Tuesday, April 22, 2008

Bupati Agats-Asmat.


 

KALAU TIDAK SEKARANG KAPAN LAGI? 

“Membangun Asmat di atas pilar-pilar budaya Asmat. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”, itulah slogan yang mengantar Yuvensius Biakai menjadi Kepala Daerah pertama kabupaten Asmat, Papua.

Yuvens dengan slogannya yang mengena itu memang berbicara tentang kenyataan. Di masa lalu, budaya Asmat sempat dinilai negatif oleh pemerintah dan kurang dihargai.

“Bangunan adat yang disebut Jew atau Rumah Bujang pernah hendak dimusnahkan gara-gara dianggap sebagai sumber timbulnya kanibalisme di antara suku Asmat. Padahal, Rumah Bujang merupakan pilar penting budaya Asmat. Selain itu, di masa lalu pembangunan di daerah ini selalu berpola top down, ditentukan oleh pejabat tanpa memperdulikan kebutuhan yang sesungguhnya dari masyarakat. Padahal, untuk membangun, kita musti mengerti terlebih dahulu kebutuhan masyarakat. Tanpa mengerti adat setempat dengan baik, pembangunan bisa salah arah”, ujar Yuvens.

Kini, sebagai bupati sekaligus putera daerah Asmat, Yuvens berusaha memenuhi janjinya dengan memperhatian aspek budaya dalam membangun daerahnya.

Ketika berbicara tentang gereja Katolik di Asmat, bapak sembilan anak ini menjelaskan: “Para misionaris dahulu datang ke Asmat dengan tujuan mulia dan dengan dedikasi tinggi memajukan masyarakat Asmat. De fakto, masyarakat Asmat mayoritas beragama Katolik. Jadi wajar bila pemerintah daerah menganggap gereja sebagai mitra kerjanya”, jelas ketua Lembaga Masyarakat adat Asmat ini.

Secara pribadi, Yuvens mengaku memiliki kedekatan batin dengan gereja. Ia pernah bercita-cita menjadi pastor dan sempat kuliah di STFT Abepura sampai tingkat Sarjana Muda. Selain itu, dari tahun 1981-2002, ia menjadi karyawan keuskupan yang bertugas sebagai kurator Museum Asmat. Alasan lain, dirinya pernah dilantik sebagai diakon permanen. “Diakon adalah jabatan seumur hidup. Sampai saat ini saya masih sekali-kali memimpin Kebaktian di Gereja Syuru, stasi yang dipercayakan gereja pada saya”, ujar Yuvens bangga.

Keseimbangan dan Keharmonisan.

Sudah sejak lama daerah Asmat didatangi para pendatang. Setelah Asmat menjadi kabupaten, para pendatang semakin banyak mengalir, antara lain dari Toraja, Maluku, Makasar dan Jawa. Para pejabat pemerintahan seperti Camat, Kepala Polisi, dokter, umumnya juga pendatang. Bahkan, toko-toko yang bertebaran di seantero wilayah Asmat, hampir semuanya dikelola oleh pendatang. Kendati demikian, secara umum relasi antara penduduk asli dengan pendatang baik. “Orang Asmat menjunjung tinggi prinsip keseimbangan dan keharmonisan, baik dengan alam di sekitarnya maupun lebih-lebih dengan sesama manusia”, tutur Juvens.

Para pendatang yang umumnya memiliki sejumlah kelebihan, diakui memberi kontribusi bagi kemajuan Asmat. “Selama mereka menghargai orang Asmat, maka mereka tidak akan pernah diganggu. Tapi, bila ada yang menghina orang Asmat, misalnya mengatakan orang Asmat itu bodoh, tanpa ragu saya akan mengusirnya”, tegas Yuvens menutup pembicaraan.

Heri Kartono. (Dimuat di Majalah HIDUP, 12 Nopember 2006).

No comments: