Tuesday, July 19, 2011

Susanna Ari Herdi Wibowo


I LOVE YOU, BU GURU!

Ban mobil sebelah kanan belakang pecah. Semua tercekam dan panik. Maklumlah, saat itu mereka sedang berada di tengah hutan belantara, hujan dan pada malam yang gelap gulita. Beberapa jam sebelumnya salah satu ban sudah pecah juga akibat jalan yang amat buruk. Tak ada lagi ban serep yang tersedia dan perjalanan masih memakan waktu 2 jam lagi.

“Perjalanan kali ini sungguh penuh tantangan. Sejak subuh kami sudah terbang ke Pontianak. Sampai di sana tidak ada satu pun bagasi kami. Menurut petugas, bagasi masih tertinggal di Jakarta. Terpaksa kami harus menanti penerbangan berikutnya, menunggu koper. Selanjutnya, selama 9 jam kami terguncang-guncang di dalam mobil karena kondisi jalan yang berlubang dan berbatu. Kepala kami saling beradu atau beradu dengan kaca jendela. Kami semua mual dan lelah!”, papar Susanna Ari Herdi Wibowo tentang perjalanannya ke Kalimantan. Bersama tim Pelita (Pelatihan Pembina Iman Anak), Ari memenuhi undangan Keuskupan Sintang. Selama satu minggu (3-10 Juli 2011) mereka berkeliling ke tiga lokasi yang berjauhan dengan kondisi jalan yang sangat rusak itu. Tujuannya satu: melatih para Guru Bina Iman di paroki-paroki terpencil.

Ari bergabung dengan Tim Pelita pimpinan Pauline Rosita, sejak tahun 2000. Sejak itu pula ia berkeliling Indonesia memenuhi undangan pelatihan. “Saya tidak ingat lagi berapa daerah di Indonesia yang pernah kami datangi. Yang jelas, dari desa-desa di Sumatera Utara hingga Merauke di Papua, sudah kami kunjungi”, ujar wanita kelahiran Semarang ini.

Sekolah Montessori
Ari Wibowo adalah pendiri Sekolah Montessori di kawasan Lippo Karawaci. Ia bersama sahabatnya, Janti Susyana, mendirikan Sekolah Montessori pada tahun 1999 dengan nama Edu Play. Beberapa tahun kemudian berganti nama menjadi Sekolah Montessori Kiara Karitas, hingga kini.

Sekolah Montessori perdana didirikan oleh Dr. Maria Montessori. Dokter wanita pertama Italia ini lahir pada tahun 1870 di Ancona, Italia. Seluruh hidup Dr. Montessori diabdikan untuk pendidikan. Dr. Maria Montessori mengembangkan suatu metode pendidikan yang berpusat pada anak dan merupakan pendidikan seumur hidup. Metode ini membantu anak berkembang sesuai dengan kebutuhan mereka dan memaksimalkan potensi masing-masing individu. Tidak heran bahwa di sekolah Montessori, anak-anak terlihat mandiri. Mereka mendapat kebebasan untuk belajar sesuai dengan yang diminatinya. Para pendidik hanya mendampingi, mengarahkan serta memfasilitasi kebutuhan anak. Meski terkesan bebas, anak-anak tetap dididik bertanggung jawab, baik bagi diri mereka sendiri, lingkungan sekitar, maupun orang lain.

Ari, penulis buku Tangan Kecilku Bisa, mengaku amat tertarik dengan metode pendidikan ala Montessori sejak awal. Menurutnya, filosofi dasar Sekolah Montessori adalah pendidikan untuk perdamaian. Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris ini kemudian mempelajari dan lulus dari Montessori Center International, London (2003). Istri dari Trijono Wibowo ini kemudian masih memperdalam ilmunya melalui Seacoast Center for Montessori Education, Amerika Serikat (2009). Awalnya Sekolah Montessori yang dirintisnya hanya untuk anak-anak Pra-Sekolah. Namun atas permintaan beberapa orang tua murid, Ari membuka juga tingkat Sekolah Dasar. Bahasa pengantar di sekolahnya adalah Bahasa Inggris. Sebagian dari murid-murid adalah Warga Negara Asing, antara lain Argentina, Korea Selatan, Brazil, Russia dan Iceland.

Sebelum membuka sekolah sendiri, Ari pernah mengajar di SMA Sedes Sapientiae Semarang, TK Dian Asih Semarang, TK Sekolah Dian Harapan dan SD Sekolah Pelita Harapan, Lippo-Karawaci. Kini sebagai pengelola sekolah Kiara Karitas, Ari kerap turun tangan mengajar di kelas-kelas. Baginya, berada di antara anak-anak membawa kebahagiaan tersendiri.

Anak-anak Tanah Gocap
Kecintaannya pada anak-anak berawal dari kerinduannya untuk mempunyai adik. Ari memang bungsu dari 4 bersaudara. Semula ia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter anak dengan harapan akan banyak bertemu anak-anak. Namun karena tidak lolos dalam tes masuk fakultas kedokteran, Ari beralih ke bidang pendidikan.

Ari tinggal bersama suami dan anaknya, Audrey Trisha, di kawasan Lippo Karawaci, paroki Santa Helena. Jauh sebelum paroki ini berdiri, Ari telah berinisiatif mengadakan Sekolah Minggu bagi anak-anak Katholik. Sebenarnya hal tersebut ia lakukan memenuhi permintaan banyak orang tua muridnya di Sekolah Dian Harapan saat itu (1996). Tempat mengajar berpindah-pindah. Tempat tinggal Ari sempat juga digunakan untuk mengajar anak-anak Sekolah Minggu (1998 – 2003).

Perhatian serta kecintaan Ari pada anak-anak patut diacungi jempol. Sebagai seorang pendidik sekaligus pengelola sekolah, Ari masih meluangkan waktu mengajar anak-anak gelandangan juga. Sejak September 2009 setiap Rabu dan Jumat sore, bersama dua rekannya, Ari pergi ke Tanah Gocap untuk mendidik anak-anak di sana. Rekan-rekannya adalah Ully yang berasal dari Aceh dan beragama Islam serta Airin yang memiliki darah Batak, beragama Protestan. Pada awalnya, di kalangan orang tua sempat muncul anggapan Kristenisasi. Namun anggapan itu dengan cepat sirna karena mereka memang tak pernah menyinggung masalah agama dalam mengajar.

Tanah Gocap adalah kawasan kumuh di tepi sungai Cisadane daerah Tangerang. Untuk mencapai tempat ini, harus melalui jalanan berdebu di musim kering dan becek di waktu hujan. Di antara kuburan Cina dan Sungai Cisadane, tinggallah para pemulung sampah di rumah-rumah liar. Anak-anak mereka ikut membantu orang tua mencari nafkah dengan menjadi pemulung, pengemis atau pengamen di jalan.

Proses belajar-mengajar dilakukan di tempat terbuka di tepi sungai dengan menggunakan alas tikar. Bila turun hujan, pengajaran berpindah ke salah satu tempat tinggal yang ada di situ. Usia anak-anak Tanah Gocap ini berkisar 4-14 tahun; mereka dididik untuk membaca, menulis dan berhitung. Setiap kali pelajaran berlangsung, hadir antara 20 hingga 25 anak. Mereka juga belajar bersikap sopan, menjaga kebersihan dan budi pekerti lewat cerita-cerita yang dibacakan. Tak lupa, Ari juga mengajarkan gerak dan lagu kepada mereka. Anak-anak di sana mengikuti tiap pelajaran dengan antusias. Antusiasme anak-anak itulah yang mengobarkan semangat Ari untuk datang dan mendidik mereka. Setiap kali Ari dan rombongan datang, anak-anak berlarian menyongsong dan berebut membantu membawakan barang bawaan Ari dkk. Tidak jarang Ari membawa hadiah-hadiah kecil atau makanan. Meski demikian, Ari mengaku amat berhati-hati dalam memberikan sesuatu. “Saya tidak ingin bahwa anak-anak belajar hanya karena mengharapkan hadiah!”, tegas wanita berparas cantik ini.
Sebelum memulai pelajaran, Ari mengajak anak-anak untuk berdoa. Demikian pula sesudah selesai pelajaran. Yang menakjubkan, hampir semua pelajaran, termasuk doa dan lagu, dilakukan dalam Bahasa Inggris.
I Love You, Bu Guru!
Salah satu ketrampilan yang digemari Ari adalah bahasa isyarat. Hal ini berawal dari peristiwa yang pernah terjadi di kelasnya. Salah seorang muridnya kebetulan kurang dalam hal pendengaran sehingga sulit untuk berkomunikasi. Anak ini gemar menjiplak dan menggunting kertas berbentuk tangannya. Ari sering mendapat “hadiah kecil” berupa potongan kertas berbentuk tangan di atas meja-nya. Anehnya, bentuknya tidak utuh, hanya menunjukkan 3 jari saja, yaitu jempol, telunjuk dan kelingking. Kendati tidak mengerti maksudnya, Ari menerima dan menghargai pemberiannya dengan tulus.

Pada suatu kesempatan penerimaan rapor, Ari menceriterakan kejadian itu kepada orang tua sang anak. Mereka kemudian menjelaskan artinya. Ternyata potongan kertas 3 jari itu mengandung arti: I LOVE YOU (I: kelingking; L: telunjuk dan jempol; Y: jempol dan kelingking). Ari terharu sekali mendengar penjelasan itu. Sejak menerima pesan cinta itulah Ari terdorong mempelajari bahasa isyarat. Sebagai pelengkap, Ari juga menerjemahkan lagu rohani anak-anak ke dalam bahasa isyarat ini. Kerinduannya adalah anak-anak dapat menyanyi dan memuji Tuhan sambil menggerakkan tangannya, dengan demikian mereka pun lebih memaknai setiap kata dari lagu tersebut.

Susanna Ari Herdi Wibowo bersyukur bahwa suami, anak, orang tua serta kakak-kakaknya mendukung penuh apa yang ia lakukan. Dukungan itu ia rasakan juga dari para pastor serta sahabat-sahabatnya. “Tanpa dukungan mereka dan tanpa campur tangan Tuhan, tak mungkin saya mampu melakukan itu semua!”, ujar Ari dengan sungguh-sungguh. (Foto Atas: Ari bersama keluarga. Bawah: Ari saat mengajar di Tanah Gocap).
Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 28 Agustus 2011)

5 comments:

Anonymous said...

Sumber dari karya nyata ini adalah cinta. Tak aneh, jika cinta itu berbalik arah ke asalnya.Teruskan dan selamat ya.

Lucas Nasution said...

sebuah kebahagiaan jika apa yang kita sukai bisa memberikan manfaat bagi orang lain -

isnar@unpar.or.id said...

salut buat mbak Ari.
suatu saat nanti pengen mengundang Mbak Ari ke parokiku untuk pembekalan para pendamping dan guru sekolah minggu.

Terima kasih Romo Heri....

mita lais said...

Mengagumkan sekali, dgn ketulusan hati Ibu Ari bersedia membantu anak-anak terutama yg kurang beruntung,bukanlah tanpa halangan, walaupun demikian tidaklah menyurutkan niat tulusnya utk membantu. Smoga apa yg dilakukan ini tetap dpt terus Ibu Ari lanjutkan dan smoga cerita ini dpt menginspirasi kita ut mau menolong sesama yg kekurangan. Good Luck, Ibu Ari..

Anonymous said...

Bagus Romo tulisannya...I LOVE YOU, BU GURU!...semoga tulisan pelayanan Ibu Ari ini boleh menyemangati pelayanan umat khususnya di Paroki St Helena ini... (Andi Janto Singgih)