Wednesday, February 27, 2008

Swiss Guard.


Corsin Kofler:

 

LUPA MENANYAKAN GAJI 

Sejak berumur 8 tahun Corsin Kofler bercita-cita menjadi seorang Swissguard. Ketika pada akhirnya ia mendapat kesempatan mendaftarkan diri, ia amat gembira. Begitu senangnya Corsin sampai ia lupa menanyakan berapa gaji yang akan ia peroleh!


Tertulis di Antara Bintang-bintang.

Corsin lahir di kota kecil Coira, Swiss, pada tanggal 20 Maret 1983. Kedua orang tuanya adalah petani biasa yang memiliki beberapa lembu. Corsin memiliki dua saudara laki-laki. Seluruh keluarganya adalah pemeluk Katolik yang taat. Corsin masih ingat, semasa ia kecil, mereka selalu pergi ke gereja bersama-sama. Sejak kecil pula ia telah berangan-angan ingin menjadi seorang Swissguard. “Waktu itu umur saya sekitar 8 tahun. Kami sekeluarga sedang menyaksikan siaran langsung dari Vatikan. Mata saya tertumbuk pada seorang penjaga dengan pakaian warna-warni berdiri gagah di dekat Sri Paus. Ayah menjelaskan bahwa penjaga itu orang Swiss dan hanya orang Swiss boleh menjadi penjaga Paus. Mendengar penjelasan itu, timbul niat dalam hati saya untuk menjadi penjaga Paus seperti tentara gagah itu”, kenang penggemar olah raga Ski ini.

Selepas SMA, Corsin bekerja di toko roti. Untuk pertama kalinya ia mendapat gaji sendiri dan ia senang sekali. Suatu hari, pada hari libur, secara kebetulan ia menyaksikan siaran televisi yang menampilkan pasukan Swissguard. Tiba-tiba cita-cita masa kecilnya berkobar kembali. Sebenarnya cita-cita itu tidak pernah padam, hanya ia tidak tahu bagaimana mewujudkannya. Iapun mulai secara serius mencari informasi bagaimana mendaftarkan diri menjadi seorang Swissguard. Ketika pada akhirnya ia diterima menjadi anggota Swissguard, Corsin merasa amat bahagia.

Kini tanpa terasa sudah hampir tiga tahun Corsin Kofler menjadi anggota Swissguard dengan pangkat Vice Corporale. Ia tidak pernah menyesal bahkan sebaliknya merasa bangga. “Tugas ini saya jalani pertama-tama atas dasar iman. Kami keluarga katolik. Bagi kami, Vatikan dan Paus adalah sesuatu yang amat bernilai. Saya merasa bangga dan bersyukur boleh mengabdi pada gereja, boleh menjaga Bapak Suci. Bahkan, orang tua dan saudara-saudara saya juga ikut bangga!”, ujar Corsin sungguh-sungguh.

Ketika ditanya tentang gaji seorang Swissguard, Corsin menjawab: “Abbastanza per vivere! (cukup untuk hidup)”. Ia mengulangi jawaban itu dan meminta jawabannya ditulis seperti itu. Nampaknya ia memang tidak terlalu memikirkan soal gaji. Kesahajaannya tercermin dalam sikap dan tutur katanya.

Saat ditanya, berapa lama ia ingin mengabdi sebagai Swissguard, ia menjawab: “Saya masih ingin bekerja di sini dua tahun lagi atau maksimum lima tahun. Sesudah itu saya kembali ke negara saya dan memikirkan masa depan saya!”. “Apa rencana anda selanjutnya. Apakah sudah ada rencana atau pekerjaan khusus?”. Atas pertanyaan tersebut dengan ringan Corsin menjawab: “Tentang itu saya belum tahu, masih tertulis di antara bintang-bintang!”.

Kesahajaan kehidupan di Caserma.

Corsin tinggal di Caserma, asrama para Swissguard di komplek Vatikan. Ada 110 Swissguard yang tinggal di Caserma, masing-masing menempati satu kamar sederhana. Banyak acara dilakukan bersama, antara lain olah raga, latihan fisik, juga makan. Makanan disiapkan oleh para suster yang memang bertugas untuk itu. Mencuci pakaian dan beberapa pekerjaan lain dilakukan oleh masing-masing Swissguard. 

Layaknya kehidupan “militer” senioritas dan pangkat ikut menentukan. Swissguard senior dihormati dan disegani yuniornya. Ketika wawancara berlangsung, Corsin beberapa kali berhenti bicara dan memberi hormat pada seseorang yang lewat. Rupanya mereka adalah senior Corsin yang sedang bebas dan tidak mengenakan seragam.

Seorang komandan Swissguard amat ditaati bawahannya. Corsin, misalnya, hanya bersedia diwawancari setelah komandannya memberi ijin. Sikapnya tentang hal ini amat jelas, tidak ada kompromi.  Meskipun dihormati dan ditaati, seorang senior atau komandan, jarang berbuat kasar, apalagi main pukul. “Mereka seperti seorang kakak yang layak dihormati namun mereka juga menyayangi adik-adiknya”, jelas Corsin. Lebih lanjut Corsin juga menjelaskan bahwa ikatan persaudaraan di antara mereka kuat sekali. Barangkali karena mereka selalu tinggal bersama serta memiliki cita-cita pengabdian yang sama pula. “ Bagi saya, tinggal di Caserma, seperti tinggal di rumah sendiri, seperti suatu keluarga besar. Saya betah dan menikmatinya”, ujar pemuda yang murah senyum ini.

Pengalaman Tak Terlupakan.

Corsin yang pandai meniup terompet ini mengaku senang tinggal di kota Roma. “Kota ini antik dan menawan. Orang-orangnya pandai menikmati hidup!”, ujarnya tentang kota Roma. Saat-saat senggangnya ia gunakan untuk jalan-jalan di kota atau olah raga. Pada musim panas, ia sering pergi ke pantai bersama teman-temannya. Kendati memiliki wajah tampan, Corsin mengaku belum punya pacar. “Saya belum memikirkannya. Atau mungkin lebih tepat, saya belum menemukan gadis yang cocok”, ujar lajang penggemar pasta (jenis makanan) Italia ini.

Pengalaman tak terlupakan sebagai Swissguard adalah tatkala ia bersama empat rekannya dipercaya untuk mengawal Paus Yohanes Paulus II ke Bern, Swiss, pada bulan Juni 2004. Sejak kecil Corsin sudah mengenal Paus Yohanes Paulus II lewat pelbagai pemberitaan. Ia juga diam-diam mengagumi Paus yang dimana-mana disambut ribuan bahkan jutaan umat itu. Karenanya ketika ia dipercaya menjadi pengawal pribadi Paus, duduk berdekatan di dalam pesawat bahkan sempat ngobrol dan berfoto bersama adalah pengalaman yang luar biasa baginya. Pada waktu itu ia belum genap setahun bertugas sebagai Swissguard. “Sungguh indah dan mengesankan bahwa saya dapat berdekatan dengan orang yang saya kagumi dan hormati sejak kecil”, katanya dengan suara bergetar.

Pengalaman lain yang juga mengesankan adalah saat ia bertugas menjaga Conclave (Sidang para Kardinal untuk memilih Paus yang baru). Menjaga suatu pertemuan penting yang dinantikan seluruh dunia, memang suatu pengalaman langka. 

Pembicaraan kami beberapa kali terputus karena Corsin harus melayani beberapa turis yang meminta informasi. Corsin melayani dengan ramah namun tidak berlebihan. 

Sebagian turis datang bukan untuk meminta informasi melainkan meminta ijin untuk berfoto bersama. Bagaimanapun Swissguard dengan seragam khasnya memang menarik perhatian banyak turis. Dengan halus namun tegas, Corsin menolak permintaan tersebut. Hal ini bisa dimengerti. Bila ia mengijinkan seorang turis berfoto bersama, maka turis lain akan berbondong-bondong datang untuk minta berfoto juga. Dan itu akan mengganggu tugasnya. (Untuk keperluan HIDUP, Corsin bersedia difoto bahkan sampai 10 kali!!).

Corsin Kofler memang hanya lulusan SMU, namun kemampuan berbahasanya mengagumkan. Tanpa canggung Corsin membalas turis Jerman, Perancis, Inggris, Italia dalam bahasa mereka. Corsin mengaku, di negaranya orang umumnya menguasai dua-tiga bahasa sekaligus. Selama bertugas di Vatikan, Corsin mendapat kesempatan untuk mempelajari beberapa bahasa lain. “Tiap hari saya bertemu macam-macam orang dengan bahasa berbeda. Ini mendorong saya untuk mengerti bahasa-bahasa lain juga”, jelasnya.

Pekerjaan menjadi seorang Swissguard tidak membuat Corsin Kofler kaya. Namun, kebanggaan dan kepuasaan batin yang ia peroleh barangkali tak tergantikan dengan uang berapapun juga!

Heri Kartono.

(Dimuat di HIDUP vol.60 no.25,  Juni 2006).

3 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Romo,

Selamat atas beredarnya BATURSAJALUR.
Semoga anda tambah semangat dalam menulis dalam pelayanan penyebaran wawasan kepada kami.

Sukses selalu!

Sian

Heri Kartono said...

Terima kasih banyak Sian atas komentar positifnya.
Saya senang sekali.
Salam,
HK.

Lucas Nasution said...

Bayangkan! Para abdi dalem itu rata-rata mendapatkan uang gaji dari Kraton hanya berkisar Rp 5000 sampai Rp 10.000 sebulan
sumber: http://maulhayat.blogspot.com/2008/05/fam-trip-journalist-2008-yogyakarta-1.html

orang yang menemukan makna hidupnya [misal jadi pengabdi] tidak lagi memusingkan hal lain, tidak di Vatikan, tidak di Yogya
Yang jadi pertanyaan [meminjam de Mello SJ]: apakah ini tidak lebih dari sekadar menjalankan script/programming hidupnya ? dia tidak sungguh sadar akan pilihannya ini...dia cuma menjalankan program [mungkin dari ayah/kakek/etc] bahwa hidup yang bener itu ya hidup jadi hamba sahaya
...kita tidak pernah tahu...

in any case - de Mello menantang orang itu aware - sadar penuh - apapun yang jadi pilihannya - karena seperti kata Paulus: jika aku serahkan tubuhku untuk dibakar- kalau aku tidak punya cinta, tidak ada artinya.
Cinta disini mengandaikan saya aware apa yang aku perbuat. Otherwise saya jadi robot yang meledakkan diri demi imbalan disurga.
tapi akhirnya
...kita tidak pernah tahu apa yang jadi dasar pilihan hidup orang
itu soal dia dengan nurani dan ALLAH