Saturday, October 2, 2010

Heri Kartono, OSC (tulisan Ari Benawa).


MELEWATI MOMENTUM SULIT

Keinginan Pastor Heribertus Kartono, OSC sebenarnya menjadi imam yang dekat dengan umat di daerah terpencil. Kenyataannya, ia menjalani beragam tugas silih berganti. Ia merasa seperti dikejar-kejar waktu. Bahkan, ia sempat ingin mengundurkan diri.

Pembesarnya, Pastor Agus Rachmat, OSC tentu tidak begitu saja mengabulkan keinginannya. Ia menawari Pastor Heri Kartono, OSC pergi ke Australia untuk mengatur kembali hidup religiusnya yang hampir kandas.

Pastor Heri berangkat, dan tinggal di Katedral Armidale New South Wales, pada tahun 1995. Di tempat ini, ia bekerja membantu pastor paroki, dan mengajar di St Mary Primary School, yang dikelola oleh Suster-suster Ursulin. Sesekali ia juga membantu di O’Connor High School. “Saya sangat menikmati tugas di Armidale, apalagi Pastor Richard Gordon baik hati, dan menjadi teman sharing yang menyenangkan,” akunya.

Tinggal selama lima bulan di Armidale, ia merasa di segarkan kembali. Di penghujung 1995, Pastor Heri kembali ke Indonesia. Meskipun, sebenarnya Uskup Armidale, Mgr. Kevin Manning memintanya untuk bertugas selamanya di Armidale.

Pastor Heri menyatakan siap untuk menerima tugas kembali . Namun, ia meminta pada Provinsial untuk diperbolehkan bekerja di luar Jawa. Provinsial mengizinkan hanya untuk jangka waktu satu tahun. Kebetulan OSC mendapat tawaran untuk bekerja di Keuskupan Agung Medan. Romo Heri kemudian ditugaskan di keuskupan ini. Ia ditempatkan di tanah Karo, Kabanjahe. Sesudah satu tahun, Pastor Heri meminta untuk tetap diperbolehkan bertugas di Sumatera.

Pada tahun 1997, Pastor Heri dipercaya merintis paroki baru, yaitu Paroki Santa Maria Tanjung Selamat, Medan. Sebelum Pastor Heri datang, sempat muncul penolakan dari umat setempat. Semua aktivis paroki membubuhkan tanda tangan penolakan atas kehadiran pastor baru. Padahal, berjumpa pun belum. Sesudah beberapa waktu bertugas di tempat ini, ia pun diterima umat dengan baik. ”Saya senang sekali diizinkan berkarya di antara orang-orang Batak merupakan pengalaman yang sangat berharga, bagi saya”, akunya.

Konselor Jenderal

Rencana berkarya di luar Jawa selama satu tahun, pun menjadi lebih dari lima tahun. Tahun 2001, ia kembali ditugaskan di Pulau Jawa. Pada tahun 2003, Pastor Heri mewakili Indonesia menghadiri Kapitel Jenderal Ordo Salib Suci di Brazil, dan ia terpilih sebagai Konselor Jenderal OSC 2003-2009. Ia adalah OSC dari Indonesia partama yang diangkat menjadi Konselor Jenderal. OSC dipimpin Magister Jenderal, didampingi dua Konselor Jenderal. Biasanya yang terpilh adalah wakil dari Eropa atau Amerika Serikat. Pastor Heri pun menempati pos barunya di Roma. ”Yang menarik bertugas sebagai Konselor Jenderal adalah saya menjadi tahu seluk beluk Ordo ini terutama dari sisi permasalahan dan pergulatannya,” jelasnya.

Oktober 2009, Pastor Heri kembali ke Indonesia. Ia sempat bertugas membantu di Paroki St. Yusuf Cirebon, Jawa Barat atas permintaannya sebagai masa transisi sebelum mengemban tugas resmi. Pada Februari 2010, ia ditugaskan sebagai pastor paroki St. Helena Curug Tangerang.

Paroki ini beruntung memiliki lahan yang luas. Gereja bisa menampung lebih dari 1000 umat. Lebih dari itu, keterlibatan umat tergolong tinggi. Banyak orang hebat di paroki ini. Saya banyak belajar dari mereka. Tugas saya di paroki ini jauh berbeda dengan ketika saya di Tanjung Selamat. Di paroki ini saya lebih sebagai pemersatu dan pendorong mereka,” papar pastor Heri.

Jejak Panggilan

Pastor Heri Kartono adalah putera ke-4 dari delapan bersaudara, buah kasih Bernardus Bambang Sudjono dan Lucia Kartinah. Semasa kecil, bersama keluarganya di Cirebon. Ayahnya asli Cepu, dibaptis setelah anak ke-2 lahir. Sejak kecil, Heri pun sudah didekatkan dengan tradisi Katolik. Setiap Minggu, seperti anggota keluarga lain, ia diwajibkan ke gereja. Jarak rumah ke gereja , hanya satu kilometer. ”Sejak kecil saya ikut Misdinar. Saya sekolah di SD St. Thomas, satu-satunya SD Katolik di Ciledug, Cirebon,” terangnya.

Sebenarnya, semasa kekil Heri tidak mengidolakan sosok imam. Waktu itu, Pastor paroki di Ciledug, Cirebon, adalah Jan van der Pol OSC. Menurutnya, Romo Jan merupakan orang yang tidak pandai berkotbah dan tidak dekat dengan anak-anak.

Jika ditanya, apa yang membuatnya ingin jadi imam, Romo Heri menjawab “Tidak tahu. Yang pasti, sejak kecil saya ingin jadi pastor. Itu saja. Waktu keinginan itu saya utarakan pada orangtua, sempat tidak diperbolehkan. Orangtua menganggap saya masih terlalu kecil. Keinginan untuk menjadi imam pun sempat tenggelam. Keinginan itu timbul kembali ketika saya kelas III SMP. Kebetulan anak dari Pakdhe yang tinggal di Salatiga datang. Ia bercerita tentang Seminari. Syukur, saya diizinkan orangtua untuk masuk seminari. Lebih bersyukur lagi karena saya diterima di Seminari St Petrus Canisius, Mertoyudan, Magelang. Di tahun ke-4, saya sempat berpikir untuk menjadi Biarawan Trapis, OCSO, di Rawaseneng, Temanggung Jawa Tengah. Tetapi, akhirnya saya memilih Ordo Sanctae Crucis atau Ordo Salib Suci”, imam kelahiran Cirebon, 2 Maret 1956 ini berkisah.

Heri Kartono menjalani calon imam OSC di Bandung : Novisiat, dilanjutkan dengan studi Filsafat dan Teologi di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), hingga tahun 1983. Tahun Orientasi Pastoral dijalankan di Paroki Hati Kudus Yesus, Tasikmalaya. Pada 15 Agustus 1984, ia ditahbiskan imam oleh Bapak Uskup Bogor, Mgr. Harsono, di Katedral Bandung.

Setelah tahbisan, Pastor Heri tetap berkarya di Tasikmalaya hingga tahun 1986. Setelah itu, ia ditugaskan untuk belajar Teologi Moral di Alphonsianum, Universitas Lateran, Roma. Ia menyelesaikan studinya, dan meraih gelar Master, tahun 1989.

Sepulang dari Roma, ia ditugaskan mengajar Teologi Moral dan Etika di Universitas Parahyangan, Bandung. Ia berkarya hingga 1995, sebelum berangkat ke Australia. Selama di Bandung, Pastor Heri dipercaya memegang beberapa jabatan dan pekerjaan. Selain sebagai dosen full-time, ia mengelola majalah Keuskupan Bandung KOMUNIKASI, mengemban tugas sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Filsafat Unpar, sebagai Magister yang harus membina 42 frater OSC, sebagai Pastor Mahasiswa, dan memimpin dua komisi di Keuskupan Bandung. ”Harus saya akui, saat itu situasinya memang menuntut demikian,” ujarnya.

Penulis

Pada 12 Agustus 2010, Pastor Heri me-launching bukunya, berjudul ”Ketika Semua Jalan Telah Tertutup”. Di dunia tulis menulis, pastor Heri bukanlah sosok asing. Selain pernah memimpin di majalah KOMUNIKASI, ia juga pernah mengelola Majalah Keuskupan Agung Medan MENJEMAAT. Selama di Medan, ia pun menjadi kontributor untuk majalah Hidup, hingga ketika ia tugas di Roma . Dari Roma, ia menulis untuk rubrik Majalah HIDUP, seperti Mancanegara, Eksponen, Kesaksian, bahkan juga rubrik anak-anak. Ia sering menulis untuk Rubrik Kesaksian, lebih-lebih karena ia sering berjumpa dengan orang yang punya pengalaman iman yang luar biasa.

Judul ”Ketika Semua Jalan Telah Tertutup” diambil dari salah satu dari 14 kesaksian dalam buku tersebut. Ini kisah dari Pasutri Ganda Kusuma yang sukses dalam usahanya. Namun, bertahun-tahun mereka tidak dikaruniai anak. Pelbagai cara telah mereka tempuh, baik medis maupun alternatif. Terakhir, pasutri ini berobat ke Amerika Serikat. Di sanalah dokter meyakinkan bahwa kemungkinan untuk memperoleh anak amat kecil. Ketika jalan seolah-olah telah tertutup, mertua pak Ganda menyarankan mereka untuk berziarah ke Laurdes. Padahal, waktu itu pasutri ini belum dibaptis. Sepulang dari Laurdes itulah Ibu Ganda mengandung anak pertama dan kemudian disusul anak kedua.

Pastor Heri sebenarnya tidak bermaksud menerbitkan buku. Suatu saat, Pastor Agus Surianto,Pr. Direktur Obor menawarkan menerbitkan kisah-kisah tersebut. Buku yang diberi kata pengantar oleh Prof. Ir Purnomo Yusgiantoro (menteri Pertahanan); Ir H. Salahuddin Wahid (adik Gusdur) dan Trias Kuncahyono (wakil Pemred Harian Kompas) ternyata laku keras. Andre Silalahi, bagian marketing OBOR menyatakan bahwa hanya dua Minggu sesudah launching, persediaan buku telah habis.

Momentum-memontum sulit pun dapat dilalui. “Saya bisa melewatinya berkat Tangan Tuhan yang selalu terulur,” tandas Romo Heri, hingga sampai sekarang saya bisa menjadi imam bagi umat-Nya.

(Ditulis oleh Ari Benawa/PGU. Dimuat di Majalah HIDUP 26 September 2010).


2 comments:

isnar said...

Romo Heri,
Tulisan ini juga merupakan arsip pribadiku, yg dapat kubaca setiap waktu aku mau. Kita ini kan sahabat yg sudah melebihi keluarga. Jadi sering muncul rasa kangen. Nah, tulisan ini sering sudah mampu mewakili kehadiran Romo di rumahku....

Aku juga sangat bersyukur memiliki saudara seorang Pastor Kartono. Banyak sekali hal2 hidup dan kehidupan yg aku dapatkan sebagai sahabat dan saudara dari Romo. Trima kasih ya Mo...

Tiap aku bersujud, tak lupa aku menyebut nama Romo di hadapan Bapa, agar berkat melimpahi Romo dalam karya, karsa dan usuha pelayanan kepada umat-Nya.

Makasih ya Mo...

Heri Kartono said...

Terima kasih mas Is. Oya, sampai sekarang saya masih kontak dengan Wei dari Liatkong itu. Wei sudah pindah ke Australia bersama suami dan anak-anaknya. Waktu saya di Roma, Wei pernah datang dan menginap di rumah kami.
Rita Chandra dan Rini sudah lama tidak kontak lagi, kehilangan jejak.
Salam,
HK