Friday, January 22, 2010

Indrawati (Gouw Yan Giok)


MENJALIN HUBUNGAN BAIK

Gouw Yan Giok atau Indrawati adalah seorang wanita biasa. Meski demikian, Ia mengenal dengan baik kalangan pejabat, para Kyai hingga Sri Sultan. Siapakah wanita yang sehari-hari dikenal sebagai pengusaha batik khas Cirebon ini?

Pastor Markus Priyo Kushardjono OSC sempat kesal. Pasalnya, KTP yang dijanjikan akan selesai dalam 3 hari, ternyata sesudah satu bulan belum juga beres. Atas saran seorang umat, pastor paroki Santo Yusuf Cirebon ini mengontak ibu Indrawati. Dengan telpon genggamnya, Ibu Indrawati kemudian menghubungi pak Camat langsung. Entah apa yang dikatakannya. Yang jelas, dalam waktu singkat KTP telah selesai bahkan diantar ke pastoran. “Ibu Indrawati itu sakti. Ia mengenal semua pejabat, mulai dari Walikota, Bupati hingga para Kyai di Pondok Pesantren!”, ujar Pastor Kushardjono.

Apa yang dikatakan Pastor Kushardjono bukan omong kosong. Ibu Indrawati memang dikenal dekat dan akrab dengan para pejabat. Walikota Cirebon, Bapak Subardi S.Pd, tidak jarang mampir ke rumahnya sekedar untuk minum kopi atau ngobrol. Karena kedekatan itu pula Indrawati sering diminta membantu pelbagai kelompok. Saat diadakan Natal bersama gereja-gereja di Cirebon (18/01), Indrawatilah yang bertugas sebagai penghubung dengan para pejabat.

Bermula Dari Senam

Pada tahun 1963 Indrawati kuliah di Universitas Trisakti (saat itu masih bernama Universitas Res Publica) Jakarta, jurusan Sastra Indonesia. Selama tinggal di Jakarta, Indrawati mengikuti kursus senam. Hal ini dilakukannya di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswi. Ketika ayahnya meninggal dunia (1966) Indrawati terpaksa berhenti kuliah. Ia kembali ke kota asalnya, Cirebon. Bersama Jenny Kurniati, adiknya, Indrawati meneruskan usaha ayahnya sebagai pengusaha batik Cirebonan.

Sambil mengelola usaha batik, Indrawati membuka sanggar senam. Ia sendiri yang bertindak sebagai instruktur. Pada saat itu, belum ada satupun sanggar senam di seluruh kota Cirebon. Dalam waktu singkat, sanggar senam Indrawati dikenal dan banyak diminati orang. Hampir seluruh istri para pejabat pemerintahan dan pengusaha menjadi anggota sanggarnya. Karena seringnya bertemu, Indrawati mulai mengenal dan dikenal para istri pejabat ini. Tidak jarang para istri ini diantar atau dijemput oleh suami mereka. Dari sinilah Indrawati mulai berkenalan dengan para suami mereka. Indrawati sendiri pandai membawakan diri, oleh karena itu ia dengan mudah diterima di kalangan pejabat Cirebon.

“Berawal dari kegiatan senam, saya kerap diundang untuk menghadiri pelbagai acara resmi pemerintahan daerah. Biasanya saya selalu datang memenuhi undangan mereka!”, papar istri (alm) Souw Kong Liem ini. Semakin hari Indrawati makin dikenal secara luas. Sejumlah pejabat di tingkat propinsipun mulai dikenalnya hingga Gubernur sendiri. Pernah, ibu Aang Kunaefi, istri Gubernur saat itu, menilponnya hanya untuk menanyakan resep Empal Gentong, masakan khas Cirebon. Hal ini menandakan dekatnya hubungan Indrawati dengan ibu Aang Kunaefi.

Sosok Indrawati yang luwes kerap juga diminta bantuannya oleh pemerintah setempat untuk menjadi penghubung dengan kaum minoritas, baik umat Kristiani maupun masyarakat Tionghoa di kota Cirebon. Dengan demikian, sebenarnya figure Indrawati sangat diperlukan oleh pejabat pemerintah.

Selain kalangan pemerintah, Indrawati juga mengenal para Kyai di pondok pesantren. Secara khusus Indrawati mempunyai kedekatan dengan Pondok Pesantren Kempek. Dengan KH. Usman Yahya, pimpinan Ponpes Kempek, Indrawati kerap bersilahturahmi. Indrawati-pun tidak asing dengan para kyai di Pondok Pesantren Buntet yang tersohor itu. Perkenalan Indrawati dengan kalangan Pesantren Buntet juga berawal dari senam. Ia pernah diminta mengajar senam para mahasiswi Akademi Perawat yang berada di lingkungan Pesantren. Dari sanalah ia mulai mengenal para Kyai pimpinan pondok. Hingga saat ini, setiap kali Pesantren mengadakan acara penting, Indrawati selalu diundang bahkan diminta duduk sebagai panitia. Terakhir Indrawati diminta untuk menjadi panitia peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur. Padahal, sudah lama ia tidak mengajar senam lagi.

Lingkungan Keraton

Di Cirebon terdapat dua keraton, yaitu Keraton Kanoman dan Kasepuhan. Dengan kerabat dua Keraton itu, Indrawati mempunyai hubungan amat dekat. Saat masih remaja, ia belajar menari di Keprabonan, lingkungan keraton. Dengan demikian, sejak remaja Indrawati sudah mengenal dari dekat kerabat Keraton. Selain itu, Gouw Tjin Lian, ayah Indrawati adalah satu-satunya pengusaha keturunan Tionghoa yang mendapat ijin tertulis dari Sri Sultan untuk membuat batik Cirebonan. Indrawati yang juga senang membatik meneruskan usaha ayahnya bersama Jenny, adiknya.

Usaha batik Cirebonan yang diteruskan oleh Indrawati dan Jenny, dihargai dan dinilai baik oleh pemerintah. Pejabat-pejabat negara, mulai dari, Mari Pangestu, menteri Hatta Rajasa hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkunjung ke tokonya dan melihat langsung cara pembuatan batik. “Ibu Mari Pangestu malah tidak hanya berkunjung tapi juga makan siang di rumah kami”, ujar ibu dari tiga anak ini. Foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berkunjung ke rumahnya, ia pasang di salah satu sudut tokonya.

Hubungan Indrawati dengan kerabat Keraton sudah seperti keluarga saja, tidak terbatas urusan batik. Setiap ada acara penting di Keraton, seperti acara Pembacaan Babad Cirebon beberapa waktu yang lalu, Indrawati mendapat undangan khusus. Ketika penulis menyatakan ingin melihat-lihat Keraton Kanoman, Indrawati langsung menawarkan: “Apakah mau sekalian bertemu Sri Sultan? Saya bisa telpon beliau!”, ujar Indrawati meyakinkan.

Diperlakukan Wajar

Selama berkecimpung dengan kalangan pejabat pemerintahan, para tokoh masyarakat maupun para kyai, Indrawati merasa diperlakukan wajar. Ketika ditanya tentang kesulitan bergaul, mengingat dirinya adalah keturunan Tionghoa dan beragama Katolik, Indrawati menjawab: “Selama ini saya diperlakukan dengan baik, tidak mengalami kesulitan apapun. Saya sendiri tak pernah merasa sebagai kelompok minoritas atau semacam itu!”, ujarnya.

Menurut Indrawati, aktivis Gereja dan para pastor, khususnya yang bekerja di paroki, jangan segan-segan untuk bergaul dengan kalangan pemerintahan. Bila ada undangan dari pemerintah setempat, sebaiknya datang, supaya dapat bertemu dengan mereka. “Kalau tidak pernah bertemu, bagaimana bisa kenal? Kalau tidak kenal, bagaimana mengharapkan hubungan yang baik?”, ujarnya.

Indrawati telah berhasil menjalin hubungan baik dengan banyak kalangan secara wajar. Relasi itu mengalir begitu saja tanpa beban di pundaknya. Ia memang mempunyai keyakinan yang kuat, segala sesuatu dapat diselesaikan dengan lebih mudah bila terjalin hubungan yang baik.

Heri Kartono OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 14 Februari 2010).

Sunday, January 3, 2010

Anna Sri Harti Sunaryo


NDILALAH…SELALU ADA REJEKI!

Dunia serasa kiamat ketika suaminya dipanggil Tuhan secara tiba-tiba. Sri merasa amat kehilangan, tambahan lagi ia juga bingung bagaimana harus menghidupi 8 anaknya yang masih kecil-kecil….

Sri yang berasal dari Purworejo, menikah pada usia 17 tahun. Suaminya, Sunaryo adalah seorang polisi. Ia adalah anak tunggal dari seorang haji. Keluarga Sri sendiri adalah penganut aliran kepercayaan atau Kejawen. Sri adalah anak ke delapan dari 12 bersaudara. Empat kakak Sri menjadi Katolik karena dimasukan orang tua ke asrama Katolik di Mendut dan Muntilan. Sri sering melihat kakaknya berdoa rosario. Diam-diam Sri tertarik untuk mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Sesudah menikah, keinginan untuk masuk Katolik tetap tersimpan di dalam hatinya. Pada suatu hari, ketika Sri belum lama melahirkan anaknya yang keempat, ia menyampaikan keinginannya untuk masuk Katolik. Di luar dugaan, Sunaryo, sang suami tidak menghalanginya. Dengan hati gembira Sri mendaftarkan diri menjadi katekumen di paroki terdekat, yaitu paroki St.Paulus, Bandung. Waktu itu suaminya sendiri mengantarkannya ke gereja. Sripun dibaptis setelah genap satu tahun mengikuti pelajaran agama (1959). Sejak saat itu ia mulai rajin berdoa dan pergi ke gereja.

Selang hanya beberapa bulan sesudah Sri dibaptis, Sunaryo, suaminya, menyatakan diri ingin masuk katolik juga. Tentu saja Sri amat berbunga-bunga hatinya. Sri tak pernah mengajak suaminya untuk masuk Katolik. Keinginan Sunaryo untuk masuk Katolik adalah murni keluar dari hatinya sendiri. Sunaryopun mengikuti pelajaran agama dan dibaptis di paroki yang sama.

Dunia Serasa Kiamat

Pada tahun 1974, Sunaryo diangkat sebagai Kapolres Kota Cirebon. Sebagai istri seorang Kepala Polisi, Sri mempunyai peranan khusus di lingkungan kepolisian, khususnya dalam kegiatan bhayangkari. Sri sekeluarga amat betah tinggal di kota udang ini.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Peribahasa ini dialami Sri dalam kenyataan hidupnya. Kegembiraannya tinggal di kota Cirebon tak berlangsung selamanya. Pada tanggal 21 Desember 1980 terjadi musibah yang membuat hidupnya berubah total. Pada hari itu suaminya meninggal dunia secara mendadak dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Sri yang amat mencintai suaminya, merasa amat terpukul. Baginya seolah-olah dunia kiamat. Ia sulit menerima kenyataan bahwa suaminya tidak ada lagi bersamanya. Persoalan lain muncul. Delapan anaknya masih kecil-kecil. Anak yang paling kecil baru berusia 9 tahun sementara si sulung masih kuliah. “Bagaimana saya harus menghidupi mereka? Saya tidak tahu mencari uang!”, kenang Sri dengan nada haru.

Untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, uang pensiun dari suaminya jelas tidak memadai sama sekali. Padahal, Sri bercita-cita untuk menyekolahkan semua anaknya hingga ke perguruan tinggi. Sripun mulai menjual barang-barang miliknya mulai dari piano, meja-kursi hingga segala yang bisa dijual. Ketika barang-barang telah habis terjual, Sripun mulai mencoba macam-macam usaha, antara lain menerima pesanan makanan, menyewakan kamar untuk kost dll. Sri bekerja keras untuk dapat membesarkan dan menyekolahkan semua anaknya. “Ibu memang memiliki semangat yang luar biasa dan pantang menyerah!”, ujar Prasetyo salah satu anaknya.

Pada malam hari, ketika anak-anaknya telah tidur, Sri sering meratap dan berdoa seorang diri. “Tuhan, bantulah saya supaya mampu membesarkan anak-anak. Jangan biarkan saya dan anak-anak terlantar. Saya berjanji, kalau tugas saya membesarkan mereka telah selesai, saya akan membaktikan hidup dan waktu saya untuk gereja”, begitulah selalu ratapan dan doa Sri.

Rupanya Tuhan mendengarkan doa Sri yang dipanjatkan dari lubuk hati yang terdalam. Buktinya, Sri selalu saja mendapat rejeki. Kadang-kadang rejeki itu tak terduga-duga datangnya. “Kalau dipikir-pikir, saya tidak tahu dari mana rejeki itu datang. Ndilalah selalu saja rejeki datang pada waktunya”, ujar Sri penuh syukur. Sebagai contoh, suatu saat Sri sedang membutuhkan dana yang cukup besar. Saat ia sedang kebingungan, tiba-tiba datang seorang kenalan yang memesan 400 dus nasi. “Tuhan membantu dengan cara yang tak terduga!”, tutur Sri penuh keyakinan.

Seperti kata anaknya, Sri memang wanita yang pantang menyerah. Cita-citanya untuk menyekolahkan anak-anaknya terpenuhi. Kedelapan anaknya dapat menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi. Tidak hanya itu. Semua anaknya mendapat pekerjaan yang relatif cepat dan baik. “Semua anak saya menikah sesudah mereka mampu mencari nafkah sendiri”, ujar wanita yang terlihat sehat di usia 75 tahun ini.

Mengabdi Tuhan di usia Senja.

Kini Sri tinggal seorang diri. Semua anaknya telah pergi dengan istri atau suaminya masing-masing. Tugasnya telah selesai. Sri menikmati hasil kerja kerasnya di masa lalu. Ia tak perlu lagi membanting tulang karena semua kebutuhannya telah tercukupi. Tidak hanya itu, berkat kebaikan anak-anaknya, Sri sempat tiga kali berziarah ke Lourdes dan ke Tanah Suci, Israel.

Sri tak melupakan janjinya kepada Tuhan yang sering ia ucapkan dalam doa-doanya. Sejak anak-anaknya telah dewasa dan mandiri, Sri menghabiskan banyak waktunya untuk gereja. Ia secara rutin pergi ke gereja, paroki Bunda Maria Cirebon. Sri juga ikut Legio Maria dan aktif menghias gereja. Tak jarang Sri juga membantu kegiatan yang berkaitan dengan gereja dengan kekayaan yang ia miliki. “Mobil saya kerap digunakan untuk keperluan gereja”, ujar Sri.

Sri merasa bahwa Tuhan sungguh amat baik. Ia yakin bahwa karena bantuan Tuhanlah ia mampu membesarkan anak-anaknya. Sebagai tanda syukur, ia membuat sebuah Gua Maria kecil di belakang rumahnya. Gua Maria ini diberkati oleh pastor MA. Yuwono OSC, pastor yang kerap datang mengunjunginya.

Di depan Gua Maria ini Sri kerap berdoa, mensyukuri anugerah serta kemurahan Allah dalam hidupnya.

Heri Kartono, OSC (dimuat di Majalah HIDUP edisi 14 Februari 2010).