Thursday, October 30, 2008

Sinode Uskup XII


PESAN AKHIR DAN RABBI COHEN

Suatu Sinode biasanya merumuskan suatu pesan akhir singkat, semacam kesimpulan dari pertemuan tiga minggu ini. Sebuah tim bertugas membuat pesan akhir tersebut. Menurut sebuah sumber, orang paling berperan dalam penulisan pesan akhir kali ini adalah Uskup Gianfranco Ravasi, seorang ahli Kitab Suci, berpengalaman mengajar 40 tahun.

Empat Gagasan Pokok

Ada 4 gagasan pokok pesan akhir Sinode yang disampaikan lewat sebuah gambaran. Keempat gagasan pokok tersebut adalah: Suara, Wajah, Rumah serta Jalan Sabda. Berikut adalah penjelasan singkatnya.

Suara Sabda: Adalah Suara Illahi yang menjadi asal mula terciptanya alam semesta. Suara ini pula yang merasuk ke dalam sejarah, sejarah yang diwarnai dosa manusia, penderitaan serta kematian. Suara Illahi dapat kita temukan dalam Kitab Suci yang kita baca sekarang dengan tuntutan Roh Kudus.

Wajah Sabda adalah Yesus Kristus, putera Allah yang hidup dalam sejarah umat manusia. Adalah Yesus Kristus yang mengungkapkan kepenuhan arti Kitab Suci. Kristianitas adalah agama yang berpusat pada pribadi Yesus Kristus yang menampilkan Allah Bapa.

Rumah Sabda. Yang dimaksud dengan Rumah Sabda adalah Gereja. Ada 4 pilar penting yang menopang gereja, sebagaimana dijelaskan St. Lukas: pertama adalah Pengajaran.  Dengan kata lain, membaca dan mengerti Kitab Suci serta mewartakannya kepada semua orang. Kedua, Memecahkan Roti atau ekaristi yang merupakan sumber serta puncak kehidupan dan missi gereja. Umat Allah diundang untuk menikmati santapan rohani lewat liturgy Sabda dan komuni. Ketiga adalah Doa. Bacaan Kitab Suci yang mengandung doa mengantar kita pada meditasi, doa dan kontemplasi. Pada gilirannya ini akan mempertemukan kita dengan Kristus, Sang Sabda yang hidup. Keempat, Ikatan Persaudaraan. Orang Kristiani tidak cukup hanya menjadi pendengar Sabda namun sekaligus pelaksana Sabda.

Gambaran terakhir adalah Jalan Sabda. Sabda Tuha harus menemukan jalan untuk sampai ke dunia, di tengah-tengah keluarga, sekolah, budaya. Pada masa ini ada pelbagai jalan Sabda, termasuk di dalamnya lewat komunikasi elektronik, televisual dan segala jenis komunikasi lainnya. Sabda Allah perlu jalan yang tepat untuk sampai pada kita semua. Itulah rangkuman pesan akhir yang disampaikan Sinode para Uskup kepada kita semua.

Rabbi Cohen dan Kontroversi Paus Pius XII

Ada beberapa momentum dalam Sinode Para Uskup ke-12 yang mendapat perhatian luas Media Massa. Salah satunya adalah kehadiran Rabbi Shear-Yasyuv Cohen (80), pemimpin Rabbi dari Haifa, Israel. Ini merupakan kehadiran pertama seorang pemimpin Yahudi dalam Sinode para uskup di Vatikan. Rabbi Shear-Yasyuv Cohen yang hadir pada hari pertama Sinode berbicara tentang sejarah panjang, keras dan menyakitkan hubungan antara Yahudi dengan Katolik. Rabbi menyebutnya sebagai ‘sejarah penuh darah dan air mata’.

 Pada kesempatan tersebut Rabbi Cohen menyatakan rasa syukur yang tulus atas undangan Sri Paus untuk hadir dalam pertemuan para pemimpin gereja Katolik dunia. Ia menyebut kehadirannya sebagai tanda ‘harapan serta pesan kasih’. Ia juga menyinggung usaha untuk membina relasi yang sudah dimulai sejak Paus Yohanes XXIII dan mencapai puncaknya pada Paus Yohanes Paulus II.

Di samping itu, Rabbi Shear-Yasyuv Cohen juga menyinggung peranan pemimpin agama yang kurang nyata di masa perang, saat orang Yahudi dianiaya dan dibantai secara keji pada jaman Nazi. Menurutnya, Paus Pius XII yang bertahta dari 1939-1958 seharusnya berbuat lebih banyak untuk menolong orang-orang Yahudi dari pembantaian.

Kepada Reuters (06/10/08), Rabbi Shear-Yasyuv Cohen mengatakan bahwa dia tak akan datang seandainya tahu bahwa Sinode para uskup ini dikaitkan dengan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII. (Tanggal 9 Oktober 2008 dirayakan peringatan 50 tahun wafatnya Paus Pius XII di Basilika Santo Petrus, Vatikan). “Kami merasa, seharusnya mendiang Paus Pius XII berbicara lebih lantang daripada yang ia lakukan”, ujarnya. Masih menurut Rabbi Cohen, orang Yahudi tak bisa melupakan dan memaafkan diamnya Paus Pius XII. Pernyataan Rabbi Cohen ini mendapat pemberitaan luas di Media Massa.

Juru bicara Vatikan, Tarcisio Bertone menyanggah tudingan bahwa Paus Pius XII tidak membela kaum Yahudi di masa perang. Menurutnya, di Roma saja atas arahan Paus Pius XII, ribuan orang Yahudi disembunyikan dan dilindungi di dalam 155 biara yang tersebar di kota Roma. (Associated Press, 07/10/08).

Sementara itu Surat Kabar Vatikan, Osservatore Romano menyebut Paus Pius XII sebagai ‘manusia damai’ yang telah melakukan yang terbaik pada masa yang penuh kekerasan. Sumber Vatikan, sebagaimana dikutip Reuters (08/10/08), mengatakan bahwa Paus Pius XII bekerja di belakang layar untuk membantu kaum Yahudi. Alasannya, bila  Paus melakukan intervensi secara terang-terangan, situasi akan makin memburuk. Banyak buku telah ditulis tentang masa yang gelap itu. Sebagian besar sepakat bahwa situasi akan makin buruk bagi orang Yahudi seandainya saat itu Paus berbicara keras dan terbuka menentang Hitler.

Dibawah Paus Yohanes Paulus II, sejak 2 September 2000 telah dimulai proses kanonisasi Paus Pius XII. Banyak orang Yahudi, sebagaimana diwakili Rabbi Cohen, tidak menyukai peristiwa ini namun proses kanonisasi nampaknya akan tetap berjalan terus.

Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 02 Nopember 2008).

1 comment:

Lucas Nasution said...

“Kami merasa, seharusnya mendiang Paus Pius XII berbicara lebih lantang daripada yang ia lakukan”, ujarnya. Masih menurut Rabbi Cohen, orang Yahudi tak bisa melupakan dan memaafkan diamnya Paus Pius XII. Pernyataan Rabbi Cohen ini mendapat pemberitaan luas di Media Massa.

gema yang sama kita dengar dialamatkan pada Presiden anyar amrik - yang konon kurang vokal terhadap soalan perang Israel versus Hamas.

sudah tentu masing2 punya agenda sendiri - Obama kan juga punya kepentingan politiknya sendiri - sama dengan sang Rabbi ini

apa boleh buat gereja memang terkait soalan dunia dan didunia ini baik diam maupun beraksi tetap saja akan ada pihak yang protes...

memihak atau netral - adalah pilihan dan waktu akan menjadi hakim mana yang paling benar - tetapi mungkin waktu itu Pius XII sudah memilih apa yang paling baik - he was only human after all