Wednesday, July 2, 2008

DEUS CARITAS EST


CARA BARU MEMANDANG PERSOALAN DUNIA

Tonggak terpenting masa setahun kepemimpinan Paus Benediktus XVI adalah dikeluarkannya Ensiklik, “Deus Caritas Est”. Sampai sekarang, Ensiklik setebal 70 halaman ini masih terus diperbincangkan baik dalam bentuk diskusi, konperensi maupun ceramah. Penerbit dan percetakan Paoline, Roma, belum lama ini  menyelenggarakan seminar umum tentang Ensiklik tsb. Pembicara dalam seminar ini adalah Mgr.Angelo Comastri, Vicar Vatican City didampingi Liliana Cavani, seorang Sutradara Film Italia ternama.

Di Luar Dugaan Pengamat.

Ensiklik adalah suatu bentuk paling penting dari tulisan seorang Paus. Deus Caritas Est  (Allah adalah Kasih, dikutip dari 1 Yoh.4: 8) tidak sekedar menunjukkan dengan jelas arah kepemimpinan Paus Benediktus XVI tapi sekaligus merupakan “program” Gereja Katolik di era millennium ketiga.

Banyak pengamat merasa terkejut atas dikeluarkannya Ensiklik yang diterbitkan dalam 8 bahasa ini. Semula mereka menduga, Paus “Joseph Ratzinger” akan mengeluarkan suatu Ensiklik yang berkaitan dengan penginjilan baru khususnya untuk situasi Eropa yang makin tidak ber-Tuhan. Mereka menduga, Paus ini akan menyerang kelompok homoseksualitas atau kelompok pro aborsi atau sekularisme. Ternyata tidak. “Lewat Ensiklik ini, Paus mengajak umat kembali kepada sumber”, papar Mgr. A.Comastri. Ensiklik yang terdiri atas 42 alinea ini di luar dugaan banyak orang, karena Paus justru berbicara tentang cinta.

Liliana Cavani, memberi komentar tentang hal ini: “Berbicara tentang cinta adalah biasa bagi kaum kristiani, termasuk Paus. Santo Fransiskus dan banyak orang suci lain juga berbicara tentang hal yang sama. Namun tema cinta yang ditulis dalam Ensiklik ini tetap terasa istimewa, sarat dengan nuansa biblis dan filosofis. Kekuatan Ensiklik ini, Paus menuliskannya dalam bahasa yang sederhana, mudah dimengerti, jelas dan…membumi!”, papar Sutradara Film The Night Porter ini bersemangat. Sejalan dengan pendapatnya, harian Herald Tribune juga memuji Paus yang berbicara bukan tentang cinta yang abstrak melainkan konkrit, bahkan soal cinta badani (carnal love) antara wanita dengan laki-laki (30/01/06).

Deus Caritas Est (dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 2006) sungguh menyapa kita manusia, yang bergumul dengan persoalan hidup, dengan eros dan dengan pencarian kebahagiaan serta keadilan. Paus menyapa kita bukan untuk menghakimi atau memandang dengan mata seperti kaum Parisi namun menghargai manusia dengan kelembutan. Dokumen ini menjelaskan bahwa pada dasarnya eros (cinta erotik) dan agape (cinta spiritual) keduanya  adalah baik. Meski demikian, eros mengandung resiko direndahkan hingga menjadi seks saja bila tidak diimbangi unsur spiritual. Paus mengutip Nietzsche yang menuduh bahwa Gereja telah “meracuni” eros (3). Justru eros pada jaman sekarang telah teracuni karena telah direduksi sebagai seks murni dan telah menjadi komoditi, barang yang diperjual-belikan. Padahal, eros yang sejati justru diarahkan untuk memurnikan dan mematangkan manusia.

Tentang caritas (kasih), dokumen menerangkan bahwa kasih bersifat universal dan terwujud dalam bentuk yang konkrit. Sifat universal dari kasih dalam pelbagai bentuk konkrit yang kita temukan dalam perjalanan sejarah, diperlukan untuk menampilkan gambaran Allah dan manusia. Hal ini penting untuk menghindarkan manusia jatuh dalam godaan fanatisme bahkan terorisme.  Tentang hal ini seorang pengamat, Alexander Smoltczyk (Roma) memberi komentar: “Pada jaman dimana nama Allah sering dikaitkan dengan kekerasan, teror dan kebencian, pesan Ensiklik terasa amat penting dan tepat waktu”, tulisnya dalam Spiegel Online (25/01/06).

Deus Caritas: Menjadikan Elemen Kasih Membumi.

Paus terdahulu, Yohanes Paulus II mengajak umat kristiani untuk mengupayakan “kreativitas di dalam kasih” terutama dalam mengatasi pelbagai masalah dan solidaritas (Novo Millennio Ineunte). Paus Benediktus XVI mengukuhkan tugas tersebut dan mengajak Gereja untuk memegang teguh pelayanan kasih sebagai bagian iman yang amat mendasar. Paus mengajak para uskup yang sering tergoda hanya menjadi petugas ‘administrator’ di keuskupannya untuk menempatkan soal pelayanan kasih sama penting dengan tugas lain. Paus juga mengajak kaum awam yang sering terperangkap melakukan aktivitas hanya berdasar efisiensi namun dengan resiko jatuh pada solidaritas tanpa identitas.

Mgr. Angelo Comastri, dalam ceramahnya menyinggung teladan Ibu Teresa dari Calcuta sebagai contoh nyata dari pesan Ensiklik. Penyebutan nama Bunda Teresa (sampai 4 kali dalam Ensiklik!) membuat elemen kasih sungguh ‘membumi’. Bunda Teresa, teladan perwujudan caritas, berhasil menggerakan pelbagai organisasi internasional. Dengan kasihnya, ia dapat bertemu dan bekerja sama dengan kaum Muslim, Hindu bahkan dengan kaum Ateis tanpa banyak kesulitan. Semuanya ia lakukan atas dasar ‘kasih Jesus” yang selalu ia  minta dalam doanya.

Dalam Ensiklik ini Paus menolak kritik Marxisme yang menuduh tindakan pelayanan gereja sebagai penghambat pembangunan dunia yang lebih baik karena melanggengkan status quo (26). Menurut Paus, Marxisme adalah pandangan filsafat tak manusiawi karena demi perubahan struktural jangka panjang ia mengorbankan manusia konkrit yang menderita saat ini. Justru tindakan kasih, yaitu pelayan konkret dan langsung (seperti tindakan orang Samaria yang baik hati), mengarah pada pembangunan dunia yang lebih baik dan manusiawi.

Selain itu, Paus juga menekankan bahwa tugas untuk menciptakan masyarakat yang adil pertama-tama merupakan tugas negara, bukan Gereja. “Sebagai tugas politik, hal tersebut tidak bisa menjadi tanggung-jawab langsung Gereja”, paparnya. Gereja tidak mempunyai peranan langsung dalam kehidupan politik. Kendati demikian, gereja ingin dilibatkan dalam kehidupan politik dengan membantu membentuk kesadaran dalam kehidupan berpolitik serta mendorong terwujudnya keadilan yang otentik (26.28.29).

Memiliki Kekuatan Inspiratif.

Dr.Leo Kleden SVD ketika ditanya pendapatnya tentang Ensiklik baru ini menjawab: “Sebenarnya, gagasan dasar tentang kasih dalam Ensiklik ini sudah nampak dalam karya Ratzinger jauh sebelum ia menjadi Paus, misalnya dalam bukunya Introduction to Christianity”, papar doctor Filsafat ini mengutip ucapan murid-murid Ratzinger. Leo juga melihat bahwa Ensiklik ini mempunyai kekuatan inspiratif yang luar biasa.

Sementara itu, Anton Bunyamin, dosen Filsafat Unpar, melihat adanya suatu pergeseran cara pandang Gereja Katolik lewat Ensiklik ini. “Kecenderungan agama pada umumnya adalah mengklaim dirinya sebagai institusi paling berhak dan paling mampu untuk membangun dan menyelamatkan dunia. Demikianpun kecenderungan yang sama dialami Gereja (Katolik). Dalam ensiklik ini Paus menyatakan dengan rendah hati bahwa Gereja bukanlah satu-satunya institusi yang dapat membangun dunia lebih baik (35)”, papar mahasiswa pasca sarjana ini. Lebih lanjut Anton menambahkan: “Ensiklik ini juga menarik karena dengan tegas menyatakan bahwa caritas/kasih itu harus bebas; tidak boleh digunakan untuk tujuan lain, termasuk sebagai alat kristinisasi (31c)”, imbuh Anton.

Lewat Ensiklik ini Paus Benediktus berhasil melihat masalah-masalah di dalam Gereja secara rasional, realistik dan dengan pandangan yang jernih. Persoalan-persoalan dunia dipandang secara baru lewat Deus Caritas, Ensiklik pertama Paus Benediktus. Tak heran bahwa para pengamat menyebut Benediktus XVI sebagai “Paus yang berpikiran terang”.

Heri Kartono.OSC (Roma, Maret 2006).

 

 

3 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Seperti tertulis,Ensiklik ini membawa angin segar yg positif.

Julukan'Paus yg berpikiran terang' rasanya pas deh.

Terima kasih Romo sudah menulis dgn jelas dan informatif

Heri Kartono said...

Trims. Tulisan ini pernah saya kirim ke Suara Pembaruan (untuk pertama kalinya) tapi ditolak. Dianggap kelewat intern hehehe...
Thanks ya.
HK.

Lucas Nasution said...

Dalam ensiklik ini Paus menyatakan dengan rendah hati bahwa Gereja bukanlah satu-satunya institusi yang dapat membangun dunia lebih baik

terima kasih edukasinya - akan saya ingat baik-2 dan kutip dimana perlu