Wednesday, February 27, 2008

Pemilihan Jenderal Yesuit.


PAUS HITAM DARI JEPANG

Yesuit baru saja memilih pimpinan tertinggi yang baru. Bagaimana profil Jenderal Ordo terbesar ini dan apa pula keistimewaan hubungan antara Yesuit dengan Paus?

“Yang mulia Bapa Suci, atas nama saya sendiri dan atas nama semua yang hadir di sini, kami mengucapkan terima kasih berlimpah atas kebaikan Bapa Suci menerima kami semua, peserta Konggregasi Jenderal di Roma pada hari ini”, begitu jenderal Yesuit yang baru membuka sambutannya di hadapan Paus Benediktus XVI (21/02/08).

Sebanyak 226 perwakilan Yesuit dari seluruh dunia berkumpul di Roma sejak 7 Januari yang lalu. Pertemuan akbar ini disebut Konggregasi Jenderal (KJ). KJ kali ini merupakan yang ke-35 sejak ordo ini didirikan pada tahun 1540. Pertemuan diselenggarakan di rumah induk ordo Yesuit (Serikat Yesus) di Borgo Santo Spirito, yang terletak hanya beberapa ratus meter dari Basilika Santo Petrus, Vatikan. Dua agenda utama KJ-35 adalah pemilihan pimpinan baru serta pembicaraan seputar tantangan karya-karya Serikat Yesus di masa depan.

Pilihan Tepat dari Jepang.

Pemilihan jenderal Yesuit yang baru merupakan agenda penting yang banyak ditunggu-tunggu orang. Pemimpin yang lama, Pater Peter-Hans Kolvenbach SY, atas persetujuan Paus, mengundurkan diri karena usia lanjut. Pada tanggal 19 Januari terpilih Pater Adolfo Nicolas SY (71) sebagai Superior Jenderal Yesuit yang ke-29 setelah Santo Ignasius Loyola. Adolfo mantan provinsial Yesuit provinsi Jepang ini terpilih secara cepat hanya dalam putaran kedua.  Atas terpilihnya Adolfo, sebuah surat kabar nasional Italia, La Reppublica menurunkan judul Il Papa Nero venuto dal Giappone (Paus Hitam datang dari Jepang). Jenderal Yesuit memang sering disebut sebagai Paus Hitam karena kebiasaan memakai jubah berwarna hitam. Sebagaimana Paus, jenderal Yesuit dipilih untuk seumur hidup.

Adolfo Nicolas lahir di Palencia, Spanyol (29/04/36). Masuk novisiat Yesuit di Aranjuez, Spanyol tahun 1953. Adolfo menempuh kuliah teologi di Tokyo, Jepang hingga tahbisan imam. Master teologi ia peroleh dari Universitas Gregoriana, Roma (1968-1971). Ia sempat bertugas di Manila, Filipina sebagai direktur Institut Pastoral (1978-1984). Meski demikian, hampir seluruh hidupnya sebagai imam Yesuit ia lewati di negeri Sakura, Jepang. Adolfo, selain berbahasa Spanyol, menguasai dengan baik bahasa Jepang, Inggris, Perancis dan Italia.

Sebagai orang yang lama bertugas di Asia, Adolfo meyakini bahwa Asia dapat memberi sumbangan bagi perkembangan Gereja. Tahun lalu dalam wawancara dengan majalah Yesuit Australia, The Province Express, Adolfo berkata: “Barat tidak mempunyai monopoli arti dan spiritualitas. Barat dapat belajar banyak dari pengalaman budaya Asia. Asia memiliki banyak yang dapat ditawarkan pada Gereja, Gereja Universal. Namun kita belum melakukannya. Mungkin kita tidak memiliki cukup keberanian atau kita tak mau mengambil resiko yang harus kita tanggung”, ujarnya.

Terpilihnya Adolfo Nicolas oleh banyak kalangan dianggap sebagai pilihan yang tepat. Pater Paolo Molinari SY, mantan Profesor Teologi, menyatakan bahwa terpilihnya Adolfo memberikan harapan yang baik bagi masa depan.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan tertinggi Yesuit, Adolfo Nicolas dibantu oleh 4 orang asisten ad providentiam. Empat asisten khusus ini, yang dipilih pada 18 Februari adalah: P. Lisbert D’Souza (India); P. James Grummer (USA); P. Federico Lombardi (Italia) dan P. Marcos Recolons (Bolivia). P. Marcos Recolons juga terpilih sebagai admonitor. Admonitor adalah penasihat confidential yang bertugas mengingatkan pimpinan tertinggi bila melakukan hal yang kurang pantas atau menunjukkan gejala ketidak-taatan pada Paus.

Hubungan Khusus Dengan Paus.

Serikat Yesus adalah ordo terbesar dalam gereja Katolik dengan anggota 19.216 tersebar di 112 negara. Yesuit dikenal dengan karya yang berkualitas di bidang pendidikan. Ordo ini juga dikenal sebagai penyebar misi yang tangguh. Karya lain yang banyak dilakukan Yesuit adalah di bidang keadilan sosial serta hak-hak azazi manusia.

Ordo yang didirikan oleh Ignasius Loyola (1491-1556) ini sejak awal memiliki kedekatan khusus dengan Paus. Di luar 3 kaul yang biasa diucapkan seorang religius, Yesuit memiliki kaul ke empat, yaitu ketaatan kepada Paus. Tidak mengherankan bahwa Paus pun memberi perhatian istimewa pada ordo besar ini. Dalam surat pribadinya kepada Peter-Hans Konvenbach, jenderal Yesuit yang lama (10/01/08), Paus menyinggung soal hubungan khusus antara Yesuit dengan Paus sebagai pengganti  Petrus. Dalam surat yang sama, Paus juga menggarisbawahi serta meminta agar ordo ini meneguhkan kembali kesetiaannya yang total pada ajaran Gereja.

Dalam audiensi kepada peserta KJ-35 di Vatikan (21/02/08), Paus kembali mengingatkan Yesuit atas komitmennya untuk membela serta mempertahankan doktrin-doktrin Katolik. Secara khusus Paus menyebut doktrin tentang keselamatan di dalam Yesus Kristus, moralitas seksual, perkawinan dan keluarga. “Tetap setialah pada Magisterium dan hindari menyebar kebingungan dan kekacauan di antara umat”, ujar Paus dalam bahasa Italia.

Sementara itu, Adolfo Nicolas, jenderal Yesuit yang baru dalam sambutannya meyakinkan Paus akan kesetiaan Yesuit terhadap Gereja dan Paus. “….atas kesadaran yang mendalam akan akar kami, juga sesuai dengan semangat tradisi Ignasian, kami mencintai hirarki Gereja dan Bapa Suci sebagai Wakil Kristus”, tegas Adolfo.

Kendati memiliki kedekatan khusus, tidak berarti hubungan antara Paus/Vatikan dengan Yesuit selalu harmonis. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini ada sejumlah tokoh Yesuit yang mendapat peringatan dari Vatikan. Salah satunya adalah John Sobrino SY, teolog ternama dari El Salvador. Pada akhir tahun 2006, John Sobrino mendapat peringatan karena beberapa bukunya dianggap menyimpang dari ajaran resmi Gereja.

Persiapan yang Baik.

Vincent M. Cooke SY peserta KJ-35 dari New York memiliki kesan tersendiri tentang KJ kali ini. Duapuluh lima tahun yang lalu, Vincent juga menghadiri pertemuan serupa. Ia mencatat adanya persamaan dan perbedaan antara KJ tahun ini dan tahun 1983. Persamaannya yang menyolok, dalam kedua KJ tersebut, pemilihan jenderal Yesuit berlangsung cepat. Dalam KJ tahun 1983, Peter-Hans Kolvenbach terpilih langsung dalam putaran pertama sementara Adolfo Nicolas terpilih dalam putaran kedua.

Tentang perbedaan Vincent M. Cooke berkata: “Waktu itu KJ dimulai dengan ketegangan antara Serikat dengan Bapa Suci. Dalam KJ kali ini, Bapa Suci menunjukkan kepercayaan yang besar pada Serikat. Sebaliknya, para peserta KJ juga menunjukkan kegairahannya untuk melayani Gereja yang diembankan kepadanya!”, tutur Vincent.  Perbedaan positif yang dicatat Vincent adalah makin terasanya suasana internasional Serikat Yesus. “Sifat internasional Serikat sangat terasa terutama karena banyaknya Yesuit yang datang dari India, Afrika dan Asia Timur”, jelas imam asal New York ini. Secara khusus Vincent memuji persiapan dalam KJ kali ini. “Dokumen-dokumen tertulis disiapkan dengan lebih baik dan lebih teratur”.

Lepas dari pujian Vincent, KJ kali ini untuk pertama kalinya menggunakan website serta pelbagai sarana multi-media. Dokumen, informasi bahkan foto-foto dapat diakses setiap hari lewat internet.

Saat artikel ini ditulis (25/02/08) Konggregasi Jenderal masih berlangsung. Semoga segala usaha para Yesuit untuk merumuskan jati dirinya, mendorong semangat mereka untuk makin memuliakan Nama Tuhan sebagaimana motto yang mereka pegang Ad Maiorem Dei Gloriam.

Heri Kartono, OSC

(Dimuat di HIDUP 9 Maret 2008. Foto dari Arsip/dok. Yesuit).

 

 

1 comment:

Lucas Nasution said...

hampir seluruh hidupnya sebagai imam Yesuit ia lewati di negeri Sakura, Jepang

“Barat tidak mempunyai monopoli arti dan spiritualitas. Barat dapat belajar banyak dari pengalaman budaya Asia. Asia memiliki banyak yang dapat ditawarkan pada Gereja, Gereja Universal. Namun kita belum melakukannya. Mungkin kita tidak memiliki cukup keberanian atau kita tak mau mengambil resiko yang harus kita tanggung”

teringat saya akan buku Shusaku Endo - Silence yang baru2 ini diterbitkan bahasa Indonesianya oleh Gramedia. Duluuu pernah muncul di harian kompas sebagai cerbung

Endo novelis Jepang kondang yang katolik ini banyak menulis ttg agama Katolik di Jepang dan Silence adalah salah puncak tulisannya. Jepang adalah bak rawa-2 yang membusukkan akar pohon2 cangkokan dari eropa. Dalam novel ini digambarkan para paderi yang dipaksa menjadi murtad oleh penguasa Jepang dengan berbagai cara, mulai dari yang halus hingga yang brutal.
Pada bagian klimaks sang paderi dituntut untuk menginjakkan kakinya pada gambar suci Yesus. Dan sang gambar terdengar berteriak ditelinga sang paderi - Injaklah aku , injak ...aku lebih tahu apa artinya dikhianati

Saya kerap berpikir apakah jadi Katolik itu membuat saya tercerabut dari akar ke-indonesia-an saya ?
atau sebaliknya - saya dapat menyumbang ke-indonesia-an saya pada gereja universal ?
pertanyaan sulit yang bahkan masih jadi pergumulan sang jenderal jesuit

baca juga: http://theologytoday.ptsem.edu/oct1982/v39-3-article5.htm
http://www.amywelborn.com/catholicwriters/silence.html