Friday, July 18, 2008

Riwayat PAK DOEWE.


MENERUSKAN SEMANGAT ANAK ONTANG ANTING

Bapak Doewe (1907-1966) barangkali merupakan putera Sunda pertama yang masuk Katolik. Di tempat asalnya, Ciledug-Cirebon, anak Kepala Desa ini merintis penyebaran iman katolik, sekolah, bahkan menghibahkan tanah miliknya demi Gereja.

Ludovicus Doewe Prawiradisastra adalah anak seorang kuwu (Kepala Desa) bernama Sakim Sastrabangsa. Doewe, yang lahir pada 7 Nopember 1907, merupakan anak ontang-anting alias anak tunggal. Sebagai putra “Pejabat Pribumi”, Doewe menikmati pendidikan HIS di kota Bandung. Pertemuannya dengan onderwijzer HIS, Thomas Aquino Martomo, membuahkan ketertarikannya pada ajaran agama Katolik.

Pilihan yang Berani

Orang tua Doewe menginginkan anaknya melanjutkan pendidikannya ke MOSVIA. Harapannya, kelak Doewe dapat dengan mudah menduduki jabatan di lingkungan pamongpraja. Namun Doewe yang tertarik pada bidang pendidikan dan agama Katolik sekaligus, mempunyai cita-cita lain. Atas anjuran Onderwijzer Martomo, Doewe memilih melanjutkan pendidikan di MULO Yogyakarta di lingkungan para pastor Yesuit. Tamat dari Mulo, Doewe sempat meneruskan ke HIK asuhan Romo Van Lith SY di Muntilan, namun tidak sampai selesai.

Ketika di Yogya itulah, atas persetujuan orang tuanya, Doewe memeluk agama Katolik dan dibaptis (25/05/27) dengan nama Ludovicus. Di Yogya pula Doewe berkenalan dengan puteri kerabat keraton yang beragama Katolik, Raden Ajeng Yohana Soemartilah. Saat itu Soemartilah masih bersekolah di susteran Mendut. Mereka berduapun saling jatuh cinta. Setelah menikah secara Katolik (1931) Doewe memboyong istrinya ke kampung halamannya.

Kepulangan Doewe yang telah memeluk agama Katolik dengan istri kerabat Keraton yang juga Katolik, sempat mengguncang warga desanya yang beragama Islam. Sulit bagi saudara-saudara Doewe, baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya untuk menerima kenyataan tersebut. Reaksi negatifpun mulai berdatangan. Namun Doewe tetap pada pilihannya. Sedikitpun ia tak merasa gentar.  Karena keteguhan hati Doewe dan lebih-lebih karena  kebijakan serta kesabaran orang tuanya, lambat-laun reaksi negatif mulai pupus. Bagi Doewe sendiri, menjadi orang Katolik bukanlah hal yang mudah. Selain mendapat reaksi negatif sanak-keluarganya, ia dan istrinya merupakan satu-satunya keluarga Katolik di Ciledug saat itu.

Pengabdian Tanpa Pamrih

Ketertarikan Doewe di bidang pendidikan serta tekadnya untuk mengembangkan agama Katolik, mewarnai seluruh perjalanan hidup Doewe. Ia mendirikan sekolah “Excelsior School” di samping rumah kediamannya. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda, sesuatu yang lazim pada saat itu. Doewe juga mendatangkan guru-guru dari Jawa Tengah untuk sekolahnya.

Orang-orang mulai mengenal Doewe sebagai tokoh yang beragama Katolik. Satu demi satu muncullah orang-orang yang menyatakan diri tertarik pada Agama Katolik. Doewe sendiri dengan penuh semangat mengajar agama bagi para simpatisan ini. Untuk mengatasi kelangkaan buku, Doewe menterjemahkan buku-buku doa dari bahasa Belanda atau Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Pada saat itu ia mengerjakannya dengan tulisan tangan.

Satu-satunya kendala yang kerap merintangi aktivitasnya adalah penyakit Asma yang dideritanya. Keluarganya sering terperangah ketika menyaksikan kondisi Doewe yang tiba-tiba menjadi segar bugar, penuh keceriaan saat mengajar agama. Padahal, beberapa saat sebelumnya, ia mendapat serangan penyakit asma yang cukup berat. “Bapak memang amat bersemangat dan menikmati dalam mengajar agama. Pelajaran bisa berlangsung berjam-jam. Rasanya tak ada hari tanpa mengajar agama!”, kenang Soesmoyo, putera ke-empat Doewe.

Dari tahun ke tahun, jumlah orang yang dibaptis semakin banyak. Rumah pak Doewe yang besar dan megah menjadi tempat berkumpul, termasuk untuk pesta Natal dan Paskah. “Kebetulan rumah kami cukup besar untuk menampung banyak orang. Kami semua sudah merasa seperti saudara sendiri antar sesama umat Katolik yang ada di Ciledug. Bapak ibu sudah dianggap sebagai orang tua mereka juga”, papar Theresia Soestiati, anak bungsu bapak Doewe.

Salah satu mantan murid Excelsior school yang mendapat didikan langsung pak Doewe adalah bapak Sabda (1927-2006), putera Sunda asli. Atas anjuran pak Doewe, Sabda melanjutkan studi di Muntilan. Sabda kemudian dibaptis dengan nama permandian Eduardus. Ia menikah dengan Maria Tarmini, juga mantan murid Excelsior yang menjadi Katolik. Eduardus Sabda benar-benar mewarisi semangat pak Doewe dalam hal pengabdian demi Gereja dan pendidikan. “Jasa serta teladan pak Doewe bagi keluarga kami, tak bisa kami lupakan”, ujar Pastor Agus Rachmat OSC, salah satu anak bapak Sabda. Pastor Agus sendiri kini menjabat sebagai Propinsial Ordo Salib Suci di Bandung.

Cikal Bakal Sekolah dan Gereja

Pada jaman penjajahan Jepang, Excelsior School yang didirikan Doewe sempat dibubarkan. Meski demikian, cita-cita Doewe untuk mengembangkan bidang pendidikan tak pernah pupus. Setelah pendudukan Jepang berakhir, kegiatan sekolah dimulai kembali. Semua warga Katolik dan simpatisannya sepakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah pak Doewe.

Pada 10 Maret 1950, Uskup Bandung, Mgr. P.M. Arntz OSC bersama Pimpinan OSC dari negeri Belanda, Mgr. Dr. Willem van Hees OSC serta sejumlah pengurus Yayasan Salib Suci, berkunjung ke rumah pak Doewe di Ciledug. Tujuan utama kunjungan tersebut adalah meninjau sekolah yang dikelola Doewe. Sebagai tindak lanjut atas kunjungan tersebut, pada tahun yang sama mulai didirikan sekolah Santo Thomas di atas lahan keluarga Doewe. Nama Thomas diambil dari nama permandian cucu kedua bapak Doewe yang dipermandikan langsung oleh Mgr. Willem van Hees, OSC. Gedung Sekolah baru ini diresmikan pada 7 Maret 1952 oleh Pastor Jan Döhne OSC.

Sekolah yang semula diselenggarakan di rumah kediaman pak Doewe kemudian berpindah ke bangunan baru milik keuskupan. Pada awalnya dibuka kelas-kelas Sekolah Dasar, kemudian Taman Kanak-kanak. Dalam perkembangannya, dibangun juga tingkat SMP, hingga kini. Pada hari Minggu, gedung sekolah ini berfungsi sebagai Gereja selama bertahun-tahun.

Pengabdian dan jasa Ludovicus Doewe Prawiradisastra diakui oleh Gereja. Pada bulan Nopember 1953, Doewe mendapat penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice dari Paus Pius XII.  Penganugerahan penghargaan tersebut baru dilaksanakan bulan Juni 1954 di Keuskupan Bandung.

Doewe, si anak ontang-anting meninggal dunia pada 3 Juni 1966. Semangat beliau terus bergulir dari waktu ke waktu. Pada tahun 1971, setelah lama diidamkan, berdirilah gedung Gereja Katolik, St. Theresia di Ciledug, melengkapi cita-cita almarhum bapak Doewe.

Heri Kartono,OSC.


Monday, July 7, 2008

David Gallus, OSC



GIAT PROMOSIKAN SUKU “TERBELAKANG”

Sesudah hampir seperempat abad berkarya di Asmat, ia kembali ke Amerika Serikat. Dari negerinya, ia tetap giat mempromosikan suku Asmat dengan pelbagai cara. Kini ia berkarya di kalangan suku Indian di kawasan Minnesota, AS.

Collen Needles dari televisi ternama CBS (Columbia Broadcasting System) amat terkesan dengan perjalanannya ke Asmat, Papua (1993). Collen, bersama rekannya Gary Feblowitz tidak sekedar berkunjung namun sekaligus membuat sebuah film dokumenter tentang Asmat: A World Away. Film berdurasi 30 menit ini menjelaskan dengan baik suku Asmat dengan budayanya pada masa itu. Perjalanan serta pembuatan film tentang Asmat ini dapat terlaksana berkat jasa Pastor David Gallus OSC.

Pastor David Gallus sudah lima kali membawa rombongan dari Amerika Serikat ke Asmat. Setiap rombongan umumnya tinggal selama 2 minggu di wilayah berlumpur itu. Anggota rombongan yang pernah ia bawa, berasal dari pelbagai kalangan hebat, seperti Cargil MacMillan, pemilik Cargil Company, perusahaan agrobisnis terbesar di AS atau Topsy Simonson, jutawan dari Minneapolis. Bagi David Gallus, kegiatannya ini merupakan salah satu usahanya untuk memperkenalkan kehidupan serta kesenian suku Asmat, sekaligus menggalang dana juga demi kepentingan Asmat.

Sampai saat ini, orang-orang yang pernah berkunjung ke Asmat masih sering berkumpul secara teratur. Mereka membentuk perkumpulan dengan nama Sago Worms Society (Perkumpulan Ulat Sagu). Kegiatan kelompok ini terutama mempromosikan kesenian Asmat di AS, khususnya di Minnesota. Kegiatan terakhir yang mereka lakukan adalah Malam Gala dan Lelang Seni Asmat (20/06/08).

Komputer dan Pesawat Terbang

David Gallus lahir di Minnesota, AS, pada 19 Februari 1939. Ayahnya, George Gallus adalah seorang petani sedangkan ibunya, Julia Gallus, ibu rumah tangga biasa. David Gallus adalah anak ke 4 dari 12 bersaudara. 

Sebagai imam, David mulai bertugas di Asmat setahun sesudah ditahbiskan (1967). Ia sendiri yang meminta atasannya untuk menempatkannya di daerah yang tersembunyi di antara rimba raya Papua itu. Selama 24 tahun bertugas di Asmat, ia melakukan banyak hal. Salah satu hal yang pernah ia lakukan adalah membenahi administrasi serta keuangan Keuskupan (Agats/Asmat) dengan sistem komputerisasi (1982). “Waktu itu komputer belum terlalu umum dan tidak ada suku-cadang di Asmat. Saya mengerjakannya sendiri dengan bantuan buku-buku”, kenang David.

Wilayah Asmat pada masa itu masih sulit dijangkau. Transportasi umumnya lewat laut dan sungai. Transportasi udara dilakukan oleh pesawat-pesawat kecil milik AMA (Associated Mission Aviation). Peranan AMA amat vital karena merupakan satu-satunya penerbangan yang masuk wilayah Asmat. Merpati baru masuk Asmat sekitar tahun 1980-an. AMA dimiliki 4 keuskupan yaitu Agats, Jayapura, Manokwari-Sorong dan Merauke. AMA memang dibentuk untuk mendukung kegiatan Gereja di bidang transportasi.

Pada tahun 1970, David ditunjuk sebagai sekretaris AMA. Pada waktu itu ia bertugas sebagai pastor paroki di Ewer sekaligus sebagai penanggung-jawab lapangan terbang Ewer/Agats. Saat ia kembali ke Amerika Serikat (1990), David tetap dipercaya sebagai representatif AMA. Setiap pembelian spare-parts bahkan pembelian pesawat baru dari AS, dilakukan lewat tangan David. “Status saya sebagai warga Negara AS yang tinggal di AS, amat memudahkan untuk mengadakan transaksi pembelian”, ujar David memberi alasan. Pesawat terakhir yang dibelinya adalah jenis Cessna 185.

Perhatian Terhadap Suku “Terbelakang”

Lepas dari tugasnya di bidang pastoral serta administrasi, David memiliki perhatian besar pada suku Asmat dengan segala aspek budayanya. Ia mengagumi kesenian Asmat serta spiritualitas yang terkandung di baliknya. David yang sempat studi Anthropologi di Catholic University of Washington DC (1966/67), sering merasa terusik manakala mendengar pandangan yang merendahkan suku Asmat. “Asmat kerap dianggap sebagai suku primitif, terbelakang bahkan perlu untuk dimanusiakan!”, ujar David geram. Ia juga tak bisa menerima perlakuan sewenang-wenang aparat pemerintah maupun militer terhadap penduduk Asmat. “Tentara -pada umumnya pendatang- pada waktu itu amat gampang memukul penduduk atau memaksa orang untuk menebangi pohon-pohon dengan bayaran murah atau malah tanpa bayaran sama sekali!”, ujar David. Barangkali karena melihat pelbagai perlakuan yang tidak adil itulah, timbul niat kuat di hati David untuk mengangkat derajat suku Asmat. 

Yang menyedihkan, budaya serta kesenian Asmat sempat terancam punah. Pasalnya, saat itu (1964-1965) pemerintah daerah menuding rumah adat Asmat sebagai sumber kejahatan, termasuk penyebab munculnya tradisi perang dan penggal kepala. Karenanya, atas perintah pemerintah setempat, banyak rumah adat dibakar. Bersamaan dengan itu, kebiasaan mengukir yang sudah menjadi bagian hidup orang Asmatpun dihentikan. Untunglah situasi itu tidak berlarut-larut. Menurutnya, suku Asmat dengan segala eksistensinya, seharusnya diterima dan dihargai secara wajar.

David yang kini bekerja di kalangan suku Indian di wilayah Onamia, Minesota, melihat nasib suku Asmat dalam beberapa hal mirip dengan suku Indian di AS. Menurutnya, dalam perjalanan sejarah Amerika Serikat, Indian yang merupakan suku asli di Amerika Serikat mengalami nasib buruk di masa lalu. “Orang-orang kulit putih menganggap orang-orang Indian liar, tak beradab dan harus dimanusiakan seperti mereka. Orang Indian di tempatkan tersendiri dalam suatu wilayah Reservation. Di wilayah terpencil ini mereka dipaksa untuk meninggalkan adat-budaya serta bahasa asli mereka dan menggantinya dengan budaya dan bahasa kaum kulit putih.

Menurut David, gejala semacam itu kerap terjadi di banyak tempat. “Suku yang merasa dominan cenderung untuk memaksa suku lain agar sama dengan mereka. Mereka menganggap bahwa adat-budaya sukunyalah yang terbaik dan harus diikuti”, jelas David. “Sampai saat ini, saya masih sering mendapat laporan terjadinya penganiayaan suku yang satu terhadap suku lain”, tutur David yang aktif dalam gerakan penegakan Hak-hak Azazi Manusia. Di wilayahnya (Mille Lac Area, Minnesota), ia duduk sebagai ketua Human Rights Commission.

Contoh Teladan Gereja 

Manusia hanya mungkin memiliki identitas yang utuh lewat budayanya. Tanpa budaya, manusia akan kehilangan jati dirinya. Karena itu, memberangus suatu adat budaya orang lain sama dengan menghancurkan jati diri manusia. David mengakui bahwa setiap adat-budaya, termasuk budaya Asmat dan Indian, tentu memiliki kekurangan, selain kelebihannya. “Justru pertemuan dengan budaya lain, akan memperkaya serta melengkapi budaya masing-masing!”, tegas David Gallus.

David Gallus, imam berbadan subur, memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib suku yang dianggap terbelakang, khususnya Asmat dan Indian. Ia berpendapat, komunitas Gereja seharusnya dapat memberi contoh teladan bahwa pelbagai suku dan budaya dapat hidup rukun berdampingan. Ia yakin, gambaran Nabi Yesaya bahwa singa, serigala, kambing dan anak manusia dapat hidup dengan damai (Yes 11: 6-9) dapat terjadi di kalangan antar suku, bila ada rasa hormat dan keterbukaan satu sama lain.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di majalah HIDUP, 20 Juli 2008).

 

Thursday, July 3, 2008

Gala Dinner & Lelang Asmat.


PERHATIAN UNTUK ASMAT DI AS

Seni Asmat nampaknya banyak diminati di Amerika Serikat. Pada 20/06 diadakan lelang benda-benda seni Asmat di Minneapolis, USA. Dana yang diperoleh diserahkan untuk membantu pengelolaan Museum Asmat.

Ada yang khusus dengan Universitas St. Thomas, Saint Paul-Minnesota, Amerika Serikat. Universitas ini memiliki Museum Seni Asmat yang cukup lengkap. Menurut Dr. Julie Risser, terdapat 1700 koleksi seni Asmat dalam museum. Dr. Julie adalah direktur Museum Asmat sejak 1 Oktober 2007.

Untuk mengelola museum secara professional, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itu, disamping dana dari Universitas, diusahakan juga pengumpulan dana dari para pencinta serta pemerhati Asmat. Dalam rangka ini, pada 20/06 diadakan Gala serta lelang benda-benda seni dari Asmat. Salah satu pemrakarsanya adalah Topsy Simonson, seorang jutawan sekaligus kolektor ukir-ukiran Asmat. Acara yang dihadiri 140 undangan ini diadakan di tempat kediaman Topsy di kawasan elite kota Minneapolis. Tamu yang hadir datang dari pelbagai kalangan: Bankir, Penyiar TV, Presiden Universitas, Direktur Museum. Selain itu, hadir juga mantan Uskup Agats/Asmat, Mgr. Sowada OSC serta Mgr. Dr. Glen Lewandowski, pimpinan Ordo Salib Suci.

Daya Tarik Khusus.

Acara lelang diadakan dalam dua tahap. Pertama disebut  Silent Auction  atau lelang  dengan diam. Para pengunjung berkeliling melihat-lihat barang yang hendak dilelang dan jika tertarik, akan menuliskan tawarannya. Orang berikutnya akan menuliskan tawaran lebih tinggi. Pada akhirnya, orang yang menulis tawaran tertinggi, dialah berhak memperoleh barang tersebut. 

Lelang tahap kedua (dilakukan sesudah jamuan malam) adalah Live Auction atau lelang langsung. Pada lelang ini, seorang petugas menunjukkan barang yang akan dilelang, menjelaskannya kemudian mengundang juru lelang untuk melelangnya secara terbuka. Rata-rata tawaran dimulai dengan angka terendah, yaitu US $ 1000. 

Benda-benda seni Asmat yang dilelang merupakan sumbangan dari pelbagai pihak yang pernah berkunjung ke Asmat. Pastor David Gallus OSC yang pernah 24 tahun bekerja di Asmat, menjelaskan bahwa cukup banyak orang Amerika yang pernah berkunjung ke Asmat. “Saya sendiri beberapa kali membawa rombongan dari Minnesota berkunjung sekaligus berbelanja barang-barang seni Asmat”, ujar Gallus.

Seni Asmat nampaknya amat diminati orang-orang Amerika. Kenyataan ini diakui oleh Dr. Julie Risser. “Seni Asmat sangat berbeda dengan seni di barat pada umumnya. Seni Asmat menyimpan banyak arti di belakang wujud seninya. Selain itu, kita bisa merasakan energi yang terpancar di dalamnya”, jelas Risser. Untuk menanggapi minat publik yang besar, sedang disiapkan ekshibisi seni Asmat. Rencananya ekshibisi akan dibuka pada tanggal 14 Februari hingga pertengahan Juni tahun depan.

Dikenal di Mancanegara.

Keberadaan Museum Asmat Universitas St. Thomas ada kaitannya dengan para biarawan Salib Suci AS. Biarawan OSC pertama kali masuk Asmat tahun 1958. Biarawan OSC, khususnya Mgr. Alphons Sowada OSC menaruh perhatian besar terhadap suku maupun budaya Asmat. Atas prakarsanya, didirikan Museum Asmat di Agats pada tahun 1973. Museum ini terutama bertujuan untuk melindungi sekaligus mempromosikan seni-budaya Asmat. 

Dengan tujuan yang sama, para biarawan OSC mendirikan juga Museum Asmat di Hasting, Nebraska, kemudian juga di Shoreview, Minnesota, AS. Tahun 2000 museum di Hasting ditutup sementara semua koleksi seninya dipindah ke Shoreview. Pada tahun 2007 pusat OSC Amerika Serikat berpindah dari Shoreview ke Phoenix, Arizona. Semua koleksi seni Asmat yang selama ini dikelola OSC diserahkan pada Universitas St.Thomas. Untuk yang ingin mengenal lebih jauh museum ini, anda dapat mengunjunginya di:

http://www.stthomas.edu/asmat/

Kesenian Asmat, khususnya Seni Ukir nampaknya dikenal dan diminati secara luas di Mancanegara. Ada cukup banyak tulisan bahkan Film yang mengangkat soal seni serta kehidupan suku Asmat. The Cannibal Craftsmen on New Guinea (1981); serta Dance of the Warriors (1988) adalah dua contoh film dokumenter yang pernah dibuat tentang Asmat. Salah satu buku terkenal tentang Asmat adalah Asmat: Myth and Ritual The Inspiration of Art. Buku setebal hampir 500 halaman ini ditulis oleh beberapa orang dengan editor Gunter dan Ursula Konrad (1996).

Di tempatnya sendiri budaya serta kesenian Asmat sempat terancam punah. Saat itu (1964-1965) banyak rumah adat dibakar karena dianggap sebagai sumber kejahatan. Bersamaan dengan itu, kebiasaan mengukir yang sudah menjadi bagian hidup orang Asmatpun dihentikan. Untunglah Alphonse Sowada OSC berhasil meyakinkan pemerintah setempat bahwa tudingan itu tidak beralasan.

Ironis bahwa budaya serta kesenian kita lebih dihargai di tempat lain daripada di negeri sendiri. Nampaknya kita musti belajar banyak bagaimana seharusnya menghargai pusaka budaya kita sendiri.

Heri Kartono,OSC - dari Minnesota, USA.(Dimuat di majalah HIDUP, edisi 13 Juli 2008).

Wednesday, July 2, 2008

DEUS CARITAS EST


CARA BARU MEMANDANG PERSOALAN DUNIA

Tonggak terpenting masa setahun kepemimpinan Paus Benediktus XVI adalah dikeluarkannya Ensiklik, “Deus Caritas Est”. Sampai sekarang, Ensiklik setebal 70 halaman ini masih terus diperbincangkan baik dalam bentuk diskusi, konperensi maupun ceramah. Penerbit dan percetakan Paoline, Roma, belum lama ini  menyelenggarakan seminar umum tentang Ensiklik tsb. Pembicara dalam seminar ini adalah Mgr.Angelo Comastri, Vicar Vatican City didampingi Liliana Cavani, seorang Sutradara Film Italia ternama.

Di Luar Dugaan Pengamat.

Ensiklik adalah suatu bentuk paling penting dari tulisan seorang Paus. Deus Caritas Est  (Allah adalah Kasih, dikutip dari 1 Yoh.4: 8) tidak sekedar menunjukkan dengan jelas arah kepemimpinan Paus Benediktus XVI tapi sekaligus merupakan “program” Gereja Katolik di era millennium ketiga.

Banyak pengamat merasa terkejut atas dikeluarkannya Ensiklik yang diterbitkan dalam 8 bahasa ini. Semula mereka menduga, Paus “Joseph Ratzinger” akan mengeluarkan suatu Ensiklik yang berkaitan dengan penginjilan baru khususnya untuk situasi Eropa yang makin tidak ber-Tuhan. Mereka menduga, Paus ini akan menyerang kelompok homoseksualitas atau kelompok pro aborsi atau sekularisme. Ternyata tidak. “Lewat Ensiklik ini, Paus mengajak umat kembali kepada sumber”, papar Mgr. A.Comastri. Ensiklik yang terdiri atas 42 alinea ini di luar dugaan banyak orang, karena Paus justru berbicara tentang cinta.

Liliana Cavani, memberi komentar tentang hal ini: “Berbicara tentang cinta adalah biasa bagi kaum kristiani, termasuk Paus. Santo Fransiskus dan banyak orang suci lain juga berbicara tentang hal yang sama. Namun tema cinta yang ditulis dalam Ensiklik ini tetap terasa istimewa, sarat dengan nuansa biblis dan filosofis. Kekuatan Ensiklik ini, Paus menuliskannya dalam bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, jelas dan…membumi!”, papar Sutradara Film The Night Porter ini bersemangat. Sejalan dengan pendapatnya, harian Herald Tribune juga memuji Paus yang berbicara bukan tentang cinta yang abstrak melainkan konkrit, bahkan soal cinta badani (carnal love) antara wanita dengan laki-laki (30/01/06).

Deus Caritas Est (dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 2006) sungguh menyapa kita manusia, yang bergumul dengan persoalan hidup, dengan eros dan dengan pencarian kebahagiaan serta keadilan. Paus menyapa kita bukan untuk menghakimi atau memandang dengan mata seperti kaum Parisi namun menghargai manusia dengan kelembutan. Dokumen ini menjelaskan bahwa pada dasarnya eros (cinta erotik) dan agape (cinta spiritual) keduanya  adalah baik. Meski demikian, eros mengandung resiko direndahkan hingga menjadi seks saja bila tidak diimbangi unsur spiritual. Paus mengutip Nietzsche yang menuduh bahwa Gereja telah “meracuni” eros (3). Justru eros pada jaman sekarang telah teracuni karena telah direduksi sebagai seks murni dan telah menjadi komoditi, barang yang diperjual-belikan. Padahal, eros yang sejati justru diarahkan untuk memurnikan dan mematangkan manusia.

Tentang caritas (kasih), dokumen menerangkan bahwa kasih bersifat universal dan terwujud dalam bentuk yang konkrit. Sifat universal dari kasih dalam pelbagai bentuk konkrit yang kita temukan dalam perjalanan sejarah, diperlukan untuk menampilkan gambaran Allah dan manusia. Hal ini penting untuk menghindarkan manusia jatuh dalam godaan fanatisme bahkan terorisme.  Tentang hal ini seorang pengamat, Alexander Smoltczyk (Roma) memberi komentar: “Pada jaman dimana nama Allah sering dikaitkan dengan kekerasan, teror dan kebencian, pesan Ensiklik terasa amat penting dan tepat waktu”, tulisnya dalam Spiegel Online (25/01/06).

Deus Caritas: Menjadikan Elemen Kasih Membumi.

Paus terdahulu, Yohanes Paulus II mengajak umat kristiani untuk mengupayakan “kreativitas di dalam kasih” terutama dalam mengatasi pelbagai masalah dan solidaritas (Novo Millennio Ineunte). Paus Benediktus XVI mengukuhkan tugas tersebut dan mengajak Gereja untuk memegang teguh pelayanan kasih sebagai bagian iman yang amat mendasar. Paus mengajak para uskup yang sering tergoda hanya menjadi petugas ‘administrator’ di keuskupannya untuk menempatkan soal pelayanan kasih sama penting dengan tugas lain. Paus juga mengajak kaum awam yang sering terperangkap melakukan aktivitas hanya berdasar efisiensi namun dengan resiko jatuh pada solidaritas tanpa identitas.

Mgr. Angelo Comastri, dalam ceramahnya menyinggung teladan Ibu Teresa dari Calcuta sebagai contoh nyata dari pesan Ensiklik. Penyebutan nama Bunda Teresa (sampai 4 kali dalam Ensiklik!) membuat elemen kasih sungguh ‘membumi’. Bunda Teresa, teladan perwujudan caritas, berhasil menggerakan pelbagai organisasi internasional. Dengan kasihnya, ia dapat bertemu dan bekerja sama dengan kaum Muslim, Hindu bahkan dengan kaum Ateis tanpa banyak kesulitan. Semuanya ia lakukan atas dasar ‘kasih Jesus” yang selalu ia  minta dalam doanya.

Dalam Ensiklik ini Paus menolak kritik Marxisme yang menuduh tindakan pelayanan gereja sebagai penghambat pembangunan dunia yang lebih baik karena melanggengkan status quo (26). Menurut Paus, Marxisme adalah pandangan filsafat tak manusiawi karena demi perubahan struktural jangka panjang ia mengorbankan manusia konkrit yang menderita saat ini. Justru tindakan kasih, yaitu pelayan konkret dan langsung (seperti tindakan orang Samaria yang baik hati), mengarah pada pembangunan dunia yang lebih baik dan manusiawi.

Selain itu, Paus juga menekankan bahwa tugas untuk menciptakan masyarakat yang adil pertama-tama merupakan tugas negara, bukan Gereja. “Sebagai tugas politik, hal tersebut tidak bisa menjadi tanggung-jawab langsung Gereja”, paparnya. Gereja tidak mempunyai peranan langsung dalam kehidupan politik. Kendati demikian, gereja ingin dilibatkan dalam kehidupan politik dengan membantu membentuk kesadaran dalam kehidupan berpolitik serta mendorong terwujudnya keadilan yang otentik (26.28.29).

Memiliki Kekuatan Inspiratif.

Dr.Leo Kleden SVD ketika ditanya pendapatnya tentang Ensiklik baru ini menjawab: “Sebenarnya, gagasan dasar tentang kasih dalam Ensiklik ini sudah nampak dalam karya Ratzinger jauh sebelum ia menjadi Paus, misalnya dalam bukunya Introduction to Christianity”, papar doctor Filsafat ini mengutip ucapan murid-murid Ratzinger. Leo juga melihat bahwa Ensiklik ini mempunyai kekuatan inspiratif yang luar biasa.

Sementara itu, Anton Bunyamin, dosen Filsafat Unpar, melihat adanya suatu pergeseran cara pandang Gereja Katolik lewat Ensiklik ini. “Kecenderungan agama pada umumnya adalah mengklaim dirinya sebagai institusi paling berhak dan paling mampu untuk membangun dan menyelamatkan dunia. Demikianpun kecenderungan yang sama dialami Gereja (Katolik). Dalam ensiklik ini Paus menyatakan dengan rendah hati bahwa Gereja bukanlah satu-satunya institusi yang dapat membangun dunia lebih baik (35)”, papar mahasiswa pasca sarjana ini. Lebih lanjut Anton menambahkan: “Ensiklik ini juga menarik karena dengan tegas menyatakan bahwa caritas/kasih itu harus bebas; tidak boleh digunakan untuk tujuan lain, termasuk sebagai alat kristinisasi (31c)”, imbuh Anton.

Lewat Ensiklik ini Paus Benediktus berhasil melihat masalah-masalah di dalam Gereja secara rasional, realistik dan dengan pandangan yang jernih. Persoalan-persoalan dunia dipandang secara baru lewat Deus Caritas, Ensiklik pertama Paus Benediktus. Tak heran bahwa para pengamat menyebut Benediktus XVI sebagai “Paus yang berpikiran terang”.

Heri Kartono.OSC (Roma, Maret 2006).

 

 

Heri Kartono (di Minnesota, USA)




JALAN-JALAN DI DANAU POTATO

Musyawarah dan Kapitel Krosier Propinsi St.Odilia, Amerika Serikat, berlangsung dari 15 hingga 27 Juni di Onamia, Minnesota. Cfr. Tom Carkhuff yang sudah 9 tahun menjadi propinsial, terpilih kembali dengan suara lebih dari 2/3 (sesuai aturan yang berlaku). Tom akan memimpin Krosier untuk 3 tahun ke depan.

Acara Musyawarah dan Kapitel berlangsung padat. Sesudah makan siang, jam 13.45 acara sudah dimulai lagi. Berat untuk yang biasa tidur siang! Dari Papua, hadir Virgil Petermeier dan Frans Guna yang belum lama menyelesaikan studinya di Universitas Angelicum, Roma.

Week End tentu saja merupakan saat-saat yang menyenangkan. Jumat malam, ada undangan Gala dan Lelang barang-barang kesenian Asmat di rumah Topsy Simonson, jutawan dari Minneapolis. Acaranya menarik, ada musik, makanan serta minuman serba enak dan berlimpah hanya sedikit kelewat formal. Memang, para undangan juga datang dengan pakaian “pesta”.

Sabtu siang, bersama James Hentges berangkat ke Lake Potato. Dari Onamia sekitar 2 jam dengan mobil kearah Canada. Untung James dapat pinjaman mobil dari Kermit Holl. Di Danau Potato, kakaknya James, Dick Hentges, punya satu Villa musim panas yang besar dan bagus. Villanya terletak persis di pinggir danau. Bagian yang mengarah ke danau, dibuat dari kaca besar, sehingga kita bisa menikmati pemandangan danau dengan leluasa.

Sore hari kami jalan-jalan keliling danau, naik boat. Boat milik kakak James ini baru dibeli setahun yang lalu, masih kelihatan bersih dan bagus. Bagian dasar di-alasi karpet khusus tahan air. Boat ini diperlengkapi dengan komputer mini. Lewat layar, kita bisa mengetahui kedalaman danau, temperatur air, banyaknya ikan yang ada di sekitar Boat dan tentu saja petunjuk arah. Suara mesin amat halus. Oya, sound-systemnya juga canggih, cocok untuk memutar musik-musik ringan. Carol, istri Dick, sudah menyiapkan makanan dan minuman dari rumah. Saya pilih Gin dengan tonic dingin, katanya cocok untuk musim panas. Yang pasti memang enak, meski sedikit bikin kepala goyang.

Malam hari, sesudah makan, kami nonton film RONIN, dibintangi Robert de Niro dan Jean Reno. Film ini jenis thriller, dibuat tahun 1998, kebetulan saya belum nonton sebelumnya. Asyik juga. Carol tidak ikut nonton. Dia pilih baca E-mail di komputernya.

Week End yang menyenangkan. (Catatan Pribadi, Onamia, 22 Juni 2008).

Tuesday, July 1, 2008

REHAT.


 

TEMPAT MEMBUANG KEJENUHAN DAN MENIMBA KESEGARAN

Biarawan-biarawati Indonesia yang bekerja di Generalat (Pusat Ordo) di kota Roma membentuk wadah yang disebut REHAT. Sebenarnya Rehat merupakan kependekan dari Rekan Hidup Antar Tarekat. Rehat dimaksudkan hanya untuk orang Indonesia asli, karena pola pikir dan mentalitas yang agak sama. Maka, para konfrater dari Negara lain, meskipun sudah WNI, tidak termasuk di dalamnya.

Anggota Rehat ada yang bekerja sebagai Konselor, Asisten, Anggota Dewan Jenderal, Ekonom atau Sekretaris Jenderal. Jumlahnya tidak banyak, 13 orang saja. Orang Indonesia asli yang menjadi pimpinan tertinggi konggregasi Internasional yang berkedudukan di Roma belum ada. Jenderal suster-suster Carolus Boromeus sebenarnya dipegang oleh seorang Indonesia, yaitu Sr.Melani CB. Namun, pusat CB bukan di Roma melainkan di Maastricht, Belanda.

Salah satu keuntungan bekerja di Generalat adalah bertambahnya pengalaman dan wawasan. Sebab, sebagai anggota Dewan Jenderal, salah satu tugasnya adalah mengadakan kunjungan ke tempat di mana Ordo tersebar di dunia. Selain itu, adanya Paus sebagai Uskup kota Roma maupun sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik, mempunyai nilai tersendiri. Roma menjadi pusat dunia, sekurangnya di lingkungan gereja.

Bekerja di tingkat Generalat tidak selalu menyenangkan. Beberapa anggota REHAT bahkan mengaku lebih suka tinggal dan bekerja di tanah air. REHAT yang berarti “istirahat”, diakui oleh para anggotanya sebagai semacam tempat “Oase”, tempat di mana orang bisa istirahat, menimba kesegaran dan kekuatan hidup kembali. REHAT memang semacam wadah kekeluargaan.

REHAT dibentuk lima tahun yang lalu. Para pionirnya adalah P. Albertus Tan Thian Sing MSF,  P.Hadrianus Wardjito SCJ, P.Mangkey MSC dan Br.Gabriel FC. Kelompok ini sejak awal tidak memiliki ketua atau pengurus resmi, karena memang tidak dimaksudkan sebagai wadah formal. Namun demikian, salah seorang anggota secara suka rela mengatur dan mengingatkan jadwal pertemuan.

Pertemuan REHAT diadakan sekitar 10 kali dalam setahun. Dalam pertemuan tersebut, biasanya para anggota mengadakan tukar menukar pengalaman. Rekan-rekan yang baru mengadakan kunjungan (visitasi) men-sharingkan pengalamannya, termasuk pelbagai kesulitan umum yang dihadapi Konggregasinya. Semuanya dilakukan dalam suasana informal.

Pst. Leo Kleden SVD dalam satu acara sharing mengungkapkan kegembiraannya atas kelompok ini. “Saya tidak hanya membagikan pengalaman saya, tapi juga menimba banyak pengalaman dari rekan-rekan”, ungkap Doktor Filsafat ini. Anggota REHAT yang lain, Pst. Dr.Paulinus Yan Olla MSF, mengungkapkan hal yang senada. 

Sementara itu, seorang suster sempat mensharingkan tentang kelompok ini: “Bagi saya, REHAT adalah tempat membuang kejenuhan dan menimba kesegaran rohani”, paparnya.

Setiap orang, sebagai apapun, butuh wadah dimana ia bisa berbagi suka dan duka secara wajar. Nampaknya REHAT telah menjadi rumah kedua bagi para anggotanya.

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah KOMUNIKASI, Mei 2006 dengan sedikit Revisi).