Friday, June 6, 2008

Kardinal Hong Kong.



KARDINAL BARU DAN PERSOALAN GEREJA DI CINA.

 

Dari 15 kardinal baru yang diresmikan Paus Benediktus XVI (25/03/06), satu berasal dari Hong Kong, yaitu Kardinal Joseph Zen Ze-Kiun S.D.B.  Pengangkatan uskup Hongkong menjadi Kardinal oleh Vatikan ini mengundang reaksi keras Cina. Menteri luar negeri Cina, Li Zhaoxing memberi komentar tajam:”Kami berharap Vatikan tidak mencampuri urusan dalam negeri Cina!”, paparnya. Bagaimana sebenarnya perkembangan gereja Katolik di Cina?

Pasang-Surut Gereja Katolik di Cina.

Ibu Erna dari Bandung, pernah berkunjung dua kali ke Beijing. Pada kunjungannya yang kedua (2005) ia sempat pergi ke gereja pada hari Minggu. Waktu itu gereja amat penuh. Perayaan Ekaristi hampir tidak ada bedanya dengan di Bandung, hanya ada layar lebar di dalam gereja untuk membantu umat mengikuti lagu-lagu. Suasana di dalam Gereja juga seperti Gereja Katolik pada umumnya, ada salib, altar, lilin,    patung Bunda Maria. Karenanya ia merasa nyaman. Selesai Misa, ada acara ramah-tamah sambil minum kopi. Ibu Erna tidak mengerti bahasa Cina, untung anaknya yang memang tinggal di Beijing, selalu menemaninya. Ia merasa senang bisa mengikuti Misa di Beijing.  Di balik suasana yang ‘wajar dan menyenangkan’ ini, rupanya gereja di Cina menyimpan sejarah tersendiri.

Sejarah agama kristen di Cina sering dikaitkan dengan Rasul Thomas (yang dipercaya pernah ke India) bahkan dengan Bartholomeus. Namun, menurut sejarawan Bar Hebraeus, agama kristen masuk Cina baru pada permulaan abad kesebelas.

Pada permulaan abad ketiga belas, Ordo Fransiskan dan Dominikan mulai masuk Cina. Kendati demikian, misi agama Kristen baru mapan dan berakar sebenarnya sejak masuknya Jesuit di bawah pimpinan Matteo Ricci (masuk lewat Macao tahun 1583). Waktu itu agama kristen menyebar sampai ke propinsi Kwang-tung, Nan-king, Shanghai, Hang-chou bahkan mencapai Peking. Sukses Matteo Ricci di Cina tidak lepas dari sikap tolerannya terhadap kultur Cina setempat. Sayang perjalanan selanjutnya, agama Kristen di Cina terus mengalami jatuh bangun dan harus menghadapi pelbagai hambatan, sampai sekarang. 

Pada awal abad ke 20, agama Kristen sempat mengalami pertumbuhan pesat. Tahun 1922 Vatikan mengutus duta besarnya yang pertama ke Cina. Empat tahun kemudian, diangkat enam uskup Cina. Pada tahun 1949 di Cina sudah terdapat 137 wilayah keuskupan dengan sekitar 4 sampai 5 juta umat Katolik. Ketika Mao Zedong mengambil alih kekuasaan, terjadi perubahan drastis.

Mao Zedong memproklamirkan Republik Rakyat Cina yang komunis pada 1 Oktober  1949.  Di bawah pemerintahan komunis, umat Kristen mulai mengalami penganiayaan. Wakil Vatikan ketika itu diusir dari Cina. Para imam dipenjarakan atau dikirim ke kamp konsentrasi. Demikianpun para pemuka gereja dan keluarganya mengalami nasib yang hampir sama. Gereja sepenuhnya dibawah kontrol ketat penguasa. Sejak saat itu pemerintah melarang segala bentuk campur tangan dari luar, termasuk dari Vatikan.

Seorang uskup dari Shanghai, Mgr. Kung Pin Mei tidak menggubris larangan pemerintah. Dengan gigih ia tetap menunjukkan kesetiaannya kepada Gereja Katolik yang mengakui Paus di Roma. Atas sikapnya ini, Mgr. Kung ditangkap dan dipenjarakan seumur hidup.  Paus Yohanes Paulus II mengangkat Mgr.Kung menjadi kardinal “in pectore” (dengan diam-diam tanpa pengumuman) pada tahun 1979. Sampai wafatnya (Maret 2000) sikap Kardinal Kung tidak pernah berubah. Kesetiaan Kardinal Kung terhadap gereja dan Paus di Roma menjadi teladan bagi banyak umat di Cina. 

Gereja Bawah Tanah dan Harapan di Masa Depan.

Pada awal tahun 1980, terjadi perkembangan baru. Warga gereja harus bergabung pada gereja yang dikendalikan oleh partai komunis. Ada sedikit kebebasan namun

gereja tetap dilarang  mengakui Paus sebagai pimpinan. Secara resmi sebagian besar umat katolik Cina terdaftar sebagai anggota “Perhimpunan Patriotis” bentukan pemerintah komunis. Kendati demikian, tidak sedikit umat yang aktif di gereja bawah tanah yang mengakui Paus di Roma. Kegiatan gereja bawah tanah ini bukan tanpa resiko. Banyak di antara mereka, termasuk uskup yang ditangkap, dipenjarakan bahkan disiksa.

Di bawah pemerintahan komunis, segala kegiatan gereja dikendalikan pemerintah.

Pendidikan calon imam di seminari, pengangkatan seorang uskup semuanya diatur oleh pemerintah. Sementara itu gerakan gereja bawah tanah tetap berjalan. Jumlah umat Katolik di Cina sekarang ini sekitar 4 juta. Angka tsb belum termasuk jumlah umat gereja bawah tanah yang menurut perkiraan mencapai 10 juta.

Ada banyak konggregasi imam, bruder, suster yang bekerja di Cina secara klandestin alias rahasia. Umumnya mereka bekerja sebagai pekerja sosial atau sebagai pengajar atau apa saja yang memungkinkan. Mereka harus menjaga agar identitas mereka sebagai religius tidak diketahui. Mereka juga secara diam-diam menerima anggota baru dari kalangan umat Cina. “Belum lama ini sepuluh konfrater kami di sana mengucapkan kaul kekal dalam suatu upacara hampir tengah malam”, papar seorang imam Indonesia yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya. “Memang banyak pejabat komunis yang baik hati dan bersimpati pada karya kami. Namun, segala sesuatu bisa terjadi, bila kami ceroboh. Beberapa kali pernah terjadi, ada penyusup seolah-olah bersimpati, padahal mencelakakan kami”, jelas imam asal NTT ini. Pernyataan senada juga disampaikan seorang suster Indonesia yang beberapa anggotanya bekerja di Cina.

Tanda-tanda akan adanya perubahan sebenarnya sudah mulai muncul. Ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal dunia, Cina mengirimkan ucapan bela sungkawa. Ketika itu sempat muncul kabar bahwa Cina akan mengirim utusannya untuk menghadiri upacara pemakaman, ternyata tidak. Diduga Cina marah karena Vatikan menerima delegasi dari Taiwán. 

Paus Benedictus XVI pernah menyatakan bahwa salah satu prioritasnya adalah menciptakan kembali hubungan diplomatik dengan Cina. Kardinal Angelo Sodano, selaku Menteri Luar Negeri Vatikan sempat mengungkapkan, bahwa Vatikan mempunyai rencana untuk memindahkan kantor perwakilan dari Taipei, Taiwán ke Beijing. Menurut kalangan pengamat, kendala terbesar adalah sikap Beijing yang tetap menolak mengakui otoritas Paus atas penunjukkan uskup agung untuk memimpin gereja Katolik di Cina.

Hongkong, meskipun memiliki status otonomi khusus, tetap di bawah pemerintahan Cina. Karenanya pengangkatan Uskup Hongkong, Joseph Zen Ze Kiun, S.D.B. menjadi kardinal oleh Paus, membuat Cina berang. Vatikan dituduh mencampuri urusan dalam negeri Cina.

Ibu Erna merasa senang bahwa setiap kali mengunjungi anak bungsu-nya di Beijing, ia bisa menjalankan kewajibannya mengikuti misa. Perasaan senangnya pastilah akan terusik bila ia mengetahui bahwa di balik suasana yang ‘wajar dan nyaman’ umat Katolik Cina sebenarnya menyimpan sejumlah persoalan yang belum terpecahkan sampai sekarang!

Heri Kartono (dimuat di HIDUP, 23 April 2006)

 

No comments: