Thursday, March 7, 2013

Ir.Adriana Sri Lestari, MBA






MENGUKIR PRESTASI TERBAIK

Belum lama ini ia diangkat sebagai Konsul untuk negara asing. Sebagai Konsul dan pemimpin dari beberapa perusahaan, jadwalnya amat padat. Kendati demikian ia masih bisa menyisihkan waktu untuk Tuhan, antara lain dengan mengadakan misa dan adorasi di kapel rumahnya.

Pada tanggal 31 Juli 2012 yang lalu Ir.Adriana Sri Lestari, MBA dipercaya menjadi Honorary Consul negara Republik Estonia. Uniknya, jabatan itu sebelumnya dipegang oleh ibu kandungnya sendiri, Dr.CA. Ariyanti, P.S.MH. Adriana dipercaya menjadi Konsul pengganti pertama-tama bukan karena "mewarisi" jabatan orang tuanya melainkan karena ia memang memenuhi kualifikasi yang diperlukan.

Sebagai seorang Konsul, tugas Adriana adalah memberikan informasi, perlindungan dan bantuan yang diperlukan bagi warga Estonia yang mempunyai kesulitan selama tinggal di wilayah tugas dan wewenangnya. Bagi Ria, panggilan akrab wanita ini, tugasnya ini merupakan bentuk pengabdiannya kepada negara dan bangsa. Dengan kewenangan yang dimilikinya, ia memang dapat berperan aktif memajukan hubungan bilateral kedua negara terutama di bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Time Management
Selain jabatan Honorary Consul yg diembannya, saat ini wanita lulusan ITB  tahun 1988 ini memiliki sejumlah jabatan penting yang digelutinya, diantaranya: Direktur PT.Trimitra Megah Lestari, Presiden Direktur PT.Panca Dasar Adriastri,  CEO peternakan di Meruyung, Pemilik beberapa cafe OH LALA. Di bidang pendidikan, ia duduk sebagai Pembina Yayasan Pendidikan Ariyanti, Bandung, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan empat puluh tahun yang lalu oleh ibunya.

Bagaimana semua itu tertangani? Ibu dua anak ini mengakui memang tidak mudah melakukan semuanya sekaligus. Agar semuanya dapat tertangani dengan baik, ada beberapa hal yang ia pegang teguh. Pertama adalah time management. Ria terbiasa untuk merencanakan segala sesuatu dengan teliti dan efisien. Baik urusan bisnis, keluarga maupun sosial, semuanya mendapat porsi yang wajar. Baginya pengaturan waktu yang baik merupakan syarat mutlak. "Saya berusaha mengisi waktu secara berguna setiap hari. Saya ingin mengukir prestasi terbaik pada apapun yang saya kerjakan", ujar wanita ini dengan nada serius. Ia menambahkan: "Saya berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk suami, anak-anak, karyawan dan teman!", imbuh wanita yang pernah dinobatkan sebagai The most talented girl dalam Kontes Kecantikan Puteri Remaja Indonesia (majalah Gadis 1981).


Selain pengaturan waktu yg baik, kiat lain yang dipegangnya adalah berfikir positif. Berfikir positif bagi Ria adalah sesuatu yang diperlukan agar hidup dapat berjalan dengan nyaman dan tidak stress. Sebaliknya, negatif thinking atau berfikir negatif cenderung membuat hidup menjadi suram dan penuh persoalan. Berfikir positif bukanlah sesuatu yang begitu saja muncul, melainkan harus dilatih secara sadar dan konsisten. Kiat lain yang dipegang teguh wanita kelahiran Bogor, 16 Juli 1965 ini adalah tekun dalam doa. "Doa adalah kekuatan hidup saya!", papar Adriana sungguh-sungguh.

Terkesan Pada Orang Pintar
Dengan beragam posisi dan jabatan yang dipegangnya, pastilah orang menduga bahwa Ir.Adriana adalah orang pintar. Dan memang demikianlah adanya. "Ria itu orangnya sedikit pemalu namun pintar!", ujar Pastor Leo van Beurden OSC yang mengenal Ria sejak masih remaja. Meski demikian, dibanding suaminya, Ria mengaku dirinya bukanlah apa-apa. "Suami saya adalah orang yang sangat pintar, bahkan jenius", jelas Ria. Dr.Nicolaas C.Budhiparama, Jr, suami Ria, adalah dokter ahli bedah Orthopaedic terkenal di Indonesia. Lebih dari 10 jabatan dipegang dokter lulusan termuda Orthopaedic Surgery University Hospital, Leiden, Belanda. Salah satu jabatan yang diemban dr.Nico adalah Presiden IHKS (Indonesian Hip and Knee Society). Selain suaminya yang pintar, kedua anak Ria, Nicolaas Bryant Budhiparama dan Nicolaas C.Edrick Budhiparama juga cerdas dan berprestasi. "Dikelilingi tiga pria yang pintar-pintar bukanlah sesuatu yang mudah!", tutur Ria. "Harus ada saling mengerti, komunikasi yang baik dan saling percaya", lanjut wanita peraih Citra Karya Paramitha (1995) ini.

Suatu saat Ria mendampingi suaminya mengikuti pertemuan Orthopaedi di London. Peserta pertemuan ini amat eksklusif, terbatas hanya untuk ahli-ahli orthopaedi yang mempunyai prestasi hebat. Mereka adalah 40 inovator terbaik dunia yang menciptakan robot untuk operasi. Dengan kata lain, seluruh peserta pertemuan itu adalah orang-orang pintar.

Saat break makan, ada peristiwa kecil yang mengagetkan dirinya. "Saya terkejut saat melihat orang-orang itu berdoa lebih dahulu sebelum makan", kenang Ria yang menguasai bahasa Inggris dan Belanda ini. Peristiwa itu amat mengesankannya. Soalnya, Ria kerap menjumpai orang-orang yang merasa dirinya pintar, merasa kesuksesan mereka adalah karena kehebatan dirinya semata. Sementara orang-orang yang sungguh cerdas dalam pertemuan itu justru rendah hati serta memiliki iman yang kuat.

Ria sendiri adalah sosok orang yang beriman. Hal itu terungkap dalam pelbagai aktivitas hidupnya. Sejak usia 12 tahun ia sudah bermain organ mengiringi misa dan ikut kegiatan Legio Maria. Ia juga pernah dipercaya sebagai Koordinator organis.  “Tugas sebagai Koordinator memicu saya untuk tetap berlatih untuk diri sendiri namun juga melatih para organis lainnya agar dapat melayani Gereja lebih baik", ujar pemenang kejuaraan organ se-Jawa Barat ini (1980).



Sampai saat ini Ria tetap memperhatikan kebutuhan rohaninya. Hari-hari Sabtu/ Minggu adalah hari yang ditunggu-tunggu. Selain rajin pergi ke gereja paroki, Ria kerap menghabiskan waktunya di kapel rumahnya. Ria yang dikaruniai rejeki cukup, memang memiliki kapel di rumahnya. Sebulan sekali diadakan misa dan adorasi di kapelnya ini. Tempat kudus tersebut kerap menjadi tempat berkumpul keluarga dalam suasana doa. Ria yang selalu bangun pagi hari, memulai kehidupannya dengan doa. Ria mengaku selalu memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan.

"Sahabat sejati dan kekuatan saya adalah doa. Pergumulan hidup saya, saya serahkan pada Tuhan. Saya sangat percaya bahwa dengan mengikuti dan melayaniNya, semua akan ditambahkan. Tuhan adalah sumber kekuatan saya", ujar alumni Fairfax University, USA (1995) ini penuh syukur dan terima kasih.

Gelar Kehormatan
Sepak terjang Ria, khususnya di bidang pendidikan rupanya menarik perhatian keluarga Keraton Surakarta. Sesudah melewati sejumlah persyaratan yang ketat, pada tanggal 3 Januari 2011, Sri Sultan Paku Buwono XIII menobatkan gelar kebangsawanan KRAy atau Kanjeng Raden Ayu kepada wanita berpenampilan anggun ini.

Dengan seabreg prestasi serta pekerjaan penting yang dikerjakan Ria, orang bisa saja berfikir bahwa pastilah hidup Ria enak dan mulus. Nampaknya tidaklah demikian. "Bagaimanapun, masih ada rasa takut, cemas dan  keraguan dalam hidup saya. Namun saya menanggapinya secara positif. Saya menganggapnya sebagai suatu signal yang baik. Perasaan takut dan cemas mendorong saya untuk terus mencari dan berharap hanya kepada Tuhan saja", tegas bungsu dari dua bersaudara ini.

Box:
Nama:  Ir. Adriana Sri Lestari, MBA
Orang Tua: DR.KRAY C.A. Ariyanti, P.S. MH dan (alm) Dr.Kol.Pong Permadi Darmohusodo.
Tempat/tgl.lahir: Bogor, 16 Juli 1965.
Suami: Dr. Nicolaas C. Budhiparama, Jr. F.I.C.S
Anak: 1. Nicolaas Bryant Budhiparama 2. Nicolaas C.Edrick Budhiparama.
Kakak: Hj.Dewi Irawati, B.Sc
Pendidikan: Fairfax University, USA Degree Program Master of Business Administration.(1995); ITB jurusan Teknik Industri (1988).
Beberapa jabatan yang saat ini dipegangnya antara lain: 1. Honorary Consul of the Republic of Estonia. 2. Direktur PT.Trimitra Megah Lestari, Jakarta. 3. Presiden Direktur P.T. Panca Dasar Adriastri, Jakarta. 4. Pembina Yayasan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Ariyanti, Bandung.



Sunday, December 23, 2012

Natal





NATAL: CERMIN UNTUK PENGUASA!

Tidak banyak tokoh yang terlibat dalam peristiwa Natal, kelahiran Yesus Kristus. Beberapa di antaranya menarik untuk kita simak. Menarik karena ternyata peristiwa seputar Natal masih tetap aktual hingga saat ini.

Di Piazza Venezia, jantungnya kota Roma, sejak awal Desember sudah didirikan pohon Natal setinggi 30 meter, lebih tinggi dari pohon Natal di Vatikan. Demikian juga di seantero kota Roma, pernak-pernik hiasan Natal sudah mulai muncul bahkan sejak bulan Nopember. Semua ingin menyambut Natal, apapun alasannya.

Bila kita simak kisah kelahiran Yesus dalam Injil, ada banyak orang yang ingin menyambut Yesus. “..Segera sesudah kamu menemukan Dia, kabarkanlah kepadaku supaya akupun datang menyembah Dia”, demikian pesan Raja Herodes kepada tiga orang Majus yang mencari-cari Yesus yang baru dilahirkan (Mt.2,8). Pesannya amat jelas bahwa Herodes “sungguh ingin bertemu” Yesus. Herodes bahkan memberi alasan: “supaya akupun datang menyembah Dia!”

Apakah Herodes bertemu Yesus? Tidak! Sesungguhnya, baginya kelahiran Yesus justru dianggap sebagai ancaman. Karenanya tanpa ragu ia bermaksud melenyapkan sang bayi yang baru lahir itu. Dan ketika sang bayi tidak ditemukan, hatinya menjadi gelap dan galau. Ia memerintahkan agar seluruh anak lelaki dibawah usia 2 tahun di Betlehem harus dibunuh, tanpa kecuali. Bagi Herodes, yang paling penting adalah kekuasaan. Demi mengamankan kekuasaannya itu, apapun ia lakukan. Keinginannya untuk menyembah Tuhan hanyalah basa-basi belaka.

Tokoh lain yang menarik perhatian adalah para imam kepala dan ahli-ahli Taurat. Kedua tokoh ini adalah orang-orang terhormat, pemimpin masyarakat. Dengan keahliannya, mereka mampu menunjukkan pada orang lain, dimana Yesus dilahirkan. Namun sayang, mereka sendiri tak pernah berjumpa Yesus. Mereka memang tidak berminat bertemu. Seperti Herodes, mereka hanya peduli pada kekuasaan yang sedang mereka nikmati.

Jadi siapakah yang dapat bertemu Yesus Kristus yang baru dilahirkan? Pertama-tama adalah para gembala, rakyat jelata. Mereka adalah orang-orang sederhana yang tulus hatinya. Begitu mendengar kabar kelahiran Yesus, mereka langsung bergegas mencari dan menemukanNya. (Lk. 2: 9-16). Orang lain yang juga bertemu sang bayi Illahi adalah tiga orang Majus dari Timur. Dengan hanya petunjuk bintang di langit mereka berangkat dari negerinya yang jauh, mencari-cari dan akhirnya menemukan Yesus (Mt.2: 1-11). Ketulusan dan kepolosan hati para gembala dan orang Majus membuat mereka dapat bertemu Sang Juru Selamat yang turun ke dunia.

Herodes sang Raja, para Imam Kepala dan ahli-ahli Taurat tidak bertemu Yesus. Orang-orang yang berkuasa nampaknya cenderung terlena dengan kekuasaan mereka. Mata hati mereka mudah menjadi gelap oleh kekuasaan yang memang memikat.

Hingga saat ini, banyak orang menyongsong Natal, kelahiran Yesus Kristus. Dan sejarah akan terus terulang, hanya mereka yang tulus dalam pencarian, menemukan kedamaian yang  didambakan.
Selamat Natal.

Heri Kartono, OSC
Gereja St.Helena, Lippo Village.
(Koran Jakarta: 24/12/2012)



Wednesday, August 15, 2012

Kemerdekaan RI





HARAPAN LUHUR UNTUK SI BUTET

Di kota air Venezia, ada jembatan yang dinamai Ponte della Liberta atau Jembatan Kemerdekaan. Jembatan yang diresmikan oleh Mussolini pada tahun 1933 itu semula bernama Ponte Littorio. Pergantian nama jembatan tersebut untuk menandai berakhirnya rezim Fascist di Italia seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II. Rakyat Italia merasa lega dan gembira terlepas dari kekuasaan yang sewenang-wenang. Kemerdekaan yang mereka idam-idamkan akhirnya dapat mereka rebut. Mereka ingin hidup merdeka, bebas dari cengkeraman penguasa lalim. Lantas timbul pertanyaan, apa yang mereka lakukan dengan kemerdekaan itu? Pertanyaan yang sama timbul manakala suatu bangsa berhasil terlepas dari cengkeraman penjajah atau penguasa yang menindas mereka.

Samar-samar saya ingat, saat masih kecil menjelang tidur, ibu menggendong saya sambil bersenandung. Senandung ibu seperti itu umumnya semacam ‘gumam nina bobo’ agar anaknya cepat tidur. Namun tidak jarang, senandung ibu berisi sebuah doa dan harapan. Doa agar anaknya kelak sukses, menjadi orang terpandang hidupnya dalam masyarakat. Apa yang didoakan serta diharapkan para ibu hampir selalu hal-hal yang baik dan luhur. Tak pernah seorang ibu mendoakan agar anaknya menjadi maling kakap atau koruptor yang sukses…

Panggilan jiwa selalu terarah pada suatu nilai luhur. Sesuatu yang alami. Sekurangnya itulah yang terjadi hampir dimana-mana saat seorang ibu menina bobokan anaknya menjelang tidur. Lagu perjuangan Butet yang terkenal berisi doa dan harapan seorang ibu muda atas bayi perempuannya. Wanita yang ditinggal pergi suaminya untuk berjuang ini, berharap agar si butet anaknya cepat besar dan kelak menjadi petugas palang merah negara. Harapan sederhana namun menyiratkan tekad suci demi masa depan bangsanya.

Setiap orang, setiap kelompok, setiap bangsa, pada dasarnya terpanggil untuk mewujudkan suatu cita-cita yang suci dan luhur. Untuk itu dibutuhkan kebebasan untuk mewujudkannya. Manakala kita tertindas, cita-cita luhur itu tak mungkin kita realisasikan. Namun, apakah adanya kebebasan menjadi garansi terwujudnya cita-cita luhur? Sayangnya tidak demikian.

Kita masih ingat, sebelum terjadi reformasi di negeri ini, banyak orang mencuri-curi mendengar berita dari BBC London atau Radio Australia. Hal itu terjadi karena tak ada kebebasan berpendapat di Indonesia. Banyak hal dikendalikan oleh pemerintah rezim Suharto. Sesudah Suharto tumbang dan muncul kebebasan ala reformasi, apakah situasi lebih baik? Pernah ada yang secara humoris namun ironis memunculkan gambar Suharto dengan kata-kata: Piye kabare, lebih enak jaman saya kan hehehe…! Ini muncul karena situasi reformasi, dimana kebebasan jauh lebih luas namun tidak membawa kesejahteraan yang berarti. Orang justru menyalahkan gunakan kebebasan secara sewenang-wenang. Korupsi meraja lela bahkan semakin terang-terangan.

Orang sudah muak dengan penyalah gunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. Nyaris setiap hari rakyat dijejali berita-berita tentang korupsi yang dilakukan para pejabat negeri ini. Karenanya, ketika terbetik berita tentang Joko Wi, seorang pejabat yang konon sederhana dan bersih, orang merasa terhibur. Lepas dari sosok Joko Wi, seorang pemimpin mustinya memang mengutamakan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi.

John Stuart Mill (1806-1873) filsuf amat berpengaruh abad kesembilan belas, membedakan antara kemerdekaan untuk bertindak dan kemerdekaan sebagai situasi bebas hambatan atau kungkungan. Secara umum Mill mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk bertindak sejauh tidak merugikan orang lain. Korupsi dan tindakan memperkaya diri jelas merugikan kepentingan banyak orang. Kebebasan pada hakekatnya adalah situasi yang dibutuhkan agar kita dapat mewujudkan cita-cita luhur yang kita dambakan bersama.

Almarhum MAW.Brouwer, kolumnis, dinyatakan tidak lulus menjadi Warga Negara Indonesia. Pasalnya, saat diuji menyanyi lagu Indonesia Raya, ia menggantikan kata –ku menjadi –mu. Karenanya ia bernyanyi seperti ini: Indonesia, tanah air-mu, tanah tumpah darah-mu…Ketika ditegur dan diingatkan tentang kekeliruan itu, dengan santai Brouwer menjawab: “Lho, saat ini saya kan belum menjadi warga Negara Indonesia!”

Indonesia, bangsa yang ramah, santun dan murah senyum. Tidak mengherankan bahwa banyak orang, seperti almarhum MAW.Brouwer, tertarik untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Namun mengapa sudah 67 tahun merdeka negeri ini belum semaju bangsa lain? Apa yang salah?

Berakhirnya kolonialisme di negeri kita tahun 1945 nampaknya belum mampu menciptakan kehidupan yang sungguh merdeka. Senandung para ibu agar anak-anak bangsa ini dapat hidup maju dan sejahtera masih jauh di awang-awang. Sebaliknya senandung tangis Ibu Pertiwi yang sedang bersusah hati terus berkumandang di negeri ini. Entah sampai kapan! (Dimuat di Koran Jakarta, 16 Agustus 2012 dengan judul: Belum Sungguh Merdeka)

Heri Kartono, OSC
St.Helena, Lippo Karawaci.

Friday, June 1, 2012

Devie Kusumaputri


TERSENTUH NENEK PENJUAL KUE







Saat masih kecil, setiap kali diajak ke pasar dan melihat nenek-nenek berjualan kue di emperan, ia pasti minta dibelikan kue itu. Bukan karena pengen makan kue itu tapi kasihan melihat nenek tua penjualnya.



Tidak mudah membujuk gadis yang satu ini untuk bersedia ditulis. "Mengapa saya? Saya tidak pantas dan tidak layak untuk ditulis!", ujar Devie Kusumaputri yang akrab disapa Noni. Jawaban yang spontan ini menggambarkan kerendahan hatinya. Padahal, banyak orang melihat sosok Noni sebagai pribadi yang mengesankan. "Bagi saya Noni adalah model dari seorang muda, sukses, jenius, rendah hati dan tangkas", tutur Pastor Dany Sanusi OSC ketika diminta kesannya. Kesan senada juga disampaikan Ibu Rosiany dan Prisca Nuriati (penanggung jawab Komunitas Sant’Egidio Indonesia) yang mengenal Noni dengan baik.


Noni yang mengenyam pendidikan di Amerika sejak usia 15 tahun ini, sehari-harinya bekerja sebagai Direktur PT. Imeco Inter Sarana (Corporate Planning and Development Director). Ia bertugas mengkoordinir kegiatan usaha Imeco di berbagai bidang (energi, perminyakan, properti). PT. Imeco yang dirintis ayah Noni, Ganda Kusuma, tahun ini memasuki usia ke-40. “Sebagai salah satu generasi penerus, bersama dengan direksi yang lain, saya ditantang untuk dapat terus mengembangkan Imeco untuk kesejahteraan banyak orang”, papar lulusan S2 dari Rice University, Houston, Texas ini.

1000 Sahabat Miskin
Kendati mempunyai kedudukan tinggi, Noni tetap memiliki kepedulian sosial yang besar. Akhir tahun 2011, misalnya, bersama Komunitas Sant’Egidio, Noni mengadakan acara Makan Siang Natal bersama sahabat miskin. Tidak tanggung-tanggung, ada 1000 gelandangan, pemulung, anak jalanan, anak panti asuhan dan anak keluarga kurang mampu yang mereka undang. Sebanyak 750 volunteer dari pelbagai komunitas kategorial dan BPK PKK KAJ turut mensukseskan acara ini. Noni mengaku tidak mudah menyelenggarakan kegiatan akbar seperti ini, mulai dari ijin pemakaian lokasi, penyiapan 1000 bingkisan, menjemput para undangan, menggelar 300 meja dengan 1260 kursi! Dalam kepanitiaan, Noni bersama Prisca Nuriati dan Teguh Budiono, memang  bertugas mengkoordinir seluruh seksi.. Untunglah semuanya dapat berjalan dengan baik. Mgr. Ign. Suharyo, Uskup Agung Jakarta hadir pada acara ini hingga selesai.

Makan Siang Natal bersama sahabat miskin merupakan salah satu tradisi Komunitas Sant’Egidio di seluruh dunia. Di Jakarta, acara ini sudah dilakukan sejak tahun 1996. Noni sendiri mengenal Komunitas Sant’Egidio sejak tahun 1999 saat ia kuliah di Boston College, Boston, Massachusetts. Hingga kini ia masih terus terlibat aktif dalam komunitas ini.

Kedekatan Noni dengan anak-anak kurang mampu, tidak hanya terlihat pada acara makan siang bersama yang sensasional itu. Disela-sela kesibukannya, Noni bergabung dengan Sekolah Damai di daerah Sunter setiap Minggu. Dalam kegiatan ini Noni dan kawan-kawan Sant’Egidio tidak hanya memberikan bimbingan belajar atau permainan namun lebih-lebih uluran persahabatan. Karena itu anak-anak miskin mereka sebut dengan istilah sahabat. Sekedar contoh, ketika Pendi, salah seorang pemulung mati tertabrak metromini (30/5), dalam waktu singkat anggota Sant’Egidio berdatangan. Secara spontan mereka ikut mengurus segala sesuatunya hingga ke pemakaman.

Dua minggu sekali pada hari Jum’at, Komunitas Sant’Egidio mengadakan Pelayanan Jalanan. Kegiatan ini dimulai dengan memasak bersama, membungkus makanan dan kemudian membagikannya kepada sahabat-sahabat miskin yang kerap mereka temui di jalan dan kolong-kolong jembatan. Tentang kegiatannya ini, ia sempat berkomentar: "Seringkali saya merasa justru pada saat pelayanan bersama teman-teman, Tuhan memberikan kepada saya banyak hal. Bukan saya yang memberi kepada sahabat yang berkekurangan, tetapi justru saya yang mendapatkan banyak hal dari mereka!", ujar Noni yang juga aktif di komunitas Aksi Relawan Kasih dan Entrepreneurs’ Organization ini.

Kakak Asuh dan Karina
Sejak beberapa tahun yang lalu, Noni menjadi kakak asuh. Aktivitas Noni yang satu ini dimulai dari keputusan keluarga untuk mendukung pendidikan adik-adik di Panti Asuhan Maria Goretti, Palasari, Bali Barat. Saat ini Noni memiliki 65 adik asuh, baik di Bali maupun di Jakarta, dari kelas TK sampai kuliah. Secara teratur Noni menjaga hubungan rutin dengan adik-adik asuhnya melalui surat, email, kunjungan dan pertemuan di saat libur. Selain mendukung dalam kebutuhan mereka dalam pendidikan, Noni juga selalu mencoba untuk men-sharingkan motivasi dan nilai-nilai kepribadian dengan harapan adik-adik asuh tersebut dapat menjadi orang yang berguna di masyarakat. Menjadi kakak asuh, baginya bukanlah sekedar basa-basi belaka. Ia ingin sungguh menawarkan persahabatan yang tulus.

Keterlibatan Noni yang memiliki kepedulian besar pada sesamanya yang kurang beruntung, nampaknya dilirik juga oleh Yayasan Karina. Sejak Januari 2012, Noni diangkat sebagai anggota Badan Pengurus Yayasan Karina (Caritas Indonesia atau yang dikenal juga sebagai Karina KWI). Karina adalah yayasan kemanusiaan milik KWI (Konferensi Waligereja Indonesia), yang dibentuk tahun 2006. Karina merupakan pusat koordinasi gereja Katolik dalam merespon segala bentuk bencana dan pembangunan kapasitas (capacity building) bagi 37 keuskupan di Indonesia. Karina didukung oleh Caritas International, yang adalah konfederasi dari 165 badan kemanusiaan Gereja Katolik di dunia.

Di Yayasan Karina, Noni yang cenderung perfeksionis ini, merupakan anggota termuda dan ingin menjalankan tugas yang diberikan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Dalam pertemuan Forum Direktur Karitas Keuskupan se-Indonesia di Puncak belum lama ini (akhir Mei 2012) Noni bersama dengan Pastor Padmaseputra SJ, Ibu Murni dan Ibu Rina (para anggota dewan pengurus) memberikan presentasi singkat tentang fundraising. Tentang presentasinya itu, Pastor Dany Sanusi berkomentar: “Karina memerlukan orang seperti Noni yang ahli dan memiliki kemampuan pada soal finansial sesuai dengan pendidikannya!”

Maria Florentina Devie Kusumaputri, waktu kecil sempat bercita-cita menjadi dokter supaya dapat menolong orang yang sakit. Cita-citanya tak pernah terwujud. Namun, keinginannya untuk membantu orang yang sakit dan miskin masih terus tertanam kuat di hatinya. Dari kedua orang tuanya pula Noni belajar untuk memberi dan berbagi sejak ia masih kecil. Dalam perjalanan hidupnya, ia merasa mendapat berkat berlimpah lewat kedua orang tuanya yang begitu baik dan murah hati. Karenanya, ia ingin membagikannya kembali kepada orang-orang lain yang kurang beruntung. Saat akhirnya Noni bersedia untuk ditulis, ia masih berpesan: “Tolong romo, tulisannya simple saja yaa, saya tidak mau di-expose dengan hebat karena saya bukan orang hebat, cuma noni kecil saja…!” (dimuat di majalah HIDUP edisi 17 Juni 2012)
Heri Kartono, OSC




Monday, May 28, 2012

Ludovicus Doewe 2






SAMPAI LUPA PERNAH MENULIS

Hari Sabtu (26/5/2012) ada yang istimewa di Gedung Fakultas Filsafat Unpar, Bandung. Sejak pagi hari ruangan aula ditata secara berbeda. Ada panggung dengan karpet merah, ada bunga-bunga cantik, juga ada banner besar menyolok dengan tulisan: Launching Buku “Ludovicus Doewe, Pelopor Sunda Katolik”. Ya, sore harinya, memang diadakan acara launching. Sekitar 135 undangan hadir, diantaranya keluarga besar Doewe dan rombongan dari Ciledug. Selain mereka, terlihat juga  Mgr.Glen Lewandowski, OSC, pimpinan OSC yang berkedudukan di Roma, Pst.Agust Surianto Pr, direktur Penerbit OBOR, Pst.Harimanto OSC, dekan Fak.Filsafat Unpar dan Keluarga Ganda Kusuma.

Prof.Jakob Sumardjo (budayawan, sastrawan) dan Pst.Agus Rachmat OSC (mantan Rektor Unpar), yang termasuk kontributor/ penulis dalam buku Pak Doewe, tampil sebagai pembicara. Pembicara ketiga adalah Pst.Wirasmo Hadi Pr, vikjen Keuskupan Bandung. Acara launching ini dimeriahkan juga dengan hiburan yang dibawakan Ance Parera, gitaris ternama di Bandung.

Acara launching diprakarsai oleh alumni Sekolah Santo Thomas, sekolah yang dirintis oleh Pak Doewe di Ciledug. Pemandu acara Ayu dan Njoto, adalah juga alumni St.Thomas. Njoto, mungkin karena gugup, berkali-kali menyebut pastor Heri dengan sebutan 'bapak' yang membuat hadirin tertawa geli. Njoto antara lain meminta pastor Heri OSC, penggagas dan editor buku, menceriterakan seluk beluk penulisan buku pak Doewe. Menurut Pastor Heri, buku ini mulai direncanakan sejak tahun 2007. Saat itu pastor Heri mulai menghubungi beberapa penulis, antara lain Prof.Jakob Sumardjo. Namun, karena berbagai kendala, buku ini baru selesai Mei 2012.

Saat giliran Prof. Jakob Sumardjo berbicara, ia berkata: "Beberapa hari yang lalu saya menerima buku ini!”, ujarnya sambil menunjukkan buku pak Doewe. “Saya terkejut bahwa di dalamnya ada tulisan saya. Saya sampai lupa pernah diminta romo Heri menulis tentang suku Sunda dalam kaitan dengan kesundaan bapak Doewe!", ujar Jakob Sumardjo disambut tawa hadirin.

Pak Frans Soesmojo, salah satu anak pak Doewe yang masih hidup, menyatakan kepuasannya atas acara launching buku tentang ayah kandungnya ini. "Kami sungguh terharu bahwa orang tua kami masih dikenang dan dihargai jasa-jasanya", ujar pak Frans. Pst.Wirasmo Hadi Pr, Vikjen Keuskupan Bandung, dalam kesempatan itu menghimbau agar umat Katolik Ciledug memikirkan untuk mengadakan acara peringatan Pak Doewe setiap tahun. "Bapak-ibu dapat memperingati pak Doewe, misalnya setiap tanggal dibaptisnya beliau, 25 Mei". Anjuran Vikjen ini disambut tepuk tangan hadirin, terutama umat Ciledug yang banyak hadir juga.

Secara keseluruhan, acara launching berjalan menarik. Stefanus Tjetje Wirjadi yang hadir bersama istri dan 3 anaknya mengatakan: "Sungguh suatu moment yang meriah dan mengharukan. Keluarga saya bisa mengikuti dengan baik. Suatu pengalaman penting buat mereka!", ujar pengusaha sukses asal Ciledug ini.
Heri Kartono.

NB:
Acara launching buku ini diberitakan juga di KORAN JAKARTA:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/91630





Saturday, May 5, 2012

Ludovicus Doewe



PELOPOR SUNDA KATOLIK

Bermula dari suatu pertemuan di Belo Horizonte, Brasil tahun 2007. Saya dan Pastor Agus Rachmat OSC kebetulan mengikuti pertemuan tersebut. Saat break, kami berbincang-bincang tentang masa kecil, terutama tentang kota kecil Ciledug, Cirebon. Kami memang berasal dari kampung yang sama.
Saat berbicara tentang Ciledug, kami mengenang kembali jasa-jasa Pak Doewe Prawiradisastra, pionir Katolik di sana. Kebetulan baik orang tua pastor Agus maupun orang tua saya, menjadi Katolik adalah berkat jasa dan pengaruh Pak Doewe.

Dari perbincangan informal itu terbetik keinginan untuk menerbitkan sebuah buku tentang Pak Doewe. Buku ini ditulis pertama-tama sebagai bentuk penghargaan yang setinggi-tingginya atas jasa-jasa beliau. Selain itu, kami yakin pula bahwa semangat serta keteladanan Pak Doewe yang luar biasa dapat ditularkan kepada siapa saja yang membaca riwayat hidupnya.
Gagasan penulisan buku mendapat respons positif dari pelbagai kalangan. Selain berisi tulisan tentang riwayat Pak Doewe, buku ini juga diperkaya dengan tulisan lain, masih berkaitan dengan Pak Doewe. Dengan demikian, gambaran tentang Pak Doewe, disoroti juga dari sisi pendidikan, kekatolikan dan ke-sundaan.

Ada banyak orang yang turut berperan aktif dalam proses penerbitan buku ini. Untuk itu, kami menghaturkan penghargaan serta limpah terima kasih. Secara khusus kami ingin mengucapkan terima kasih: Pertama, kepada keluarga besar Pak Doewe, khususnya bapak FX. Soesmoyo, anak ke-4 alm Pak Doewe. Sebagian besar informasi tentang Pak Doewe diperoleh lewat tangan Pak Soesmoyo. Kedua, kepada Mgr.Pujasumarto Pr, Uskup Bandung (periode 16 Juli 2008 s/d 12 Nopember 2010) yang menyambut baik gagasan penulisan buku ini serta bersedia menyampaikan sambutan tertulisnya. Ketiga, kepada para kontributor: Prof. Jacob Sumardjo, Pastor Agus Rachmat OSC, mas Doni Koesumo, ibu Theresia Soestiati. Keempat, kepada Anjar Anastasia yang telah merangkum dengan baik tulisan kisah pak Doewe. Selanjutnya juga kepada Mbak Retno editor senior KKG dan Pak Winarto yang telah bersedia meng-edit naskah akhir. Last but not least, kami ucapkan terima kasih kepada Penerbit OBOR yang bersedia  menerbitkan buku ini.

Heri Kartono, OSC