Monday, April 21, 2008

Agats-Asmat.




SUDAH BERKUMIS BELUM BISA BACA!

“Di Kabupaten ini, banyak orang yang sudah berkumis dan berusia 18 tahun masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Selain itu, tidak sedikit anak SD, bahkan SMP, yang masih belum bisa membaca dengan lancar!”, ujar Pastor Bowo OSC yang sudah 7 tahun bertugas di Agats. Apa yang dipaparkan Bowo, diakui juga oleh Pastor Maxi Manek OSC mantan Delegatus Pendidikan Keuskupan Agats.

Sebetulnya masalah pendidikan dan kesehatan telah menjadi perhatian para misionaris sejak kedatangan mereka ke Asmat. Dalam kurun tahun 1953-1958, banyak guru didatangkan, baik guru agama (katekis) maupun guru formal. Mereka datang dari Mimika, Muyu, Kei, Toraja dan Jawa. Para guru ini didatangkan untuk mengajar agama sekaligus mengajar baca-tulis bagi anak-anak Asmat.

Salah seorang yang giat memperjuangkan masalah pendidikan di Asmat adalah pastor Jan Smit OSC. Waktu itu (1965) Jan Smit sebagai direktur persekolah daerah Asmat, mendirikan sekolah baru di Pirimapun. Hal ini rupanya tidak berkenan bagi pemerintah. KPS (Kepala Pemerintahan Setempat) di Agats, W.Fimbaij, meminta Smit untuk menutup sekolah tersebut dengan alasan pemerintah akan mendirikan sekolah di daerah tsb. Jan Smit tetap berpegang pada pendiriannya, apalagi ia mendapat dukungan dari Merauke. Jan Smit harus membayar mahal atas sikapnya yang teguh. Ia ditembak mati oleh W.Fimbaij, penguasa daerah yang kalap.

Untuk mengenang jasanya, nama Jan Smit diabadikan sebagai nama pelindung YPPK (Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Katolik) Keuskupan Agats.

Tidak Mengambil Ijasah.

Sr.Fransisca Pandong OSU, Kepala Sekolah SMP St.Yohanes Pemandi, Agats, menceriterakan bahwa tidak sedikit siswa yang telah lulus tapi tidak mengambil Ijasah mereka. “Mereka tidak menganggap perlu ijasah”, ujar Sr.Sisca ini. Lebih lanjut, suster asal Flores ini menuturkan bahwa tidak sedikit siswa yang tidak mampu membayar SPP. “Tingkat kesadaran masyarakat dan orang tua terhadap pendidikan masih rendah”, ujarnya dengan nada prihatin. Apa yang dipaparkan Sr.Fransisca OSU menggambarkan kondisi pendidikan secara keseluruhan di daerah Asmat.

HIDUP sempat mengunjungi beberapa sekolah di Agats dan di kecamatan Atsj. Pada umumnya sarana dan fasilitas sekolah amat minim. “Di sekolah yang jauh dari Agats, kondisi lebih parah lagi. Anak-anak tidak mampu membeli buku dan guru-guru sering kehabisan kapur tulis”, tutur Ote, pastor paroki Atsj.

Situasi yang tidak kondusif membuat kegiatan sekolah sering macet. Guru-guru tidak datang mengajar sampai berminggu-minggu. Sebaliknya, para muridpun sering ikut orang tua ke hutan dalam waktu yang lama. “Biasanya mereka saling tuding. Guru berkilah tidak mengajar karena murid tidak ada. Sementara para orang tua menjawab, karena guru tidak datang maka mereka mengajak anak-anaknya ikut ke hutan”, jelas pastor asal Nias ini dengan wajah serius.

Hal lain yang dirasakan adalah kurangnya kualitas serta dedikasi para guru. “Yayasan Katolik yang umumnya tidak mempunyai dana cukup, mendapat bantuan tenaga guru dari pemerintah. Akibatnya, dedikasi serta loyalitas guru sering dipertanyakan. Guru-guru lebih loyal pada pemerintah yang menggaji mereka dan Yayasan kewalahan dalam mengatur serta mengkoordinir mereka”, ujar Maxi Manek yang pernah menjadi ketua YPPK Jan Smit.

Pendidikan Berpola Asrama.

Pihak Keuskupan lewat Delpen dan YPPK Jan Smit terus mengupayakan pelbagai perbaikan dan peningkatan. Demikianpun pihak pemerintah, lewat kepala daerah yang baru, memberikan perhatian yang berarti. Secara bertahap pemerintah ikut andil dalam perbaikan sarana gedung maupun lapangan sekolah.

Salah satu usaha Keuskupan untuk memajukan anak-anak Asmat adalah mengupayakan sistem pendidikan berpola asrama. Anak-anak Asmat dari daerah-daerah terpencil, setamat SD dikirim ke Agats untuk melanjutkan pendidikan mereka. Anak-anak ini ditampung di asrama. Asrama Puteri yang diresmikan pada tahun 1962 semula ditangani oleh para suster PBHK (Puteri Bunda Hati Kudus). Sejak tahun 1964 pengelolaan asrama puteri diserahkan ke tangan suster TMM hingga kini. Sementara itu asrama Putera yang semula dikelola para bruder OSC, kini ditangani oleh tenaga awam.

Sr.Fransisca TMM, kepala Asrama Puteri, menjelaskan bahwa lewat pendidikan di asrama, diharapkan anak-anak mendapat pelbagai ketrampilan praktis. Dengan demikian, kelak mereka bisa mandiri dalam hidup di masyarakat. Untuk itu, diwaktu senggang, anak-anak mendapat pelbagai pelajaran ketrampilan seperti: memasak, menjahit, menyulam. “Tujuan lebih jauh adalah mendidik mereka menjadi manusia otentik dan integral”, tutur Sr.Fransisca. Suster yang sudah beberapa tahun tinggal di Agats ini mengaku bahwa mendidik anak-anak dari masyarakat peramu tidaklah mudah.

Mengusahakan pendidikan yang bermutu memang tidak gampang. Kendati demikian, sambil menyadari keterbatasan yang ada, Keuskupan Agats lewat YPPK Jan Smit terus mengupayakan pendidikan yang lebih baik di wilayahnya.

Heri Kartono.

(Dimuat di majalah HIDUP, 12 Nopember 2006)

No comments: