Thursday, May 1, 2008

Tiga Tokoh Yesuit.


PERAYAAN TIGA ORANG BESAR YESUIT 

Apa yang terjadi bila tiga orang besar Yesuit diperingati dalam waktu yang bersamaan? Suatu Seminar Akademis! Itulah yang dilakukan Universitas Gregoriana, Roma (9/3/06) dalam memperingati 450 tahun meninggalnya St.Ignasius Loyola, 500 tahun kelahiran St.Fransiskus Xaverius dan 500 tahun kelahiran Beato Petrus Faber sekaligus. Seminar dengan judul besar LA CONVERSAZIONE SPITITUALE ini menghadirkan lima pembicara dan dihadiri banyak orang. Berikut ini rangkumannya. 

Dari Cita-cita Manusiawi Menuju Cita-cita Illahi.

Menurut Alfredo Sampaio Costa, SY, salah seorang pembicara, ada dua langkah percakapan spiritual menurut Ignasius. Langkah pertama adalah percakapan demi kebaikan diri pribadi. Langkah kedua adalah percakapan demi kebaikan orang lain. Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan langkah pertama, harus melihat dahulu riwayat Ignasius secara umum.

Ignasius –nama aslinya Iñigo Lopez de Loyola- adalah anak seorang bangsawan. Semula ia bercita-cita menjadi seorang ksatria yang tangguh. Karenanya Ignasius menjadi tentara.  Ketika usianya 30 tahun, ia menjadi perwira dalam perang mempertahankan benteng Pamplona melawan tentara Perancis ( Mei 1521). Pada peperangan tersebut, Ignasius terluka parah. Sebuah tembakan meriam menghancurkan lutut kanannya dan melukai kaki kirinya juga.

Ignasius dirawat di Pamplona selama dua minggu. Karena kondisinya makin parah, ia kemudian dibawa ke kampung halamannya, di Azpeitia, Spanyol Utara. Perlu waktu 9 bulan untuk menyembuhkan luka-lukanya. Pada saat itu, Ignatius merasa sakit bukan saja oleh luka-luka yang dideritanya namun juga karena ia merasa kehilangan segalanya: kehormatan diri karena kalah perang dan lebih-lebih kehilangan masa depannya. Singkat kata, harapan dan mimpinya punah sudah.

Selama periode penyembuhan inilah Ignasius mengalami percakapan spiritual dalam dirinya, suatu pergulatan batin yang luar biasa. Dalam pergulatan batin tersebut, Ignasius merasa terbantu dengan banyak membaca buku rohani, termasuk riwayat santo-santo. Ignasius terbakar oleh semangat heroik para santo namun di sisi lain, ia masih sering mengkhayalkan ketenaran dan kesuksesan serta bagaimana meraih hati puteri idamannya dari kalangan istana. Kendati demikian, ia lebih merasakan kedamaian ketika membaca dan memikirkan hidup Kristus dan santo-santo daripada ketika memikirkan karier dan puteri idamannya. Percakapan batin ini menjadi awal pertobatannya, sekaligus menjadi awal diskresi spiritual (pembedaan gerakan-gerakan roh) baginya. 

Sesudah sembuh, Ignasius pergi mengunjungi  biara Benediktin di Montserrat (25 Maret 1522). Percakapan batinnya lebih mengental di biara ini. Pernah, suatu malam ia berdoa dihadapan patung Maria nyaris sepanjang malam. Pada malam itu, di depan patung Maria, ia melepaskan perlengkapan militernya. Ia berjanji tidak akan lagi menjadi tentara biasa, melainkan tentara Kristus. Peristiwa itu seakan menjadi simbol nyata perubahan cita-cita Ignasius: dari cita-cita meraih keinginan duniawi menuju cita-cita illahi. Dan itu terjadi lewat suatu percakapan spiritual yang intensif di dalam dirinya.

Ignasius menuangkan pengalaman spiritualnya dalam tulisan  Ejercicios Espirituales (Latihan Rohani) yang kelak akan menjadi latihan wajib bagi setiap Yesuit.

Untuk Lebih Besarnya Kemuliaan Tuhan.

Percakapan batin demi kebaikan diri adalah fondamen bagi percakapan dengan orang lain. “Hanya pribadi yang memiliki kualitas spiritual tangguh dapat mengadakan percakapan spiritual yang baik dengan orang lain”, papar salah seorang pembicara. Pada tahun 1528,  Ignasius, yang telah memiliki cita-cita baru sebagai tentara Kristus,

memasuki Universitas Paris. Teman sekamar Ignasius di Paris adalah Fransiskus Xaverius dan Petrus Faber. Saat itu usia Ignasius 15 tahun lebih tua dari kedua temannya. Petrus Faber,  sempat ditugaskan untuk membantu mengajar Ignasius di bidang filsafat. Namun lewat percakapan-percakapan spiritualnya, Ignasius justru mengajar Faber soal kehidupan. Ia juga menjauhkan Faber dari pengaruh buruk kawan-kawannya yang jahat. Tentang hal ini Faber memberi kesaksian: “Syukur kepada Penyelenggaraan Illahi bahwa saya harus mengajar filsafat kepada Ignasius orang suci ini. Sebab pada saat yang sama, ia mengajar saya hal-hal tentang Allah. Kami tinggal dalam kamar yang sama, makan dalam satu meja dan berbagi cerita tentang banyak hal. Dia telah membuka mata saya dari keinginan-keinginan gelap dan mengajar untuk menemukan kehendak Allah”.  Percakapan spiritual dengan Faber, merupakan contoh nyata percakapan spritual ala Yesuit: bagaimana lewat suatu percakapan mendalam dari hari ke hari, Ignasius berhasil membawa Faber pada pencerahan batin. Kelak, Ignasius bersama Petrus Faber, Fransiskus Xaverius, serta empat orang lain mendirikan Serikat Yesus.

Untuk menghasilkan suatu percakapan spiritual yang baik dengan orang lain, ada beberapa syarat. Pertama, harus memiliki kemampuan untuk  mendengarkan. Untuk itu, kita musti rendah hati, menaruh hormat dan memperlakukan orang lain dengan kasih. Tentang hal ini Santo Fransiskus Xaverius, seperti dikutip salah seorang pembicara, menambahkan, dalam percakapan dengan orang lain kita tak perlu segan untuk berbicara tentang hal-hal yang berkenaan dengan Allah, termasuk berbicara tentang belas kasih-Nya. Lebih lanjut Fransiskus mengingatkan, hendaknya kita menampilkan wajah yang berseri-seri dalam bercakap-cakap.  

Salah seorang pembicara, Herbert Alphonso, SY., memberikan kesimpulan yang bagus tentang percakapan spiritual ala Yesuit ini: “Dalam percakapan spiritual yang penting bukanlah kata-kata, melainkan pertobatan dalam hidup. Selain itu, seluruh percakapan, tidak diarahkan pada kehebatan si pembicara, melainkan pada keagungan Kristus Tuhan. Karena itu, serikat ini tidak disebut Serikat Ignasius melainkan Serikat Yesus. Dan motto yang kami pegang adalah Ad Maiorem Dei Gloriam, Untuk lebih besarnya kemuliaan Tuhan”, ujar Yesuit asal dari India ini. 

Diperingati di Seluruh Dunia.

Peringatan tiga orang besar ini, menurut Rektor Gregoriana, Gianfranco Ghirlanda SY diperingati di seluruh dunia. Di Italia sendiri sejumlah kegiatan telah dan masih akan dilakukan. Yang menarik, peringatan ini tidak hanya berkisar seputar aktivitas religius tapi mencakup pelbagai bidang seperti: Musik, Olah Raga, Konperensi dan Diskusi.

Menurut Romo Petrus Puspobinatmo, SY. peringatan yang sama dilakukan juga di Indonesia. Misalnya, dalam rangka peringatan ini telah diterbitkan beberapa buku, di antaranya buku Bersama dalam Pengutusan – Cara Hidup Yesuit dengan Romo Hartono Budi, SY sebagai penyuntingnya. Buku lain yang diterbitkan dalam rangka yang sama adalah: Jesuit Magis – Pengalaman Formasi 6 Jesuit Awal, ditulis oleh Romo Leo A. Sardi, SY. “Peringatan tiga orang besar Yesuit ini memang penting artinya bagi kami, para Yesuit”, ujar mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gregoriana ini. 

Memperingati orang-orang besar bukanlah sekedar mengetahui riwayat hidup mereka. Dengan mengenang kehidupan mereka, kita seperti dihadapkan pada suatu peta kehidupan indah yang mengundang kita untuk turut terjun dalam jejak perjalanan mereka.

Heri Kartono (Dimuat di majalah HIDUP, 26 Maret 2006).

 

 

1 comment:

Rosiany T.Chandra said...

Mengenal kehidupan mereka juga bisa menjadi bahan dasar percakapan spiritual dgn diri sendiri