Sunday, May 24, 2009

Astuti Sastra Pratiwi


MEMBERI WARNA BARU

Astuti Sastra Pratiwi mempunyai kesan khusus dengan acara Festa dei Popoli. Waktu itu, selesai menari poco-poco, Pembawa Acara meminta Astuti untuk tampil sekali lagi di panggung. Kali ini ia diminta tampil sendirian, mewakili grup Indonesia untuk menerima penghargaan dari panitia. Pembawa Acara mengatakan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya kelompok yang anggotanya tidak hanya beragama Katolik, tapi juga Protestan, bahkan Islam. Penampilan grup Indonesia dianggap memberi warna khusus pada Festa dei Popoli, (17/05/09). Pesta Rakyat yang diadakan di depan Basilika St.Yohanes Lateran, Roma, ini diikuti oleh kelompok-kelompok Imigran Manca Negara. Acara ini ditonton sekitar 10 ribu orang dan diliput televisi nasional Italia, RAI Tre.

Astuti mengaku, pada awalnya merasa was-was ikut tampil dalam acara orang Katolik ini. Ia sadar, bahwa dialah satu-satunya penari yang tampil mengenakan jilbab. Namun, sesudah melihat sambutan yang begitu hangat, ia merasa senang dan bersyukur. Saat menari, Astuti kelihatan amat luwes dan tidak canggung. Rupanya, ia memang seorang guru tari. “Waktu saya tinggal di Yordania, saya malah sempat mengajar tari poco-poco”, ujarnya.

Gadis ramping kelahiran Buton, Sulawesi Tenggara (25/12/87) ini menguasai pelbagai jenis tarian. Tarian favoritnya adalah Tari Lenggang Nyai dari Betawi dan Tari Saman dari Aceh. Ia pernah tinggal di Bombay, India selama 4 tahun dan sempat juga tinggal di Yordania. Saat ini ia tinggal di Roma bersama ayah-ibunya. Ayahnya, Musurifun Lajawa adalah seorang diplomat yang kerap berpindah-pindah tempat. Kini, ayah Astuti bertugas sebagai Kepala Penerangan KBRI untuk Italia sejak September tahun lalu.

Astuti mengaku senang tinggal di Roma. Ia juga merasa tidak canggung mengenakan jilbab di negara yang mayoritas beragama Katolik ini. “Orang di sini umumnya ramah dan bersahabat. Sekurangnya, mereka tidak pernah mengganggu saya. Sebaliknya, mereka amat menghargai saya, seperti pada acara Festa dei Popoli itu”, papar Astuti dengan nada gembira.

Heri Kartono OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi 21 Juni 2009).

3 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Tulisan yg punya nilai dan pesan toleransi antar agama dalam keseharian hidup berdampingan.

Gadis manis nan menarik pula.

Lucas Nasution said...

[quote] Pembawa Acara mengatakan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya kelompok yang anggotanya tidak hanya beragama Katolik, tapi juga Protestan, bahkan Islam [unquote]

Pater, ini festival rakyat atau festival agama ? diBalikpapan kami kerap bikin pagelaran Paska/Natal dengan iringan gamelan - mayoritas pemain gamelan ya muslim - nanging mboten nopo-nopo, lha wong mek gamelan kok :P

triastuti said...

Senangnya kalau hidup sosial masyarakat bisa seperti yang di Balikpapan itu ya pak Lucas...bisa memisahkan aspek kehidupan agama dengan aspek kehidupan sosial masyarakat lainnya seperti kesenian, politik, pendidikan, dll. Tidak dicampuraduk-kan spt yang sering dilakukan kaum agamis radikal di tanah air. Makanya mengangkat fakta bhw tim Indonesia di Festa dei Popoli terdiri dari berbagai agama dan tidak hanya satu, sangat relevan dengan pesan perdamaian dan persatuan bagi bangsa Indonesia sendiri. Apalagi Festa dei Popoli ini dipersembahkan untuk kalangan pendatang yg juga majemuk latar belakang budaya dan agamanya. Maka membicarakan mengenai perbedaan yang bisa tetap kompak menyajikan pesan persatuan dan perdamaian seperti yg diungkapkan pembawa acara Indonesia ini, menurut saya amat baik. Sekalian menjadi teladan dan inspirasi bagi bangsa-bangsa lain yg hadir dalam festa ini. Trimakasih Romo Heri