Saturday, February 18, 2012

Teresia Sri Listyati


LUKISAN FAVORIT

Ketika Gereja St.Helena Curug mulai dirancang, terlintas dalam pikiran Teresia Sri Listyati untuk mempersembahkan lukisan Jalan Salib. Wanda Basuki, salah satu arsitek Gereja, menyambut baik keinginan Teresia. Maka jadilah karya lukis Jalan Salib yang menjadi kebanggaan umat paroki.

Teresia yang hobi melukis sejak masa sekolah memang ingin mempersembahkan sesuatu yang berharga untuk Gerejanya. Keinginannya ini mendapat dukungan sepenuhnya dari Markus Parmadi, suami tercinta yang saat itu menjabat sebagai Presdir Lippobank. Bapak Karman, salah satu guru lukis Teresia, juga memberikan dukungan penuh. Pak Karman jugalah yang banyak memberi saran, arahan dan kritikan dalam proses penyelesaian lukisan. Karena pembangunan Gereja berlangsung cukup lama, Trees, sapaan akrab Teresia, memiliki waktu cukup untuk menyelesaikan lukisannya dengan tenang. Lukisan Jalan Salib yang berukuran 80 x 80 cm tsb ia garap dengan menggunakan Cat Minyak.

Sungguh tak terlukiskan perasaan saya boleh membuat gambar Jalan Salib. Ada rasa bahagia, senang dan bangga mendapat kesempatan ini namun juga perasaan takut dan was-was. Semua perasaan itu bercampur aduk. Yang pasti, saya lakukan semuanya dengan sepenuh hati dan bersemangat!”, ujar anak ketiga dari tujuh bersaudara ini.

Bukan Sekedar Kegiatan Seni

Entah berapa lukisan yang pernah dibuat Trees. Wanita Jawa kelahiran Ambon (14/05/54) ini mengaku tak pernah menghitung lukisan karyanya. “Kurang-lebih sekitar seratus lukisan!”, jelasnya. Kendati telah banyak melukis, Trees mengaku bahwa membuat lukisan Jalan Salib itu beda. “Pada waktu akan mulai melukis Jalan Salib ini, saya berdoa dan mohon kepada Tuhan agar apa yang saya lukis akan baik dan berkenan kepada Tuhan. Saya juga mohon agar lukisan Jalan Salib ini dapat makin membawa kekhusukan bagi umat”, papar ibu tiga anak ini. Baginya, melukis Jalan Salib bukanlah sekedar kegiatan seni semata melainkan ekspresi imannya.

Teresia bersyukur bahwa ia dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang sungguh beriman Katolik. Ibunya, Robertine Sudarinah (alm) dahulu sekolah di Mendut, sedangkan ayahnya, Mayjen Drs. Johanes Ratna Atmadja (alm) sekolah di Van lith Muntilan. Trees yang melewatkan masa remajanya di Jakarta, dididik di lingkungan Sekolah Katolik sejak SD hingga SMA, yaitu di Sekolah Tarakanita Kebayoran. Latar belakang keluarga dan sekolah itu pada gilirannya menumbuhkan kecintaan serta iman Katolik yang kuat pada diri Trees.

Kecintaan Trees pada Gereja ia tunjukan dengan pelbagai cara. Ia pernah menjadi ketua lingkungan selama dua periode, kerap membantu merangkai bunga di Gereja dan bergabung dengan paduan suara ibu-ibu di lingkungannya. Lukisan Jalan Salib yang ia garap tentu saja merupakan salah satu bukti nyata kecintaannya pada Gereja.

Trees memang gemar melukis. Kegemarannya itu dimulai saat Trees masih sekolah. “Saat di SMP saya suka menggambar dengan cat air. Sejak itu timbul niat saya untuk memdalaminya”, kenang wanita yang ramah ini. Selain dibimbing bapak Karman, Trees pernah juga berguru pada Ibu Ruliati. Lewat ibu Ruliati, Trees mendapat banyak pelajaran teknik-teknik melukis, sketsa dan melukis dengan bermacam media. Ia juga mulai nyaman melukis dengan cat minyak. Umumnya Trees membuat lukisan di rumahnya, sendirian. Kendati demikian, ia juga amat menikmati melukis bareng teman-teman. “Kami kerap melukis bersama di rumah Ibu Yvonne di Permata Hijau”, tutur Trees dengan nada riang.

Lukisan Trees amat beragam: ada lukisan Bunga, Pemandangan di Bali, Penjual Ikan Bakar, Mbok Jamu, Hiruk-pikuk Pasar dan banyak lagi. “Saya menyukai hampir semua lukisan saya. Meski demikian, Jalan Salib merupakan lukisan favorit saya karena paling bersinggungan dengan keimanan saya”, ujar Sarjana Ekonomi lulusan Trisakti ini.

Tidak Neko-neko

Ayah Teresia adalah seorang polisi dengan pangkat tinggi. Meski ayah mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat, namun Trees bersaudara dididik hidup sederhana, dan tidak neko-neko. Saat kuliah di Trisakti, misalnya, Trees tidak ingin menggantungkan sepenuhnya pada pemberian orang tuanya. Karena itu, disela-sela kesibukan kuliah, ia menyempatkan diri mengikuti kursus menjahit. Dengan ketrampilannya itu, Trees tidak saja mampu membuat pakaiannya sendiri, tapi juga pakaian teman-teman yang meminta jasanya. “Lumayan, saya jadi punya uang saku sendiri!”, ujar Trees bangga.

Sikap tidak ingin menggantungkan diri pada orang lain, tertanam kuat pada diri Teresia. Belum selesai kuliah, baru sarjana muda, Trees bekerja di perusahaan minyak PT. Stanvac Indonesia. “Usaha” menjahit ditinggalkannya karena ingin konsentrasi pada kerja dan kuliah. Ternyata kuliah sambil bekerja itu tidak mudah. Kegairahan di tempat kerja menyita hampir seluruh waktunya, padahal saat itu tinggal satu langkah lagi, menyusun skripsi. Akhirnya Trees harus melupakan kuliah saat menikah dengan Markus Parmadi (20/04/80). Setelah menikah, Trees tetap melanjutkan kerja di Stanvac sementara suaminya, saat itu di Citibank.

Perkawinannya dengan Markus Parmadi, membuahkan tiga orang anak: Priska Iswari, Thomas Radityo dan Andre Laksono. Kendati sibuk kerja, mengurus suami dan anak-anak, sesungguhnya Trees tak pernah benar-benar melupakan keinginannya untuk menyelesaikan kuliah. Diam-diam ia masih manaruh harapan, suatu saat kelak, ia dapat merampungkan kuliahnya. Sepertinya Tuhan mendengar doanya. Pada akhir tahun 1991, terbetik berita bahwa Trisakti membuka kesempatan bagi mahasiswa lama untuk menyelesaikan kuliahnya. Kesempatan emas ini dimanfaatkan Trees sebaik-baiknya. Dengan dukungan seluruh keluarganya, Trees berhasil menyelesaikan kuliah dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi (SE). “Wah….betapa leganya hati ini…! Akhirnya.., setelah lebih 20 tahun, saya bisa juga menyelesaikan kuliah…..!”, ujar Trees dengan haru.

Saat wisuda (1993), Priska Iswari, anak Trees yang saat itu masih duduk di bangku SD berkomentar: “Ibu kok capek-capek sekolah terus untuk apa? Ibu kan nggak kerja lagi?”. Ketika anaknya mulai masuk sekolah, Trees memang memutuskan berhenti kerja (1986). Mendengar komentar polos anaknya, Trees tertawa saja. Namun kelak Trees menjelaskan pada anak-anaknya betapa pentingnya sekolah. Menurutnya, sekolah itu bukan sekedar untuk mencari ijasah atau kerja melainkan untuk melatih cara berfikir dan lebih-lebih menjadi bekal hidup yang berguna. Keyakinannya ini ia tanamkan betul pada ketiga anaknya.

Syukur Tiada Akhir

Teresia mensyukuri atas banyak karunia yang ia peroleh sepanjang hidupnya: orang tua yang mendidik dalam iman Katolik, suami yang begitu baik penuh kasih, anak-anak yang sehat serta teman-teman yang memberi warna kehidupan. Kebahagiaan Trees serasa menjadi lengkap saat cucu pertamanya lahir di Sydney, Australia, Januari 2011.

Teresia ingin membalas kebaikan Tuhan dengan segala talenta yang ia miliki, sebagaimana ia tunjukan selama ini. Baginya, mengabdi Tuhan dapat dilakukan dengan pelbagai cara, sesuai keadaan orang masing-masing (dimuat di Majalah HIDUP, edisi 18 Maret 2012).

Heri Kartono, OSC

St.Helena, Lippo Karawaci,

17 Februari 2012.

3 comments:

Rosiany T Chandra said...

Akhirnya....setelah vakum beberapa saat, kembali aku bisa menikmati tulisan yang cantik gemulai. Rupa2nya "kelenturan" otot menulis tetap terjaga ya. Selamat ya Romo.
Aku amat menikmati membacanya. Selain itu lukisan Mbak Teresia memang istimewa seperti yang tampak di latar belakang!Selamat ya Mbak. Salam

Benedictus Andri Adijaya said...

Tulisan ini, atau lebih tepatnya pengalaman iman bu Teresia ini, benar-benar luar biasa dan tidak mungkin akan menjadi kenyataan tanpa relasi cinta personal antara bu Teresia dan Tuhan. Saya pribadi benar-benar tergerak oleh kutipan di paling bawah. Mudah-mudahan saya, istri, rekan-rekan beriman yang lain juga bersemangat yang sama dengan bu Teresia ini, tentunya dengan talenta dan kondisi masing-masing. Terima kasih romo Heri atas sharingnya. Semoga Tuhan selalu memberkati dalam tugas dan pelayanannya. Amien.

triastuti said...

Kisah keindahan ekspresi cinta manusia kepada Tuhan lewat pengembangan karya dan kemampuan sebaik-baiknya dg hati penuh sukacita, seindah untaian kata Rm Heri yang menuliskannya bagi kita semua. Trima kasih dan selamat bagi Ibu Trees dan Rm Heri, lewat menulis, melukis, dan talenta apapun juga yang dikerjakan dg tulus, nama Tuhan semakin ditinggikan, dan hidup jadi semakin hidup...semoga menjadi teladan bagi kami semua.