DUTA DENGAN KERAMAHAN MEMIKAT
Ketika didaulat untuk menyanyi, tanpa canggung ia berduet dengan istrinya, menyanyikan lagu romantis “Hatimu Hatiku”. Sesudahnya, pasangan ini berbaur dengan para pastor dan suster menari poco-poco.
Hal tersebut terjadi dalam suatu perayaan yang diadakan oleh Irrika (Ikatan Rohaniwan-wati Indonesia di kota Abadi, Roma), 11 Januari yang lalu. Suprapto Martosetomo, Dubes RI untuk Tahta Suci memang dikenal luwes dalam bergaul selain ramah dan bersahaja. Sikapnya ini membuat ia amat dekat dengan para pastor, suster dan bruder yang merupakan masyarakatnya.
Berbuat Baik Kepada Siapa saja
Keramahan serta keluwesan Suprapto, tidak bisa dilepaskan dari latar belakang serta lingkungannya. “Saya ini berasal dari desa dan terbiasa hidup guyub seperti layaknya masyarakat pedesaan”, jelas Dubes kelahiran Genteng, Banyuwangi (24/04/54) ini. Selain alam pedesaan yang ramah, kedua orang tuanya yang berprofesi pedagang, mempunyai andil besar dalam membentuk karakternya. “Berbuat baiklah kepada siapa saja”, begitu ayahnya kerap memberi nasihat kepadanya. Sementara nasihat mendiang ibunya yang ia ingat adalah: “Jangan membuat orang kecewa. Kalau kecewa, orang tak akan kembali lagi!”.
Keramah-tamahan tidak hanya baik bagi pergaulan, namun sekaligus mendukung tugasnya sebagai seorang diplomat. “Dengan bergaul, saya jadi tahu permasalahan serta keluh kesah masyarakat”, ujarnya memberi alasan. Karena keramahannya pula, rumahnya pernah menjadi tempat mengungsi para mahasiswa. Itu terjadi saat ia bertugas di Manila, Filipina (1986-1990). “Saat itu terjadi usaha kudeta terhadap Pemerintahan Presiden Cory Aquino. Tentara pemberontak sudah menguasai beberapa wilayah di Metro Manila termasuk tempat mahasiswa indekost. Maka demi keselamatan, para mahasiswa bergabung di tempat saya. Hal ini memudahkan bila terjadi situasi darurat. Tugas saya kan harus melindungi masyarakat Indonesia!”, kenang Suprapto.
Suprapto Mertosetomo tidak hanya luwes dalam bergaul, namun ia juga serius dan bertanggung-jawab dalam mengemban tugasnya. Ketika HIDUP berkunjung ke kantornya, Suprapto sedang asyik membenahi arsip pribadinya. Arsip tersebut merupakan clipping berita dari pelbagai sumber tentang beragam persoalan yang berkaitan dengan tugasnya sebagai Duta Besar. “Kebiasaan ini sudah lama saya lakukan, sejak penempatan pertama saya di Luar Negeri. Dengan cara ini saya bisa mengikuti perkembangan terbaru sekaligus memiliki arsip yang siap digunakan kapanpun dibutuhkan”, jelasnya.
Suprapto berkeyakinan, sebagai seorang Duta Besar, ia harus memiliki informasi sebanyak-banyaknya serta seakurat mungkin. Selain clipping yang biasa ia kumpulkan, Suprapto juga mengikuti pertemuan Asia Group secara berkala. Asia Group adalah kumpulan para Duta Besar untuk Vatikan, khususnya dari kawasan Asia. Beberapa negara lain seperti dari Timur Tengah dan Australia ikut juga bergabung dalam kelompok ini. Sebulan sekali kelompok ini bertemu untuk saling tukar informasi sambil mendengarkan seorang Guest of Honor, yaitu pembicara yang diundang sesuai topik yang disepakati bersama.
Baginya, informasi yang lengkap dan akurat amatlah penting. “Seorang Duta Besar harus siap dengan semua permasalahan. Informasi yang kita peroleh amat berguna, selain dapat digunakan untuk memberi masukan ke dalam negeri”.
Masih dalam kaitan dengan tugas, Suprapto kerap berkeliling ke biara-biara yang dihuni orang-orang Indonesia. Beberapa biara yang pernah ia kunjungi antara lain biara di kota Orte, Ovada dan Allesandria. Di antara biara-biara tersebut, ada yang tergolong kontemplatif alias tertutup. Di biara kontemplatif, seperti di Vignanelo, pak Dubes dengan rombongan diterima di ruang tamu. Para suster muncul di balik terali besi. Meski demikian, keakraban dapat tetap terjalin. “Waktu itu, kami bernyanyi bersama. Saya dan rombongan di ruang tamu sementara para suster menyanyi dari balik terali besi itu”, ujar bapak dua anak ini.
Sambil berkunjung, Suprapto biasanya menanyakan kebutuhan para suster, terutama yang berkaitan dengan kelengkapan dokumentasi. Karenanya tidak heran bahwa kedatangan Duta Besar ini disambut dengan suka-cita. Pada saat kunjungan semacam ini, tak lupa Suprapto menyempatkan diri menemui Uskup yang membawahi biara yang dihuni orang Indonesia tersebut.
Mengharapkan Kunjungan Paus ke Indonesia
Sebagai Duta Besar untuk Tahta Suci, Suprapto merasa perlu mengetahui seluk-beluk Vatikan dengan baik. Vatikan adalah salah satu Negara Barat yang mengakui kemerdekaan Indonesia sejak awal. Sejak tahun 1947 sudah ada perwakilan Vatikan di Jakarta yang disebut Apostolic Delegate. Hubungan diplomatik kemudian dikukuhkan pada tahun 1950.
Menurut Suprapto, Vatikan meski kecil namun amat disegani dan memiliki pengaruh yang amat besar. Selain itu, Vatikan adalah negara yang mempunyai jaringan terbesar di dunia. “Lewat jaringan yang dimilikinya, informasi dapat diperoleh secara cepat dan tepat”, tutur Suprapto dengan nada kagum.
Bagi Indonesia, menjalin hubungan dengan Vatikan adalah amat penting artinya. “Saat diadakan hearing atau lebih popular dengan istilah fit and proper test di depan anggota Komisi I DPR, saya menekankan soal ini”, ujar alumnus Universitas Gajah Mada ini.
Negara Vatikan tak dapat dilepaskan dengan Paus sebagai kepala negaranya. Di mata Suprapto, Paus Benediktus XVI adalah orang yang sangat arif. Banyak hal besar telah diupayakan Paus asal Jerman ini. “Kunjungan bersejarah Raja Abdullah dari Arab Saudi ke Vatikan (6 Nopember 2007) serta niat baik Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al-Khalifa untuk menyumbang sebidang tanah guna pembangunan gereja di negaranya, adalah berkat usaha Paus Benediktus juga”, ujar anak ke-enam dari tujuh bersaudara ini. “Saya berharap bahwa Paus dapat berkunjung ke negara kita, Indonesia”, lanjutnya. Menurutnya, kunjungan Paus ke Indonesia akan membawa manfaat bagi kedua belah pihak.
Prioritas: Inter-faith Dialog
Negara Indonesia adalah negara dengan penduduk amat beragam, baik suku, bahasa, agama maupun budayanya. “Kenyataan ini sudah ada, diakui serta dihargai sejak jaman Majapahit. Istilah Bhineka Tunggal Ika yang berasal dari Empu Tantular (abad 15), mencerminkan kenyataan tersebut”, papar diplomat yang pernah tugas di Inggris dan Pakistan ini.
Penduduk terbesar Indonesia beragama Islam. Namun, pemeluk agama lain juga tidak sedikit. Supaya terjadi kerukunan di antara pemeluk agama yang berbeda, perlu adanya dialog yang terus menerus. Apalagi, dalam setiap golongan, selalu ada kelompok ekstremisnya. “Jumlah mereka kecil namun pengaruhnya besar”, ujar pria yang gemar olah raga badminton ini.
Tiap-tiap kedutaan memiliki kekhususannya tersendiri. KBRI untuk Tahta Suci terutama mengamati bidang inter-faith dialog serta sistem demokrasi di Indonesia”, paparnya. Tidak mengherankan bahwa Inter-faith dialog atau dialog antar umat beragama menjadi prioritas perhatiannya sebagai Duta Besar untuk Tahta Suci. Masalah ketegangan antara Barat, yang kerap diidentikkan dengan kristiani, dengan Islam, sering terdengar. Harus diakui bahwa dalam masyarakat Barat, ada semacam ketakutan terhadap dunia Islam atau lebih dikenal sebagai Islamophobia. Barangkali hal ini muncul sebagai dampak pemberitaan di media massa yang kerap kurang berimbang. Menurut Suprapto, apapun alasannya, haruslah ada kesamaan persepsi agar ketegangan dapat diatasi. Kesamaan pandangan bisa dicapai antara lain dengan cara berdialog.
Indonesia, menurut Suprapto, adalah negara yang amat aktif mengupayakan inter-faith dialog, baik di forum bilateral, regional maupun internasional. Ia sendiri tergolong getol mengikuti forum dialog. Misalnya, pada Juni 2008, Suprapto mengikuti The 2nd World Peace Forum yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, bertempat di Jakarta. Forum yang dihadiri berbagai kalangan agama dari Asia, Australia, Eropa maupun Timur Tengah ini bertujuan mencapai perdamaian dunia dan menghindari adanya penyalah gunaan agama untuk tujuan-tujuan politik.
Kegiatan terakhir berskala internasional yang dihadiri Suprapto adalah International Meeting of Prayer for Peace di Nicosia, Siprus. KBRI untuk Tahta Suci pernah juga menyelenggarakan inter-faith dialog yang diadakan di Vatikan (14/11/07). Acara ini diselenggarakan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia untuk Tahta Suci. Dari Indonesia hadir antara lain Prof. Din Syamsudin.
Suprapto menyadari, dialog tidak menghasilkan hasil yang cepat atau langsung kelihatan. Meski demikian, ia yakin bahwa lewat dialog segala kecurigaan dan salah sangka akan dapat diatasi. “Sekurang-kurangnya dari dua belah pihak mulai muncul toleransi”, katanya.
Sebenarnya toleransi dan hidup rukun antar pemeluk agama adalah sesuatu yang amat biasa di dalam masyarakat kita. Sekurangnya, itulah pengalaman pribadi Suprapto. Ia lahir dari keluarga Islam dan ia sendiri pemeluk Islam yang taat. Dari keluarga besarnya, ada beberapa saudaranya yang beragama kristiani. Bahkan, salah satu tante dari pihak ayah adalah seorang suster. “Kami terbiasa hidup rukun tanpa mempersoalkan agama. Demikianpun, saat saya kuliah di UGM, beberapa sahabat saya beragama kristiani. Dan kami bergaul akrab tanpa pusing status agama” ujarnya. Bila orang saling mengenal dengan baik, maka segala kecurigaanpun akan sirna dengan sendirinya. “Dialog adalah cara yang paling ampuh mendekatkan kita satu sama lain”, tutur pak Dubes mengakhiri pembicaraan.
Heri Kartono, OSC (dimuat di majalah HIDUP edisi 01/02/2009).
2 comments:
“Dialog adalah cara yang paling ampuh mendekatkan kita satu sama lain”
jalan lain masih banyak
a) agama disingkirkan dari ruang publik - jelas sulit kalau orang masih menganggap hal sekuler adalah hal jelek
b) jadilah abangan
c) jadilah sinkretis
d) Jadilah ateis praktis
e) jadilah spiritualis yang berdiri diatas AGAMA konsstitusional
saya pikir yang e) paling atraktif - meski sulit dan menantang
tapi dari a dari e saya tidak yakin akan diridoi kaum pemuka agama
:)
Saya sependapat bahwa pemberitaan di media yang tidak proporsional cenderung memberi andil besar dalam pembentukan opini masyarakat.Saya juga melihat akhir2ini pemberitaan di jalur Gaza demikian adanya.
Selamat dan salam untuk Pak Dubes,beliau tampak sangat simpatik.
Selamat bertugas pak:)
Post a Comment