TRAGEDI SILIH BERGANTI
Perjalanan hidupnya penuh dengan pengalaman pahit. Namun, yang paling menyakitkan adalah saat kehilangan rekan-rekan terdekatnya. Mereka dibantai secara keji dan mayat-mayatnya dicampakan ke sungai. Kendati pelbagai pengalaman pahit, semangat hidup Marcel tak pernah surut.
Tak lama sesudah berkaul, Bruder Marcel Smits OSC menerima penugasan di daerah misi Asmat/Agats. Meski daerah ini bukanlah wilayah misi yang mudah, tak ada rasa gentar menghampirinya. Waktu itu (1961) informasi tentang Asmat/Agats masih serba mengerikan. Ia mendengar bahwa suku Asmat masih primitif. Mereka masih suka berperang serta memenggal kepala manusia. Namun Marcel amat yakin, Tuhan menugaskan dirinya melalui pimpinan ordonya.
Beberapa saat menjelang keberangkatannya, Ia mendapat kabar bahwa rencananya berkarya di Asmat/Agats urung. Saat itu tengah berlangsung konflik antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia berkaitan dengan status Papua Barat.
Menuju Kongo, Afrika.
Pada waktu bersamaan, daerah misi di Kongo, Afrika, membutuhkan tenaga misionaris. Nasib Marcel yang sempat tak menentu pun berubah. Pimpinan Ordo mengutusnya ke Kongo. “Kali ini, tanpa persiapan memadai, saya langsung berangkat,” kata bruder kelahiran Belanda, 21 Nopember 1933.
Biarawan berjanggut lebat ini datang ke Kongo dari negeri Belanda yang sudah maju dan modern. Di negeri asalnya, segala keperluan bisa diperoleh dengan mudah. Sebaliknya, situasi di Kongo (1961) amat memprihatinkan.
Orang Kongo hidup di pondok-pondok sederhana. Umumnya mereka makan ubi, pisang dan kentang sewaktu-waktu. “Anak-anak dan sebagian orang dewasa tidak berpakaian karena miskin. Sekolah-sekolah hampir tidak terurus karena tidak ada dana”, paparnya.
Para misionaris datang ke Kongo tidak hanya mewartakan Injil tapi juga berkarya di bidang pendidikan, sosial dan kesehatan. Sebelum berangkat ke tanah misi, Marcel mengikuti kursus teknik selama beberapa bulan di Belanda.
Di Kongo, sesuai dengan keahliannya, Marcel bekerja di bidang mekanik. Ia mengurus dan merawat kendaraan para misionaris, membangun gedung, memasang pipa air dan semua yang berkaitan dengan teknik serta bangunan. “Saya masih merangkap sebagai sopir Uskup Cremers Andrè. Tiada hari saya lalui tanpa kesibukan”, tandas biarawan yang mengucapkan kaul pertamanya 28 Februari 1954.
Tak Terlupakan.
Tanggal 30 Juni 1960, Kongo berhasil merebut kemerdekaan dari penjajahan Belgia. Namun, hanya selang satu bulan, terjadi pembelotan dan pemberontakan dimana-mana. Pemberontak Simba (dalam bahasa Swahili, berarti singa) adalah kelompok pemberontak berhaluan kiri dan terkenal ganas. Kebanyakan anggotanya buta huruf dan animis. Hampir semua misionaris: imam, suster, bruder, termasuk Marcel ditangkap dan dipenjarakan oleh kelompok itu.
“Menjadi tahanan dari para pemberontak bodoh di Afrika sungguh mengenaskan”, kenang Marcel. Makanan serba kurang, fasilitas sederhana pun tak ada. Para misionaris ini diperlakukan tidak manusiawi oleh para pemberontak Simba.
Kendati kondisi amat memprihatinkan, semangat Marcel tetap tinggi. Berkat keahliannya di bidang mekanik, ia sering diminta memperbaiki kendaraan pemberontak atau hal-hal teknis lainnya.
Pada bulan ketujuh, Marcel bersama dua biarawati disuruh pergi ke wilayah Kongo Perancis membeli makanan serta beberapa keperluan lainnya. “Tugas ini diberikan langsung oleh Kolonel Makondo, pemimpin pemberontak”, katanya.
Diduga pemberontak sengaja melepasnya karena jasa-jasanya menolong mereka di bidang mekanik. Selanjutnya Marcel tidak kembali ke tempat tahanan pemberontak. Sebenarnya secara pribadi, ia ingin kembali, solider dengan rekan-rekannya. “Tentara Belgia yang waktu itu mulai berdatangan ke Kongo melarang kami kembali”, imbuh Marcel.
Dua bulan berselang, Marcel mendengar kabar bahwa seluruh tahanan pemberontak Simba dibunuh secara keji satu per satu. Mayat mereka dibuang ke Sungai Rubi dan tak pernah ditemukan lagi. Beberapa saksi mata, antara lain seorang perawat, memberi kesaksian tentang kebrutalan para pemberontak. Pembantaian massal ini terjadi di Buta, 30 Mei 1965. Marcel berlinangan air mata, saat menceriterakan bagian ini.
Di antara para tahanan yang dibantai, yang terbanyak adalah biarawan Salib Suci, 21 orang. Di tempat terpisah, yaitu di kota Dakwa, dua biarawan OSC lebih dahulu dibunuh, Nopember 1964.
Marcel sangat terpukul mendengar kabar duka itu. Tiga rekan seangkatannya sekaligus sahabat-sahabatnya yaitu Bert Timmers, Jan Verhoeven dan Huub van Lieshout ikut menjadi korban keganasan para pemberontak. “Kehilangan mereka seperti kehilangan sanak keluarga sendiri”, kenangnya sedih.
Ketegaran Mengabdi.
Peristiwa Buta dan Dakwa yang menyebabkan rekan-rekan setarekatnya terbunuh, amat mempengaruhi hidup Marcel. Selama beberapa pekan ia sulit menerima kenyataan bahwa orang-orang yang ia kenal dengan baik, orang-orang yang datang dari jauh untuk mengabdi, telah menjadi korban kebiadaban.
Hidupnya pun sempat terasa berbeda tanpa kehadiran sahabat-sahabat yang dikasihinya. Setelah situasi mereda, Marcel memutuskan tetap berkarya di Kongo. Ia menyadari, pada umumnya orang-orang Kongo baik.
Semangat pengabdian Marcel maupun rekan-rekan setarekatnya tak surut, kendati jumlah mereka amat berkurang. Kehidupan para biarawan yang penuh dedikasi ini perlahan-lahan menarik perhatian para pemuda Kongo.
Sejak tahun 1980-an, panggilan kaum muda Kongo mulai bermunculan. Dalam kurun waktu tersebut, pimpinan tarekat meminta Marcel membangun kompleks pendidikan, rumah novisiat, asrama para frater dan kapel. Kerja kerasnya berbuah melimpah. Kini ordonya memiliki sekitar 70 putra daerah Kongo.
Peristiwa Mengguncangkan.
Setelah 31 tahun berkarya di Kongo, kekuatan fisik Marcel mulai menurun. Ternyata, berada dalam tahanan dengan kondisi mengenaskan selama tujuh bulan, mempengaruhi fisiknya.
Saat cuti ke negeri Belanda, ia memeriksakan kesehatannya. Menurut dokter, jantungnya lemah dan kondisinya berbahaya. Ia disarankan tinggal di tempat yang tak jauh dari praktik dokter atau rumah sakit. Karena alasan kesehatan, pimpinan Ordo memindahkannya dari Kongo. Tahun 1992, dengan berat hati Marcel terpaksa meninggalkan Kongo, daerah yang amat dicintainya.
Karena semangatnya masih tinggi, pimpinan menempatkannya di Pusat Ordo Salib Suci di Roma. Tugas utamanya adalah mengurus hal-hal yang berkaitan dengan gereja di mana ia tinggal. “Saya juga bertanggung-jawab atas pemeliharaan kebun, mengurus kendaraan serta segala urusan teknik”, tambahnya.
Belum genap setahun tinggal di Roma, terjadi peristiwa mengguncangkan. Suatu malam, 27 Juli 1993, saat para penghuni rumah tengah terlelap, ledakan dahsyat menghentak. Rumah bergoyang hebat. Terdengar teriakan kesakitan di sana-sini. Marcel terlempar dari tempat tidurnya. Seketika ia melihat kamarnya berantakan, barang-barang berserakan. Ternyata, sebuah mobil berisi bom yang diparkir persis di depan gereja diledakkan. Akibatnya, teras gereja hancur total. Sebagian rumah rusak parah. Beberapa rekannya terluka. Seorang pastor projo dari Lampung (bukan Semarang) yang sedang bertamu, menderita patah tulang. Marcel sendiri hanya menderita luka-luka ringan.
Pada waktu hampir bersamaan, ada dua tempat lainnya yang dibom kelompok Mafia Sicilia. Konon, aksi pengeboman itu merupakan balasan mereka atas khotbah keras Paus Yohanes Paulus II saat berkunjung ke Sicilia.
Akibat ledakan bom, biara tak bisa lagi dihuni. Semua penghuninya mengungsi ke Denderleeuw, Belgia, kecuali Marcel dan seorang rekannya. “Pimpinan menugaskan saya ikut mengawasi pembangunan biara kembali”, ujarnya. Selama hampir lima tahun, dari hari ke hari dengan setia ia mengikuti perkembangan restorasi gereja dan rumah biara.
Kini, di usia menjelang 74 tahun, Marcel tetap setia menjalani kesehariannya. Ia dikenal ramah, selalu siap membantu orang lain dan tak pernah mengeluh. Ia memang tak banyak tahu tentang filsafat atau teologi, tetapi ia tahu bahwa pengabdian bukanlah kata-kata kosong. Baginya, pengabdian adalah sesuatu yang harus diperjuangkan dan terkadang harus dibayar dengan harga yang amat mahal!
Heri Kartono (Dimuat di Majalah HIDUP, Vol.61 No.25, Juli 2007).
Catatan: Pada tanggal 15 Februari 2008, Br. Marcel pindah dari Komunitas OSC di Roma ke Diest, Belgia.
No comments:
Post a Comment