MENGENANG ROGER LOUIS SCHUTZ
Selasa malam, 16 Agustus 2005 (atau Rabu dinihari WIB) adalah hari yang naas bagi Bruder Roger Louis Schutz, 90, pendiri komunitas Taize. Dalam kebaktian malam, seorang wanita kurang waras asal Rumania, 36, berdiri dan menikam Br.Roger pada tenggorokan tiga kali berturut-turut. Br.Roger meninggal dunia 15 menit kemudian. Peristiwa ini mengguncangkan sekaligus membuat panik sekitar 2500 peziarah yang mengikuti acara kebaktian malam tersebut. Wanita pembunuh langsung diringkus pada saat itu juga. Kematian Br.Roger mendapat perhatian banyak tokoh agama di dunia. Tak kurang Paus Benediktus XVI menyampaikan rasa duka-cita yang mendalam. Br.Roger dimakamkan pada hari Selasa, 23 Agustus 2005 jam 14.00 waktu setempat.
Berawal dari Keprihatinan.
Roger Schutz adalah anak seorang pendeta Protestan di Swiss. Roger sendiri belajar teologi, mengikuti jejak ayahnya. Pada tahun 1940, dalam suasana perang dunia II, Roger berangkat ke Perancis Selatan dan menetap di desa Taize, di sebuah rumah kosong yang sudah rusak. Ketika itu usianya baru 25 tahun. Roger menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan para pengungsi perang serta tempat perlindungan bagi orang Yahudi yang dikejar-kejar Nazi. Di rumahnya itu ia mengajak orang-orang di sana untuk berdoa secara hening.
Dua tahun kemudian beberapa temannya bergabung bersama Roger. Ketika perang telah usai, Roger dan teman-temannya bertekad untuk meneruskan karya pelayanan mereka. Tidak hanya itu, mereka sepakat membuat komitmen bersama untuk hidup membujang dan sederhana seumur hidup.
Pada masa itu bangsa-bangsa Eropa terpecah-belah, termasuk juga perpecahan hebat di kalangan agama Kristen (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan dsb). Melihat kenyataan yang memprihatinkan tsb, Roger dan kawan-kawannya bertekad untuk membawa persatuan dan perdamaian. Karenanya, kelompok Taize ini tidak mempersoalkan latar belakang anggotanya. Sekarang ini kelompok persaudaraan Taize berjumlah sekitar 90 bruder yang berasal dari 25 negara, termasuk dua dari Indonesia (Br.Francesco dari Jogya dan Br.Andre dari Tegal, keduanya dari latar belakang Katolik).
Pola hidup kelompok ini makin lama makin dikenal dan disukai banyak orang, khususnya kaum muda. Nyaris sepanjang tahun komunitas Taize ini mendapat kunjungan orang. Seminggu sebelum peristiwa pembunuhan terjadi, penulis bersama empat rekan dari Indonesia berkunjung ke Taize dan menginap selama tiga hari. Pada saat itu sekurangnya ada 4000 anak muda yang datang dari pelbagai penjuru dunia. Para peziarah ini sebagian besar ditampung di tenda-tenda yang telah disediakan, sebagian lagi (termasuk penulis) di tempatkan dalam kamar-kamar (satu kamar diisi 6 orang). Makan-minum disediakan secara sederhana. Taize seolah-olah menjadi tempat yang baik untuk beristirahat, merenung, berdoa, bernyanyi bahkan juga bekerja. Selalu ada yang menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan, baik mencuci piring kotor sampai membersihkan WC dan kamar mandi. Menurut situs Taize, setiap tahun tempat ini dikunjungi sekitar 100.000 orang, kebanyakan anak-anak muda. Banyak pemimpin agama berkunjung ke tempat ini juga. Salah satunya adalah Paus Yohanes Paulus II yang berkunjung ke Taize pada 5 Oktober 1986.
Memenuhi Kerinduan Akan Perdamaian dan Kejenuhan atas Kebaktian Resmi.
Acara utama di Taize adalah doa. Doa bersama diadakan tiga kali sehari: pagi, siang dan malam. Ketika lonceng berbunyi bertalu-talu, semua orang meninggalkan pekerjaannya dan berbondong-bondong menuju gedung gereja. Gedung gereja sendiri merupakan bangunan yang amat sederhana, nyaris seperti tempat parkir besar. Ibadat “gaya Taize” amat khas. Keheningan adalah factor yang amat menonjol. Tidak ada kotbah, kecuali hari Minggu, itupun amat singkat. Salah satu yang membuat Taize dikenal luas adalah lagu-lagunya. Lagu-lagu yang dilantunkan pada saat ibadat, mempunyai kekhasan: baik lagu maupun syairnya sederhana dan singkat. Satu lagu diulang beberapa kali menjadi semacam renungan tersendiri. Salah satu syair lagu-nya adalah sebagai berikut:
Ubi caritas et amor
Ubi caritas Deus ibi est.
(Dimana ada kasih dan cinta,
Di mana ada cinta, di sanalah Tuhan berada).
Para peziarah yang bersimpuh di lantai karpet, merasa tidak banyak dibebani dengan ritual yang resmi. Segala suasana doa, termasuk interior gedung gereja seakan membantu mereka mendekatkan diri dengan Yang Kuasa. Kesejukan dan ketenangan batin dirasakan semua orang yang hadir. Taize tidak saja memenuhi kerinduan orang akan perdamaian, melainkan juga melepaskan orang dari kejenuhan ritual resmi yang kaku.
Semangat dan cara doa Taize dalam waktu singkat menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. “Pertemuan Doa Akbar Taize” diadakan secara berkala di pelbagai Negara. Di Eropa tahun ini akan diadakan di Milano. Biasanya setiap pertemuan akbar doa Taize Eropa, Sekretaris Jenderal PBB selalu memberikan kata sambutan tertulis, sebagai respon positif terhadap orang-orang Kristen yang mencoba menghadirkan kedamaian dan kebersamaan di bumi ini.
Br.Roger adalah simbol dialog agama yang berhasil. Br.Roger adalah simbol perdamaian. Kini, pendekar perdamaian ini telah tiada. Ia telah menyalakan sebuah lilin dalam kegelapan malam. Terang itu akan terus bernyala lewat Roger-Roger yang telah dilahirkannya di seluruh dunia.
Heri Kartono (Roma, 19 Agustus 2005).