Friday, August 29, 2008

Yohanes Irvan Jahja



THE ABSOLUTE WINNER

Dalam usia menjelang 18 tahun, ia berhasil menyabet medali emas bidang informasi kejuaraan Olimpiade Internasional. Kejuaraan bergengsi yang diselenggarakan di Mesir (16-23 Agustus 2008) ini, diikuti 283 peserta dari 78 negara.

Kemenangan Irvan disambut hangat warga Indonesia di Mesir. Tak kurang Dubes RI untuk Mesir, bapak A.M. Fachir beserta segenap staffnya turut merayakan kemenangan Irvan dengan jamuan makan. Irvan yang tak menduga akan mendapat kehormatan itu, tentu saja merasa haru campur bangga. Di Indonesia, saat tiba di bandara Cengkareng, kejutan lain telah menanti. Dirjen Pendidikan sendiri turut menyongsong kedatangan Irvan. Disaksikan banyak orang, Irvan mendapat kalungan bunga selamat datang.

Tahun yang lalu, saat mengikuti OSN (Olimpiade Sains Nasional) yang diadakan di Surabaya, Irvan juga berhasil merebut medali emas. Saat itu ia malah keluar sebagai The Absolute Winner karena memenangkan perlombaan secara mutlak baik di bidang teori maupun praktek sekaligus.

Sumber Informasi

Irvan sudah berkenalan dengan komputer sejak kelas 4 Sekolah Dasar. Menurutnya, itupun sudah terlambat. “Kawan-kawan saya banyak yang sudah akrab dengan komputer sejak kelas 1 Sekolah Dasar atau bahkan sebelumnya”, ujar Irvan. Pada awalnya, ia menggunakan komputer untuk bermain game saja. Segala permainan yang tersedia, sempat ia coba. Lama-kelamaan timbul hasratnya untuk membuat game sendiri. “Saat saya duduk di bangku SMP, saya sudah mulai membuat game sendiri, terutama sih yang visual basic”, tutur penggemar masakan Italia ini.

Kecintaannya pada komputer memang luar biasa. Nyaris seluruh waktu luangnya ia gunakan untuk kegemarannya ini. Di sekolah, ia memilih kegiatan ekstra kurikulernya bidang komputer juga. Demikianpun, pada acara-acara penting di sekolahnya, biasanya ia mendapat tugas yang berkaitan dengan komputer, seperti membuat booklet untuk Malam Gembira.

Irvan merasa bersyukur bahwa orang tuanya memberi kebebasan penuh kepadanya, termasuk soal penggunaan internet. Kepercayaan yang besar dari orang tuanya membuat ia leluasa untuk terus mengembangkan diri. Rata-rata ia duduk 3 sampai 4 jam di depan komputer setiap harinya. “Maunya lebih lama, tapi saya harus membagi waktu juga dengan tugas-tugas sekolah”, jelas siswa SMU St.Aloysius Bandung ini.

Banyak orang tua yang membatasi anaknya dalam penggunaan internet. Umumnya karena mereka takut bahwa anak-anak akan menyalah gunakan internet. Tentang hal ini, Irvan tidak sependapat. Menurutnya, internet merupakan sumber informasi yang luar biasa. Selain itu, internet dapat menjadi sarana sosialisasi yang murah, cepat dan efisien. “Penyalah gunaan internet adalah ekses. Yang perlu diwaspadai bukan penggunaan internet melainkan pergaulan”, tegas Irvan.

Irvan juga tidak setuju bahwa penggunaan internet/komputer kerap dituding secara negatif dan menjadi kambing hitam atas kasus-kasus tertentu. “Komputer/internet adalah sarana, media yang bersifat netral. Bahwa itu kerap disalah gunakan, jangan salahkan komputer/internetnya, melainkan penggunanya!”, jelasnya.

Masyarakat Belum Siap

Irvan berasal dari keluarga Katolik. Ia sendiri dibaptis sejak kecil dengan nama permandian Yohanes. Sebelum berangkat ke Mesir, salah satu yang ia lakukan adalah berdoa Novena. “Doa Novena berakhir satu hari menjelang keberangkatan saya ke Mesir”, tuturnya. Ia menyadari bahwa mengandalkan kemampuan otak saja belumlah cukup. 

Tentang penggunaan komputer di masyarakat, Irvan melihat adanya perbedaan antara negara maju dan negara kita. Di negara maju, seperti di Eropa Barat dan Amerika Serikat, banyak hal sudah menggunakan sistem komputer. Membeli tiket Kereta Api bahkan bayar parkirpun sudah menggunakan komputer. Di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, penggunaan sistem komputer untuk keperluan publik sudah mulai digunakan juga. Namun secara umum, menurut Irvan, masyarakat kita belum siap. “Di Indonesia segala sesuatu bisa disalah-gunakan, diakali atau dicuri. Kabel telpon di bawah tanah saja masih bisa dicuri! Karenanya, bila komputerisasi fasilitas publik akan diterapkan secara luas, perlu disertai dengan pengawasan yang memadai”, ujarnya.

Dukungan Penuh

Pada tanggal 22 September 2008, Irvan akan berangkat ke Sydney, Australia. Ia mendapat undangan dari Google (suatu perusahaan yang berkaitan dengan dunia internet, berpusat di California, AS) untuk mengikuti lomba informatika bidang programming. Segala biaya untuk keperluan tersebut ditanggung pihak Google.

Dalam mengikuti pelbagai lomba, Irvan mengaku senang dan terharu karena mendapat dukungan banyak pihak. Secara khusus pihak Sekolah SMU St. Aloysius dan Yayasan Mardiwijana/Satya Winaya, sejak awal amat mendukungnya, memberinya keleluasan serta kemudahan. Misalnya, untuk mempersiapkan Olimpiade, dirinya beberapa kali harus absen dari sekolah. Pihak sekolah dan yayasan memberi toleransi termasuk kesempatan ulangan susulan. “Tidak hanya itu, saat berangkat ke Mesir, saya mendapat uang saku, tanda dukungan sekolah/yayasan. Saya sungguh berterima kasih”, kata Irvan tulus.

Dukungan juga ia peroleh dari para pembimbing. Untuk mempersiapkan kejuaraan Olimpiade yang lalu, Irvan sempat dilatih di UI, ITB, UGM bahkan dari Dr. Inge, seorang pakar komputer di Medan. “Dedikasi mereka dalam melatih saya luar biasa sekali. Mereka tidak memperhitungkan waktu dan jerih payah demi keberhasilan saya”, ujarnya.

Tentang masa depannya, Irvan mengaku belum serius memikirkannya. “Saya malah berfikir untuk melanjutkan usaha ayah saya yang memang tidak terlalu berkaitan dengan komputer”, ujarnya. Ayah Irvan, Paulus Jahja, adalah pengusaha di bidang supermarket.

Setelah berhasil meraih medali emas, Irvan langsung mempersiapkan diri lagi untuk kejuaraan di Sydney mendatang. Selain memiliki kemampuan tinggi, Irvan memang seorang pekerja keras. Waktunya ia gunakan secara efektif. Prestasi serta masa depannya terbuka lebar di hadapannya. Kendati demikian, ia sadar bahwa setinggi apapun kemampuan yang ia miliki, tak akan ada artinya tanpa dukungan Tuhan yang ia imani.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP, 14 September 2008).

 

Monday, August 25, 2008

Diana



MENEMUKAN KEBAHAGIAAN DALAM KEKELAMAN

Tujuh tahun yang lalu, ia harus berjuang menemani suaminya yang terkena penyakit jantung koroner. Tak disangka, kali ini giliran dirinya harus menerima kenyataan divonis menderita penyakit kanker!

Pada saat divonis terkena kanker (21/09/2007), dunia rasanya runtuh, hancur berkeping-keping. Bagi Dianawati Darmawan, vonis kanker ibarat lonceng kematian, tinggal menghitung hari. Sebelumnya, Diana sempat menyaksikan sendiri beberapa rekannya yang terkena kanker, akhirnya meninggal dunia dengan penuh penderitaan.

Seorang sahabat yang mengenal Diana sebagai aktivis yang banyak berkecimpung di lingkungan gereja sempat berkata: ”Diana tidak pantas menerima cobaan seberat itu!”. Diana memang tergolong aktif. Selain sibuk dengan pekerjaannya di bidang akunting, Diana terlibat dalam banyak kegiatan, antara lain sebagai bendahara PGAK paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria, Buahbatu-Bandung, pengajar sekolah minggu, Koordinator Marriage Encounter paroki bersama suaminya. Diana sendiri tidak pernah menggugat Tuhan namun ia memang mengalami pergolakan batin yang dahsyat. Ia merasa dirinya begitu lemah, tak sanggup harus menjalani semua treatment dengan kekuatan sendiri. Dukungan dari saudara-saudara maupun kawan-kawan dekatnya, tidak mengurangi pergumulan batinnya.

Kesedihan hati Diana bertambah manakala ia melihat anak-anaknya yang masih memerlukan bimbingannya. “Aku sangat sedih memikirkan nasib anak-anak-ku, Vicario 17 tahun, Monica 14 tahun dan si bungsu Axel 11 tahun. Aku tak mau mereka kehilangan kasih sayang seorang ibu”, ujar Diana.

Pantang Menyerah

Kendati shock atas vonis kanker, Diana tidak begitu saja menyerah. Ia mulai mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang segala hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Ia juga mendatangi dokter-dokter yang dikenal ahli dalam soal kanker untuk konsultasi. Dengan bantuan teman-temannya, Diana menjalin kontak dengan sesama penderita kanker. Ia ingin mengetahui bagaimana pengalaman mereka dalam menyikapi kenyataan pahit tersebut, apa saja yang mereka lakukan.

Dengan beberapa pertimbangan, Diana memutuskan untuk berobat di Rumah Sakit National Cancer Centre, Singapura. Di Singapura pula Diana dioperasi pada 4 Oktober 2007. Sesudahnya ia masih menjalani kemo terapi selama 16 kali serta radio terapi 15 kali. Itu semua membuat badannya menjadi kurus dan rambutnya rontok semua.

Diana melihat bahwa sakit kankernya membuat banyak hal berubah. Perubahan itu tidak saja terjadi pada dirinya semata, melainkan juga pada suami dan anak-anaknya. Kegembiraan keluarga seolah-olah hilang lenyap diganti kemurungan. Suami harus menghabiskan banyak waktu mendampinginya, anak-anak tidak lagi ceria karena melihat mama tercinta sakit parah. Situasi ini tentu saja melukai hatinya. Ia tidak menginginkan hal itu terjadi berlarut-larut. Maka Diana menyarankan suaminya untuk tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Suaminya, Benny Handoyo, adalah juga seorang aktivis. Di lingkungan Gereja, Benny adalah seorang prodiakon dan ketua lingkungan. Di masyarakat, ia Presiden Lions Club Bandung Lestari. Benny juga mempunyai hobi bermain golf. Atas desakan Diana, akhirnya Bennypun kembali menjalankan kegiatan serta kegemarannya lagi. Kenyataan ini ternyata berdampak positif bagi semua pihak.

Menemukan Pencerahan

Ketakutan Diana akan kematian, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Kecemasan serta ketakutan itu muncul begitu saja. Segala kekalutan itu memuncak pada Natal 2007 yang lalu, saat ia masih dalam pengawasan ketat dokter. Waktu itu, sepulang misa Natal, ia bertanya-tanya dalam hatinya: “Apakah tahun depan aku masih bisa merayakan Natal?”. Memikirkan hal ini hatinya menjadi begitu terpuruk. Iapun menangis sejadi-jadinya.

Saat tangisnya mereda, Diana mengambil rosario dan mulai berdoa dalam keheningan seorang diri. Masih teringat dengan jelas dalam memorinya, saat ia sedang berdoa, ia mendengar sebuah suara yang begitu jelas dan jernih: “Mengapa engkau begitu takut pada kematian? Bukankah kematian berarti pertemuan dengan Bapa di surga? Mengapa pula harus takut pada nasib anak-anak? Seandainya engkau tetap hidup, apakah ada jaminan bahwa anak-anakmu pasti sukses?”.

Diana tersentak mendengar suara itu. Ia seperti disadarkan bahwa kecemasan dan ketakutan yang selama ini menghantuinya, sebenarnya tak beralasan. “Mengapa aku musti mencemaskan sesuatu yang berada di luar jangkauanku? Bukankah pada akhirnya Tuhan Allah juga yang menentukan segalanya?”. Peristiwa tersebut berlangsung hanya dalam hitungan detik. Namun, bagi Diana, tiba-tiba segalanya menjadi jelas. Ada beban berat yang seolah-olah terangkat dari hidupnya. Seketika hatinya menjadi ringan. Sambil mengatupkan kedua tangannya, ia berkata: “Tuhan, seandainya aku akan sembuh dan tetap hidup, aku patut bersyukur. Tapi, seandainya aku harus mati, aku juga tetap bersyukur. Apa yang akan terjadi pada diriku, terjadilah….!”

Sejak saat itu Diana menemukan kembali kegembiraan serta semangat hidup. Ada rasa damai yang mengalir dalam lubuk hatinya. Rasa damai yang melegakannya. Lewat sakit kanker yang harus ia derita, Diana memperoleh pelajaran berharga tentang kebaikan Tuhan. Tak putus-putusnya ia bersyukur dan berterima kasih atas pencerahan yang boleh ia alami. Tuhan sungguh baik adanya.

Ingin Berbuat Banyak

Kegembiraan Diana atas pengalaman rohani yang dialaminya, berdampak besar pada hidupnya. Kemurungan yang menghimpitnya sejak dinyatakan terkena kanker, hilang lenyap. Sebaliknya, Diana merasa terpanggil untuk membagikan kegembiraan itu kepada orang lain, khususnya kepada sesama penderita kanker. Kegembiraan Diana makin bertambah karena ia mendapat dukungan penuh sang suami tercinta.

Sejak saat itu Diana mulai sering menghubungi atau dihubungi penderita kanker, baik untuk saling tukar informasi maupun untuk saling menguatkan. Ia pernah amat terharu dan tertegun ketika ia dikontak oleh seorang penderita kanker yang tak dikenal sebelumnya. Kondisi orang tersebut jauh lebih buruk darinya: keadaan ekonomi yang amat sulit dan anak masih kecil-kecil. Tanpa terasa Diana menitikan air mata melihat keadaan orang tersebut yang memang mengenaskan.

Beberapa kali, Diana juga dikontak orang dari luar negeri. Pernah, seorang dari negeri tetangga yang mengenalnya lewat kerabatnya, menelponnya. Sesudah pembicaraan yang cukup lama, orang tersebut menangis tersedu-sedan. Ia merasa amat bersyukur dan terharu atas kata-kata penghiburan yang ia peroleh dari Diana. Dianapun ikut menangis bersamanya dalam telpon.

Belum lama ini Diana masuk kelompok Bandung Cancer Society, kumpulan penderita serta pemerhati penyakit kanker. Dalam kelompok ini Diana ingin dapat berbuat sesuatu, sekurangnya membagi pengalaman batinnya yang terdalam bagi orang lain.

Dianawati Darmawan masih dalam perawatan dokter. Ia masih memakai rambut palsu, karena rambut aslinya masih belum tumbuh. Tubuh Diana juga masih kurus, belum pulih seperti semula. Kendati demikian, itu semua tidak lagi merisaukannya. Baginya, kegembiraan karena disapa Tuhan melebihi apapun yang pernah dimilikinya.

Heri Kartono, OSC (Dimuat Majalah HIDUP edisi 21 September 2008).

 

 

Tuesday, August 19, 2008

Tiffany MC.



ANTARA KUDA DAN BALET

Pasti banyak adik-adik yang pernah melihat kuda atau bahkan naik kuda. Tapi, mungkin hanya sedikit yang hobi menunggang kuda, apalagi ikut kompetisi. Nah, kawan kita yang satu ini, tidak hanya gemar menunggang kuda namun sekaligus meraih prestasi. Dalam kejuaraan kuda terakhir yang diikutinya, yaitu JPEC Sentul Open (6-8 Juni 2008), Tiffany, nama kawan kita ini, berhasil keluar sebagai juara 2 untuk kelas Preliminary Junior. Gadis bongsor ini sempat juga berlaga di arena internasional untuk kelas Children yaitu di FEI World Dressage Challenge 2007. Pada pertandingan tersebut, Tiffany meraih posisi ke empat di grup Asia. Tiffany sudah terbiasa dengan kuda sejak ia masih kecil. Maklum, mamanya adalah penggemar berat olah raga berkuda.

Tiffany Marcelline Chandra yang lahir di Bandung (14/07/93) memiliki banyak aktivitas, selain berkuda. Di sekolahnya, SMP St. Aloysius Bandung, ia dipilih sebagai Sekretaris OSIS. Lantas di lingkungan Gereja, ia seorang misdinar yang aktif. Mau tahu siapa saja teman-teman Tiffany? Karena pergaulannya yang luas, teman-teman Tiffany juga banyak dan beragam, mulai dari anak SD sampai mahasiswa. Kok bisa? Rahasianya, mungkin karena Tiffany supel dan selalu ceria, jadi banyak temannya. Walaupun Tiffany, yang bercita-cita ingin jadi dokter gigi, mempunyai banyak teman dan kegiatan, urusan sekolah tetap ia perhatikan. Buktinya, ia selalu masuk 10 besar, lumayan kan?

Ada satu lagi hobi Tiffany yang sudah ditekuninya sejak TK, yaitu balet. Gerakan Tiffany kalau sedang menari balet, luwes dan bagus lho! Soalnya Tiffany sudah lama bergabung dengan sekolah balet Taneke Burki yang terkenal itu. Sekarang ia masuk Grade 6 Royal Academy of Dancing. Sebetulnya mama Tiffany sering cemas. Soalnya, Tiffany sering bermasalah dengan lututnya. Meski demikian, gadis penggemar nasi padang ini tak pernah mau menyerah. Ia memang cinta banget dengan hobi baletnya ini. Menurutnya, ia amat menikmati perpaduan antara musik dengan gerakan yang ia bawakan, satu irama, mengalir. Oya, sepatu-sepatu balet yang pernah ia pakai sejak kecil, sampai sekarang tetap ia koleksi, diberi figura lagi. “Siapa tahu kelak aku punya sekolah balet, sepatu-sepatu itu bisa digantung di dinding sebagai hiasan”, papar gadis yang murah senyum ini.

Menunggang kuda dan balet adalah kegemaran berat Tiffany. Ketika ditanya, mana yang lebih ia sukai, menunggang kuda atau menari balet? Mau tahu, apa jawaban kawan kita ini? Tiffany menjawab: “Itu sih seperti aku harus memilih, mencintai mama atau papa? Ya jelas dua-duanya dong!”, ujar Tiffany dengan jenaka.

Heri Kartono OSC.(Dimuat di Rubrik Anak-anak, HIDUP,17 Agustus 2008).