Dari Lewouran Menuju Vatikan
Ketika ia ditugaskan studi Islamologi, diam-diam ayahnya gelisah. Sang Ayah tidak setuju anaknya menggumuli bidang yang menurutnya berbahaya. Kini, justru karena bidangnya itu, Dr. Markus Solo duduk sebagai anggota Dewan Kepausan.
KEGELISAHAN sang ayah tampaknya cukup beralasan. Ia sering mendengar berbagai kerusuhan bernuansa agama di banyak tempat. Karena itu ia sempat meminta Markus Solo, anaknya, untuk menghentikan studi Islamologi dan bahasa Arab. Markus yang menaruh hormat pada ayahnya, kala itu tak dapat memenuhi permintaan ayahnya. Ketaatannya pada pimpinan tarekat lebih diutamakan daripada memikirkan keselamatan pribadi.
Pada bulan Juli tahun lalu. Markus Solo Kewuta resmi diangkat menjadi anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama. Andai ayahnya masih hidup, pastilah ia akan bangga melihat anaknya menjadi orang Indonesia pertama yang duduk dalam jabatan terhomat itu.
Markus lahir di kampung Lewouran, Flores Timur (4/8/68). Ayahnya, Nikolaus Kewuta adalah seorang petani sederhana sementara ibunya Getrurd bekerja sebagai ibu rumah tangga. Kedua orangtua ini telah meninggal dunia. Ayahnya meninggal tahun 2005 sedangkan ibunya tahun 1985. Markus adalah anak bungsu dari lima bersaudara.
Saudara sulungnya, Yosef Bukubala adalah seorang imam SVD juga. Markus mengaku, cita-citanya menjadi imam tumbuh saat mendengarkan kisah-kisah menarik tentang seminari yang disampaikan kakak sulungnya ini. “Perjalanan panggilan kakak saya menjadi motivasi sekaligus inspirasi bagi saya juga.”, ujar penggemar sepakbola ini.
Mengenal Islam
Keinginan Markus mengenal agama Islam mulai terpenuhi kuliah Islamologi di Seminar Tinggi Ledalero. Selesai studi Filsafat di Ledalero, ia meneruskan studi Teologi di Austria (1992-1997). Di Austria, ketertarikannya pada Islam tetap melekat. Skripsi yang ia tulis juga berkaitan dengan agama Islam, judulnya : Humanisierung der Handhabung des Gesetzes im Koran (Humanisasi Penerapan Hukum Agama Islam dalam al-Qur’an).
Setelah memperoleh gelar Master Teologi, Markus sempat bekerja di sebuah paroki di propinsi Salzburg, Austria, tempat kelahiran pemusik terkenal Wolfgang Amadeus Mozart, selama dua tahun. Tahun 1999 ia melanjutkan studi Doktorat Teologi Fundamental di Universitas Innsbruck, Austria. Tahun 2002 ia berhasil meraih gelar Doktor Teologi dengan predikat Summa Cum Laude.
Pimpinan tarekat tampaknya mengamati, Markus mempunyai minat besar pada masalah dialog agama terutama dengan Islam. Karena itu, kendati Markus telah meraih gelar doctor di bidang Teologi, pimpinannya menugaskan lagi untuk studi Bahasa Arab dan Islamologi. Untuk itu, ia sempat studi di Kairo, Mesir, kemudian di PISAI (Pontifical Institute for Arabic and Islamic Studies) Roma. Markus menyelesaikan studi ini sampai tingkat Licensiat.
Ketika studi di Kairo (2002-2003), imam bertubuh bongsor ini berkenalan dengan Presiden PCID (Pontifical Council for Interreligious Dialogue atau Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama) Mgr. Michael Fitzgeralg, yang sedang melawat ke Kairo. Beberapa tahun kemudian (2005) saat Dewan Kepausan menyelenggarakan Konferensi Internasional Dialog Antar Agama di Wina, Austria, Markus Solo Juga diundang.
Waktu itu, Markus memang sudah kembali ke Austria dan bertugas sebagai Rektor Institut Afro-Asia di Wina. Mgr. Fitzgerald sendiri yang mengundang Markus. Pada kesempatan itu Markus diperkenalkan dengan tokoh-tokoh PCID dan peserta konferensi yang lain. (Mgr. Fitzgerald kini beralih tugas sebagai Nuntius di Mesir).
Penasihat Paus
Pertemuan dengan para tokoh PCID itu amat menentukan perjalanan Markus selanjutnya. Rupanya PCID melihat mantan Ketua Irrika (Ikatan Rohaniwan/wait Indonesia di Kota Abadi) ini sebagai sosok yang tepat untuk duduk sebagai anggotanya.
Setelah melewati proses screening, termasuk wawancara, Januari 2007 Markus mendapat panggilan untuk bergabung dengan PCID. “Rasanya seperti mimpi. Saya tak pernah membayangkan dapat bergabung dalam tim Penasihat Sri Paus”, tutur Markus yang fasih berbahasa Jerman, Italia, Inggris, dan Arab ini.
Juli 2007, Markus, yang kerap disapa Padre Marco, diterima resmi bekerja di PCID. Ia menempati Desk Dialog Kristen-Islam untuk wilayah Asia. Amerika Latin dan Afrika Sub-Sahara. Tugas utamanya adalah memantau serta mengikuti perkembangan Dialog Kristen-Islam di wilayah tersebut. Informasi yang ia peroleh lewat berbagai jalur, ia observasi dan simpulkan untuk kemudian di serahkan pada Presiden PCID.
Informasi tersebut diteruskan juga ke Sekretariat Vatikan. Tugas lain yang tak kalah penting adalah menyiapkan berita-berita tertulis (instructions) untuk setiap Nuntius (Duta Besar Vatikan) baru di wilayah tanggung-jawabnya. Selain itu, bersama rekan PCID yang lain, Markus ikut menerima kunjungan ad-Limina para Uskup seluruh dunia.
Pertemuan dengan para uskup tersebut merupakan ajang tukar informasi tentang perkembangan mutakhir dialog Kristen-Islam. Selain itu, PCID juga memberikan peneguhan serta motivasi kepada para uskup untuk terus mempromosikan dialog.
Ciptakan Lagu
Bekerja di lingkungan Vatikan menuntut kerja keras serta disiplin tinggi. Markus yang doyan makan kentang ini, bekerja dari Senin hingga Sabtu. Kantornya terletak di depan Basilika Santo Petrus, Vatikan. Hari Minggu adalah satu-satunya hari untuk beristirahat.
Biasanya ia mengisi waktu luangnya untuk mengembangkan hobinya di bidang musik. Sejak kecil ia memang senang bernyanyi. Ketika masuk seminari, Markus sudah mampu memimpin koor bahkan menciptakan lagu. Sudah cukup banyak lagu rohani yang ia ciptakan, salah satunya lagu Bawalah Daku ke Sion. Lagu ini ia gubah tahun 1992.
Hobi Padre Marco dalam hal musik sempat membawanya masuk dapur rekaman. Kaset pertamanya dikeluarkan tahun 2001, bersama salah seorang keponakannya. Kaset tersebut berisi lagu-lagu pop daerah Flores Timur. Sekarang ini ia sedang menantikan DVD terbarunya bernama Album Agora Volume 1. Album yang dibuat bersama rekan-rekan SVD ini berisi lagu-lagu rohani dalam bahasa Italia, Jerman, dan Indonesia.
Menjadi orang Indonesia pertama yang duduk dalam Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Agama merupakan kebanggaan tersendiri. Markus menyadari, tugas yang diembannya tergolong berat. Ia tak tahu apa yang akan terjadi kelak pada dirinya. Namun, ia tahu bahwa dirinya harus bekerja keras dengan semangat pengabdian total. Itulah sumbangsih yang dapat ia berikan untuk Gerejanya yang ia cintai.
Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP edisi 20 Januari 2008).
5 comments:
Aduh luar biasa tulisan Romo mengenai perjalanan studi dan karir sosok Padre Marco ini. Trimakasih ya Rm Heri. Saya kagum bhw Gereja Katolik senantiasa membuka diri utk berdialog dg agama lain dan usahanya sungguh tidak main-main, seperti juga semangat Romo Markus yg mendalami dg serius mengenai Islam dan menjadi berkat bagi karya-karya dialog Gereja. Semoga berkat perlindungan Tuhan Yesus senantiasa bersama Rm Markus, SVD, dan masih selalu bisa mengembangkan talenta bermusiknya juga, salam kagum dan selamat.
Carissimo Romo Heri,
"tua-tua keladi, makin tua semakin berminyak. Tua-tua si Wartawan, makin tua semakin kreatif"!
Terima kasih untuk riwayatku di blog Romo. Sesekali bercermin ke dalam kolam sejarah itu baik supaya bisa memperoleh motivasi tambahan buat perjalanan panjang ini. Saya masih mengenang Indonesia, soalnya program kunjungan bersama Cardinal Tauran dari Vatikan minggu lalu terlalu padat, lupa menikmati keindahan negriku.
kami tunggu kehadirannya kembali di Roma...
Salam dan sukses selalu
RoMar
Congratulation Pater Marc. Kami saudara-saudarimu se-Serikat turut berbangga dan bersyukur atas rahmat dan cintaNya pada congregasi kita lewat segala ilmu pengetahuan yg dimiliki oleh saudara. Bahwa tidak banyak orang memiliki study seperti itu.
Kita tetap mendoakan semoga semua yg dijalankan selalu menjadi kemuliaan bagi Allah.
CONGATULATIONS, PARABENS DAN SELAMAT BERBAHAGIA
"KEGELISAHAN sang ayah tampaknya cukup beralasan. Ia sering mendengar berbagai kerusuhan bernuansa agama di banyak tempat"
kalau cuma belajar ya ndak ada resiko ya mo ? kalau jadi prokator baru bahaya
Temanku Padre Marco sekarang sudah jadi orang hebat,Romo masih ingat ngga ada pertanyaan EBTA yang di ujicobakan pada anak kelas II SMP Ilebura " Mengapa manusia membutuhkan orang lain "........hanya satu siswa yang menjawab benar pada saat itu dan dia itu adalah Markus Solo Kewuta............(Paulus Baba Mare)
Post a Comment