Monday, June 30, 2008

Dokuman Vatikan tentang Homoseksualitas.


 

SIKAP TEGAS VATIKAN DAN TUDINGAN DISKRIMINASI

Baru-baru ini Vatikan melalui Konggregasi untuk Pendidikan, yang membawahi seminari, mengeluarkan suatu dokumen penting. Dokumen ini berkaitan dengan orang yang homoseksual dan kemungkinannnya masuk seminari dan ditahbiskan. Dokumen itu sendiri tertanggal 4 November 2005 (pesta St.Carolus Boromeus, pelindung para seminaris), disetujui oleh Paus Benediktus XVI pada tanggal 31 Agustus 2005 namun baru dikeluarkan secara resmi pada tanggal 29 November 2005. Instruksi Vatikan setebal 6 halaman ini sebenarnya tidak berbicara tentang homoseksualitas secara keseluruhan. Homoseksualitas dibicarakan dalam kaitan dengan seleksi penerimaan, pendidikan dan tahbisan para frater.

Homoseksualitas dan Sikap Tegas Vatikan.

Homoseksual adalah orang yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Perlu dibedakan antara tendensi homoseksual dan tindakan homoseksual. Tendensi homoseksual ialah orang yang mempunyai kecenderungan tertarik secara seksual terhadap jenis kelamin yang sama. Sedangkan tindakan homoseksual adalah tindakan hubungan seksual yang terjadi antara  sesama jenis. Dokumen Vatikan ini membedakan homoseksualitas menjadi dua kelompok: Yang “Deep-seated homosexual tendencies” dan Yang “Only the expression of a transitory problem”(artikel 10).

Yang dimaksud dengan Deep-Seated homosexual tendencies adalah mereka yang memiliki kecenderungan kuat/berurat-akar dalam pribadinya. Tendensi jenis ini digolongkan sebagai ‘objectively disordered’, secara objektif tidak beres alias menyimpang. Orang yang memiliki kecenderungan semacam ini akan sulit untuk berelasi secara benar, baik dengan lelaki ataupun perempuan. Gereja menghormati pribadi ybs namun dengan tegas melarang ybs untuk diterima di seminari atau masuk suatu tarekat/konggregasi kudus.  Selain itu,  dokumen ini juga melarang dengan tegas mereka yang melakukan tindakan homoseksual dan mereka yang menyokong “gay culture” untuk diterima masuk seminari.

Adapun tendensi yang disebut “Only the expression of a transitory problem” adalah kecenderungan homoseksualitas yang hanya merupakan masalah transisi perkembangan jiwa. Bila ada calon yang memiliki tendensi jenis ini, maka harus sudah beres (sudah sembuh betul) sekurang-kurangnya 3 tahun sebelum tahbisan diakon. Jika kecenderungan tersebut sudah dianggap hilang/sembuh, barulah sang calon dapat ditahbiskan sebagai diakon untuk kelak juga tahbisan imam.

Dokumen Vatikan ini sebenarnya berbicara tentang kesiapan calon imam dalam jenjang pendidikan. Tentang pendidikan yang bermutu, dikatakan dalam instruksi ini, para pendidik dan pembina calon imam di seminari harus memperhatikan 4 dimensi penting dalam membentuk calon imam, agar kelak menjadi imam yang berkualitas. Ke-empat dimensi tersebut adalah dimensi kepribadian, kerohanian, pengetahuan dan pastoral. Singkat kata, seorang calon imam haruslah orang yang sehat dan matang secara afektif. Hanya orang yang matang secara afektif, dapat berelasi secara benar.

Dokumen ini terutama ditujukan kepada para Uskup, para pembesar Tarekat dan para pendidik di Seminari yang bertanggung-jawab langsung atas penerimaan para calon imam. 

Banyak orang menduga  bahwa latar belakang munculnya dokumen ini adalah adanya pelbagai skandal pedofili (=pelecehan seksual terhadap anak-anak) yang melibatkan para rohaniwan katolik, khususnya di Amerika Serikat, Austria dan Polandia.

Pelbagai Reaksi.

Dokumen ini langsung mendapat banyak reaksi, baik reaksi positif maupun negative, khususnya di Barat. Seorang pakar Hukum Gereja, Dr. Alexander Pytlik menyambut baik kehadiran dokumen tersebut. Menurutnya, instruksi ini mengingatkan kembali tanggung jawab uskup, pembesar tarekat maupun para pembina di Seminari dalam membimbing calon imam serta dalam memutuskan apakah seorang calon layak atau tidak untuk ditahbiskan.

Dr.Heike Sturm dosen teologi moral di Bonn, Jerman, menyatakan bahwa Vatikan bersikap diskriminatif dalam menyikapi persoalan homoseksual. “Dokumen tersebut menyudutkan kaum homoseksual dan masih tetap memandang kaum homoseksual secara negatif dan di sisi lain memberi keleluasaan  bagi yang heteroseksual atau biseksual”, paparnya.

Sementara itu, Pater Hermann Kugler SJ, ahli psikoterapi dari Munchen mengkritik sikap Vatikan yang melihat homoseksual masih seperti “penyakit psikis”. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pada tingkat praksis, dokumen tersebut sulit dipraktekkan. Misalnya, tidak mudah melihat dan menilai seseorang memiliki kecenderungan homoseksual. Bila seseorang tidak mengakui dirinya homoseksual atau kedapatan melakukan tindakan homoseksual, bagaimana bisa diketahui ia seorang homo?

Pater Timothy Radcliffe, mantan Jenderal Dominikan, dalam artikelnya di majalah Tablet menulis bahwa ada imam-imam homo yang hebat dan mereka juga jelas mendapat panggilan dari Allah.

Konteks Indonesia.

Skandal para imam di Indonesia dalam hal homoseksualitas atau pedofilia nyaris tidak pernah terdengar di Mass Media. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi kasus semacam itu. Selain itu, apakah tidak ada imam atau religius di Indonesia yang homoseksualitas? Itupun tidak ada yang berani menjamin.

Dr.CB.Kusmaryanto,SCJ, dosen Pascasarjana Gajah Mada, yang dihubungi via E-mail, menulis bahwa dokumen ini tidak menjadi bahan polemik di Indonesia. Dalam khasanah umum (surat kabar dan majalah) nampaknya juga tidak ada reaksi. “Dalam perbincangan dengan beberapa orang, saya tidak mendapat orang yang opisisi dengan pendirian Vatikan ini. Sebaliknya, banyak orang yang mendukungnya”, papar doktor moral lulusan Roma ini. .

Peter Aman,OFM yang sedang study S3 bidang Moral menyatakan bahwa dokumen Vatikan tersebut baik dan bisa diterima, apalagi dalam konteks Indonesia. Di Barat, makna perkawinan dan keluarga sudah mulai bergeser. Demikian juga pandangan masyarakat Barat tentang kehidupan, termasuk masalah homoseksualitas sangat berbeda. Seorang imam yang diharapkan mengabdikan seluruh hidupnya demi Tuhan dalam bentuk hidup selibat, haruslah orang yang sungguh sehat dan matang pribadinya.

Sejalan dengan Peter, Sr.Rina Rosalina MC mengemukakan pendapat yang hampir sama. “Saya setuju sekali dengan dokumen Vatikan ini. Seorang imam itu dituntut untuk menjadi panutan umatnya. Lha kalau imamnya homo, bagaimana dengan umatnya?”. Lebih lanjut suster kelahiran Bandung ini menambahkan, “Masyarakat di Indonesia menganggap homoseksualitas sebagai sesuatu yang tidak normal, tidak umum. Pandangan umum masyarakat ini harus dihargai, tidak bisa diremehkan begitu saja”, tandas suster yang lama bertugas di Roma ini.

Pendapat yang sedikit berbeda disampaikan Anton Subianto,OSC. Ketika diminta pendapatnya, dosen filsafat Unpar ini mengatakan: “Saya sangat setuju bahwa calon imam atau religius haruslah seorang yang sehat secara jasmani dan rohani dan harus matang kepribadiannya seperti ditulis dalam instruksi Vatikan itu. Namun demikian, rasanya tidak adil bahwa orang homoseksualitas secara otomatis dianggap ‘objectively disordered’, dianggap tidak beres. Menurut saya, tidak ada jaminan bahwa orang yang heteroseksual pasti sehat rohaninya. Imam atau calon imam heteroseksual juga mempunyai kemungkinan berbuat tidak benar dalam hal seksualitas. Karenanya, masalah utama bukanlah soal homoseksual atau heterokseksual namun soal pembinaan yang baik. Bila seorang homoseksual bersedia dan berkomitmen untuk hidup selibat dan menghargai ajaran gereja, mengapa harus dihalangi menjadi imam?” papar mahasiswa Universitas Lateran program doktorat ini.

Lepas dari pro-kontra atas dokumen, kita perlu menghargai niat baik Vatikan. Vatikan berharap agar gereja di masa depan tidak lagi disibukkan kasus-kasus homoseksualitas di kalangan para imamnya. Munculnya pelbagai kasus pedofilia di pelbagai tempat, sungguh telah membawa akibat buruk bagi gereja. Meskipun demikian, suatu dialog yang jujur tentang homoseksualitas kiranya perlu tetap terbuka lebar-lebar.

Heri Kartono,OSC. (Dimuat di Majalah MENJEMAAT, awal 2006).

 

 

 

 

 

7 comments:

Rosiany T.Chandra said...

Saya sangat sependapat dgn Romo Anton Subianto OSC.Rasanya sangat rancu membedakan antara "Deep seated homosexual tendencies" dgn "Only expression of a transitory problem".
Gimana membuktikannya?Kecuali jika ada test yg bisa dipertanggung jawabkan.

Heri Kartono said...

Yaya...masalah ini memang nggak sederhana. Yang jelas, soal homoseksual lebih memancing perhatian karena dianggap penyimpangan. Rasanya kita musti menimbang dengan adil pelbagai situasi dan kondisi aktual, sebelum menjatuhkan vonis.
Trims ya sudah ikut memikirkan.
HK.

Anonymous said...

Kulonuwun, Mo...

Saya Wiji, tinggal di Paroki St.Petrus dan Paulus Klepu di Yogyakarta. Saya nemu ruang ini dr Multiply Mbak Anjar.
Numpang tanya, adakah versi English dokumen yang Romo sebut itu? Bisakah saya mendapatkannya?

Nuwun, Mo...

Heri Kartono said...

Mas Wiji, silahkan ke Kentungan, temui romo CB.Kusmaryanto SCJ. Saya yakin Rm.Kus memilikinya, bahkan dokumen/buka lain yang berkaitan dengan topik ini.
Kalau mau mencari di Internet, rasanya tersedia juga kok.
Salam,
HK.

Anonymous said...

Mo, yang Njenengan maksud itu Seminari Tinggi? OK, Mo, nanti saya main ke Kentungan.

Btw, di Klepu dsk, perempuan tidak dipanggil 'Mas', Mo... :))

Salam.

Heri Kartono said...

Ya, Rm.Kus mengajar di Seminari Tinggi. Kalau tidak salah tinggalnya di biara SCJ, tidak jauh dari Seminari, masih wilayah Kentungan.

Oo...Wiji itu perempuan tho? Soalnya, saya punya teman, namanya juga Wiji tapi laki-laki. Kalau begitu ya nyuwun sewu.
Salam,
HK.

Lucas Nasution said...

“Saya setuju sekali dengan dokumen Vatikan ini. Seorang imam itu dituntut untuk menjadi panutan umatnya. Lha kalau imamnya homo, bagaimana dengan umatnya?”

komentar yang rada tidak sejalan dengan semangat modern...imam itu anggota gereja dengan tugas tersendiri, seperti awam juga juga punya panggilan spesial awam. Imam panutan mengandaikan awam cuma macam mbek yang dungu dan tidak bisa tidak bergantung pada gembala...aduh betapa paria-nya awam gereja katolik
kasian deh loe