MENERUSKAN SEMANGAT ANAK ONTANG ANTING
Bapak Doewe (1907-1966) barangkali merupakan putera Sunda pertama yang masuk Katolik. Di tempat asalnya, Ciledug-Cirebon, anak Kepala Desa ini merintis penyebaran iman katolik, sekolah, bahkan menghibahkan tanah miliknya demi Gereja.
Ludovicus Doewe Prawiradisastra adalah anak seorang kuwu (Kepala Desa) bernama Sakim Sastrabangsa. Doewe, yang lahir pada 7 Nopember 1907, merupakan anak ontang-anting alias anak tunggal. Sebagai putra “Pejabat Pribumi”, Doewe menikmati pendidikan HIS di kota Bandung. Pertemuannya dengan onderwijzer HIS, Thomas Aquino Martomo, membuahkan ketertarikannya pada ajaran agama Katolik.
Pilihan yang Berani
Orang tua Doewe menginginkan anaknya melanjutkan pendidikannya ke MOSVIA. Harapannya, kelak Doewe dapat dengan mudah menduduki jabatan di lingkungan pamongpraja. Namun Doewe yang tertarik pada bidang pendidikan dan agama Katolik sekaligus, mempunyai cita-cita lain. Atas anjuran Onderwijzer Martomo, Doewe memilih melanjutkan pendidikan di MULO Yogyakarta di lingkungan para pastor Yesuit. Tamat dari Mulo, Doewe sempat meneruskan ke HIK asuhan Romo Van Lith SY di Muntilan, namun tidak sampai selesai.
Ketika di Yogya itulah, atas persetujuan orang tuanya, Doewe memeluk agama Katolik dan dibaptis (25/05/27) dengan nama Ludovicus. Di Yogya pula Doewe berkenalan dengan puteri kerabat keraton yang beragama Katolik, Raden Ajeng Yohana Soemartilah. Saat itu Soemartilah masih bersekolah di susteran Mendut. Mereka berduapun saling jatuh cinta. Setelah menikah secara Katolik (1931) Doewe memboyong istrinya ke kampung halamannya.
Kepulangan Doewe yang telah memeluk agama Katolik dengan istri kerabat Keraton yang juga Katolik, sempat mengguncang warga desanya yang beragama Islam. Sulit bagi saudara-saudara Doewe, baik dari garis keturunan ayah maupun ibunya untuk menerima kenyataan tersebut. Reaksi negatifpun mulai berdatangan. Namun Doewe tetap pada pilihannya. Sedikitpun ia tak merasa gentar. Karena keteguhan hati Doewe dan lebih-lebih karena kebijakan serta kesabaran orang tuanya, lambat-laun reaksi negatif mulai pupus. Bagi Doewe sendiri, menjadi orang Katolik bukanlah hal yang mudah. Selain mendapat reaksi negatif sanak-keluarganya, ia dan istrinya merupakan satu-satunya keluarga Katolik di Ciledug saat itu.
Pengabdian Tanpa Pamrih
Ketertarikan Doewe di bidang pendidikan serta tekadnya untuk mengembangkan agama Katolik, mewarnai seluruh perjalanan hidup Doewe. Ia mendirikan sekolah “Excelsior School” di samping rumah kediamannya. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda, sesuatu yang lazim pada saat itu. Doewe juga mendatangkan guru-guru dari Jawa Tengah untuk sekolahnya.
Orang-orang mulai mengenal Doewe sebagai tokoh yang beragama Katolik. Satu demi satu muncullah orang-orang yang menyatakan diri tertarik pada Agama Katolik. Doewe sendiri dengan penuh semangat mengajar agama bagi para simpatisan ini. Untuk mengatasi kelangkaan buku, Doewe menterjemahkan buku-buku doa dari bahasa Belanda atau Jawa ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Pada saat itu ia mengerjakannya dengan tulisan tangan.
Satu-satunya kendala yang kerap merintangi aktivitasnya adalah penyakit Asma yang dideritanya. Keluarganya sering terperangah ketika menyaksikan kondisi Doewe yang tiba-tiba menjadi segar bugar, penuh keceriaan saat mengajar agama. Padahal, beberapa saat sebelumnya, ia mendapat serangan penyakit asma yang cukup berat. “Bapak memang amat bersemangat dan menikmati dalam mengajar agama. Pelajaran bisa berlangsung berjam-jam. Rasanya tak ada hari tanpa mengajar agama!”, kenang Soesmoyo, putera ke-empat Doewe.
Dari tahun ke tahun, jumlah orang yang dibaptis semakin banyak. Rumah pak Doewe yang besar dan megah menjadi tempat berkumpul, termasuk untuk pesta Natal dan Paskah. “Kebetulan rumah kami cukup besar untuk menampung banyak orang. Kami semua sudah merasa seperti saudara sendiri antar sesama umat Katolik yang ada di Ciledug. Bapak ibu sudah dianggap sebagai orang tua mereka juga”, papar Theresia Soestiati, anak bungsu bapak Doewe.
Salah satu mantan murid Excelsior school yang mendapat didikan langsung pak Doewe adalah bapak Sabda (1927-2006), putera Sunda asli. Atas anjuran pak Doewe, Sabda melanjutkan studi di Muntilan. Sabda kemudian dibaptis dengan nama permandian Eduardus. Ia menikah dengan Maria Tarmini, juga mantan murid Excelsior yang menjadi Katolik. Eduardus Sabda benar-benar mewarisi semangat pak Doewe dalam hal pengabdian demi Gereja dan pendidikan. “Jasa serta teladan pak Doewe bagi keluarga kami, tak bisa kami lupakan”, ujar Pastor Agus Rachmat OSC, salah satu anak bapak Sabda. Pastor Agus sendiri kini menjabat sebagai Propinsial Ordo Salib Suci di Bandung.
Cikal Bakal Sekolah dan Gereja
Pada jaman penjajahan Jepang, Excelsior School yang didirikan Doewe sempat dibubarkan. Meski demikian, cita-cita Doewe untuk mengembangkan bidang pendidikan tak pernah pupus. Setelah pendudukan Jepang berakhir, kegiatan sekolah dimulai kembali. Semua warga Katolik dan simpatisannya sepakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah pak Doewe.
Pada 10 Maret 1950, Uskup Bandung, Mgr. P.M. Arntz OSC bersama Pimpinan OSC dari negeri Belanda, Mgr. Dr. Willem van Hees OSC serta sejumlah pengurus Yayasan Salib Suci, berkunjung ke rumah pak Doewe di Ciledug. Tujuan utama kunjungan tersebut adalah meninjau sekolah yang dikelola Doewe. Sebagai tindak lanjut atas kunjungan tersebut, pada tahun yang sama mulai didirikan sekolah Santo Thomas di atas lahan keluarga Doewe. Nama Thomas diambil dari nama permandian cucu kedua bapak Doewe yang dipermandikan langsung oleh Mgr. Willem van Hees, OSC. Gedung Sekolah baru ini diresmikan pada 7 Maret 1952 oleh Pastor Jan Döhne OSC.
Sekolah yang semula diselenggarakan di rumah kediaman pak Doewe kemudian berpindah ke bangunan baru milik keuskupan. Pada awalnya dibuka kelas-kelas Sekolah Dasar, kemudian Taman Kanak-kanak. Dalam perkembangannya, dibangun juga tingkat SMP, hingga kini. Pada hari Minggu, gedung sekolah ini berfungsi sebagai Gereja selama bertahun-tahun.
Pengabdian dan jasa Ludovicus Doewe Prawiradisastra diakui oleh Gereja. Pada bulan Nopember 1953, Doewe mendapat penghargaan Pro Ecclesia et Pontifice dari Paus Pius XII. Penganugerahan penghargaan tersebut baru dilaksanakan bulan Juni 1954 di Keuskupan Bandung.
Doewe, si anak ontang-anting meninggal dunia pada 3 Juni 1966. Semangat beliau terus bergulir dari waktu ke waktu. Pada tahun 1971, setelah lama diidamkan, berdirilah gedung Gereja Katolik, St. Theresia di Ciledug, melengkapi cita-cita almarhum bapak Doewe.
Heri Kartono,OSC.