HARAPAN LUHUR UNTUK SI BUTET
Di
kota air Venezia, ada jembatan yang dinamai Ponte
della Liberta atau Jembatan Kemerdekaan. Jembatan yang diresmikan oleh
Mussolini pada tahun 1933 itu semula bernama Ponte Littorio. Pergantian nama jembatan tersebut untuk menandai
berakhirnya rezim Fascist di Italia
seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II. Rakyat Italia merasa lega dan
gembira terlepas dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Kemerdekaan yang mereka
idam-idamkan akhirnya dapat mereka rebut. Mereka ingin hidup merdeka, bebas
dari cengkeraman penguasa lalim. Lantas timbul pertanyaan, apa yang mereka
lakukan dengan kemerdekaan itu? Pertanyaan yang sama timbul manakala suatu
bangsa berhasil terlepas dari cengkeraman penjajah atau penguasa yang menindas
mereka.
Samar-samar
saya ingat, saat masih kecil menjelang tidur, ibu menggendong saya sambil
bersenandung. Senandung ibu seperti itu umumnya semacam ‘gumam nina bobo’ agar anaknya cepat tidur. Namun tidak jarang,
senandung ibu berisi sebuah doa dan harapan. Doa agar anaknya kelak sukses,
menjadi orang terpandang hidupnya dalam masyarakat. Apa yang didoakan serta
diharapkan para ibu hampir selalu hal-hal yang baik dan luhur. Tak pernah
seorang ibu mendoakan agar anaknya menjadi maling kakap atau koruptor yang
sukses…
Panggilan
jiwa selalu terarah pada suatu nilai luhur. Sesuatu yang alami. Sekurangnya
itulah yang terjadi hampir dimana-mana saat seorang ibu menina bobokan anaknya
menjelang tidur. Lagu perjuangan Butet
yang terkenal berisi doa dan harapan seorang ibu muda atas bayi perempuannya.
Wanita yang ditinggal pergi suaminya untuk berjuang ini, berharap agar si butet
anaknya cepat besar dan kelak menjadi petugas palang merah negara. Harapan
sederhana namun menyiratkan tekad suci demi masa depan bangsanya.
Setiap
orang, setiap kelompok, setiap bangsa, pada dasarnya terpanggil untuk
mewujudkan suatu cita-cita yang suci dan luhur. Untuk itu dibutuhkan kebebasan
untuk mewujudkannya. Manakala kita tertindas, cita-cita luhur itu tak mungkin
kita realisasikan. Namun, apakah adanya kebebasan menjadi garansi terwujudnya
cita-cita luhur? Sayangnya tidak demikian.
Kita
masih ingat, sebelum terjadi reformasi di negeri ini, banyak orang mencuri-curi
mendengar berita dari BBC London atau Radio Australia. Hal itu terjadi karena
tak ada kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak hal dikendalikan oleh
pemerintah rezim Suharto. Sesudah Suharto tumbang dan muncul kebebasan ala
reformasi, apakah situasi lebih baik? Pernah ada yang secara humoris namun
ironis memunculkan gambar Suharto dengan kata-kata: Piye kabare, lebih enak jaman saya kan hehehe…! Ini muncul karena
situasi reformasi, dimana kebebasan jauh lebih luas namun tidak membawa
kesejahteraan yang berarti. Orang justru menyalahkan gunakan kebebasan secara
sewenang-wenang. Korupsi meraja lela bahkan semakin terang-terangan.
Orang
sudah muak dengan penyalah gunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Nyaris
setiap hari rakyat dijejali berita-berita tentang korupsi yang dilakukan para
pejabat negeri ini. Karenanya, ketika terbetik berita tentang Joko Wi, seorang
pejabat yang konon sederhana dan bersih, orang merasa terhibur. Lepas dari sosok
Joko Wi, seorang pemimpin mustinya memang mengutamakan kepentingan orang banyak
ketimbang kepentingan pribadi.
John
Stuart Mill (1806-1873) filsuf amat berpengaruh abad kesembilan belas,
membedakan antara kemerdekaan untuk bertindak dan kemerdekaan sebagai situasi
bebas hambatan atau kungkungan. Secara umum Mill mengatakan bahwa setiap orang
bebas untuk bertindak sejauh tidak merugikan orang lain. Korupsi dan tindakan
memperkaya diri jelas merugikan kepentingan banyak orang. Kebebasan pada
hakekatnya adalah situasi yang dibutuhkan agar kita dapat mewujudkan cita-cita
luhur yang kita dambakan bersama.
Almarhum
MAW.Brouwer, kolumnis, dinyatakan tidak lulus menjadi Warga Negara Indonesia.
Pasalnya, saat diuji menyanyi lagu Indonesia Raya, ia menggantikan kata –ku
menjadi –mu. Karenanya ia bernyanyi seperti ini: Indonesia, tanah air-mu, tanah tumpah darah-mu…Ketika ditegur dan diingatkan tentang
kekeliruan itu, dengan santai Brouwer menjawab: “Lho, saat ini saya kan belum
menjadi warga Negara Indonesia!”
Indonesia,
bangsa yang ramah, santun dan murah senyum. Tidak mengherankan bahwa banyak
orang, seperti almarhum MAW.Brouwer, tertarik untuk menjadi Warga Negara Indonesia.
Namun mengapa sudah 67 tahun merdeka negeri ini belum semaju bangsa lain? Apa
yang salah?
Berakhirnya
kolonialisme di negeri kita tahun 1945 nampaknya belum mampu menciptakan
kehidupan yang sungguh merdeka. Senandung para ibu agar anak-anak bangsa ini
dapat hidup maju dan sejahtera masih jauh di awang-awang. Sebaliknya senandung
tangis Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati terus berkumandang di negeri ini.
Entah sampai kapan! (Dimuat di Koran Jakarta, 16 Agustus 2012 dengan judul:
Belum Sungguh Merdeka)
Heri
Kartono, OSC
St.Helena, Lippo Karawaci.