Wednesday, August 15, 2012

Kemerdekaan RI





HARAPAN LUHUR UNTUK SI BUTET

Di kota air Venezia, ada jembatan yang dinamai Ponte della Liberta atau Jembatan Kemerdekaan. Jembatan yang diresmikan oleh Mussolini pada tahun 1933 itu semula bernama Ponte Littorio. Pergantian nama jembatan tersebut untuk menandai berakhirnya rezim Fascist di Italia seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II. Rakyat Italia merasa lega dan gembira terlepas dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Kemerdekaan yang mereka idam-idamkan akhirnya dapat mereka rebut. Mereka ingin hidup merdeka, bebas dari cengkeraman penguasa lalim. Lantas timbul pertanyaan, apa yang mereka lakukan dengan kemerdekaan itu? Pertanyaan yang sama timbul manakala suatu bangsa berhasil terlepas dari cengkeraman penjajah atau penguasa yang menindas mereka.

Samar-samar saya ingat, saat masih kecil menjelang tidur, ibu menggendong saya sambil bersenandung. Senandung ibu seperti itu umumnya semacam ‘gumam nina bobo’ agar anaknya cepat tidur. Namun tidak jarang, senandung ibu berisi sebuah doa dan harapan. Doa agar anaknya kelak sukses, menjadi orang terpandang hidupnya dalam masyarakat. Apa yang didoakan serta diharapkan para ibu hampir selalu hal-hal yang baik dan luhur. Tak pernah seorang ibu mendoakan agar anaknya menjadi maling kakap atau koruptor yang sukses…

Panggilan jiwa selalu terarah pada suatu nilai luhur. Sesuatu yang alami. Sekurangnya itulah yang terjadi hampir dimana-mana saat seorang ibu menina bobokan anaknya menjelang tidur. Lagu perjuangan Butet yang terkenal berisi doa dan harapan seorang ibu muda atas bayi perempuannya. Wanita yang ditinggal pergi suaminya untuk berjuang ini, berharap agar si butet anaknya cepat besar dan kelak menjadi petugas palang merah negara. Harapan sederhana namun menyiratkan tekad suci demi masa depan bangsanya.

Setiap orang, setiap kelompok, setiap bangsa, pada dasarnya terpanggil untuk mewujudkan suatu cita-cita yang suci dan luhur. Untuk itu dibutuhkan kebebasan untuk mewujudkannya. Manakala kita tertindas, cita-cita luhur itu tak mungkin kita realisasikan. Namun, apakah adanya kebebasan menjadi garansi terwujudnya cita-cita luhur? Sayangnya tidak demikian.

Kita masih ingat, sebelum terjadi reformasi di negeri ini, banyak orang mencuri-curi mendengar berita dari BBC London atau Radio Australia. Hal itu terjadi karena tak ada kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak hal dikendalikan oleh pemerintah rezim Suharto. Sesudah Suharto tumbang dan muncul kebebasan ala reformasi, apakah situasi lebih baik? Pernah ada yang secara humoris namun ironis memunculkan gambar Suharto dengan kata-kata: Piye kabare, lebih enak jaman saya kan hehehe…! Ini muncul karena situasi reformasi, dimana kebebasan jauh lebih luas namun tidak membawa kesejahteraan yang berarti. Orang justru menyalahkan gunakan kebebasan secara sewenang-wenang. Korupsi meraja lela bahkan semakin terang-terangan.

Orang sudah muak dengan penyalah gunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Nyaris setiap hari rakyat dijejali berita-berita tentang korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini. Karenanya, ketika terbetik berita tentang Joko Wi, seorang pejabat yang konon sederhana dan bersih, orang merasa terhibur. Lepas dari sosok Joko Wi, seorang pemimpin mustinya memang mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi.

John Stuart Mill (1806-1873) filsuf amat berpengaruh abad kesembilan belas, membedakan antara kemerdekaan untuk bertindak dan kemerdekaan sebagai situasi bebas hambatan atau kungkungan. Secara umum Mill mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk bertindak sejauh tidak merugikan orang lain. Korupsi dan tindakan memperkaya diri jelas merugikan kepentingan banyak orang. Kebebasan pada hakekatnya adalah situasi yang dibutuhkan agar kita dapat mewujudkan cita-cita luhur yang kita dambakan bersama.

Almarhum MAW.Brouwer, kolumnis, dinyatakan tidak lulus menjadi Warga Negara Indonesia. Pasalnya, saat diuji menyanyi lagu Indonesia Raya, ia menggantikan kata –ku menjadi –mu. Karenanya ia bernyanyi seperti ini: Indonesia, tanah air-mu, tanah tumpah darah-mu…Ketika ditegur dan diingatkan tentang kekeliruan itu, dengan santai Brouwer menjawab: “Lho, saat ini saya kan belum menjadi warga Negara Indonesia!”

Indonesia, bangsa yang ramah, santun dan murah senyum. Tidak mengherankan bahwa banyak orang, seperti almarhum MAW.Brouwer, tertarik untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Namun mengapa sudah 67 tahun merdeka negeri ini belum semaju bangsa lain? Apa yang salah?

Berakhirnya kolonialisme di negeri kita tahun 1945 nampaknya belum mampu menciptakan kehidupan yang sungguh merdeka. Senandung para ibu agar anak-anak bangsa ini dapat hidup maju dan sejahtera masih jauh di awang-awang. Sebaliknya senandung tangis Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati terus berkumandang di negeri ini. Entah sampai kapan! (Dimuat di Koran Jakarta, 16 Agustus 2012 dengan judul: Belum Sungguh Merdeka)

Heri Kartono, OSC
St.Helena, Lippo Karawaci.