Saturday, November 8, 2008

Dialog Islam-Katolik di Vatikan


MEMBANGUN MASA DEPAN BERSAMA

“Menarik sekali! Tidak seperti dialog-dialog yang pernah saya ikuti selama ini. Dialog kali ini tidak basa-basi bahkan masuk wilayah teologi”, ujar Prof. Dr. HM.Din Syamsuddin tentang dialog para tokoh Islam dan Katolik dunia yang diadakan di Vatikan (4-6 Nopember 2008).

Pertemuan para tokoh Islam dan Katolik dunia ini merupakan yang pertama kalinya terjadi. Kardinal Jean-Louis Tauran, tuan rumah, sekaligus presiden Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama (Pontifical Council for Interreligious Dialog, PCID) menyatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan ‘sebuah lembaran baru dari perjalanan panjang sejarah kedua agama’. Kardinal Tauran juga bertindak sebagai ketua delegasi Katolik yang terdiri atas 29 orang. Pastor Markus Solo SVD dari Indonesia, merupakan salah satu di antaranya. Delegasi Islam, yang juga terdiri atas 29 tokoh dunia, dipimpin oleh Grand Mufti Mustafa Cerik dari Bosnia Herzegovina.

Bersatu Mengatasi Perselisihan

Kegiatan dialog ini merupakan langkah konkrit pertama yang dijajaki Vatikan atas inisiatif Paus Benediktus XVI. Inisiatif tersebut muncul setelah Paus menerima Surat Terbuka (Open Letter) yang ditanda-tangani oleh 138 Cendekiawan Muslim dari berbagai negara, setahun setelah Pidato Paus di Regensburg, Jerman. Surat terbuka para tokoh Islam dunia ini ditujukan kepada Paus dan sejumlah tokoh Kristen dunia, untuk memecahkan kebekuan serta untuk memulai suatu dialog yang serius.

Pidato Paus di Regensburg (12/09/2006) yang memancing pelbagai reaksi keras di kalangan umat Islam saat itu, menurut Prof. Din Syamsuddin merupakan blessing in disguise atau berkat terselubung. “Karena pidato itulah maka terjadi forum ini”, jelas ketua umum PP Muhammadiyah ini.

Forum Katolik-Islam ini mengambil tema umum: Love of God, Love of Neighbor (Cinta pada Allah, Cinta pada sesama). Pembicaraan serta diskusi dua kelompok agama besar ini terfokus pada dua topik besar, yaitu: Dasar Teologis dan Spiritual serta Martabat Manusia dan Saling Menghargai. Dalam pertemuan tiga hari tersebut mencuat pelbagai perbedaan namun juga persamaan dari kedua agama. Pertemuan yang menggunakan bahasa resmi Inggris, Perancis dan Arab ini berlangsung dengan baik. “Beda pendapat disampaikan secara santun dan mendalam. Maklum peserta forum ini adalah orang-orang amat terpelajar”, papar Din Syamsuddin saat ditemui di KBRI Vatikan pada acara jamuan makan malam (05/11/08).

Paus Benediktus XVI saat menerima peserta dialog (06/11/08), menyatakan bahwa surat terbuka dari tokoh-tokoh Islam dunia telah membangkitkan inisiatif untuk bertemu dan berdialog. Tujuannya adalah untuk saling mengenal serta menghargai secara lebih mendalam. Menyinggung tentang tema dialog, Paus mengatakan: “Panggilan serta missi kita adalah membagikan kepada sesama secara bebas, kasih Allah yang telah kita terima secara berlimpah”, ujarnya. Paus juga menyinggung bahwa pengikut kedua agama ini memiliki kesamaan yaitu kebutuhan besar untuk menyembah Allah secara total serta mencintai sesama, khususnya mereka yang malang dan membutuhkan.

Pada bagian akhir pidatonya, Paus menyampaikan harapannya: “Didorong suatu niat yang baik, marilah kita upayakan mengatasi segala salah pengertian serta perselisihan. Marilah kita atasi praduga buruk di masa lalu serta memperbaiki gambaran salah tentang pihak lain yang bahkan dewasa ini dapat menciptakan kesulitan hubungan kita. Mari kita bekerja sama mendidik semua orang, khususnya kaum muda, untuk membangun sebuah masa depan bersama”, ujar Paus.

Memerangi Kekerasan dan Terorisme

Para tokoh Katolik dan Islam sepakat untuk memerangi kekerasan dan terorisme, khususnya kekerasan yang dilakukan atas nama Tuhan.

Pada akhir dari tiga hari pertemuan, dikeluarkan 15 butir kesepakatan bersama para tokoh kedua agama. “Kami menyatakan bahwa Katolik dan Islam dipanggil untuk menjadi alat cinta dan kerukunan bagi umat beriman dan bagi kemanusiaan pada umumnya. Kami menolak segala penindasan, kekerasan serta teror, secara khusus yang dilakukan atas nama agama. Kami juga sepakat untuk menegakkan prinsip keadilan bagi semua orang”, begitu salah satu butir kesepakatan bersama.

Diserukan juga perlunya menghargai minoritas agama. Ditambahkan bahwa mereka yang minoritas berhak untuk memiliki tempat sendiri untuk beribadat. Tokoh-tokoh pendiri agama serta simbol-simbol suci hendaknya jangan dijadikan objek cemoohan dalam bentuk apapun. Menurut Din Syamsudin, nasib agama minoritas, dimanapun kerap mengalami kesulitan. Di beberapa tempat di Eropa, seperti di Jerman, orang Islam sering kesulitan mendapat ijin membangun mesjid. Sebaliknya, pihak Vatikan sudah lama menyerukan soal kebebasan beragama bagi minoritas Katolik seperti misalnya di Arab Saudi.

Himbauan untuk tidak menjadikan tokoh agama sebagai bahan cemoohan, nampaknya mengacu pada peristiwa yang terjadi pada tahun 2006. Saat itu sebuah surat kabar di Denmark, memuat sebuah kartun nabi Muhammad yang sempat  menimbulkan protes keras dunia Islam dimana-mana.

Kesepakatan lain yang cukup penting adalah diupayakannya membentuk suatu komite bersama Katolik-Islam guna menanggulangi konflik serta situasi darurat yang muncul. Pertemuan para tokoh dunia Katolik-Islam berikutnya, disepakati diadakan sekitar dua tahun mendatang di negara yang mayoritas beragama Islam.

Grand Mufti Mustafa Cerik yang dahulu sempat shock atas pidato Paus Benediktus XVI di Regensburg, Jerman, kepada wartawan mengaku puas atas pertemuan tiga hari di Vatikan ini. Sebagaimana dikutip Catholic News Service, Cerik mengatakan bahwa dirinya bahagia untuk kembali ke Sarajevo dan merasa optimis akan masa depan (CNS, 07/11/08).

Prof.  Dr. HM. Din Syamsuddin menilai pertemuan para tokoh dunia Islam dan Katolik ini penting artinya, juga bagi Indonesia. Din menyatakan sudah waktunya pola dialog di Indonesia untuk berubah. “Perlu keterbukaan serta ketulusan untuk memecahkan masalah bersama. Kalau perlu, masing-masing memberi daftar kesulitan dan kita pecahkan bersama satu demi satu”, ujar Din. Lebih lanjut, Din berkata dengan nada seloroh: “Jangan pakai gaya Jawa, senyum-senyum sambil membawa keris di pinggang. Kita perlu pakai gaya sebrang, blak-blakan mengungkapkan masalah kita dan mencari pemecahannya bersama”, papar Din sambil tertawa lebar.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 23/11 2008, dikombinasikan dengan laporan Dr. Markus Solo SVD).

 

5 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Sangat disayangkan:satu hal sensitif sengaja tak dikupas,yakni
perbedaan antar 2 agama tsb(hanya disinggung saja,melupakan hal lampau yg terjadi)Padahal jika ini adalah dialog terbuka,tak ada salahnya jika kita belajar dari perbedaan tsb.Ini yg ku tunggu2.

Akhir kata,lagian aku kan orang 'sebrang' yg tak pakai keris di pinggang.he he he...

Heri Kartono said...

Tentu saja dalam dialognya sendiri dibicarakan terbuka. Untuk orang-orang terpelajar dan siap berdialog, nampaknya itu mungkin dan baik. Hanya, belum tentu semua orang siap untuk membaca/menerimanya. Jadi aja hanya disinggung sedikit.
Thanks atas komentar kritisnya. Nampaknya anda sudah jauh lebih maju dari kebanyakan orang!
Salam,
HK.

Anonymous said...

Pastor, salam kenal saya Atiek dr Paroki St Laurentius Bdg.. apakah kami boleh memuat artikel ini (diedit krn kepanjangan) utk buletin Paroki Summa... Tks sebelumnya.
atiek_saia@yahoo.com

Heri Kartono said...

Hallo Atiek,
Tulisan ini dimuat di majalah HIDUP, dikombinasikan dengan tulisan lain. Jadi yang dimuat memang tidak persis seperti ini. Kalau anda mau mengeditnya lagi untuk buletin paroki, silahkan. Saya rasa tidak menyalahi aturan; lagi pula buletin tsb untuk kalangan terbatas.
Salam,
Heri Kartono.

Anonymous said...

minta ijin share link artikel ini di facebook saya. terimakasih.
Aryanto W.S.