA YANG MEMBUAT KALAP

Sejak remaja ia sangat gemar kesenian Jawa, khususnya tarian. Namun, kekuatan jahat telah merenggutnya dari dunia seni yang digelutinya. Bahkan, mendengar gending Jawa sekalipun dapat membuatnya kalap. Apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana pula ia terbebas dari kuasa jahat itu?

Prisca Hardian Nila Sari sangat bangga ketika para guru memilihnya untuk menari di hadapan Bapak Menteri. Saat itu (1996) Menteri Pendidikan sedang mengadakan kunjungan kerja. Priscapun tampil dengan penuh percaya diri. Ia antara lain membawakan Tarian Yeg Oyeg. Penampilan Prisca mendapat sambutan meriah dari semua yang hadir.

Gadis cantik kelahiran Malang ini sudah menyukai kesenian, khususnya kesenian Jawa, sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Untuk mengembangkan bakatnya lebih terarah, ia sempat ikut Sanggar Wilies dan kemudian bergabung dengan Padepokan Seni Mangun Darmo. Setamat SMP, Prisca meneruskan ke Sekolah Karawitan Indonesia di Surabaya. Bakatnya yang menonjol dilihat dan dihargai oleh para gurunya. Tidak heran bahwa Prisca kerap diminta untuk tampil dalam pelbagai kesempatan seperti Peresmian sebuah Gedung atau bahkan dalam acara-acara perkawinan sebagai hiburan. Prisca sendiri merasa senang bisa tampil. Dengan itu ia dapat menyalurkan bakat tarinya sekaligus mendapat tambahan uang saku.

Gangguan itu Datang Bertahap
Saat Prisca duduk di kelas 2 SMU beberapa teman mengamati ada yang berubah pada dirinya. Bahkan, salah satu kawan baiknya mengingatkannya untuk berhati-hati. Kawan ini mengatakan, kemungkinan ada yang iri hati dan bermaksud jahat terhadap dirinya. Yang jelas, gerakan Prisca dalam tarian menjadi makin lamban. Tidak hanya itu, ingatannya pada gerak tari-pun terganggu. Tarian yang sudah ia kenal dengan baik, tiba-tiba saja sulit ia bawakan. Semula Prisca cuek saja, mengira bahwa gejala itu merupakan kelemahan alami semata. Prestasi Prisca semakin lama semakin merosot. Sementara itu, entah mengapa, guru-guru juga tidak lagi meminta Prisca untuk tampil.

Yang mengejutkan sekaligus menyedihkan, pada saat 17 Agustusan, tak ada satu kelompokpun yang meminta Prisca untuk tampil. “Biasanya setiap 17 Agustusan, saya kewalahan menerima tawaran tampil!”, kenang puteri bungsu pasangan Dra. MM.Siti Bunayah dan RI.Harsono SPd ini dengan nada sedih. Prisca mulai was-was bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres dalam dirinya. Namun ia tidak tahu apa itu.

Masih di bulan Agustus (1997) terjadi suatu peristiwa yang tak terlupakan. Suatu saat Prisca mendengar alunan musik karawitan. Musik yang biasanya membuat pikiran dan hati tenang, saat itu justru membuatnya panik dan kalut. Sejurus kemudian ia tak sadarkan diri. Beberapa orang mencoba membopongnya. Prisca yang tergolong kurus dan kecil tiba-tiba menjadi amat berat. Dibutuhkan beberapa orang untuk dapat mengangkatnya. Dalam keadaan tidak sadar, Prisca mengamuk, berontak, menendang dan memukul siapa saja. Lamat-lamat ia mendengar seseorang berkata: “Ia kemasukan!”.
Saat Prisca sedang kemasukan itu, dipanggilah seorang guru Jaran Kepang yang dianggap memiliki kelebihan. “Wah, banyak sekali kemasukannya!”, ujar guru kebatinan itu. Guru tersebut mengaku tidak sanggup menyembuhkan Prisca. Seorang lain memberi Prisca rosario. Saat rosario itu digenggamnya, rosario itu putus berantakan, menyisakan bekas hitam di telapak tangan Prisca.

Sejak peristiwa itu Prisca seolah-olah menjadi seperti orang lain. Ia bukan lagi gadis yang lincah dan periang melainkan menjadi pemurung, linglung dan lebih suka mengurung diri. Sejak saat itu pula setiap kali ia mendengar gending Jawa, ia amat terganggu, menjadi kalap bahkan mengamuk.

Pelbagai Upaya Penyembuhan
Orang tua Prisca sedih dan bingung melihat nasib putri bungsunya itu. Dalam keadaan panik, mereka membawa Prisca ke pelbagai tempat, mengupayakan kesembuhan. Mereka juga sempat membawa Prisca ke beberapa paranormal. Seorang paranormal mengatakan bahwa Prisca sudah bertahun-tahun dikirimi kuasa jahat secara bertahap.
Atas saran seorang romo, Prisca dibawa dan tinggal selama 2 minggu di pertapaan Karmel di Tumpang, Jawa-Timur. Para suster Karmel mendoakan Prisca dan mencoba menghiburnya. Prisca memang merasa lebih tenang namun belum sembuh sepenuhnya. Bunyi gending Jawa tetap menghantuinya.

Akhirnya, lewat seorang teman bernama Sri Wulandari, Prisca dipertemukan dengan Pramono, seorang tokoh GKJW (Gereja Kristen Jawa Wetan). Pak Pramono ini diakui sebagai tokoh agama yang memiliki kelebihan. Prisca didoakan secara khusus oleh bapak ini. Prisca juga dianjurkan untuk melakukan Doa Syafaat selama 40 hari penuh. Doa tersebut harus diucapkan persis pada tengah malam alias jam 00.00. Selain Doa Syafaat yang diwajibkan, Prisca menambahkan sendiri Doa Rosario. Selama 40 hari itu Prisca mengaku mengalami pelbagai gangguan. “Sulit melukiskan gangguan yang saya alami. Namun saya bertekad untuk menuntaskan doa seperti yang disarankan, 40 hari tanpa putus!”, kenang Prisca.

Seperti Terlahir Kembali
Sesudah 40 hari penuh berdoa, ada ritual lain yang harus dijalaninya, yaitu dimandikan. Yang memandikan Prisca adalah istri Pramono. Saat dimandikan itu, konon keluar dari dalam tubuhnya seekor binatang yang buruk rupa. Apapun yang terjadi, Prisca merasa lain sekali sesudah ia selesai dimandikan. Ada perasaan lega yang luar biasa. “Saya merasa amat segar dan lega . Saya seperti terlahir kembali!”, ujarnya dengan nada haru. Pada saat itu Pramono memutar musik Jawa perlahan-lahan. Mendengar musik yang sempat membuatnya takut dan kalap itu, Prisca merasakan kedamaian dan kerinduan di dalam kalbunya. Sejak saat itu berangsur-angsur keceriaan Prisca muncul kembali. “Saya merasakan aura yang berbeda dalam hidup saya. Aura yang sempat hilang….”, kenang pemain pelbagai sinetron ini.

Prisca merasa sembuh total pada Desember 1999. Beberapa bulan kemudian ada tawaran dari Solo untuk menari di Jepang. Setelah berlatih khusus selama 3 hari, Prisca mengikuti audisi dan dinyatakan lulus bersama 5 orang lainnya untuk pergi ke Jepang. Prisca tinggal selama 6 bulan di Jepang dan terus menari dari waktu ke waktu hingga kini.
Heri Kartono OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 20 Juni 2010).

Catatan:
Saat ini Prisca tinggal di Jakarta, sering menjadi figuran di beberapa Sinetron seperti: Cucu Menantu; Cinta Fitri; Si Mamat; Kepompong; Mariam Mikrolet; Safa Marwah dan aktif di acara Reality Show.

Friday, January 22, 2010

Indrawati (Gouw Yan Giok)


MENJALIN HUBUNGAN BAIK

Gouw Yan Giok atau Indrawati adalah seorang wanita biasa. Meski demikian, Ia mengenal dengan baik kalangan pejabat, para Kyai hingga Sri Sultan. Siapakah wanita yang sehari-hari dikenal sebagai pengusaha batik khas Cirebon ini?

Pastor Markus Priyo Kushardjono OSC sempat kesal. Pasalnya, KTP yang dijanjikan akan selesai dalam 3 hari, ternyata sesudah satu bulan belum juga beres. Atas saran seorang umat, pastor paroki Santo Yusuf Cirebon ini mengontak ibu Indrawati. Dengan telpon genggamnya, Ibu Indrawati kemudian menghubungi pak Camat langsung. Entah apa yang dikatakannya. Yang jelas, dalam waktu singkat KTP telah selesai bahkan diantar ke pastoran. “Ibu Indrawati itu sakti. Ia mengenal semua pejabat, mulai dari Walikota, Bupati hingga para Kyai di Pondok Pesantren!”, ujar Pastor Kushardjono.

Apa yang dikatakan Pastor Kushardjono bukan omong kosong. Ibu Indrawati memang dikenal dekat dan akrab dengan para pejabat. Walikota Cirebon, Bapak Subardi S.Pd, tidak jarang mampir ke rumahnya sekedar untuk minum kopi atau ngobrol. Karena kedekatan itu pula Indrawati sering diminta membantu pelbagai kelompok. Saat diadakan Natal bersama gereja-gereja di Cirebon (18/01), Indrawatilah yang bertugas sebagai penghubung dengan para pejabat.

Bermula Dari Senam

Pada tahun 1963 Indrawati kuliah di Universitas Trisakti (saat itu masih bernama Universitas Res Publica) Jakarta, jurusan Sastra Indonesia. Selama tinggal di Jakarta, Indrawati mengikuti kursus senam. Hal ini dilakukannya di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswi. Ketika ayahnya meninggal dunia (1966) Indrawati terpaksa berhenti kuliah. Ia kembali ke kota asalnya, Cirebon. Bersama Jenny Kurniati, adiknya, Indrawati meneruskan usaha ayahnya sebagai pengusaha batik Cirebonan.

Sambil mengelola usaha batik, Indrawati membuka sanggar senam. Ia sendiri yang bertindak sebagai instruktur. Pada saat itu, belum ada satupun sanggar senam di seluruh kota Cirebon. Dalam waktu singkat, sanggar senam Indrawati dikenal dan banyak diminati orang. Hampir seluruh istri para pejabat pemerintahan dan pengusaha menjadi anggota sanggarnya. Karena seringnya bertemu, Indrawati mulai mengenal dan dikenal para istri pejabat ini. Tidak jarang para istri ini diantar atau dijemput oleh suami mereka. Dari sinilah Indrawati mulai berkenalan dengan para suami mereka. Indrawati sendiri pandai membawakan diri, oleh karena itu ia dengan mudah diterima di kalangan pejabat Cirebon.

“Berawal dari kegiatan senam, saya kerap diundang untuk menghadiri pelbagai acara resmi pemerintahan daerah. Biasanya saya selalu datang memenuhi undangan mereka!”, papar istri (alm) Souw Kong Liem ini. Semakin hari Indrawati makin dikenal secara luas. Sejumlah pejabat di tingkat propinsipun mulai dikenalnya hingga Gubernur sendiri. Pernah, ibu Aang Kunaefi, istri Gubernur saat itu, menilponnya hanya untuk menanyakan resep Empal Gentong, masakan khas Cirebon. Hal ini menandakan dekatnya hubungan Indrawati dengan ibu Aang Kunaefi.

Sosok Indrawati yang luwes kerap juga diminta bantuannya oleh pemerintah setempat untuk menjadi penghubung dengan kaum minoritas, baik umat Kristiani maupun masyarakat Tionghoa di kota Cirebon. Dengan demikian, sebenarnya figure Indrawati sangat diperlukan oleh pejabat pemerintah.

Selain kalangan pemerintah, Indrawati juga mengenal para Kyai di pondok pesantren. Secara khusus Indrawati mempunyai kedekatan dengan Pondok Pesantren Kempek. Dengan KH. Usman Yahya, pimpinan Ponpes Kempek, Indrawati kerap bersilahturahmi. Indrawati-pun tidak asing dengan para kyai di Pondok Pesantren Buntet yang tersohor itu. Perkenalan Indrawati dengan kalangan Pesantren Buntet juga berawal dari senam. Ia pernah diminta mengajar senam para mahasiswi Akademi Perawat yang berada di lingkungan Pesantren. Dari sanalah ia mulai mengenal para Kyai pimpinan pondok. Hingga saat ini, setiap kali Pesantren mengadakan acara penting, Indrawati selalu diundang bahkan diminta duduk sebagai panitia. Terakhir Indrawati diminta untuk menjadi panitia peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur. Padahal, sudah lama ia tidak mengajar senam lagi.

Lingkungan Keraton

Di Cirebon terdapat dua keraton, yaitu Keraton Kanoman dan Kasepuhan. Dengan kerabat dua Keraton itu, Indrawati mempunyai hubungan amat dekat. Saat masih remaja, ia belajar menari di Keprabonan, lingkungan keraton. Dengan demikian, sejak remaja Indrawati sudah mengenal dari dekat kerabat Keraton. Selain itu, Gouw Tjin Lian, ayah Indrawati adalah satu-satunya pengusaha keturunan Tionghoa yang mendapat ijin tertulis dari Sri Sultan untuk membuat batik Cirebonan. Indrawati yang juga senang membatik meneruskan usaha ayahnya bersama Jenny, adiknya.

Usaha batik Cirebonan yang diteruskan oleh Indrawati dan Jenny, dihargai dan dinilai baik oleh pemerintah. Pejabat-pejabat negara, mulai dari, Mari Pangestu, menteri Hatta Rajasa hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkunjung ke tokonya dan melihat langsung cara pembuatan batik. “Ibu Mari Pangestu malah tidak hanya berkunjung tapi juga makan siang di rumah kami”, ujar ibu dari tiga anak ini. Foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke rumahnya, ia pasang di salah satu sudut tokonya.

Hubungan Indrawati dengan kerabat Keraton sudah seperti keluarga saja, tidak terbatas urusan batik. Setiap ada acara penting di Keraton, seperti acara Pembacaan Babad Cirebon beberapa waktu yang lalu, Indrawati mendapat undangan khusus. Ketika penulis menyatakan ingin melihat-lihat Keraton Kanoman, Indrawati langsung menawarkan: “Apakah mau sekalian bertemu Sri Sultan? Saya bisa telpon beliau!”, ujar Indrawati meyakinkan.

Diperlakukan Wajar

Selama berkecimpung dengan kalangan pejabat pemerintahan, para tokoh masyarakat maupun para kyai, Indrawati merasa diperlakukan wajar. Ketika ditanya tentang kesulitan bergaul, mengingat dirinya adalah keturunan Tionghoa dan beragama Katolik, Indrawati menjawab: “Selama ini saya diperlakukan dengan baik, tidak mengalami kesulitan apapun. Saya sendiri tak pernah merasa sebagai kelompok minoritas atau semacam itu!”, ujarnya.

Menurut Indrawati, aktivis Gereja dan para pastor, khususnya yang bekerja di paroki, jangan segan-segan untuk bergaul dengan kalangan pemerintahan. Bila ada undangan dari pemerintah setempat, sebaiknya datang, supaya dapat bertemu dengan mereka. “Kalau tidak pernah bertemu, bagaimana bisa kenal? Kalau tidak kenal, bagaimana mengharapkan hubungan yang baik?”, ujarnya.

Indrawati telah berhasil menjalin hubungan baik dengan banyak kalangan secara wajar. Relasi itu mengalir begitu saja tanpa beban di pundaknya. Ia memang mempunyai keyakinan yang kuat, segala sesuatu dapat diselesaikan dengan lebih mudah bila terjalin hubungan yang baik.

Heri Kartono OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 14 Februari 2010).

Sunday, January 3, 2010

Anna Sri Harti Sunaryo


NDILALAH…SELALU ADA REJEKI!

Dunia serasa kiamat ketika suaminya dipanggil Tuhan secara tiba-tiba. Sri merasa amat kehilangan, tambahan lagi ia juga bingung bagaimana harus menghidupi 8 anaknya yang masih kecil-kecil….

Sri yang berasal dari Purworejo, menikah pada usia 17 tahun. Suaminya, Sunaryo adalah seorang polisi. Ia adalah anak tunggal dari seorang haji. Keluarga Sri sendiri adalah penganut aliran kepercayaan atau Kejawen. Sri adalah anak ke delapan dari 12 bersaudara. Empat kakak Sri menjadi Katolik karena dimasukan orang tua ke asrama Katolik di Mendut dan Muntilan. Sri sering melihat kakaknya berdoa rosario. Diam-diam Sri tertarik untuk mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Sesudah menikah, keinginan untuk masuk Katolik tetap tersimpan di dalam hatinya. Pada suatu hari, ketika Sri belum lama melahirkan anaknya yang keempat, ia menyampaikan keinginannya untuk masuk Katolik. Di luar dugaan, Sunaryo, sang suami tidak menghalanginya. Dengan hati gembira Sri mendaftarkan diri menjadi katekumen di paroki terdekat, yaitu paroki St.Paulus, Bandung. Waktu itu suaminya sendiri mengantarkannya ke gereja. Sripun dibaptis setelah genap satu tahun mengikuti pelajaran agama (1959). Sejak saat itu ia mulai rajin berdoa dan pergi ke gereja.

Selang hanya beberapa bulan sesudah Sri dibaptis, Sunaryo, suaminya, menyatakan diri ingin masuk katolik juga. Tentu saja Sri amat berbunga-bunga hatinya. Sri tak pernah mengajak suaminya untuk masuk Katolik. Keinginan Sunaryo untuk masuk Katolik adalah murni keluar dari hatinya sendiri. Sunaryopun mengikuti pelajaran agama dan dibaptis di paroki yang sama.

Dunia Serasa Kiamat

Pada tahun 1974, Sunaryo diangkat sebagai Kapolres Kota Cirebon. Sebagai istri seorang Kepala Polisi, Sri mempunyai peranan khusus di lingkungan kepolisian, khususnya dalam kegiatan bhayangkari. Sri sekeluarga amat betah tinggal di kota udang ini.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Peribahasa ini dialami Sri dalam kenyataan hidupnya. Kegembiraannya tinggal di kota Cirebon tak berlangsung selamanya. Pada tanggal 21 Desember 1980 terjadi musibah yang membuat hidupnya berubah total. Pada hari itu suaminya meninggal dunia secara mendadak dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Sri yang amat mencintai suaminya, merasa amat terpukul. Baginya seolah-olah dunia kiamat. Ia sulit menerima kenyataan bahwa suaminya tidak ada lagi bersamanya. Persoalan lain muncul. Delapan anaknya masih kecil-kecil. Anak yang paling kecil baru berusia 9 tahun sementara si sulung masih kuliah. “Bagaimana saya harus menghidupi mereka? Saya tidak tahu mencari uang!”, kenang Sri dengan nada haru.

Untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, uang pensiun dari suaminya jelas tidak memadai sama sekali. Padahal, Sri bercita-cita untuk menyekolahkan semua anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sripun mulai menjual barang-barang miliknya mulai dari piano, meja-kursi hingga segala yang bisa dijual. Ketika barang-barang telah habis terjual, Sripun mulai mencoba macam-macam usaha, antara lain menerima pesanan makanan, menyewakan kamar untuk kost dll. Sri bekerja keras untuk dapat membesarkan dan menyekolahkan semua anaknya. “Ibu memang memiliki semangat yang luar biasa dan pantang menyerah!”, ujar Prasetyo salah satu anaknya.

Pada malam hari, ketika anak-anaknya telah tidur, Sri sering meratap dan berdoa seorang diri. “Tuhan, bantulah saya supaya mampu membesarkan anak-anak. Jangan biarkan saya dan anak-anak terlantar. Saya berjanji, kalau tugas saya membesarkan mereka telah selesai, saya akan membaktikan hidup dan waktu saya untuk gereja”, begitulah selalu ratapan dan doa Sri.

Rupanya Tuhan mendengarkan doa Sri yang dipanjatkan dari lubuk hati yang terdalam. Buktinya, Sri selalu saja mendapat rejeki. Kadang-kadang rejeki itu tak terduga-duga datangnya. “Kalau dipikir-pikir, saya tidak tahu dari mana rejeki itu datang. Ndilalah selalu saja rejeki datang pada waktunya”, ujar Sri penuh syukur. Sebagai contoh, suatu saat Sri sedang membutuhkan dana yang cukup besar. Saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba datang seorang kenalan yang memesan 400 dus nasi. “Tuhan membantu dengan cara yang tak terduga!”, tutur Sri penuh keyakinan.

Seperti kata anaknya, Sri memang wanita yang pantang menyerah. Cita-citanya untuk menyekolahkan anak-anaknya terpenuhi. Kedelapan anaknya dapat menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi. Tidak hanya itu. Semua anaknya mendapat pekerjaan yang relatif cepat dan baik. “Semua anak saya menikah sesudah mereka mampu mencari nafkah sendiri”, ujar wanita yang terlihat sehat di usia 75 tahun ini.

Mengabdi Tuhan di usia Senja.

Kini Sri tinggal seorang diri. Semua anaknya telah pergi dengan istri atau suaminya masing-masing. Tugasnya telah selesai. Sri menikmati hasil kerja kerasnya di masa lalu. Ia tak perlu lagi membanting tulang karena semua kebutuhannya telah tercukupi. Tidak hanya itu, berkat kebaikan anak-anaknya, Sri sempat tiga kali berziarah ke Lourdes dan ke Tanah Suci, Israel.

Sri tak melupakan janjinya kepada Tuhan yang sering ia ucapkan dalam doa-doanya. Sejak anak-anaknya telah dewasa dan mandiri, Sri menghabiskan banyak waktunya untuk gereja. Ia secara rutin pergi ke gereja, paroki Bunda Maria Cirebon. Sri juga ikut Legio Maria dan aktif menghias gereja. Tak jarang Sri juga membantu kegiatan yang berkaitan dengan gereja dengan kekayaan yang ia miliki. “Mobil saya kerap digunakan untuk keperluan gereja”, ujar Sri.

Sri merasa bahwa Tuhan sungguh amat baik. Ia yakin bahwa karena bantuan Tuhanlah ia mampu membesarkan anak-anaknya. Sebagai tanda syukur, ia membuat sebuah Gua Maria kecil di belakang rumahnya. Gua Maria ini diberkati oleh pastor MA. Yuwono OSC, pastor yang kerap datang mengunjunginya.

Di depan Gua Maria ini Sri kerap berdoa, mensyukuri anugerah serta kemurahan Allah dalam hidupnya.

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 14 Februari 2010).