Monday, March 3, 2008

Ursulin: Program Tertiet,


MENGIKUTI JEJAK PUTERI BRESCIA

 

Mengalami dan melihat secara langsung tempat-tempat bersejarah pendiri Tarekat, memberi kesan yang mendalam. Itulah yang dialami tigabelas suster Ursulin saat menyusuri jejak iman Santa Angela di kota Desenzano dan Brescia, Italia.

Setangkai Mawar dari Brescia.

Dengan terbata-bata menahan haru, Sr. Floren mengungkapkan perasaannya saat berada di tempat kelahiran Santa Angela Merici. Sudah lama ia mendengar kisah pendiri tarekatnya ini. Sudah lama pula ia merindukan untuk secara langsung mengetahui tempat-tempat paling bersejarah bagi kehidupan Angela. Karenanya, ketika ia berdiri di depan makam Bunda Angela, ia tak dapat menahan tangisnya. Sementara itu, Sr. Siska Pandong mengungkapkan pengalaman batinnya secara lain. Sr. Siska yang juga merasa terkesan, menuangkan kekagumannya dalam sebuah puisi berjudul Setangkai Mawar dari Brescia. Menurutnya, ia begitu terkesan atas kehidupan Angela, tokoh yang sudah lama ia kagumi. Suster asal Ruteng ini mengibaratkan Angela sebagai setangkai mawar. Kendati hanya setangkai, namun keharumannya semerbak ke seantero dunia.

Tiga belas suster Ursulin dari Indonesia mengadakan perjalanan napak tilas kehidupan St. Angela. Di antara kota-kota yang mereka kunjungi, Brescia dan Desenzano adalah dua kota paling penting dalam sejarah hidup Angela.

Kebanggaan Kota.

Angela Merici lahir dan tumbuh sebagai gadis remaja di Desenzano, sebuah kota kecil di pinggir danau Garda, Italia Utara. Kota ini begitu bangga atas Angela, warganya yang membawa harum nama Desenzano ke seluruh dunia. Kebanggaan itu tercermin dengan ditetapkannya Angela sebagai Santa Pelindung kota. Tidak hanya itu, sebuah patung Angela ukuran besar didirikan di Piazza Malvezzi, pusat kota Desenzano. Ketika para suster Ursulin mengunjungi dan berdiri di bawah patung Angela, secara spontan mereka menyanyikan sebuah lagu tentang Angela dalam bahasa Indonesia. Tentu saja hal ini menarik perhatian orang yang kebetulan lewat. Banyak di antara mereka yang sengaja berhenti untuk menyaksikan adegan ini.

Pada brosur tentang kota Desenzano, kita dapat melihat tempat-tempat bersejarah Santa Angela, lengkap dengan peta dan penjelasannya. Tempat kelahiran Angela di Via del Castello 96 dan rumah masa remajanya di Le Grezze (pinggiran kota Desenzano) ditandai dengan sebuah piagam peringatan dan tetap dipelihara dengan baik. Ketika berkunjung ke Casa Angela (Rumah Angela) para suster mengadakan misa sebagai bentuk penghormatan mereka. Seorang imam Salib Suci memang mendampingi mereka, sekaligus sebagai penterjemah dalam perjalanan.

Kendati lahir dan dibesarkan di Desenzano, namun sesudah dewasa Angela lebih banyak berkarya di Brescia. Angela juga wafat dan dimakamkan di kota ini. Karenanya tidak heran bahwa kota Bresciapun merasa memiliki Santa Angela. Angela ditetapkan sebagai salah satu Warga Agung kota Brescia, disejajarkan dengan Rotari, raja Lombardia dan Paus Paulus VI yang memang berasal dari Brescia asli.

Jenasah St. Angela sampai saat ini dapat kita lihat di gereja St. Afra. Jenasah tersebut terdapat dalam sebuah peti kaca dan terletak di kapel sebelah kanan altar. Selama beberapa hari di Brescia, para suster Ursulin tinggal di biara Santa Angela. Setiap hari mereka menyusuri jejak-jejak St.Angela yang banyak terdapat di beberapa tempat bersejarah di kota ini. Santa Angela, nampaknya menjadi kebanggaan kota Brescia dan Desenzano sekaligus.

Program Tertiat dan Akar Tarekat.

Sr.Madeleine, OSU, pemimpin rombongan, menjelaskan, napak tilas pendiri tarekat ini merupakan tahap akhir dari program tertiat suster-suster Ursulin. Menurutnya, pembentukan para suster mengalami beberapa tahap. Sesudah masa pendidikan awal, setiap suster terjun dalam karya nyata. Sebagian besar dari mereka bekerja di dunia pendidikan. “Berdasarkan pengalaman, usia antara 35-40 tahun adalah usia rawan. Sebagai religius, bisa saja seorang suster mengalami disorientasi, kekecewaan atau kejenuhan”, papar Madeleine. Program tertiat diadakan bagi suster seusia itu atau sekitar 10 tahun sesudah kaul pertamanya.

Program yang berlangsung selama tujuh bulan ini diisi dengan pelbagai masukan, mulai dari tinjauan Psikologi, Teologi sampai pendalaman hidup berkaul. Selain materi religius, diberikan juga pengetahuan umum, antara lain persoalan politik aktual dan masalah gender. Program ini ditutup dengan retret agung selama satu bulan. Retret agung adalah saat merefleksikan kembali perjalanan hidup membiara dalam suasana doa.

Selesai retret agung, para suster “dikembalikan” ke dunia nyata dalam bentuk live-in. Lokasi live-in kali ini kali ini adalah desa Lolomatua, Nias. Selama hampir satu bulan, para suster tinggal dan membantu para penduduk desa Lolomatua yang menderita akibat gempa.

Perjalanan ke luar negri merupakan bagian akhir dari rangkaian program tertiat. Sebenarnya ada dua tujuan: pertama, para suster diajak untuk mengenal akar tarekatnya yaitu dengan melakukan perjalanan napak tilas jejak Angela, khususnya di kota Brescia dan Desenzano. Kedua, mereka juga diperkenalkan dengan akar iman kristiani. Bagaimanapun, kota Roma dengan Vatikan dan gereja Santo Petrus merupakan pusat agama katolik, selain juga menyimpan banyak sejarah gereja. Pusat Ursulin sendiri ada di kota Roma. Karenanya para suster tinggal beberapa hari di kota Roma untuk tujuan tersebut.

Tempat lain yang dikunjungi adalah kota Asisi dan negeri Belanda. Asisi merupakan tanah kelahiran St.Fransiskus yang memberi banyak inspirasi pada hidup Angela. Sedangkan negeri Belanda merupakan cikal bakal suster Ursulin Indonesia.

Kesan Peserta.

Suster Regina Siu, salah satu peserta mengungkapkan kesannya dalam mengikuti program tertiat ini. Menurutnya, masa tertiat merupakan kesempatan yang baik untuk merenungkan kembali hidup religius. Hasil permenungannya ia tuliskan dalam buku hariannya. Hampir setiap saat ia mencatat hal-hal baru dan menarik yang dijumpainya. Ia bersyukur diperbolehkan mengikuti program ini. Ia juga mengaku merasa disegarkan lewat perjalanan ini. “Selama bekerja, kita larut dalam kesibukan. Masa tertiat sungguh membuat saya lebih menghayati hidup panggilan”, jelas suster yang bekerja sebagai guru merangkap ibu asrama di Ende ini.

Hal senada diungkapkan Sr. Utami atau biasa dipanggil Suster Uut. Perjumpaan dengan orang-orang dengan bahasa dan budaya yang berbeda, memperkaya wawasannya sebagai Kepala Sekolah Pariwisata di Malang.  “Kendati saya agak menderita karena jarang makan nasi, namun pengalaman yang saya peroleh amat memperkaya hidup saya”, ujarnya dengan logat Jawa Timurnya yang kental.

Menjalani program tertiat, termasuk mengalami dan mengenal asal-usul tarekat adalah sesuatu yang baik dan penting. Namun, mengamalkan teladan pendiri tarekat dalam kehidupan nyata adalah jauh lebih penting lagi.

Heri Kartono. (Dimuat di majalah HIDUP: 28 Mei 2006).

2 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Penyampaian berita yang tertata rapi,sistematis dan rinci.

Salut!

Heri Kartono said...

Terima kasih ya atas supportnya.
Salam.