Sunday, December 23, 2012

Natal





NATAL: CERMIN UNTUK PENGUASA!

Tidak banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa Natal, kelahiran Yesus Kristus. Beberapa di antaranya menarik untuk kita simak. Menarik karena ternyata peristiwa seputar Natal masih tetap aktual hingga saat ini.

Di Piazza Venezia, jantungnya kota Roma, sejak awal Desember sudah didirikan pohon Natal setinggi 30 meter, lebih tinggi dari pohon Natal di Vatikan. Demikian juga di seantero kota Roma, pernak-pernik hiasan Natal sudah mulai muncul bahkan sejak bulan Nopember. Semua ingin menyambut Natal, apapun alasannya.

Bila kita simak kisah kelahiran Yesus dalam Injil, ada banyak orang yang ingin menyambut Yesus. “..Segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia”, demikian pesan Raja Herodes kepada tiga orang Majus yang mencari-cari Yesus yang baru dilahirkan (Mt.2,8). Pesannya amat jelas bahwa Herodes “sungguh ingin bertemu” Yesus. Herodes bahkan memberi alasan: “supaya akupun datang menyembah Dia!”

Apakah Herodes bertemu Yesus? Tidak! Sesungguhnya, baginya kelahiran Yesus justru dianggap sebagai ancaman. Karenanya tanpa ragu ia bermaksud melenyapkan sang bayi yang baru lahir itu. Dan ketika sang bayi tidak ditemukan, hatinya menjadi gelap dan galau. Ia memerintahkan agar seluruh anak lelaki dibawah usia 2 tahun di Betlehem harus dibunuh, tanpa kecuali. Bagi Herodes, yang paling penting adalah kekuasaan. Demi mengamankan kekuasaannya itu, apapun ia lakukan. Keinginannya untuk menyembah Tuhan hanyalah basa-basi belaka.

Tokoh lain yang menarik perhatian adalah para imam kepala dan ahli-ahli Taurat. Kedua tokoh ini adalah orang-orang terhormat, pemimpin masyarakat. Dengan keahliannya, mereka mampu menunjukkan pada orang lain, dimana Yesus dilahirkan. Namun sayang, mereka sendiri tak pernah berjumpa Yesus. Mereka memang tidak berminat bertemu. Seperti Herodes, mereka hanya peduli pada kekuasaan yang sedang mereka nikmati.

Jadi siapakah yang dapat bertemu Yesus Kristus yang baru dilahirkan? Pertama-tama adalah para gembala, rakyat jelata. Mereka adalah orang-orang sederhana yang tulus hatinya. Begitu mendengar kabar kelahiran Yesus, mereka langsung bergegas mencari dan menemukanNya. (Lk. 2: 9-16). Orang lain yang juga bertemu sang bayi Illahi adalah tiga orang Majus dari Timur. Dengan hanya petunjuk bintang di langit mereka berangkat dari negerinya yang jauh, mencari-cari dan akhirnya menemukan Yesus (Mt.2: 1-11). Ketulusan dan kepolosan hati para gembala dan orang Majus membuat mereka dapat bertemu Sang Juru Selamat yang turun ke dunia.

Herodes sang Raja, para Imam Kepala dan ahli-ahli Taurat tidak bertemu Yesus. Orang-orang yang berkuasa nampaknya cenderung terlena dengan kekuasaan mereka. Mata hati mereka mudah menjadi gelap oleh kekuasaan yang memang memikat.

Hingga saat ini, banyak orang menyongsong Natal, kelahiran Yesus Kristus. Dan sejarah akan terus terulang, hanya mereka yang tulus dalam pencarian, menemukan kedamaian yang  didambakan.
Selamat Natal.

Heri Kartono, OSC
Gereja St.Helena, Lippo Village.
(Koran Jakarta: 24/12/2012)



Wednesday, August 15, 2012

Kemerdekaan RI





HARAPAN LUHUR UNTUK SI BUTET

Di kota air Venezia, ada jembatan yang dinamai Ponte della Liberta atau Jembatan Kemerdekaan. Jembatan yang diresmikan oleh Mussolini pada tahun 1933 itu semula bernama Ponte Littorio. Pergantian nama jembatan tersebut untuk menandai berakhirnya rezim Fascist di Italia seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II. Rakyat Italia merasa lega dan gembira terlepas dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Kemerdekaan yang mereka idam-idamkan akhirnya dapat mereka rebut. Mereka ingin hidup merdeka, bebas dari cengkeraman penguasa lalim. Lantas timbul pertanyaan, apa yang mereka lakukan dengan kemerdekaan itu? Pertanyaan yang sama timbul manakala suatu bangsa berhasil terlepas dari cengkeraman penjajah atau penguasa yang menindas mereka.

Samar-samar saya ingat, saat masih kecil menjelang tidur, ibu menggendong saya sambil bersenandung. Senandung ibu seperti itu umumnya semacam ‘gumam nina bobo’ agar anaknya cepat tidur. Namun tidak jarang, senandung ibu berisi sebuah doa dan harapan. Doa agar anaknya kelak sukses, menjadi orang terpandang hidupnya dalam masyarakat. Apa yang didoakan serta diharapkan para ibu hampir selalu hal-hal yang baik dan luhur. Tak pernah seorang ibu mendoakan agar anaknya menjadi maling kakap atau koruptor yang sukses…

Panggilan jiwa selalu terarah pada suatu nilai luhur. Sesuatu yang alami. Sekurangnya itulah yang terjadi hampir dimana-mana saat seorang ibu menina bobokan anaknya menjelang tidur. Lagu perjuangan Butet yang terkenal berisi doa dan harapan seorang ibu muda atas bayi perempuannya. Wanita yang ditinggal pergi suaminya untuk berjuang ini, berharap agar si butet anaknya cepat besar dan kelak menjadi petugas palang merah negara. Harapan sederhana namun menyiratkan tekad suci demi masa depan bangsanya.

Setiap orang, setiap kelompok, setiap bangsa, pada dasarnya terpanggil untuk mewujudkan suatu cita-cita yang suci dan luhur. Untuk itu dibutuhkan kebebasan untuk mewujudkannya. Manakala kita tertindas, cita-cita luhur itu tak mungkin kita realisasikan. Namun, apakah adanya kebebasan menjadi garansi terwujudnya cita-cita luhur? Sayangnya tidak demikian.

Kita masih ingat, sebelum terjadi reformasi di negeri ini, banyak orang mencuri-curi mendengar berita dari BBC London atau Radio Australia. Hal itu terjadi karena tak ada kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak hal dikendalikan oleh pemerintah rezim Suharto. Sesudah Suharto tumbang dan muncul kebebasan ala reformasi, apakah situasi lebih baik? Pernah ada yang secara humoris namun ironis memunculkan gambar Suharto dengan kata-kata: Piye kabare, lebih enak jaman saya kan hehehe…! Ini muncul karena situasi reformasi, dimana kebebasan jauh lebih luas namun tidak membawa kesejahteraan yang berarti. Orang justru menyalahkan gunakan kebebasan secara sewenang-wenang. Korupsi meraja lela bahkan semakin terang-terangan.

Orang sudah muak dengan penyalah gunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Nyaris setiap hari rakyat dijejali berita-berita tentang korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini. Karenanya, ketika terbetik berita tentang Joko Wi, seorang pejabat yang konon sederhana dan bersih, orang merasa terhibur. Lepas dari sosok Joko Wi, seorang pemimpin mustinya memang mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi.

John Stuart Mill (1806-1873) filsuf amat berpengaruh abad kesembilan belas, membedakan antara kemerdekaan untuk bertindak dan kemerdekaan sebagai situasi bebas hambatan atau kungkungan. Secara umum Mill mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk bertindak sejauh tidak merugikan orang lain. Korupsi dan tindakan memperkaya diri jelas merugikan kepentingan banyak orang. Kebebasan pada hakekatnya adalah situasi yang dibutuhkan agar kita dapat mewujudkan cita-cita luhur yang kita dambakan bersama.

Almarhum MAW.Brouwer, kolumnis, dinyatakan tidak lulus menjadi Warga Negara Indonesia. Pasalnya, saat diuji menyanyi lagu Indonesia Raya, ia menggantikan kata –ku menjadi –mu. Karenanya ia bernyanyi seperti ini: Indonesia, tanah air-mu, tanah tumpah darah-mu…Ketika ditegur dan diingatkan tentang kekeliruan itu, dengan santai Brouwer menjawab: “Lho, saat ini saya kan belum menjadi warga Negara Indonesia!”

Indonesia, bangsa yang ramah, santun dan murah senyum. Tidak mengherankan bahwa banyak orang, seperti almarhum MAW.Brouwer, tertarik untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Namun mengapa sudah 67 tahun merdeka negeri ini belum semaju bangsa lain? Apa yang salah?

Berakhirnya kolonialisme di negeri kita tahun 1945 nampaknya belum mampu menciptakan kehidupan yang sungguh merdeka. Senandung para ibu agar anak-anak bangsa ini dapat hidup maju dan sejahtera masih jauh di awang-awang. Sebaliknya senandung tangis Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati terus berkumandang di negeri ini. Entah sampai kapan! (Dimuat di Koran Jakarta, 16 Agustus 2012 dengan judul: Belum Sungguh Merdeka)

Heri Kartono, OSC
St.Helena, Lippo Karawaci.

Friday, June 1, 2012

Devie Kusumaputri


TERSENTUH NENEK PENJUAL KUE







Saat masih kecil, setiap kali diajak ke pasar dan melihat nenek-nenek berjualan kue di emperan, ia pasti minta dibelikan kue itu. Bukan karena pengen makan kue itu tapi kasihan melihat nenek tua penjualnya.



Tidak mudah membujuk gadis yang satu ini untuk bersedia ditulis. "Mengapa saya? Saya tidak pantas dan tidak layak untuk ditulis!", ujar Devie Kusumaputri yang akrab disapa Noni. Jawaban yang spontan ini menggambarkan kerendahan hatinya. Padahal, banyak orang melihat sosok Noni sebagai pribadi yang mengesankan. "Bagi saya Noni adalah model dari seorang muda, sukses, jenius, rendah hati dan tangkas", tutur Pastor Dany Sanusi OSC ketika diminta kesannya. Kesan senada juga disampaikan Ibu Rosiany dan Prisca Nuriati (penanggung jawab Komunitas Sant’Egidio Indonesia) yang mengenal Noni dengan baik.


Noni yang mengenyam pendidikan di Amerika sejak usia 15 tahun ini, sehari-harinya bekerja sebagai Direktur PT. Imeco Inter Sarana (Corporate Planning and Development Director). Ia bertugas mengkoordinir kegiatan usaha Imeco di berbagai bidang (energi, perminyakan, properti). PT. Imeco yang dirintis ayah Noni, Ganda Kusuma, tahun ini memasuki usia ke-40. “Sebagai salah satu generasi penerus, bersama dengan direksi yang lain, saya ditantang untuk dapat terus mengembangkan Imeco untuk kesejahteraan banyak orang”, papar lulusan S2 dari Rice University, Houston, Texas ini.

1000 Sahabat Miskin
Kendati mempunyai kedudukan tinggi, Noni tetap memiliki kepedulian sosial yang besar. Akhir tahun 2011, misalnya, bersama Komunitas Sant’Egidio, Noni mengadakan acara Makan Siang Natal bersama sahabat miskin. Tidak tanggung-tanggung, ada 1000 gelandangan, pemulung, anak jalanan, anak panti asuhan dan anak keluarga kurang mampu yang mereka undang. Sebanyak 750 volunteer dari pelbagai komunitas kategorial dan BPK PKK KAJ turut mensukseskan acara ini. Noni mengaku tidak mudah menyelenggarakan kegiatan akbar seperti ini, mulai dari ijin pemakaian lokasi, penyiapan 1000 bingkisan, menjemput para undangan, menggelar 300 meja dengan 1260 kursi! Dalam kepanitiaan, Noni bersama Prisca Nuriati dan Teguh Budiono, memang  bertugas mengkoordinir seluruh seksi.. Untunglah semuanya dapat berjalan dengan baik. Mgr. Ign. Suharyo, Uskup Agung Jakarta hadir pada acara ini hingga selesai.

Makan Siang Natal bersama sahabat miskin merupakan salah satu tradisi Komunitas Sant’Egidio di seluruh dunia. Di Jakarta, acara ini sudah dilakukan sejak tahun 1996. Noni sendiri mengenal Komunitas Sant’Egidio sejak tahun 1999 saat ia kuliah di Boston College, Boston, Massachusetts. Hingga kini ia masih terus terlibat aktif dalam komunitas ini.

Kedekatan Noni dengan anak-anak kurang mampu, tidak hanya terlihat pada acara makan siang bersama yang sensasional itu. Disela-sela kesibukannya, Noni bergabung dengan Sekolah Damai di daerah Sunter setiap Minggu. Dalam kegiatan ini Noni dan kawan-kawan Sant’Egidio tidak hanya memberikan bimbingan belajar atau permainan namun lebih-lebih uluran persahabatan. Karena itu anak-anak miskin mereka sebut dengan istilah sahabat. Sekedar contoh, ketika Pendi, salah seorang pemulung mati tertabrak metromini (30/5), dalam waktu singkat anggota Sant’Egidio berdatangan. Secara spontan mereka ikut mengurus segala sesuatunya hingga ke pemakaman.

Dua minggu sekali pada hari Jum’at, Komunitas Sant’Egidio mengadakan Pelayanan Jalanan. Kegiatan ini dimulai dengan memasak bersama, membungkus makanan dan kemudian membagikannya kepada sahabat-sahabat miskin yang kerap mereka temui di jalan dan kolong-kolong jembatan. Tentang kegiatannya ini, ia sempat berkomentar: "Seringkali saya merasa justru pada saat pelayanan bersama teman-teman, Tuhan memberikan kepada saya banyak hal. Bukan saya yang memberi kepada sahabat yang berkekurangan, tetapi justru saya yang mendapatkan banyak hal dari mereka!", ujar Noni yang juga aktif di komunitas Aksi Relawan Kasih dan Entrepreneurs’ Organization ini.

Kakak Asuh dan Karina
Sejak beberapa tahun yang lalu, Noni menjadi kakak asuh. Aktivitas Noni yang satu ini dimulai dari keputusan keluarga untuk mendukung pendidikan adik-adik di Panti Asuhan Maria Goretti, Palasari, Bali Barat. Saat ini Noni memiliki 65 adik asuh, baik di Bali maupun di Jakarta, dari kelas TK sampai kuliah. Secara teratur Noni menjaga hubungan rutin dengan adik-adik asuhnya melalui surat, email, kunjungan dan pertemuan di saat libur. Selain mendukung dalam kebutuhan mereka dalam pendidikan, Noni juga selalu mencoba untuk men-sharingkan motivasi dan nilai-nilai kepribadian dengan harapan adik-adik asuh tersebut dapat menjadi orang yang berguna di masyarakat. Menjadi kakak asuh, baginya bukanlah sekedar basa-basi belaka. Ia ingin sungguh menawarkan persahabatan yang tulus.

Keterlibatan Noni yang memiliki kepedulian besar pada sesamanya yang kurang beruntung, nampaknya dilirik juga oleh Yayasan Karina. Sejak Januari 2012, Noni diangkat sebagai anggota Badan Pengurus Yayasan Karina (Caritas Indonesia atau yang dikenal juga sebagai Karina KWI). Karina adalah yayasan kemanusiaan milik KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), yang dibentuk tahun 2006. Karina merupakan pusat koordinasi gereja Katolik dalam merespon segala bentuk bencana dan pembangunan kapasitas (capacity building) bagi 37 keuskupan di Indonesia. Karina didukung oleh Caritas International, yang adalah konfederasi dari 165 badan kemanusiaan Gereja Katolik di dunia.

Di Yayasan Karina, Noni yang cenderung perfeksionis ini, merupakan anggota termuda dan ingin menjalankan tugas yang diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Dalam pertemuan Forum Direktur Karitas Keuskupan se-Indonesia di Puncak belum lama ini (akhir Mei 2012) Noni bersama dengan Pastor Padmaseputra SJ, Ibu Murni dan Ibu Rina (para anggota dewan pengurus) memberikan presentasi singkat tentang fundraising. Tentang presentasinya itu, Pastor Dany Sanusi berkomentar: “Karina memerlukan orang seperti Noni yang ahli dan memiliki kemampuan pada soal finansial sesuai dengan pendidikannya!”

Maria Florentina Devie Kusumaputri, waktu kecil sempat bercita-cita menjadi dokter supaya dapat menolong orang yang sakit. Cita-citanya tak pernah terwujud. Namun, keinginannya untuk membantu orang yang sakit dan miskin masih terus tertanam kuat di hatinya. Dari kedua orang tuanya pula Noni belajar untuk memberi dan berbagi sejak ia masih kecil. Dalam perjalanan hidupnya, ia merasa mendapat berkat berlimpah lewat kedua orang tuanya yang begitu baik dan murah hati. Karenanya, ia ingin membagikannya kembali kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Saat akhirnya Noni bersedia untuk ditulis, ia masih berpesan: “Tolong romo, tulisannya simple saja yaa, saya tidak mau di-expose dengan hebat karena saya bukan orang hebat, cuma noni kecil saja…!” (dimuat di majalah HIDUP edisi 17 Juni 2012)
Heri Kartono, OSC




Monday, May 28, 2012

Ludovicus Doewe 2






SAMPAI LUPA PERNAH MENULIS

Hari Sabtu (26/5/2012) ada yang istimewa di Gedung Fakultas Filsafat Unpar, Bandung. Sejak pagi hari ruangan aula ditata secara berbeda. Ada panggung dengan karpet merah, ada bunga-bunga cantik, juga ada banner besar menyolok dengan tulisan: Launching Buku “Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik”. Ya, sore harinya, memang diadakan acara launching. Sekitar 135 undangan hadir, diantaranya keluarga besar Doewe dan rombongan dari Ciledug. Selain mereka, terlihat juga  Mgr.Glen Lewandowski, OSC, pimpinan OSC yang berkedudukan di Roma, Pst.Agust Surianto Pr, direktur Penerbit OBOR, Pst.Harimanto OSC, dekan Fak.Filsafat Unpar dan Keluarga Ganda Kusuma.

Prof.Jakob Sumardjo (budayawan, sastrawan) dan Pst.Agus Rachmat OSC (mantan Rektor Unpar), yang termasuk kontributor/ penulis dalam buku Pak Doewe, tampil sebagai pembicara. Pembicara ketiga adalah Pst.Wirasmo Hadi Pr, vikjen Keuskupan Bandung. Acara launching ini dimeriahkan juga dengan hiburan yang dibawakan Ance Parera, gitaris ternama di Bandung.

Acara launching diprakarsai oleh alumni Sekolah Santo Thomas, sekolah yang dirintis oleh Pak Doewe di Ciledug. Pemandu acara Ayu dan Njoto, adalah juga alumni St.Thomas. Njoto, mungkin karena gugup, berkali-kali menyebut pastor Heri dengan sebutan 'bapak' yang membuat hadirin tertawa geli. Njoto antara lain meminta pastor Heri OSC, penggagas dan editor buku, menceriterakan seluk beluk penulisan buku pak Doewe. Menurut Pastor Heri, buku ini mulai direncanakan sejak tahun 2007. Saat itu pastor Heri mulai menghubungi beberapa penulis, antara lain Prof.Jakob Sumardjo. Namun, karena berbagai kendala, buku ini baru selesai Mei 2012.

Saat giliran Prof. Jakob Sumardjo berbicara, ia berkata: "Beberapa hari yang lalu saya menerima buku ini!”, ujarnya sambil menunjukkan buku pak Doewe. “Saya terkejut bahwa di dalamnya ada tulisan saya. Saya sampai lupa pernah diminta romo Heri menulis tentang suku Sunda dalam kaitan dengan kesundaan bapak Doewe!", ujar Jakob Sumardjo disambut tawa hadirin.

Pak Frans Soesmojo, salah satu anak pak Doewe yang masih hidup, menyatakan kepuasannya atas acara launching buku tentang ayah kandungnya ini. "Kami sungguh terharu bahwa orang tua kami masih dikenang dan dihargai jasa-jasanya", ujar pak Frans. Pst.Wirasmo Hadi Pr, Vikjen Keuskupan Bandung, dalam kesempatan itu menghimbau agar umat Katolik Ciledug memikirkan untuk mengadakan acara peringatan Pak Doewe setiap tahun. "Bapak-ibu dapat memperingati pak Doewe, misalnya setiap tanggal dibaptisnya beliau, 25 Mei". Anjuran Vikjen ini disambut tepuk tangan hadirin, terutama umat Ciledug yang banyak hadir juga.

Secara keseluruhan, acara launching berjalan menarik. Stefanus Tjetje Wirjadi yang hadir bersama istri dan 3 anaknya mengatakan: "Sungguh suatu moment yang meriah dan mengharukan. Keluarga saya bisa mengikuti dengan baik. Suatu pengalaman penting buat mereka!", ujar pengusaha sukses asal Ciledug ini.
Heri Kartono.

NB:
Acara launching buku ini diberitakan juga di KORAN JAKARTA:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/91630





Saturday, May 5, 2012

Ludovicus Doewe



PELOPOR SUNDA KATOLIK

Bermula dari suatu pertemuan di Belo Horizonte, Brasil tahun 2007. Saya dan Pastor Agus Rachmat OSC kebetulan mengikuti pertemuan tersebut. Saat break, kami berbincang-bincang tentang masa kecil, terutama tentang kota kecil Ciledug, Cirebon. Kami memang berasal dari kampung yang sama.
Saat berbicara tentang Ciledug, kami mengenang kembali jasa-jasa Pak Doewe Prawiradisastra, pionir Katolik di sana. Kebetulan baik orang tua pastor Agus maupun orang tua saya, menjadi Katolik adalah berkat jasa dan pengaruh Pak Doewe.

Dari perbincangan informal itu terbetik keinginan untuk menerbitkan sebuah buku tentang Pak Doewe. Buku ini ditulis pertama-tama sebagai bentuk penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa-jasa beliau. Selain itu, kami yakin pula bahwa semangat serta keteladanan Pak Doewe yang luar biasa dapat ditularkan kepada siapa saja yang membaca riwayat hidupnya.
Gagasan penulisan buku mendapat respons positif dari pelbagai kalangan. Selain berisi tulisan tentang riwayat Pak Doewe, buku ini juga diperkaya dengan tulisan lain, masih berkaitan dengan Pak Doewe. Dengan demikian, gambaran tentang Pak Doewe, disoroti juga dari sisi pendidikan, kekatolikan dan ke-sundaan.

Ada banyak orang yang turut berperan aktif dalam proses penerbitan buku ini. Untuk itu, kami menghaturkan penghargaan serta limpah terima kasih. Secara khusus kami ingin mengucapkan terima kasih: Pertama, kepada keluarga besar Pak Doewe, khususnya bapak FX. Soesmoyo, anak ke-4 alm Pak Doewe. Sebagian besar informasi tentang Pak Doewe diperoleh lewat tangan Pak Soesmoyo. Kedua, kepada Mgr.Pujasumarto Pr, Uskup Bandung (periode 16 Juli 2008 s/d 12 Nopember 2010) yang menyambut baik gagasan penulisan buku ini serta bersedia menyampaikan sambutan tertulisnya. Ketiga, kepada para kontributor: Prof. Jacob Sumardjo, Pastor Agus Rachmat OSC, mas Doni Koesumo, ibu Theresia Soestiati. Keempat, kepada Anjar Anastasia yang telah merangkum dengan baik tulisan kisah pak Doewe. Selanjutnya juga kepada Mbak Retno editor senior KKG dan Pak Winarto yang telah bersedia meng-edit naskah akhir. Last but not least, kami ucapkan terima kasih kepada Penerbit OBOR yang bersedia  menerbitkan buku ini.

Heri Kartono, OSC

Monday, April 16, 2012

Cathy Sharon, Perkawinan




PERKAWINAN CATHY DAN INFORMASI TUKANG PARKIR

Cathy Sharon dan Eka Kusumaputera resmi menjadi suami istri. Perkawinannya berlangsung di Gereja St.Fransiskus Xaverius, Kuta, Bali (Sabtu, 14 April 2012). Gereja, sejak dari bagian luar, sudah dihias amat bagus. Bagian dalam apalagi, penuh dengan bunga-bunga istimewa. Ada dua pohon imitasi berwarna putih dengan pernak-pernik meriah, menghias bagian kiri dan kanan tengah Gereja.

Misa belangsung hikmat dipimpin Uskup Denpasar didampingi beberapa Monsinyur dan Imam. Uskup dan Imam yang datang adalah sahabat-sahabat keluarga Ganda Kusuma, orang tua Eka. Yang menarik, perkawinan ini juga dihadiri anak-anak yatim piatu Panti Asuhan Palasari, Bali. Mereka datang sebagai ungkapan terima kasih karena selama ini mereka mendapat santunan dari keluarga Ganda.

Sebelum kotbah ada pengantar dari Romo Pitoyo SJ, kawan baik Eka sewaktu di Boston, USA. Rm.Pitoyo sempat mengutip wejangan ayah pak Ganda yang dikutip dari buku Memoirs Kersaning Allah. Pak Ganda terlihat meneteskan air mata, mungkin ingat sang ayah yg memberi petuah itu.

Selesai Misa, acara dilanjutkan dengan makan siang dan Tea Pai sesuai adat Tionghoa di Grand Hyatt Hotel. Resepsi resmi baru diadakan malam harinya di Khayangan Estate yang terletak di tepi pantai. Banyak juga selebriti yang hadir dalam resepsi seperti Ridho Rhoma, Aming, Sarah Sechan, Rianti Cartwright, VJ.Daniel, Christopher Abimanyu, Evan Sanders..

Satu hal yang mengesankan, semua acara dipersiapkan dengan sangat baik. Panitia berjumlah lebih dari 30 orang. Panitia mengeluarkan Buku Panduan setebal 60 halaman. Semua detail acara, dari penjemputan para tamu, penanggung jawab dll, lengkap tertulis. Terkesan kuat bahwa keluarga ini sungguh menyiapkan perkawinan dengan amat serius.

Sebagai orang Katolik yang baik, keluarga Ganda menginginkan agar upacara perkawinan berlangsung khidmat. Dan memang, upacara berjalan tertib dan khidmat. Dalam rangka menjaga ketertiban itu semua wartawan baik TV maupun koran dilarang masuk. Sebagai gantinya, panitia menyiapkan dokumentasi pilihan untuk mereka sesudah acara berlangsung. Sebagian wartawan yang tidak sabar menunggu berita resmi, mulai mencari-cari informasi. Tukang parkir dan Satpampun mereka wawancarai. Alhasil, tersiarlah berita bahwa upacara perkawinan ini dipimpin oleh 17 Uskup. Sayangnya, tanpa konfirmasi, berita ini dikutip begitu saja oleh media lain, termasuk Televisi Nasional dan Kompas.com yang mustinya terpercaya itu.

Lepas dari beberapa berita yang tidak akurat, rangkaian upacara dan resepsi perkawinan Eka dan Cathy telah berjalan baik sesuai dengan rencana panitia. Pengantin baru juga terlihat bahagia.

(Foto-foto hasil jepretan Pak Andi)

Heri Kartono

Tuesday, April 3, 2012

Alex Gosyanto


DIBAKAR SEMANGAT PELAYANAN
Kariernya terus menanjak, kesibukanpun makin padat. Namun itu semua ia tinggalkan agar memiliki lebih banyak waktu bekerja untuk pelayanan.
Lewat konsorsium minyak Pertamina, Alex Gosyanto mendapat beasiswa studi di Amerika Serikat (1985-1988). Ia beruntung diterima di Colorado School of Mines, salah satu Universitas terbaik di bidang tambang dan perminyakan. Di tempat yang sama ini ia berkenalan dengan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Pertahanan, yang kala itu sedang mengambil jenjang S2 dan S3.
Selesai studi, ia kembali ke Indonesia dan mendapat pekerjaan yang baik. Dengan penghasilannya yang lumayan, ia bisa membantu adiknya kuliah dan memberi hadiah-hadiah pada orang tuanya. Dengan tekun Alex terus meniti kariernya dan menikmati jerih payahnya.
Alexander Eddy Gosyanto, lahir di Makasar 4 September 1964. Sejak kecil Alex sudah menunjukkan prestasi yang mengesankan. Saat ia di SMP, ia menjadi juara umum dan Ketua Osis. Padahal, di SMP Negeri III Makasar itu, Alex adalah minoritas baik dalam agama maupun suku. Prestasinya yang menonjol membuat teman-teman dan pihak sekolah menghargainya. Alex yang berasal dari keluarga Konghocu tertarik dan dibaptis menjadi Katolik saat ia sekolah di SD St.Yacobus, Makasar. “Saya sudah tidak ingat katekese masa kecil itu, namun suasana kebersamaan dalam kegiatan-kegiatan di Gereja serta lagu-lagu yang gembira, masih membekas dalam ingatan”, ujar pria 10 bersaudara ini.
Tertarik Karya Pelayanan
Kebahagiaan Alex menjadi lengkap saat dipertemukan dengan Margaretha Suanning Tanardi yang kemudian dinikahinya (9 September 1992). Alex selalu merasa bersyukur memiliki Suanning sebagai istrinya. Baginya, kehadiran Suanning dalam hidupnya merupakan berkat yang tak terhingga. “Banyak hal dan sifat-sifat dalam diri saya yang sudah berubah berkat kehadiran Suanning, sebaliknya juga demikian”, aku pria berwajah teduh ini. Dari perkawinannya ini mereka dikaruniai tiga anak laki-laki: Vincentius Ivan Gosyanto, Laurensius William Gosyanto dan Benediktus Albert Gosyanto.
Sebagai pasangan suami-istri, suatu saat Alex dan Suanning berkenalan dengan kelompok Couples for Christ (CFC), suatu komunitas suami-istri Kristiani. Dalam Komunitas ini Alex juga istrinya, disadarkan betapa banyak hal dapat dilakukan untuk membangun sebuah keluarga Kristiani. “Dalam gerak komunitas kami bisa melihat tiga poros yang menjadi arah dasar KAJ: Iman dalam Yesus Kristus, Persaudaraan sejati, dan Pelayanan yang murah hati, bertumbuh secara selaras”, papar Alex serius.
Ketertarikan serta keterlibatan Alex dalam pelayanan, khususnya lewat CFC semakin lama semakin mendalam. Ia juga bertekad untuk memajukan CFC, khususnya di Dekenat Tangerang. Selain di CFC, Alex juga aktif di parokinya, St.Helena Curug sebagai pengurus SKK (Seksi Kerasulan Keluarga) dan di Komisi Keluarga KWI. Aktivitasnya dalam pelayanan semakin menyita waktunya.
Keputusan Nekad
Semangat untuk bekerja di ladang Tuhan telah membakar jiwa Alex. Semakin hari ia merasa kesulitan membagi waktu antara kerja dan pelayanan. Saat itu ia bekerja di grup Media Indonesia/Metro TV sebagai GM IT. Alex mulai berfikir, seandainya ia berhenti bekerja dan berganti dengan usaha bisnis sendiri, tentu ia akan lebih leluasa membagi waktunya. Sebenarnya Alex belum sepenuhnya yakin bisnis apa yang akan digelutinya secara mandiri namun semangat pelayanan tak bisa dibendungnya lagi. Sesudah bulat tekadnya, disampaikannya niatnya itu pada Suanning, istrinya. Suanning sempat tertegun namun sejurus kemudian ia berkata: "Jika engkau merasa bahwa Tuhan memanggilmu, lakukanlah, saya mendukung niatmu!". Alex merasa terharu atas tanggapan istrinya yang begitu tulus. Sejak itu Alexpun berhenti dari kerjanya (2003). Sejak itu pula waktunya untuk pelayanan menjadi lebih gencar.
Alex sadar, untuk bekerja di ladang Tuhan, butuh bekal ilmu yang memadai. Padahal, pengetahuan serta kepandaian yang ia geluti selama ini adalah bidang perminyakan. Karena itu, sambil melanjutkan pelayanan, Alex giat memperdalam ilmunya, khususnya berkaitan dengan Kitab Suci. Ia mengikuti Kursus Pendidikan Kitab Suci (KPKS) program 3 tahun di LBI Tebet. Ia juga kuliah Filsafat di STF Driyarkara (sejak 2009). Atas jasa Rm.Robby Wowor OFM, Alex mendapat kesempatan mengikuti Biblical Pastoral Training (2010) di Ateneo, Manila. "Suatu pengalaman yang mengesankan bahwa saya belajar di antara 40 romo, 40 suster dan 8 awam secara cukup intensif", ujar Alex dengan nada bangga. Masih dalam rangka menimba bekal, Alex sempat belajar kepemimpinan di Haggai Institute, Hawaii selama sebulan penuh (2011).
Sambil mengikuti kursus dan pelbagai pembekalan, Alex bekerja sama dengan Rm.Robby Wowor membuka kursus Kitab Suci di Biblika, Lippo Karawaci. Di tempat yang sama, Alex juga membuka toko rohani yang menyediakan macam-macam kebutuhan umat. Alex masih sempat membantu Stefan Leks melanjutkan Media Kerahiman Illahi. Sementara itu aktivitasnya di CFC dan di paroki tetap berjalan seperti semula bahkan semakin intensif. “Kalau dipikir-pikir, saya sendiri heran kok begitu nekat meninggalkan karir saya!”, tutur Alex seperti kepada dirinya sendiri.
Tuhan Memberikan Berlebih
Barangkali kita bertanya, dari mana uang diperoleh bila sebagian besar waktu digunakan untuk pelayanan? Sebenarnya itu juga keheranan Alex. Ia tidak mengerti, sejak memutuskan berhenti bekerja, rejeki justru mengalir makin lancar. “Tuhan telah memberikan berlebih. Kami tak pernah mengharapkan imbalan dalam pelayanan, sebaliknya, tidak jarang kami berbagi dengan rela hati!”, tegas Alex.
Bright Consulting, perusahaan yang dirintis istrinya dengan modal sangat minim berkembang amat baik. Beberapa usaha kecil yang dirintis Alex di bidang bimbingan belajar, toko sekolah dan tempat kost berjalan dengan baik pula. Alex, juga istrinya merasa yakin bahwa Tuhan telah membantu dan melindungi mereka lewat pelbagai cara dan lewat tangan-tangan orang lain.
Alexander Eddy Gosyanto tahu bahwa Allah begitu baik. Ia telah menerima berkat secara berlimpah dariNya. Ia mendapat istri yang begitu baik dan setia, dikaruniai tiga anak yang sehat dan cerdas. Anaknya yang pertama, Vincentius Ivan Gosyanto diterima di University of Colorado, Boulder. Alex menyadari, pelayanan yang ia lakukan selama ini tak lebih merupakan ungkapan iman dan syukurnya kepada Tuhan yang Maha Baik. (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 29 April 2012)
Heri Kartono, OSC