Saturday, March 31, 2012

Kamis Putih



CUCI KAKI DAN MARAKNYA DEMO BBM

Sebelum rapat paripurna DPR (31/3) berita-berita soal demo anti kenaikan harga BBM banyak mendominasi pemberitaan di Media Massa. Tidak sedikit orang yang menjadi korban dan terluka akibat aksi yang disana-sini menjadi anarkis.

Menarik menyimak berita dibalik demo anti kenaikan BBM ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana diberitakan banyak Media, mengeluh bahwa isyu BBM telah dipolitisasi. Pernyataan Presiden wajar, karena di masyarakat isyu kenaikan harga BBM memang berkembang menjadi isyu politik. Seorang pembicara, dalam suatu acara di salah satu Stasiun Televisi Nasional dengan gamblang menyebut bahwa partai tertentu memanfaatkan isyu BBM demi kepentingan mereka. Pembicara lainnya mengatakan bahwa bantuan untuk orang miskin yang direncanakan pemerintah, sebetulnya rekayasa penguasa untuk menarik hati rakyat. Singkatnya, pembicaraan seputar kenaikan BBM pada akhirnya bermuara pada pemilu 2014. Dari pembicaraan tersebut, orang mendapat kesan gamblang, bahwa untuk memenangkan pemilu, memperebutkan kekuasaan, banyak pihak mau menghalalkan segala cara.

Senandung Orang Tua

Banyak orangtua, khususnya para ibu, biasa bersenandung saat meninabobokan anaknya. Tak jarang senandung tersebut berisi suatu doa atau harapan. Harapan agar kelak sang anak menjadi orang yang sukses, kaya raya dan berkuasa. Harapan seperti ini adalah wajar. Bukankah kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa orang yang kaya dan berkuasa itu menyenangkan, dihormati dan menikmati pelbagai kemudahan? Lantas apa yang salah dengan keinginan atau harapan menjadi penguasa dan kaya raya? Tidak ada yang salah, hanya saja keinginan itu sering dapat membutakan mata dan hati manusia.

Sejarah mencatat banyak orang yang demi merebut atau mempertahankan kekuasaan, bisa berbuat apa saja. Raja Herodes, misalnya, tega membunuh ratusan bayi di bawah usia 2 tahun gara-gara ketakutan akan muncul Raja lain yang sudah diramalkan kelahirannya (Injil Matius 2: 16). Ketakutan akan kehilangan kekuasaan membuat Raja Herodes menjadi gelap mata. Ia tidak peduli ratusan bayi tak berdosa mati sia-sia. Yang penting kedudukannya, posisinya, kekuasaannya tidak terusik. Hal yang sama terjadi pada Muammar Khadafi di Lybia. Khadafi demi mempertahankan kekuasaannya, mau berbuat apa saja termasuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Membunuh baginya menjadi seolah-olah hal yang biasa. Rakyat yang sudah lelah dan marah akhirnya menurunkan paksa Khadafi secara tragis. Melihat contoh-contoh tersebut tak heran bahwa orang kerap mengidentikkan kekuasaan dengan kesewenang-wenangan bahkan kelaliman.

Kerinduan Kita Semua

Orang Kristiani menyebut hari Kamis menjelang kematian Yesus, dengan sebutan Maundy Thursday, Holy Thursday, atau Kamis Putih. Pada hari ini umat menyaksikan suatu ritual yang tergolong aneh. Imam yang biasanya berdiri memimpin upacara, turun dari altar, membuka jubah kebesarannya dan mulai membasuh 12 pasang kaki perwakilan jemaat. Yang dilakukan imam ini sebenarnya sekedar mengulang apa yang pernah dilakukan Yesus terhadap kedua belas muridNya. Waktu itu, dalam acara jamuan makan menjelang hari Raya Paskah, tiba-tiba Yesus berdiri dan mulai mencuci kaki murid-muridNya satu per satu. Para murid, kecuali Petrus, terdiam karena kaget. Saking kagetnya, mereka membiarkan Yesus yang mereka hormati mencuci dan membersihkan kaki mereka yang kotor. Pekerjaan tersebut, menurut adat Yahudi biasanya dilakukan oleh seorang budak terhadap tamu yang memasuki rumah. Kali ini Yesus sendiri yang mencuci kaki mereka. Petrus memang sempat protes dan menolak namun akhirnya mau juga dicuci kakinya.

Selesai mencuci kaki, Yesus berkata: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kaki. Aku telah memberi teladan supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Injil Yohanes 13: 13-15). Tindakan Yesus mencuci kaki para murid adalah simbolis. Dalam kesempatan lain secara eksplisit, Yesus pernah juga mengatakan: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu!” (Injil Matius 20: 26). Hal ini dikatakan Yesus ketika Ia melihat dua muridnya berebut posisi penting sebagai muridNya.

Apa yang dilakukan Yesus, meski tidak lazim, sebenarnya dirindukan banyak orang, hingga kini. Seorang pemimpin mustinya mau melayani dan bekerja keras demi kebaikan yang dipimpinnya.

Mengapa Joko Wi, walikota Solo populer? Karena ia mau dan tanpa canggung, memperjuangkan nasib orang-orang yang dipimpinnya. Ia rela memilih mobil Esemka yang sederhana daripada mobil mewah yang dengan mudah dapat ia peroleh. Alasannya jelas, Joko Wi berpihak pada usaha mandiri rakyatnya. Mengapa tindakan Dahlan Iskan yang turun dari mobil dan membuka palang pintu Tol banyak dipuji dan diberitakan Media Massa? Alasannya sama. Orang menghargai dan mengharapkan pemimpin yang mau melayani, mau bersusah-susah demi orang yang dilayaninya. Bukankah sebagai menteri, pak Dahlan sebenarnya bisa minta dikawal polisi, lancar, nyaman. Beres.

Terlalu sering kita menyaksikan ulah para pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, memperkaya diri dan sekaligus menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Orang merindukan pemimpin yang sungguh mau melayani. Joko Wi dan Dahlan Iskan telah sedikit memenuhi kerinduan rakyat.

Hari ini, Kamis Putih, kita diingatkan kembali akan ajaran dan teladan Yesus tentang sosok seorang pemimpin sejati. Rasanya tidaklah lengkap bila kita tidak mengetahui konsekuensi dari ajaran radikal tersebut. Pemimpin yang mau total melayani bukanlah pemimpin yang populer. Sebaliknya, ada banyak 'pemimpin' lain yang justru berang dan terganggu oleh sosok pimpinan ini. Para pemimpin jahat ini pada akhirnya mencari upaya untuk menyingkirkan sang pemimpin sejati. Karena kedengkian merekalah akhirnya Yesus harus menderita dan mati di kayu salib. Kematiannya kita kenang pada hari Jumat besok. Umat Kristiani menyebutnya sebagai Jumat Agung. Yesus yang mengajarkan pelayanan sebagai seorang pemimpin rela menerima konsekuensinya, mati di kayu salib.

Nampaknya setiap orang yang merayakan Hari Raya Kamis Putih, harus siap juga merayakan Jumat Agung. Dua hal yang tak terpisahkan satu sama lain.(Foto: Pembasuhan kaki, oleh Jo Hanafi. foto demo anonim).

Heri Kartono, OSC (Dimuat di Koran Jakarta edisi Kamis, 5 April 2012)

Sunday, March 25, 2012

Agus Rachmat OSC (2)



PASTOR YANG EKSENTRIK

Tidak mudah menjadi Rektor saat terjadi kemelut sengit. Pastor yang eksentrik ini dapat melalui dan menyelesaikan krisis dengan amat baik. Lantas apa saja kiatnya?

Pastor Agus Rachmat OSC hanya menduduki jabatan Rektor Universitas Katolik Parahyangan Bandung selama 17 bulan (1993-1995). Namun tugas yang diemban di pundaknya amat berat, menyelesaikan konflik yang panas dan berlarut-larut. Saat itu terjadi kemelut di Unpar. Universitas terbelah, separuh pro Yayasan, separuh lagi pro Rektor. Mahasiswa demo, karyawan bingung. Perselisihan antara Rektor dengan pihak Yayasan pada akhirnya berimbas ke semua aspek Civitas Academica Unpar.

Kiat Jitu Penyelesaian Kemelut

Pjs Rektor Unpar, Agus Rachmat berhasil meredam konflik dan memulihkan suasana menjadi kondusif lagi. Apa sebenarnya kiat pastor yang kutu buku ini? Sejak awal, Agus Rachmat memaklumkan bahwa dirinya tidak berambisi menjadi Rektor. Artinya, sesudah selesai kemelut, ia akan langsung lengser. Ternyata pernyataannya ini berdampak positif. Orang berhasil diyakinkan bahwa dirinya tdak memiliki vested interest, tidak ada yang harus dipertahankan mati-matian demi keuntungan pribadi.

Selanjutnya Agus mendekati Rektor saat itu, Dr. Pande Raja Silalahi, SE dan membuat gentlemen agreement. Ia manjanjikan bahwa penyelesaian kemelut akan bersifat legal dalam arti ditentukan oleh Dikti (Dinas Perguruan Tinggi) dan Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta). Meski demikian, Agus menolak penyelesaian lewat jalur Pengadilan yang dinilainya tidak pas. Sikap ini tidak hanya diterima oleh pihak Rektor tetapi juga diterima pihak Yayasan yang bersengketa.

Terhadap aktivis mahasiswa yang ikut bergolak, Agus melakukan pendekatan dengan meladeni mereka untuk berdebat. Disisi lain, Agus dengan sengaja mempermudah pelbagai bantuan dana untuk kegiatan mahasiswa. Keterbukaan sekaligus kemurahan Pjs. Rektor ini tentu saja ditanggapi dengan gembira oleh para mahasiswa.

Tak lupa, Agus Rachmat juga mengadakan pendekatan pada tenaga administratif dan akademik. Kepada mereka Agus meminta agar kegiatan dapat berjalan seperti biasanya. Agus menekankan pentingnya transparansi khususnya dalam proses penerimaan mahasiswa baru yang kerap menjadi sorotan saat itu. Singkatnya, sepak terjang Agus Rachmat didukung sepenuhnya oleh semua pihak yang menginginkan penyelesaian kemelut di tubuh Unpar. Secara khusus Senat Unpar berdiri di belakang Pjs Rektor.

Antara Kagum dan Bingung

Apa yang dilakukan Pjs Rektor mulai membuahkan hasil nyata. Suasana kehidupan kampus berangsur-angsur membaik. Saat-saat penting, seperti wisuda mahasiswa, Pjs. Rektor, Agus Rachmat, menyampaikan pidato yang didengarkan dengan cermat oleh semua pihak, termasuk para Dosen. Pasalnya, dalam pidatonya, Agus kerap menyampaikan wacana-wacana baru dan tak lupa menyisipkan istilah-istilah filsafat yang juga dianggap baru. “Orang mendengar pidato saya antara kagum dan bingung...hahaha….!”, ujarnya diselingi gelak tawanya yg khas.

Sikap Agus Rachmat yang bersahaja dan low profile disukai banyak kalangan. Sekedar contoh, sebagai Rektor sebuah Universitas bergengsi, pastor yang Sunda asli ini tetap memilih naik Honda bebeknya. Padahal, Universitas menyediakan fasilitas mobil lengkap dengan sopirnya. Melihat pak Rektor kerap naik sepeda motor, para pegawai berinisiatif menyediakan tempat parkir dengan tulisan khusus motor Rektor, di antara deretan mobil pejabat Unpar.

Agus Rachmat, sebagaimana layaknya seorang Rektor, memiliki seorang sekretaris. Sekretarisnya ini sempat menasehati agar ia rajin memakai sepatu. Maklum, Pak Rektor lebih bahagia memakai sandal sederhana daripada sepatu kulit yang mahal. Ia juga tanpa canggung ngobrol santai dengan para satpam di tempat parkir. Sementara itu, kebiasaannya untuk merokok “lintingan” tetap dibawanya dimanapun ia bertugas.

Lambat laun popularitas Pjs.Rektor ini makin meningkat. Tak heran, saat pencalonan Rektor baru, nama Agus Rachmat ikut disebut pelbagai kalangan. Namun, sesuai janjinya Agus memilih mengundurkan diri. Tugasnya telah diselesaikannya dengan baik.

Idola Frater

Selain sukses sebagai Rektor transisi, Pastor Agus Rachmat amat disegani di kalangan rekan setarekatnya. Saat usianya baru menginjak 33 tahun, ia terpilih sebagai Propinsial Ordo Salib Suci Indonesia. Dengan demikian ia memecahkan rekor sebagai Propinsial OSC termuda! Sesudahnya ia masih tiga kali terpilih lagi sebagai Propinsial, sesuatu yang amat jarang terjadi! Kendati kini tidak menjabat lagi sebagai pimpinan, Agus tetap berperan aktif dalam tarekatnya. Dalam pertemuan para Imam OSC belum lama ini di Pratista, Cimahi (medio Maret 2012) pastor Agus tampil sebagai nara sumber utama. Pengalaman serta pengetahuannya yang luas membuat Agus kerap diminta sebagai pembicara. Tentang pengetahuannya yang luas ini, Pastor Eddy Putranto OSC menyebut Agus Rachmat sebagai “Ensiklopedi Berjalan!”.

Kepemimpinan Agus Rachmat, dinilai oleh rekan setarekatnya, Pastor Dany Sanusi OSC, sebagai kepemimpinan yang formatif dan kuratif, membentuk dan menyembuhkan. “Banyak konfrater (sebutan untuk sesama rekan se-tarekat) merasa lega dan mendapat pencerahan sesudah berbicara dengan Pastor Agus!”, ujar Dany yang pernah bertugas di lingkungan KWI ini. Tak heran bahwa banyak imam muda dan frater OSC mengidolakan Pastor Agus, khususnya dalam cara merangkai kata-kata menjadi indah dan pas.

Di luar prestasi kerjanya yang meyakinkan, Pastor Agus tergolong pribadi yang eksentrik dan terkesan cuek. Salah satu contoh pengalaman tentang hal ini adalah saat ia studi di Leuven, Belgia. Setiap ada kesempatan libur, Agus memanfaatkannya untuk bepergian, naik Kereta Api. Maklum, dengan kartu mahasiswa yang ia miliki, Agus bisa bepergian dengan karcis murah. Sayangnya, saat bepergian, Agus jarang membawa paspor, sesuatu yang penting di negeri orang. Akibat kecuekannya ini, ia pernah tiga kali ditangkap polisi dan sempat masuk penjara selama beberapa jam.

Hidup Pastor Agus Rachmat terus menerus dibaktikan pada Ordo dan Gereja. Kini ia tak lagi menjabat sebagai pemimpin, baik sebagai Rektor maupun Propinsial. Namun itu tak penting baginya. Sebaliknya ia menikmatinya sebagai suatu anugerah. “Sekarang saya memiliki lebih banyak waktu untuk menyiapkan kuliah maupun membaca buku-buku kegemaran saya!”, ujar Dosen Filsafat yang ramah ini.

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 08 April 2012)

Thursday, March 15, 2012

Launching Buku KERSANING ALLAH



TUGAS YANG MENGASYIKAN..

Saat saya masih bertugas di kota Roma, pak Richard suatu hari kirim e-mail. Pak Richard yang saya kenal dengan baik ini, menjelaskan bahwa pak Ganda Kusuma, kerabatnya, akan datang ke Roma. Di bagian akhir e-mailnya, Richard menulis: “Apakah pastor bersedia menemani keluarga Ganda, selama berada di Roma?” Permintaan semacam ini sering saya terima. Maka sesudah saya cek agenda, saya balas: “Boleh, dengan senang hati!” Menemani tamu dari tanah air keliling kota Roma, saya anggap sebagai suatu refreshing yang menyenangkan.

Daftar Restoran Murah

Sebelum keluarga Ganda datang, saya menyiapkan peta turis kota Roma, daftar restoran yang murah, tiket bus harian, alternatif tempat-tempat yang akan dikunjungi, khususnya yang terjangkau dengan sarana umum. Maklumlah, tamu dari Indonesia kebanyakan datang dengan dana pas-pasan; apalagi harga-harga di Roma memang mahal diukur dengan nilai rupiah.

Ketika pak Ganda datang bersama istri dan Noni, saya mulai menyadari bahwa keluarga ini berbeda dengan tamu-tamu Indonesia yang biasa saya temui. Hotel tempat mereka menginap tergolong hotel terbaik di kota Roma. Mereka juga tidak memerlukan Bus ataupun angkutan umum lainnya. Sudah dipesan taxi khusus dengan driver gagah langganan mereka, Signore Manilo yang siap melayani. Kemanapun kami pergi, taxi inilah yang membawa kami.

Hari pertama mengantar, sayapun langsung menyadari, sebetulnya keluarga Ganda sudah mengenal hampir semua seluk-beluk kota Roma. Bahkan, dalam beberapa hal, seperti tempat es krim terbaik, restoran paling elegan, pak Ganda lebih tahu dari saya. Menyadari hal tsb, sayapun berkata: “Nampaknya saya tidak diperlukan karena pak Ganda sudah mengetahui seluk beluk kota Roma dengan baik!”. Pak Ganda kemudian menjawab: “Kalau romo tidak sibuk, kami senang bila romo bersedia menemani kami!”. Maka sayapun meneruskan menemani keluarga yang ramah ini.

Mengedit atau Merombak

Saat bepergian bersama itu, pak Ganda, juga ibu Ganda serta Noni, banyak berceritera. Semakin banyak saya mendengar, semakin tertarik hati saya. Perjuangan hidup, masa kecil, latar belakang keluarga serta pandangan-pandangan pak Ganda di mata saya luar biasa. Tak ketinggalan, lika-liku perjalanannya dalam urusan pekerjaan menarik sekali. Pada saat itu pak Ganda menyinggung sekilas tentang rencana penulisan buku memoir yang mandeg.

Saat kami bertemu kembali di Roma setahun kemudian, pak Ganda meminta kesediaan saya untuk membantu menulis memoir. Sebelumnya pak Ganda sempat meminta tolong saya untuk meng-edit dua buah tulisannya via e-mail. Rupanya hal itu semacam “uji-coba!”. Saya katakan bahwa saya bersedia asal tidak terburu-buru dan waktunya disesuaikan dengan ritme kerja saya. Sejak itulah dimulai proses penulisan.

Adapun proses penulisannya sendiri sebagai berikut. Pertama pak Ganda menuliskan satu topik kisah hidupnya. Tulisan tersebut dikirim lewat e-mail pada saya. Selanjutnya saya diberi kebebasan untuk merombak total tulisan tersebut atau sekedar mengedit dan merapihkan saja. Dua-duanya saya lakukan, tergantung tulisan mentahnya, juga tergantung inspirasi yang muncul. Meski dirombak total, esensi ceritera tetap sama. Proses ini masih dilanjutkan dengan revisi-revisi. Sebagian besar ceritera mengalami penambahan info di sana-sini. Maklum nampaknya ingatan tentang masa lalu terus bermunculan. Tidak jarang pak Ganda khusus menyepi ke Bali atau ke tempat lain untuk menulis, merevisi atau menambah bumbu-bumbu ceritera. Pak Ganda kemudian meminta juga Rm. Pitoyo SJ untuk ikut mengedit keseluruhan tulisan. Dengan demikian hasil akhir tulisan terasa makin baik.

Supaya saya memiliki gambaran yang konkrit tentang pak Ganda, saya diajak melihat “dunia” sekitar pak Ganda: rumah orang tuanya di Cirebon, desa Trusmi, makam di Sandiego Hills, rumah pak Ganda di Pekayon, kantor Imeco dll. Saya juga diperkenalkan dengan saudara-saudara pak Ganda, sebagian kenalan pak Ganda dan tentu saja istri serta kedua anak pak Ganda Eka dan Noni. Sementara itu proses penulisan terus berlanjut.

Membaca serta menulis kisah hidup pak Ganda bagi saya mengasyikan sekali. Saya sama sekali tidak menganggapnya sebagai beban. Banyak kebijaksanaan hidup mendalam yang ikut saya timba. Proses penulisanpun berjalan dengan baik. Ketika saya menerima tugas baru sebagai pastor paroki Santa Helena, Lippo Karawaci, saya memang merasa sedikit kewalahan. Jadwal saya padat sekali. Saya harus pandai-pandai membagi waktu. Untunglah pak Ganda cukup sabar untuk menanti.. (Memoirs setebal 350 halaman akhirnya selesai ditulis dalam kurun waktu lebih dari 4 tahun. Judul: KERSANING ALLAH dipilih oleh pak Ganda karena dianggap mewakili benang merah kehidupannya).

Terima kasih bahwa saya mendapat kehormatan ikut membantu menulis memoirs pak Ganda. Saya merasa diperkaya dengan kisah-kisah yang sarat dengan kebijaksanaan hidup. Terima kasih juga bahwa saya boleh mengenal secara dekat keluarga istimewa ini.

Seharusnya saya tidak perlu heran bahwa pak Ganda adalah orang yang hebat, sukses dan dikagumi banyak orang. Soalnya, pak Ganda adalah orang Cirebon…..sebagaimana saya juga!

Heri Kartono, OSC.

(Tulisan ini merupakan Kata Pengantar dalam Memoirs tersebut. Adapun Launching Buku Memoirs ini dilakukan di rumah pak Ganda pada tanggal 3 Desember 2011. Hadir pada kesempatan tersebut antara lain: Tiga Uskup dari Luar Jawa, Vikjen KAJ, Cathy Sharon, Julia Estelle dan para undangan)