Tuesday, November 10, 2009

Frans Garnaen


NYARIS KEHILANGAN SEGALANYA

Seluruh keluarga sempat terguncang saat anak bungsunya dinyatakan menderita penyakit yang belum ada obatnya. Demi kesembuhan si bungsu, anak kesayangannya, Frans Garnaen melakukan segala upaya, termasuk hendak menjual mobil dan rumah satu-satunya..

Frans Garnaen adalah pria kelahiran Palembang yang mengadu untung di kota Bandung. Selepas SMA, Frans langsung bekerja di bank NISP. Di tempat kerjanya ini Frans bertemu Martha Dede Herlina yang kemudian dinikahinya (1974).

Sesudah beberapa tahun, Frans memutuskan keluar dari tempat kerjanya dan membuka usaha sendiri. Sementara itu, Dede, sang istri, juga mengikuti jejaknya keluar dari Bank dan membuka kantin di garasi rumah. Lokasi rumah Frans saat itu memang cukup strategis, berada tepat di depan Universitas Kristen Maranatha. Baik usaha Frans maupun istrinya berkembang dengan baik.

Pasangan Frans-Dede dikaruniai dua anak: Angela Ilona dan Veronica Imelda. Mereka sekeluarga hidup rukun bahagia. Ilona dan Imelda mendapat pendidikan di sekolah Katolik hingga sarjana. Ilona lulus dari jurusan Akutansi sementara Imelda jurusan Hukum. Keduanya menyelesaikan kuliah di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Aktif di Gereja

Sejak Frans membuka usaha sendiri, ia mulai aktif di lingkungan Gereja. Ia dapat mengatur waktu kerjanya sesuai dengan kebutuhan. Nampaknya Frans memang amat menyukai aktivitasnya di Gereja. Bayangkan saja, ia aktif di Legio Maria, Persekutuan Doa Kharismatik, Anggota Dewan Paroki Inti, Prodiakon bahkan Katekis. Ia memang pernah mengikuti Kursus Pemuka Jemaat tahun 1996. Sejak itulah pastor paroki memberinya tugas tambahan: menjadi pengajar katekumen.

Sebagai katekis, nama Frans amat populer. Di paroki Pandu ada beberapa kelompok ketekumen. Umumnya, para katekumen ingin masuk kelasnya Frans. “Pak Frans kalau mengajar tidak bertele-tele dan mudah dimengerti”, ujar Margreet memberi komentar.

Sebagai Prodiakon, tugas Frans antara lain mengunjungi dan membagi komuni untuk orang-orang sakit dan jompo. Tidak jarang, ia juga diminta untuk memimpin upacara pemakaman. Kerelaan Frans untuk membantu orang lain yang kesusahan memang mengagumkan. Sesibuk apapun, bila ada panggilan tugas dari Gereja, ia langsung bersedia dan melaksanakannya. Banyaknya waktu yang digunakan Frans untuk Gereja, sempat juga mengundang protes istri dan anak-anaknya. Tentang hal ini, Ilona, anak tertua mengungkapkan: “Papie kadang-kadang terlalu aktif di Gereja sehingga kurang waktu untuk kami!”, ujarnya.

Mengguncang Seluruh keluarga.

Pada awalnya hanya Frans yang aktif di gereja. Istri dan anak-anak hanya sekedar pergi ke Gereja pada hari Minggu, lain tidak. Keadaan ini berubah saat Frans mengadakan doa bersama dalam keluarga. Sejak itu Dede, istrinya tergerak untuk ikut aktif dalam salah satu organisasi Gereja. Demikian juga Ilona dan Imelda kedua anak Frans. Imelda, anak bungsunya aktif sebagai lektor dan mengajar agama anak-anak. Tidak jarang, Imelda menemani Frans saat bertugas membagi komuni untuk orang sakit. Imelda yang cantik, ramah dan pandai bergaul, amat cepat disukai orang-orang yang mereka kunjungi.

Aktivitas dan ketentraman Frans sekeluarga sempat terganggu bahkan terguncang hebat. Suatu hari Imelda menderita sakit. Sesudah menjalani sejumlah pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa Imelda menderita penyakit yang belum ada obatnya. Imelda divonis menderita kelainan darah pada sumsum tulang belakangnya. Antibody yang dihasilkannya terlalu banyak dengan akibat menyerang HB (hemoglobin)-nya sendiri. Menurut istilah kedokteran, Imelda menderita dua macam penyakit sekaligus: auto immune anemia haemolitig dan penyakit PNH (Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria) yang menyebabkan rusaknya jaringan sel-sel darah merah.

Karena penyakitnya itu, Imelda harus sering menjalani transfusi darah. Menurut dokter, penyakit jenis ini membuat pasien menderita kesakitan hebat pada semua persendian. Anehnya, Imelda, tak pernah mengeluh. Sebaliknya, dalam sakitnya, Imelda justru makin aktif di lingkungan gereja. Ia bahkan masuk dalam kelompok Doa Syafaat. Nampaknya, dengan sengaja Imelda tidak ingin menunjukkan penderitaannya pada orang lain, khususnya kepada orang tuanya. Frans sering terharu menyaksikan ketabahan serta semangat anaknya yang luar biasa.

Saat divonis menderita penyakit yang langka (1998) Imelda masih kuliah. Kendati sering keluar masuk Rumah Sakit, ia dapat menyelesaikan kuliahnya dalam waktu relatif singkat, 3 ½ tahun. Setelah lulus, Imelda sempat bekerja di kantor Advokat di Jakarta, kemudian membuka usaha garmen pakaian tidur di Bandung.

Menjual rumah dan mobil.

Tahun 2003, penyakit Imelda makin parah. Dua hari sekali ia harus transfusi 4 hingga 6 labu darah yang sulit dicari. Maklum, darah yang ditransfusikan harus terlebih dahulu “dicuci” tiga kali di PMI.

Frans juga berusaha menghubungi ahli cangkok sumsum tulang belakang di Australia. Ia tahu kemungkinan keberhasilannya kecil. Sebab sumsum yang didonor harus dari satu gen dengan satu golongan darah yang sama. Ilona, orang yang paling dekat, ternyata memiliki golongan darah AB sementara Imelda B.

Seringnya Imelda keluar-masuk Rumah Sakit, membuat keuangan keluarga menjadi berantakan. Tambahan, pada waktu itu dunia sedang dilanda krisis moneter alias krismon. “Bisnis saya sedang hancur. Saya tak punya uang lagi untuk membiayai Imelda”, kenang Frans. Setelah berkonsultasi dengan Dede, istrinya, Frans berniat untuk menjual mobil dan rumahnya. Semuanya ia pertaruhkan demi kesembuhan anak tercinta.

Mulailah Frans mencari calon pembeli rumah dan mobilnya itu. Orang-orang yang dihubungi bertanya: “Untuk apa mobil dan rumah dijual?”. Ketika mereka tahu alasan penjualan, mereka mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, secara spontan mereka memberi bantuan pada Frans. Tidak hanya itu, mereka juga memberi tahu kawan-kawan Frans tentang kesulitannya. Ternyata semua kawan Frans yang mendengar, menaruh perhatian dan simpati besar. Merekapun tak segan-segan untuk memberi bantuan. Frans amat terbantu dan terharu sekaligus. “Kebaikan teman-teman merupakan kemurahan Tuhan yang tak dapat saya bayangkan sebelumnya”, ujar Frans terbata-bata.

Imelda sendiri ketika tahu rencana orang tuanya untuk menjual mobil dan rumah, menolak rencana tersebut. Dengan bijaksana, Imelda kala itu berkata: “Bagaimana kalau saya tidak sembuh? Papie, mamie dan Cici mau tinggal di mana?”, katanya. Dengan sungguh-sungguh Imelda meminta kedua orang tuanya untuk mengurungkan niat penjualan tersebut.

Imelda, anak kesayangan, rupanya tahu bahwa penyakitnya tak mungkin untuk disembuhkan. Iapun memasrahkan hidupnya ke dalam tangan Tuhan. Sebelum menutup mata, Imelda sempat mengatakan kepada mamie-nya: “Saya sudah tidak kuat lagi Mie. Serahkan saya pada Tuhan. Terima kasih atas doa teman-teman mamie selama ini. Saya sudah menyelesaikan tugas-tugas saya. Saya telah membawa mamie, papie dan cici menderita. Hanya satu yang belum kita lakukan, kita belum dapat pergi ke Jepang, seperti yang mamie inginkan, melihat gunung Fujiyama”. Dede, sang mamie, tak kuasa menahan harunya. Dalam penderitaannya, Imelda masih memikirkan dirinya yang memang pernah bercita-cita melihat Gunung Fujiyama. Imelda meninggal dunia dalam keadaan tersenyum pada 22 Maret 2004.

Frans Garnaen, tak pernah lelah bekerja di ladang Tuhan. Sepeninggal Imelda, anaknya, Frans meneruskan kegiatannya mengajar katekumen, mengirim komuni kepada orang sakit dan memimpin upacara pemakaman. Ia juga bersyukur bahwa usaha keluarganya berangsur-angsur membaik kembali. Pada April yang lalu, Dede, istrinya bersama Ilona, anak sulungnya, mendapat kesempatan ikut tour ke Jepang. Pastilah Imelda juga senang melihat mamie-nya akhirnya berhasil melihat Gunung Fujiyama yang lama diimpikannya. (foto: koleksi keluarga Frans Garnaen).

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 6 Desember 2009).

5 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Pengalaman hidup yang enak dan tak enak seperti saat kita membuka dan menutup telapak tangan kita.Keduanya menjadi bagian dari gerak irama tanda tanda kehidupan.Semangat pelayanan pak Frans menggelora mengikuti irama kehidupan itu.Salut

Lucas Nasution said...

syukur pak Frans tidak menjadi kecewa dan marah pada Tuhan

triastuti said...

Oh, ternyata hidup pak Frans dan keluarga jauh lebih mengagumkan dari yg pernah saya baca di blog Romo yang B. Betapa bernas hidup yg dijalani seperti itu ya Mo. Hidup yg hanya sekali dan singkat ini benar-benar berarti. Imelda juga telah menunjukkannya, bukan berapa lama kita hidup tetapi berapa banyak hati manusia yang telah kita sentuhkan dg hati Tuhan sendiri yg penuh cinta itu selama hidup kita. Indahnya kisah keluarga pak Frans Garnaen, puji Tuhan.

Vincencius Rahmat said...

Service dedication believe,father of Frans Garnaen and mother of Martha Dede Herlin. Imelda also have ill excelency liver remain to serve, this story really amaze and confrim believe trust to god, thank of Romo Heri Kartono which have alloted this for us.

Anton S said...

Hidup dan mati Tuhan Yesus Kristus Yang Punya Kehendak. Saya adalah teman sekelas Veronica waktu SMU di Bandung (tidak dipanggil Imelda karena waktu itu ada dua nama Imelda di kelas), Veronica adalah teman yang membawa keceriaan dalam kelas. Saya baru mengetahui keadaan Veronica melalui blogger ini ketika berselancar di internet dan megetik nama-nama teman sekolah di Google. Tuhan memberikan cobaan hidup kepada umatNya adalah untuk memberikan Anugrah dan kekuatanNya dalam kehidupan umatNya dan tidak berpaling dariNya. Saya sendiri mengalami cobaan hidup dengan penyakit Skizoprenia yang membutuhkan kekuatanNya untuk sembuh dan menghadapi cobaan yang diberikanNya. Tuhan Yesus Kristus beserta kita untuk selamanya.