Monday, July 7, 2008

David Gallus, OSC



GIAT PROMOSIKAN SUKU “TERBELAKANG”

Sesudah hampir seperempat abad berkarya di Asmat, ia kembali ke Amerika Serikat. Dari negerinya, ia tetap giat mempromosikan suku Asmat dengan pelbagai cara. Kini ia berkarya di kalangan suku Indian di kawasan Minnesota, AS.

Collen Needles dari televisi ternama CBS (Columbia Broadcasting System) amat terkesan dengan perjalanannya ke Asmat, Papua (1993). Collen, bersama rekannya Gary Feblowitz tidak sekedar berkunjung namun sekaligus membuat sebuah film dokumenter tentang Asmat: A World Away. Film berdurasi 30 menit ini menjelaskan dengan baik suku Asmat dengan budayanya pada masa itu. Perjalanan serta pembuatan film tentang Asmat ini dapat terlaksana berkat jasa Pastor David Gallus OSC.

Pastor David Gallus sudah lima kali membawa rombongan dari Amerika Serikat ke Asmat. Setiap rombongan umumnya tinggal selama 2 minggu di wilayah berlumpur itu. Anggota rombongan yang pernah ia bawa, berasal dari pelbagai kalangan hebat, seperti Cargil MacMillan, pemilik Cargil Company, perusahaan agrobisnis terbesar di AS atau Topsy Simonson, jutawan dari Minneapolis. Bagi David Gallus, kegiatannya ini merupakan salah satu usahanya untuk memperkenalkan kehidupan serta kesenian suku Asmat, sekaligus menggalang dana juga demi kepentingan Asmat.

Sampai saat ini, orang-orang yang pernah berkunjung ke Asmat masih sering berkumpul secara teratur. Mereka membentuk perkumpulan dengan nama Sago Worms Society (Perkumpulan Ulat Sagu). Kegiatan kelompok ini terutama mempromosikan kesenian Asmat di AS, khususnya di Minnesota. Kegiatan terakhir yang mereka lakukan adalah Malam Gala dan Lelang Seni Asmat (20/06/08).

Komputer dan Pesawat Terbang

David Gallus lahir di Minnesota, AS, pada 19 Februari 1939. Ayahnya, George Gallus adalah seorang petani sedangkan ibunya, Julia Gallus, ibu rumah tangga biasa. David Gallus adalah anak ke 4 dari 12 bersaudara. 

Sebagai imam, David mulai bertugas di Asmat setahun sesudah ditahbiskan (1967). Ia sendiri yang meminta atasannya untuk menempatkannya di daerah yang tersembunyi di antara rimba raya Papua itu. Selama 24 tahun bertugas di Asmat, ia melakukan banyak hal. Salah satu hal yang pernah ia lakukan adalah membenahi administrasi serta keuangan Keuskupan (Agats/Asmat) dengan sistem komputerisasi (1982). “Waktu itu komputer belum terlalu umum dan tidak ada suku-cadang di Asmat. Saya mengerjakannya sendiri dengan bantuan buku-buku”, kenang David.

Wilayah Asmat pada masa itu masih sulit dijangkau. Transportasi umumnya lewat laut dan sungai. Transportasi udara dilakukan oleh pesawat-pesawat kecil milik AMA (Associated Mission Aviation). Peranan AMA amat vital karena merupakan satu-satunya penerbangan yang masuk wilayah Asmat. Merpati baru masuk Asmat sekitar tahun 1980-an. AMA dimiliki 4 keuskupan yaitu Agats, Jayapura, Manokwari-Sorong dan Merauke. AMA memang dibentuk untuk mendukung kegiatan Gereja di bidang transportasi.

Pada tahun 1970, David ditunjuk sebagai sekretaris AMA. Pada waktu itu ia bertugas sebagai pastor paroki di Ewer sekaligus sebagai penanggung-jawab lapangan terbang Ewer/Agats. Saat ia kembali ke Amerika Serikat (1990), David tetap dipercaya sebagai representatif AMA. Setiap pembelian spare-parts bahkan pembelian pesawat baru dari AS, dilakukan lewat tangan David. “Status saya sebagai warga Negara AS yang tinggal di AS, amat memudahkan untuk mengadakan transaksi pembelian”, ujar David memberi alasan. Pesawat terakhir yang dibelinya adalah jenis Cessna 185.

Perhatian Terhadap Suku “Terbelakang”

Lepas dari tugasnya di bidang pastoral serta administrasi, David memiliki perhatian besar pada suku Asmat dengan segala aspek budayanya. Ia mengagumi kesenian Asmat serta spiritualitas yang terkandung di baliknya. David yang sempat studi Anthropologi di Catholic University of Washington DC (1966/67), sering merasa terusik manakala mendengar pandangan yang merendahkan suku Asmat. “Asmat kerap dianggap sebagai suku primitif, terbelakang bahkan perlu untuk dimanusiakan!”, ujar David geram. Ia juga tak bisa menerima perlakuan sewenang-wenang aparat pemerintah maupun militer terhadap penduduk Asmat. “Tentara -pada umumnya pendatang- pada waktu itu amat gampang memukul penduduk atau memaksa orang untuk menebangi pohon-pohon dengan bayaran murah atau malah tanpa bayaran sama sekali!”, ujar David. Barangkali karena melihat pelbagai perlakuan yang tidak adil itulah, timbul niat kuat di hati David untuk mengangkat derajat suku Asmat. 

Yang menyedihkan, budaya serta kesenian Asmat sempat terancam punah. Pasalnya, saat itu (1964-1965) pemerintah daerah menuding rumah adat Asmat sebagai sumber kejahatan, termasuk penyebab munculnya tradisi perang dan penggal kepala. Karenanya, atas perintah pemerintah setempat, banyak rumah adat dibakar. Bersamaan dengan itu, kebiasaan mengukir yang sudah menjadi bagian hidup orang Asmatpun dihentikan. Untunglah situasi itu tidak berlarut-larut. Menurutnya, suku Asmat dengan segala eksistensinya, seharusnya diterima dan dihargai secara wajar.

David yang kini bekerja di kalangan suku Indian di wilayah Onamia, Minesota, melihat nasib suku Asmat dalam beberapa hal mirip dengan suku Indian di AS. Menurutnya, dalam perjalanan sejarah Amerika Serikat, Indian yang merupakan suku asli di Amerika Serikat mengalami nasib buruk di masa lalu. “Orang-orang kulit putih menganggap orang-orang Indian liar, tak beradab dan harus dimanusiakan seperti mereka. Orang Indian di tempatkan tersendiri dalam suatu wilayah Reservation. Di wilayah terpencil ini mereka dipaksa untuk meninggalkan adat-budaya serta bahasa asli mereka dan menggantinya dengan budaya dan bahasa kaum kulit putih.

Menurut David, gejala semacam itu kerap terjadi di banyak tempat. “Suku yang merasa dominan cenderung untuk memaksa suku lain agar sama dengan mereka. Mereka menganggap bahwa adat-budaya sukunyalah yang terbaik dan harus diikuti”, jelas David. “Sampai saat ini, saya masih sering mendapat laporan terjadinya penganiayaan suku yang satu terhadap suku lain”, tutur David yang aktif dalam gerakan penegakan Hak-hak Azazi Manusia. Di wilayahnya (Mille Lac Area, Minnesota), ia duduk sebagai ketua Human Rights Commission.

Contoh Teladan Gereja 

Manusia hanya mungkin memiliki identitas yang utuh lewat budayanya. Tanpa budaya, manusia akan kehilangan jati dirinya. Karena itu, memberangus suatu adat budaya orang lain sama dengan menghancurkan jati diri manusia. David mengakui bahwa setiap adat-budaya, termasuk budaya Asmat dan Indian, tentu memiliki kekurangan, selain kelebihannya. “Justru pertemuan dengan budaya lain, akan memperkaya serta melengkapi budaya masing-masing!”, tegas David Gallus.

David Gallus, imam berbadan subur, memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib suku yang dianggap terbelakang, khususnya Asmat dan Indian. Ia berpendapat, komunitas Gereja seharusnya dapat memberi contoh teladan bahwa pelbagai suku dan budaya dapat hidup rukun berdampingan. Ia yakin, gambaran Nabi Yesaya bahwa singa, serigala, kambing dan anak manusia dapat hidup dengan damai (Yes 11: 6-9) dapat terjadi di kalangan antar suku, bila ada rasa hormat dan keterbukaan satu sama lain.

Heri Kartono, OSC. (Dimuat di majalah HIDUP, 20 Juli 2008).

 

2 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Selamat ya.Aku juga sudah baca di HIDUP.Sepertinya disana sini ada sedikit di edit,tapi secara kesuluruhan tidak mengganggu kog.
Terima kasih Romo

Heri Kartono said...

Thanks sudah ikut membaca dan memberi komentar.
Aku lihat Redaksi sedikit meng-edit dan menyingkatnya.
Salam,
HK.