Tuesday, November 15, 2011

Ny.M.A.S. Teko


TETAP PRODUKTIF DI USIA SENJA

Usianya sudah 80 tahun, namun wanita sepuh ini masih aktif diminta berceramah keliling Indonesia. Penerima pelbagai penghargaan ini juga masih bermain tenis hingga kini. Ibu Teko yang gemar memakai topi, tetap produktif di usia senja.

Pada tanggal 16 Oktober 2011, Anna Maria Sutirah atau lebih populer disebut Ibu Teko diundang berceramah di Polda Kalimantan Barat, Pontianak. Di tempat ini, wanita bersuara lantang ini memberikan dua kali ceramah, kepada para istri polisi dan kepada para Polwan (Polisi Wanita).

Ibu Teko dikenal sebagai seorang MC (Master of Ceremony) sekaligus pembicara yang handal. Padahal, saat ia masih kecil, ia sulit untuk berbicara alias gagap. Sebagai MC, wanita Jawa kelahiran Purworejo (9 Oktober 1931) ini sempat dipercaya selama 14 tahun memperkenalkan Sundanese Cultural Performances di hotel Panghegar dan Hotel Savoy Homann, dua hotel bergengsi di Bandung. Pada acara tsb, bu Teko bertindak sebagai Host dalam bahasa Inggris dan Belanda. Pengunjung acara ini memang sebagian besar turis. Kemampuan berbahasa Belanda diperoleh bu Teko saat ia duduk di bangku HIS sementara bahasa Inggris ia pelajari secara otodidak.

Kenangan dari Presiden Megawati.

Tahun 2004 Presiden Megawati berkunjung ke Bandung. Salah satu agenda kunjungan tsb adalah pertemuan Presiden dengan seluruh Organisasi Wanita. Untuk acara yang penting ini, ibu Teko mendapat kehormatan menjadi Pembawa Acara. Nampaknya Presiden Megawati terkesan atas penampilan bu Teko. Karenanya, seusai acara, Megawati menghadiahkan jam tangan bergambar dirinya untuk ibu Teko sebagai kenangan.

Dalam banyak kesempatan, bu Teko tampil dengan mengenakan salib besar di dada. Tentang hal ini, pastor Harimanto OSC pernah memberi komentar bernada guyon: “Salib bu Teko lebih besar dari salib Uskup!”. Bu Teko memang tidak pernah menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang Katolik. Meski demikian, karena pembawaannya yang santun dan hormat pada setiap orang, ia diterima di banyak kalangan. Sahabat-sahabatnya tidak sedikit dari kalangan muslim. Beberapa kali bu Teko diundang untuk berbicara di kalangan muslim. Yayasan Uswatun Hasanah bahkan pernah mengundangnya untuk berceramah tentang Public Speaking sebagai sarana da’wah! Bu Teko menyampaikan topik tsb tanpa canggung atau risi sedikitpun.

Tentang pengalamannya berkecimpung di kalangan umat lain, bu Teko mengatakan: “Bila kita membawa kasih dan persahabatan, saya rasa semua orang walaupun berbeda, akan menerima diri kita dengan baik”, ujar ibu dari 7 anak ini.

Surat Ijin Pendirian Gereja

Awal tahun 1980-an, bu Teko bersama beberapa anggota Legio Maria, aktif mengupayakan surat ijin pembangunan gedung Gereja di Buah Batu, Bandung. Pastor paroki memang memberi kepercayaan penuh pada bu Teko. Sebaliknya, banyak aktivis gereja, khususnya para bapak, memandang sinis usaha bu Teko. Mereka tidak percaya bahwa bu Teko mampu melakukan tugas itu. Selama tiga tahun, bu Teko mengupayakan segala sesuatunya dengan baik. Tanpa kenal lelah ia keluar masuk kantor Kota Madya Bandung untuk keperluan tersebut.

Seringnya bu Teko keluar masuk kantor Kodya Bandung, rupanya diperhatikan seorang pegawai di sana. Suatu hari, pegawai yang beragama Protestan ini menghampiri bu Teko. “Bu, sebenarnya surat ijin sudah keluar kok. Kalau ibu mau, saya bisa memfoto-copynya!”, bisik orang tsb. Bu Teko amat terkejut namun tentu saja gembira sekali. Saat pegawai itu sedang membuat copy, bu Teko yang didampingi seorang ibu lain, menyiapkan “uang terima kasih” dibungkus kertas tissue. Sangkanya, pegawai itu tentu mengharapkan imbalan jasa. Dugaan bu Teko meleset. Sang petugas menolak uang pemberian bu Teko. “Saya kasihan melihat ibu tiap hari bolak-balik ke kantor ini”, ujar bapak yang tidak bersedia menyebut identitasnya itu.

Tidak jelas mengapa Surat Ijin Membangun Gereja asli yang telah ditanda-tangani itu tidak kunjung diberikan. Surat tsb ada di tangan Kepala bagian Sospol, seorang tentara berpangkat Mayor. Berbekal fotocopy yang diperolehnya secara diam-diam itu, bu Teko menghadap bapak Raja Inal Siregar yang saat itu menjabat sebagai Wakil Pangdam Siliwangi. Dengan bekal yang sama, bu Teko juga menghadap bapak Sudarsono, Wakil Kapolda Jawa Barat saat itu. Atas bantuan mereka, akhirnya Surat Ijin Membangun Gereja Santa Maria Buah Batu keluar juga. Atas usahanya itu, bu Teko mendapat penghargaan khusus dari uskup Bandung, Mgr. P.M. Arnzt OSC. Perjuangan bu Teko dalam mengupayakan surat sakti tsb, diungkap kembali oleh Pastor Paulus Tri Prasetidjo Pr, (pastor paroki Buah Batu) pada perayaan HUT bu Teko yang ke 80 di aula paroki (09/10).

Berani Menyampaikan Kebenaran

Bu Teko yang aktif dalam pelbagai kegiatan, dikenal dan mengenal hampir semua pastor di Keuskupan Bandung. Maklum, ia juga pernah mengajar para frater di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan. Bu Teko dikenal sebagai figur yang santun, ramah dan hormat pada pimpinan Gereja. Kendati demikian, bu Teko juga dapat menyampaikan kritikan, bahkan kepada Uskup sekalipun!

Sekitar tahun 1985, beberapa tokoh awam merasa resah atas sejumlah komentar yang disampaikan Uskup baru Bandung secara publik. Namun, tidak ada satu orangpun yang berani menyampaikan pada Uskup bahwa komentar-komentarnya meresahkan. Akhirnya bu Teko diminta untuk menyampaikan keresahan itu pada Uskup. Bu Teko menyanggupinya asal didampingi dua orang sebagai saksi. Pada hari yang ditentukan, bu Teko diterima Uskup. Dengan sopan namun lugas, bu Teko menyampaikan keluhan umat atas ucapan-ucapan Uskup yang mereka nilai kurang pas. Bapak Uskup ternyata mau menerima bahkan menghargai keterbukaan bu Teko.

Kecintaan bu Teko pada Gereja membuatnya bersedia melakukan apapun. Kendati ia sudah tertarik pada agama Katolik sejak kecil, bu Teko sebenarnya baru dibaptis pada tahun 1960 ketika ia berusia 29 tahun. Kebahagiannya menjadi lengkap ketika 8 tahun kemudian, suaminya menyusul jejaknya dibaptis juga. “Saya tidak pernah menyuruh atau mendorong suami saya untuk dibaptis. Itu terjadi atas kemauan dan kesadaran suami saya!”, papar ibu dari 12 cucu dan 2 buyut ini.

Pada tanggal 9 Oktober yang lalu, usia bu Teko genap 80 tahun. Pada kesempatan itu, diluncurkan sebuah buku karangannya berjudul Wulan, Jangan Menyerah. Buku yang dicetak penerbit Kanisius ini bertutur tentang orang-orang usia lanjut. “Setiap manusia pasti menua. Namun jangan menyerah”, begitu tertulis dalam Prakata bukunya.

St.Helena, Lippo Karawaci, 18 Oktober 2011 (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 13 November 2011)

1 comment:

Diana Darmawan said...

Ibu Teko memang wanita langka yang hebat...kisah hidupnya sungguh menginspirasi,bagaimana seorang wanita seharusnya bersikap dan berperan di dalam keluarga dan masyarakat,sehingga hidupnya sungguh memberkati begitu banyak orang...Sehat dan bahagia selalu utk I.Teko yg tercinta...