Tuesday, April 14, 2009

Paskah 2009 di Vatikan.


MUSIBAH GEMPA WARNAI PASKAH VATIKAN

Selamat Paskah, juga kepada mereka yang tertimpa musibah gempa”, ujar Paus dihadapan dua ratus ribu orang di lapangan St.Petrus, Vatikan (12/4). Paskah tahun ini memang diwarnai musibah gempa di kota Aquila yang menelan 300 korban jiwa.

Dua ratus ribu orang berkumpul di lapangan Santo Petrus Vatikan dan di sepanjang jalan Via della Conciliazione untuk mendengarkan pesan Paskah Paus Benediktus XVI. Para peziarah ini juga datang untuk mendapatkan berkat Urbi et Orbi (bagi Kota dan Dunia) yang disampaikan Paus setiap hari raya Paskah dan Natal.

Dalam pesannya, Paus mengingatkan umat beriman bahwa kematian serta kebangkitan Kristus memberikan harapan bagi dunia. Paus memulai pesan singkatnya dengan mengutip ucapan Santo Agustinus: “Resurrectio Domini spes nostra” (Kebangkitan Tuhan adalah harapan kita). Menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi sesudah kematian, Paus meyakinkan: “Kematian bukanlah kata akhir. Sebab, pada akhirnya kehidupan akan memperoleh kemenangan. Keyakinan ini bukan berdasarkan pikiran manusiawi kita belaka, melainkan berdasar fakta sejarah dari iman. Yesus Kristus, yang disalibkan dan dikuburkan, bangkit lagi dengan tubuh yang dimulyakan. Yesus bangkit sehingga kita juga yang percaya kepadanya boleh memperoleh kehidupan kekal. Pewartaan ini merupakan inti sari pesan Injil”, ujar Paus.

Berkat Urbi et Orbi yang disampaikan Paus, mengakhiri rangkaian acara Pekan Suci. Paus Benediktus yang pekan ini (16/04) tepat berusia 82 tahun dipuji memiliki stamina yang bagus. Meski demikian, saat memimpin Misa Malam Paskah yang berlangsung lebih dari 3 jam, Paus sempat terbatuk-batuk dan nyaris kehilangan suaranya.

Jalan Salib di Coloseum

Salah satu acara yang selalu menarik perhatian adalah Jalan Salib di Coloseum yang dipimpin oleh Paus. Demikian juga tahun ini. Dalam cuaca awal musim semi yang cerah, puluhan ribu orang datang memadati Coloseum (10/04). Jalan utama yang menuju Coloseum telah ditutup sejak sore hari. Upacara sendiri baru mulai jam 9 malam.

Doa dan renungan Jalan Salib tahun ini ditulis oleh Mgr. Thomas Menamparampil, SDB, uskup agung Guwahati, India. Buku Jalan Salib yang dibagikan secara gratis, Cover maupun illustrasi bagian dalamnya bercorak India. Permenungan Mgr. Menamparampil terfokus pada pertanyaan tentang kejahatan di dunia, penderitaan serta berbagai bentuk kesengsaraan. Itu semua, menurutnya, merupakan simbol kehadiran salib Kristus dalam hidup kita.

Dalam konteks tersebut Mgr. Menamparampil menghubungkan penderitaan umat Kristiani di India serta di negara-negara lain. Dalam beberapa tahun terakhir penganiayaan terhadap umat kristiani di India memang meningkat, termasuk di Orissa, negara bagian timur. Dalam kerusuhan pada 23 Agustus 2008, sekitar 40 umat kristiani tewas akibat penyerangan umat Hindu yang fanatik.

Jalan Salib, menurut Mgr. Menamparampil membawa juga pesan harapan. Tentang hal ini ia menulis: “Semoga pesan pengharapan bergema dari Hoang Ho sampai ke Colorado, dari Himalaya ke Alpen dan Andes, dari Missisipi hingga Brahmaputra. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah kutipan, Jadilah kuat dan teguhkan hatimu, semua kalian yang berharap pada Allah”.

Selama Jalan Salib, Paus berlutut di bawah tenda menghadap Coloseum. Salib di bawa secara bergantian oleh petugas yang telah ditetapkan. Salah satu pembawa salib adalah seorang pemuda yang menggunakan kursi roda, didampingi keluarganya. Pada bagian akhir Ibadat, Paus mengajak hadirin untuk turut mendoakan korban gempa yang terjadi di Aquila dan sekitarnya.

Musibah Gempa Warnai Pekan Suci

Gempa yang menimpa kota Aquila dan sekitarnya (Italia Tengah) terasa amat mewarnai Pekan Suci tahun ini. Saat berita ini ditulis, korban jiwa telah mencapai 300 orang. Sebanyak 205 jenasah dimakamkan secara serentak pada hari Jumat Suci (10/04/09). Vatikan telah memberikan dispensasi untuk mengadakan Misa Requiem. Sebab Jumat Suci, wafatnya Tuhan Yesus, adalah satu-satunya hari di mana Misa Kudus dilarang dirayakan.

Misa Requiem yang dipimpin oleh kardinal Bertone, dihadiri ribuan orang, termasuk Presiden Italia Napolitano serta Perdana Menteri, Silvio Berlusconi. Seluruh jalannya upacara, disiarkan secara langsung oleh TV nasional Italia. Pada kesempatan tersebut, dibacakan juga pesan Paus Benediktus XVI.

Dalam pesan yang dibacakan oleh Mgr. Georg Gaenswein, Paus menulis: “Pada saat-saat seperti ini, iman menjadi sumber terang dan harapan. Hal ini telah menjadi nyata dalam peristiwa Jumat Agung, ketika kita berbicara tentang kesengsaraan Putera Allah yang menjadi manusia di antara kita dan kebangkitannya telah menawarkan penghiburan”, tulis Paus. Lebih lanjut, Paus berpesan: “Pada saat dramatis ini, saya merasa secara spiritual ada bersama kalian, berbagi kedukaan”.

Di antara korban gempa, terdapat 6 orang beragama Islam. Dua di antaranya berasal dari Palestina. Upacara pemakaman dipimpin oleh seorang imam (muslim) lokal yang berbahasa Italia.

12 Suster Indonesia.

Di antara korban gempa yang selamat, terdapat 12 suster asal Indonesia. Kendati biara mereka, Biara Zelatrici del Sacro Cuore di Gesù Aquila, hancur berantakan. Salah satu anggota biara, Sr.Anna, asal Italia, tewas tertimbun bangunan sesudah ia berhasil menyelamatkan 6 orang anak. Biara ini memang merawat anak-anak terlantar, yatim piatu serta lansia. Selain Sr.Anna, ada dua suster lain (semuanya orang Italia) juga tewas.

Para suster yang selamat, termasuk 12 suster Indonesia, mengungsi ke kota Giuliananova, tak jauh dari Aquila. Sebelumnya, menurut Sr. Yasinta, mereka sempat terpencar-pencar dan ditampung di tenda-tenda darurat. Perhatian warga Indonesia lain yang tinggal di Italia amat besar dan cepat, termasuk pihak Kedutaan. Dubes RI untuk Vatikan, bapak Suprapto Martosetomo serta Dubes RI untuk Italia bapak Moh. Oemar bersama rombongan, mengunjungi para suster sambil membawa sejumlah bantuan (08/04/09). Bantuan yang disampaikan antara lain pakaian, selimut, jaket, makanan. Maklumlah, para suster tidak sempat menyelamatkan harta benda mereka yang tertimbun reruntuhan.

Pemilu

Pekan Suci tahun ini, khusus bagi warga Negara Indonesia, diwarnai juga dengan kegiatan pemilu atau lebih populer disebut Pencontrengan. Di Roma, pencontrengan dilakukan di dua tempat, yaitu di KBRI untuk Tahta Suci, bagi kaum rohaniwan/wati dan di KBRI untuk Italia bagi warga Negara Indonesia pada umumnya.

Br.Vincentius Dalijan SCJ, salah satu panitia pelaksana, mengeluh tentang sedikitnya kaum rohaniwan/wati yang menggunakan hak pilihnya. Setiap tahun pada Pekan Suci, banyak romo yang pergi keluar kota untuk asistensi. “Sebenarnya mereka dapat tetap memilih lewat pos. Sayang, hanya sedikit saja yang melakukannya”, ujar Br. Dalijan dengan nada kecewa. Partai Demokrat memperoleh suara terbanyak pada pemilihan di KBRI untuk Italia sementara di KBRI untuk Tahta Suci, Partai Katolik menduduki urutan paling atas.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 19 April 2009).

(Foto: 200 ribu orang berjubel di lapangan St.Peter dan sepanjang jalan Consolazione untuk mendengarkan pesan Paskah dan menerima berkat Urbi et Orbi).

 

 

 

 

 

Wednesday, April 8, 2009

Pst. Redemptus Simamora OFMCap.


KREATIF MENCARI TEROBOSAN

Dalam konser musikal yang diadakan tahun lalu, Pastor Redemptus tidak harus mengundang artis dari Ibu Kota. Pasalnya, salah satu anak asuhnya, Maria Pasaribu yang menjadi juara Mama Mia, Indosiar, menjadi bintang konser. Dan konser yang melibatkan kerja sama lintas suku dan agama inipun sukses besar.

Sejak 2005, Pastor Redemptus Simamora OFM.Cap (56) menyelenggarakan konser besar di Medan. Sebagai daya tarik, ia selalu mengundang artis ternama seperti Viktor Hutabarat, Nugie, Nur Afni Octavia dll. Pengunjung konser, untuk ukuran Sumatera Utara juga tergolong banyak. Tahun 2007, misalnya, konser yang bertema Penciptaan dan Penebusan, dihadiri sekitar 8000 penonton setiap pentasnya. Bintang tamu saat itu adalah Delon, pemenang Indonesian Idol.

Konser yang diprakarsai Redemptus merupakan perpaduan antara Paduan Suara, Orkes lengkap, drama dan tari. “Paduan suara untuk sejumlah orang awam kerap membosankan. Karenanya, kami mencoba alternatif lain, yaitu memadukannya dengan iringan orkes lengkap dengan dramatisasi serta tarian sesuai dengan tema yang dipilih”, ujar imam kelahiran Bakkara, Sumut ini.

Lagu Handel di kampung

Saat di kampung ia biasa dipanggil Viator. Nama permandiannya Benedictus sedangkan marganya Simamora. Ketika masuk biara, ia mendapat nama baru Redemptus. Sejak itu ia selalu dipanggil dengan nama Redemptus.

Redemptus, anak ke-enam dari delapan bersaudara, dibesarkan dalam keluarga yang senang bernyanyi. Ayahnya, Natanael Simamora, adalah pelatih koor di gereja, pada masanya. Sedang ibunya, Augusta Nainggolan, pernah menjadi solis karena suaranya yang merdu. “Umat di gereja kampung kami, pada masa itu, sudah mampu menyanyikan lagu Halleluya Handel yang sulit itu!”, ujar Redemptus serius.

Orang tua Redemptus pada awalnya beragama protestan. Saat Redemptus masuk seminari, orang tua tidak melarang bahkan ikut merasa bangga. Kakak perempuan Redemptus saat itu sudah terlebih dahulu masuk biara, yaitu Sr. Augustina KSFL. Bahkan, abang kedua dari Redemptus pernah juga masuk seminari beberapa tahun.

Pengalaman yang mengesankan saat remaja adalah ketika ia menjuarai lomba nyanyi di sekolahnya. “Aku dapat hadiah 1 buku tulis 12 lembar”, kenangnya bangga. Saat itu ia masih duduk di kelas 2 SMP. Yang pasti, pengalaman tersebut memberinya kepercayaan diri di bidang tarik suara. Saat duduk di kelas 1 SMA di Seminari, Redemptus sudah berani menjadi pelatih lagu bagi adik-adik kelasnya. Sejak itu, peran sebagai pelatih lagu sekaligus dirigen berlangsung hingga kini.

Dari sekedar bernyanyi, Redemptus kemudian mulai menulis lagu. Itu terjadi saat ia di Seminari Tinggi Pematang Siantar. Lagu-lagu ciptaannya kerap ia mainkan  dengan iringan gitar. Redemptus memang pandai memainkan beberapa alat musik, termasuk gitar. Karya ciptaannya, kelak ia rekam dalam kaset di Studio Rekaman milik Komsos Keuskupan Agung Medan. Tanpa ia duga, lagu-lagunya banyak disukai dan kerap dinyanyikan, khususnya pada misa anak muda. Beberapa lagu ciptaannya antara lain Yesus Bertanya; Kususuri Jalan; Di Keheningan Malam; Yesus Sahabat Anak Muda.

Pimpinan tarekat nampaknya melihat bakatnya yang menonjol di bidang musik. Karenanya, pada tahun 1987, Redemptus dikirim ke Roma untuk studi lanjut jurusan Animazione Liturgica-Musicale. Studi musik yang berlangsung selama tiga tahun ini memberi bekal yang mantap bagi karya Redemptus di bidang musik. Dari sisi lain, Redemptus menjadi “kurang produktif” dalam mencipta lagu. “Kini aku sangat selektif dalam membuat lagu.  Aku ingin lagu yang aku gubah, mempunyai  komposisi yang benar secara musikal serta dapat dipertanggung-jawabkan, termasuk dalam pembuatan orkestrasinya”, ujar imam berwajah ramah ini.

Kerja sama Lintas Suku Agama

Sepulang dari Roma (1990) Redemptus membuka kursus musik, di samping karyanya sebagai pastor paroki di kota Medan. Ia juga mengajar di Universitas HKBP Nommensen, jurusan musik, serta di Sekolah Tinggi Pastoral Deli Tua. Ia bersyukur bahwa tarekatnya, Ordo Kapusin, mendukung aktivitasnya. Pimpinan Ordo selain memberinya kebebasan sekaligus menjadikan musik sebagai salah satu bentuk kerasulan Ordo. Saat ini, kursus musik gerejani yang dibuka Kapusin Medan telah diikuti sekitar 50 murid untuk jurusan piano, organ, vokal, biola dan gitar selain juga dirigen.

Pada tahun 1998, Redemptus membentuk Paduan Suara Magnificat. Nama tersebut diambilnya dari kidung Maria: Magnificat Anima Mea (Jiwaku Memuliakan Tuhan). Ia mengaku memiliki devosi khusus kepada Bunda Maria. Dari tahun ke tahun, Magnificat berkembang dengan baik dan semakin dikenal.

Beberapa kali PS. Magnificat mengadakan pentas dan lumayan sukses. Namun Redemptus tak pernah puas. Setelah beberapa kali pentas, Redemptus mulai mencari terobosan baru. Ia mencoba memadukan Paduan Suara dengan iringan orkes, tarian serta dramatisasi. Ide besar ini tentu saja membutuhkan kerja sama dengan banyak pihak serta melibatkan banyak orang. Untunglah, jaringan relasinya yang luas, memungkinkan hal ini. Ia menjalin kerja-sama dengan Grup Kesenian Taman Budaya Medan.

Bersama Grup Kesenian Taman Budaya Medan, Redemptus mulai mewujudkan ide besarnya. Ada semacam pembagian tugas: Magnificat dibawah asuhan Redemptus, menyiapkan lagu-lagu sementara grup kesenian merancang pentas drama dan tarian. Kendati tema pagelaran selalu berkaitan dengan agama Katolik (Natal, Paskah) namun tidak sedikit pemain yang beragama Kristen Protestan atau Islam. Menurut Redemptus, perbedaan suku dan agama tak pernah menjadi masalah.

Yang pasti, hasil kerja-sama tsb tidaklah sia-sia. Pentas pertama tahun 2005 yang diselenggarakan untuk merayakan Natal, mendapat sambutan luar biasa. Sejak itu, konser senada diadakan dengan variasi serta kreativitas yang selalu baru, setiap tahunnya.

Dukungan Banyak Pihak

“Aku merasakan rahmat Tuhan yang luar biasa lewat tangan banyak orang yang rela membantu!”, ujar Redemptus. Nampaknya Redemptus tidak berbasa-basi. Untuk membuka kursus musik atau menyelenggarakan suatu konser besar, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Dan ia patut bersyukur bahwa dukungan dan pertolongan datang dari pelbagai pihak. Kursus musik yang ia selenggarakan, kini memiliki 5 buah piano, salah satunya bahkan Grand Piano, memiliki 4 Key Board; 4 Organ serta Sound system yang cukup baik. Selain kepada Ordonya Kapusin, secara khusus Redemptus mengucapkan terima kasih kepada para donatur utama seperti bapak Sulaiman Purba, Robert Sihite serta bapak Teddy. Tentu saja Redemptus juga berterima kasih kepada banyak pihak lain, termasuk ibu-ibu dari paroki Hayam Wuruk Medan yang selalu bersedia membantunya. 

Bagi Redemptus, bakat musik maupun kerja kerasnya pertama-tama bukanlah demi kesenangan atau popularitas pribadi. Motivasi utamanya adalah berkarya di ladang Tuhan. “Medan itu gudang pemusik dan penyanyi. Aku hanya membantu agar bakat-bakat yang terpendam di antara umat di Medan, dapat tumbuh berkembang demi kemuliaan Tuhan!”, ujarnya sungguh-sungguh.

Sejak bulan Januari 2009 ia mendapat kesempatan menjalani tahun Sabat di Roma. Kesempatan tersebut ia manfaatkan untuk refreshing di bidang musik, khususnya di bidang komposisi, orkestrasi serta vokal. Sepulang dari Roma nanti (bulan Juli), ia akan meneruskan mewujudkan mimpi-mimpinya, sesuai dengan motto yang dipilihnya: “Aku ingin bernyanyi bagi Tuhan, karena Dia baik kepada-ku” (Mz.13:6)   

(Foto: Pst. Redemptus Simamora OFMCap diapit dua figuran. Lokasi: Campo Felice, Italia)

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP, edisi 19 April 2009).