CUCI KAKI DAN MARAKNYA DEMO BBM
Sebelum rapat paripurna DPR (31/3) berita-berita soal demo anti kenaikan harga BBM banyak mendominasi pemberitaan di Media Massa. Tidak sedikit orang yang menjadi korban dan terluka akibat aksi yang disana-sini menjadi anarkis.
Menarik menyimak berita dibalik demo anti kenaikan BBM ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana diberitakan banyak Media, mengeluh bahwa isyu BBM telah dipolitisasi. Pernyataan Presiden wajar, karena di masyarakat isyu kenaikan harga BBM memang berkembang menjadi isyu politik. Seorang pembicara, dalam suatu acara di salah satu Stasiun Televisi Nasional dengan gamblang menyebut bahwa partai tertentu memanfaatkan isyu BBM demi kepentingan mereka. Pembicara lainnya mengatakan bahwa bantuan untuk orang miskin yang direncanakan pemerintah, sebetulnya rekayasa penguasa untuk menarik hati rakyat. Singkatnya, pembicaraan seputar kenaikan BBM pada akhirnya bermuara pada pemilu 2014. Dari pembicaraan tersebut, orang mendapat kesan gamblang, bahwa untuk memenangkan pemilu, memperebutkan kekuasaan, banyak pihak mau menghalalkan segala cara.
Senandung Orang Tua
Banyak orangtua, khususnya para ibu, biasa bersenandung saat meninabobokan anaknya. Tak jarang senandung tersebut berisi suatu doa atau harapan. Harapan agar kelak sang anak menjadi orang yang sukses, kaya raya dan berkuasa. Harapan seperti ini adalah wajar. Bukankah kita menyaksikan dalam kehidupan sehari-hari bahwa orang yang kaya dan berkuasa itu menyenangkan, dihormati dan menikmati pelbagai kemudahan? Lantas apa yang salah dengan keinginan atau harapan menjadi penguasa dan kaya raya? Tidak ada yang salah, hanya saja keinginan itu sering dapat membutakan mata dan hati manusia.
Sejarah mencatat banyak orang yang demi merebut atau mempertahankan kekuasaan, bisa berbuat apa saja. Raja Herodes, misalnya, tega membunuh ratusan bayi di bawah usia 2 tahun gara-gara ketakutan akan muncul Raja lain yang sudah diramalkan kelahirannya (Injil Matius 2: 16). Ketakutan akan kehilangan kekuasaan membuat Raja Herodes menjadi gelap mata. Ia tidak peduli ratusan bayi tak berdosa mati sia-sia. Yang penting kedudukannya, posisinya, kekuasaannya tidak terusik. Hal yang sama terjadi pada Muammar Khadafi di Lybia. Khadafi demi mempertahankan kekuasaannya, mau berbuat apa saja termasuk menghabisi lawan-lawan politiknya. Membunuh baginya menjadi seolah-olah hal yang biasa. Rakyat yang sudah lelah dan marah akhirnya menurunkan paksa Khadafi secara tragis. Melihat contoh-contoh tersebut tak heran bahwa orang kerap mengidentikkan kekuasaan dengan kesewenang-wenangan bahkan kelaliman.
Kerinduan Kita Semua
Orang Kristiani menyebut hari Kamis menjelang kematian Yesus, dengan sebutan Maundy Thursday, Holy Thursday, atau Kamis Putih. Pada hari ini umat menyaksikan suatu ritual yang tergolong aneh. Imam yang biasanya berdiri memimpin upacara, turun dari altar, membuka jubah kebesarannya dan mulai membasuh 12 pasang kaki perwakilan jemaat. Yang dilakukan imam ini sebenarnya sekedar mengulang apa yang pernah dilakukan Yesus terhadap kedua belas muridNya. Waktu itu, dalam acara jamuan makan menjelang hari Raya Paskah, tiba-tiba Yesus berdiri dan mulai mencuci kaki murid-muridNya satu per satu. Para murid, kecuali Petrus, terdiam karena kaget. Saking kagetnya, mereka membiarkan Yesus yang mereka hormati mencuci dan membersihkan kaki mereka yang kotor. Pekerjaan tersebut, menurut adat Yahudi biasanya dilakukan oleh seorang budak terhadap tamu yang memasuki rumah. Kali ini Yesus sendiri yang mencuci kaki mereka. Petrus memang sempat protes dan menolak namun akhirnya mau juga dicuci kakinya.
Selesai mencuci kaki, Yesus berkata: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kaki. Aku telah memberi teladan supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Injil Yohanes 13: 13-15). Tindakan Yesus mencuci kaki para murid adalah simbolis. Dalam kesempatan lain secara eksplisit, Yesus pernah juga mengatakan: “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu!” (Injil Matius 20: 26). Hal ini dikatakan Yesus ketika Ia melihat dua muridnya berebut posisi penting sebagai muridNya.
Apa yang dilakukan Yesus, meski tidak lazim, sebenarnya dirindukan banyak orang, hingga kini. Seorang pemimpin mustinya mau melayani dan bekerja keras demi kebaikan yang dipimpinnya.
Mengapa Joko Wi, walikota Solo populer? Karena ia mau dan tanpa canggung, memperjuangkan nasib orang-orang yang dipimpinnya. Ia rela memilih mobil Esemka yang sederhana daripada mobil mewah yang dengan mudah dapat ia peroleh. Alasannya jelas, Joko Wi berpihak pada usaha mandiri rakyatnya. Mengapa tindakan Dahlan Iskan yang turun dari mobil dan membuka palang pintu Tol banyak dipuji dan diberitakan Media Massa? Alasannya sama. Orang menghargai dan mengharapkan pemimpin yang mau melayani, mau bersusah-susah demi orang yang dilayaninya. Bukankah sebagai menteri, pak Dahlan sebenarnya bisa minta dikawal polisi, lancar, nyaman. Beres.
Terlalu sering kita menyaksikan ulah para pemimpin yang hanya mementingkan diri sendiri, memperkaya diri dan sekaligus menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Orang merindukan pemimpin yang sungguh mau melayani. Joko Wi dan Dahlan Iskan telah sedikit memenuhi kerinduan rakyat.
Hari ini, Kamis Putih, kita diingatkan kembali akan ajaran dan teladan Yesus tentang sosok seorang pemimpin sejati. Rasanya tidaklah lengkap bila kita tidak mengetahui konsekuensi dari ajaran radikal tersebut. Pemimpin yang mau total melayani bukanlah pemimpin yang populer. Sebaliknya, ada banyak 'pemimpin' lain yang justru berang dan terganggu oleh sosok pimpinan ini. Para pemimpin jahat ini pada akhirnya mencari upaya untuk menyingkirkan sang pemimpin sejati. Karena kedengkian merekalah akhirnya Yesus harus menderita dan mati di kayu salib. Kematiannya kita kenang pada hari Jumat besok. Umat Kristiani menyebutnya sebagai Jumat Agung. Yesus yang mengajarkan pelayanan sebagai seorang pemimpin rela menerima konsekuensinya, mati di kayu salib.
Nampaknya setiap orang yang merayakan Hari Raya Kamis Putih, harus siap juga merayakan Jumat Agung. Dua hal yang tak terpisahkan satu sama lain.(Foto: Pembasuhan kaki, oleh Jo Hanafi. foto demo anonim).
Heri Kartono, OSC (Dimuat di Koran Jakarta edisi Kamis, 5 April 2012)