Wednesday, January 21, 2009

Suprapto Martosetomo (Box)


MEMBERI ALTERNATIF TANPA PAKSAAN

“Pak, kalau aku sudah besar, aku pengen jadi guru!”, begitu ujar si kecil Lorenza Pradhina. Suprapto sang ayah sejenak terkejut mendengar cita-cita anak bungsunya yang saat itu baru masuk TK. Namun dengan ramah ia menjawab: “Wah, bagus sekali cita-citamu itu. Tapi, akan lebih hebat lagi kalau kamu bisa jadi gurunya dokter!”. Si kecil yang panasaran lantas bertanya: “Bagaimana caranya supaya aku bisa jadi gurunya dokter?”. Sang ayah dengan tersenyum menjawab: “Pertama-tama, kamu harus jadi dokter dulu!”. Percakapan tersebut rupanya amat membekas di hati puteri bungsunya. Kini Lorenza tercatat sebagai mahasiswi fakultas kedokteran Universitas Kristen Kridawacana, Jakarta, tahun terakhir.

Percakapan di atas menggambarkan kepribadian sekaligus kearifan Suprapto, sang ayah yang juga seorang Duta Besar. Gagasan orang lain tidak langsung ditolak. Sebaliknya diterima dahulu, diikuti sambil sekaligus memberi alternatif. Dampaknya, seperti yang terjadi pada anak bungsunya. Sang anak mengikuti nasihat ayahnya tanpa sedikitpun merasa dipaksa.

Suprapto merasa beruntung. Karena istrinya, Yogyaswara Kustantina, dalam banyak hal selaras dengan dirinya. Baik dalam rumah tangga maupun dalam pekerjaan, Yogyaswara yang asal Yogya ini pandai membawakan diri. Kebetulan keduanya berasal dari alma-mater yang sama, Universitas Gajah Mada, Jogya. Keserasian serta keramahan pasangan ini memang mengesankan. Tidak heran bahwa sebuah keluarga Italia di Bolsano yang pernah berjumpa mereka, merasa amat terkesan. “Saya ikut bangga waktu mendengar kesan positif yang membekas kuat di hati keluarga ini tentang Dubes kita dan istrinya”, ujar Pastor Ignas Ledot SVD yang bertemu langsung keluarga Italia tersebut.

Heri Kartono, OSC (dimuat majalah HIDUP edisi 01/02/2009)

2 comments:

Lucas Nasution said...

Gagasan orang lain tidak langsung ditolak. Sebaliknya diterima dahulu, diikuti sambil sekaligus memberi alternatif

idealnya begitu - tapi IMHO setiap orang punya titik lemah - sang dubes cuma disuruh ditanya [with all due respect] soal jurusan sekolah - bukan soal hidup dan mati I guess,
lain misalnya kalah ditanya soal agama [boleh menikah dengan agama lain?], soal gaya hidup [saya gay ...], etc - kira saya pertanyaan2 macam ini menimbulkan gempa bumi berskala akbar...
dan setiap orang orang punya titik lemah
we are all human

Rosiany T.Chandra said...

Pak Dubes,gimana ya caranya memberikan jawaban alternatif lain pada anak yang sedang berpacaran dengan seseorang yang kita kurang berkenan?Mungkin ada jawaban arif anda yang bisa dipetik hikmahnya.

Saya tunggu jika anda berkenan menjawabnya.Terima kasih