Wednesday, April 16, 2008

Katolik Amerika.


KATOLIK AMERIKA PASCA SKANDAL

Skandal seksual yang melibatkan sejumlah imam di Amerika Serikat amat merugikan nama baik Gereja. Peristiwa ini juga berdampak besar bagi para imam.

Lima tahun lalu (2002) skandal seks pedofilia (pelanggaran seksual terhadap anak-anak) yang melibatkan para imam meledak di Amerika Serikat. Kasus yang paling terkenal sekaligus sebagai pemicu kegemparan adalah kasus yang dialami John J.Geoghan, seorang imam Keuskupan Boston.

Selama 30 tahun bertugas sebagai imam di enam paroki, John Geoghan dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap 130 remaja. Lewat proses pengadilan yang banyak disiarkan media massa, John dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara. Namun, nasib naas telah menantinya di penjara. Tanggal 23 Agustus 2003, John Geoghan mati dibunuh Joseph Druce, seorang narapidana seumur hidup. Ada dugaan bahwa Druce dibayar orang untuk menghabisi John.

Kasus yang dialami John Geoghan amat memalukan dan menodai nama baik Gereja Katolik di AS. Kasus ini juga merugikan Gereja secara finansial. Keuskupan Boston dipersalahkan mempekerjakan imam yang jelas-jelas bermasalah sehingga menimbulkan banyak korban. Bahkan karena kasus tersebut, keuskupan ini harus mengeluarkan uang jutaan dolar AS, baik untuk membayar para korban maupun untuk menanggulangi masalah itu. Tidak hanya itu, atas desakan banyak pihak, akhirnya Uskup Boston Kardinal Bernard Francis Law mengundurkan diri dari jabatannya tanggal 13 Desember 2002.

Pada kurun waktu yang hampir sama, kasus-kasus serupa juga muncul di pelbagai keuskupan lain, seperti keuskupan Davenport, Iowa, San Diego dan Tucson.

Menjauhi Remaja

Pemberitaan besar-besaran atas kasus-kasus pedofilia yang dilakukan para imam berdampak amat besar. Stephen J. Rossetti, seorang imam sekaligus psikolog dari Washington menyatakan banyak imam menjadi ketakutan untuk berpastoral di antara remaja atau kaum muda. Dalam wawancara dengan National Catholic Reporter, Rossetti berkata, “Seorang imam menyatakan pada saya bahwa ia sebelumnya melakukan pastoral kategorial kaum remaja. Banyak kegiatan dilakukannya dan melibatkan banyak kaum muda. Namun sekarang, Ia tidak bersedia lagi melakukan tugas tersebut!” 

Ada sekitar 25 ribu imam di seluruh USA. Sebagian besar dari mereka enggan berpastoral di antara kaum remaja sesudah meledaknya skandal seksual. Umumnya para imam menyatakan tidak mau ambil resiko dituduh terlibat pedofilia. Mereka takut bila terjadi suatu tuduhan atas dirinya, Gereja tidak akan melindungi mereka. Sebab, Konferensi  Waligereja Amerika Serikat dalam pertemuannya di Chicago, Juni 2002, telah menetapkan sebuah kebijakan antara lain: bila seorang imam dituduh melakukan pelanggaran seksual, imam tersebut akan segera ditarik dan diberhentikan dari segala tugas, sampai kasusnya tuntas di pengadilan. 

Pastor Gary Bechard melaporkan, di Keuskupan Agung Detroit ada seorang imam yang dituduh melakukan pelanggaran seksual terhadap seorang remaja. Imam ini langsung diberhentikan dari segala tugasnya. Di pengadilan, segala tuduhan tidak dapat dibuktikan. Imam ini dinyatakan bersih, tidak bersalah. Sayang, imam ini tidak dapat kembali bertugas di parokinya sebab namanya sudah terlanjur tercemar. Imam yang malang ini merasa bahwa para Uskup lebih mementingkan nama baik institusi daripada memberi perlindungan yang wajar bagi para imamnya.

Kasus lain, ada sejumlah imam yang dituduh melakukan pelanggaran seksual yang terjadi puluhan tahun yang lalu (aturan hukum di AS memungkinkan hal ini). Pada umumnya tuduhan-tuduhan tersebut tidak berdasar karena tidak cukup saksi-saksi dan bukti yang memadai. Yang pasti, akibat tuduhan tersebut nama baik sang imam menjadi tercoreng. Diduga, ada orang-orang yang mencoba mengail di air keruh, melontarkan tuduhan dengan harapan mendapat keuntungan finansial dari pihak Gereja. 

Lebih Tenang.

Pastor Andrew Greeley yang dikenal sebagai sosiolog dan novelis, menyesalkan keputusan banyak imam untuk menjauhi kaum remaja sejak tahun 2002. “Sungguh suatu kesalahan amat besar menjauhi kaum remaja”, ujar penulis banyak novel laris ini. Sikap kehati-hatian yang berlebihan para imam dengan menjauhi remaja tidak hanya merugikan kehidupan rohani anak muda tetapi juga membahayakan kelangsungan Gereja di masa depan. 

Rossetti melihat gejala ini dari sisi lain. Menurutnya, panggilan menjadi imam di kalangan remaja tumbuh justru lewat pergaulan secara dekat dengan para imam. “Bagaimana mengharapkan panggilan dari kalangan remaja bila tidak ada kontak dengan mereka?”, keluh Rossetti. Kini, sesudah lima tahun berlalu, banyak kalangan berharap situasi akan membaik. 

Harry Davis, seorang diakon awam dari Paroki  Holy Redeemer, Washington D.C. mengakui pemberitaan skandal seksual yang melibatkan para imam memang berdampak luas. Namun sekarang, situasi sudah jauh lebih tenang. “Kami juga sadar media massa secara tidak seimbang telah memberitakan kasus-kasus ini untuk memojokkan Gereja. Lihat saja, kasus pedofilia terjadi juga di kalangan pramuka atau di sekolah-sekolah, namun nyaris tidak mendapat pemberitaan. Hanya kalau kasus ini menimpa seorang imam, kasus tersebut diberitakan secara besar-besaran”, ujar Harry ketika ditemui HIDUP di rumahnya.

Masih menurut Harry, tahun ini ada lima tahbisan imam di Keuskupan Agung Washington. Bahkan di keuskupan lain, seperti di Keuskupan St. Paul, Minnesota, ada enam orang ditahbiskan. Peristiwa ini merupakan pertanda baik bagi Gereja Katolik AS.

Bob Rossi OSC, seorang imam yang bertugas di Phoenix, Arizona, menyetujui pendapat Harry Davis. Ia menambahkan bahwa sudah beberapa tahun terakhir tak pernah terdengar ada kasus pelecehan seksual yang melibatkan rohaniwan. Di paroki St. Vincent de Paul, di mana Bob sering melayani, dampak skandal seks para imam hampir tidak terasa lagi. Ia mengakui, hubungan antara imam dengan anak-anak dan remaja menjadi lebih kaku. Meski demikian, Bob mengingatkan, suasana seperti itu tidak hanya ada di lingkungan Gereja tapi juga di masyarakat luas di AS. “Di sekolah-sekolah, guru-guru tidak boleh sembarangan menyentuh anak-anak. Di masyarakat luas, orang dewasa umumnya juga diharapkan untuk tidak mendekati atau menyentuh anak-anak,” tandas Bob.

Imam Salib Suci yang pernah bertugas di Brasil ini menambahkan: “Peristiwa lima tahun lalu itu memang menggoncangkan kehidupan Gereja Katolik. Di balik peristiwa tersebut, saya yakin ada dampak positifnya juga. Yang pasti, pimpinan Gereja sekarang menjadi lebih berhati-hati dalam setiap mengambil suatu keputusan”, tutur Bob saat ditemui seusai merayakan Misa.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di Majalah HIDUP, 10 Juni 2007).

 

 

 

2 comments:

FJ.Lestariana said...

menurut aku, kalo pastur2nya sampai ketakutan buat mimpin misa kaum muda..artinya mereka ada keinginan jadi pedofilia dunk..kl engga, kok takut??

kok pastur masi jaim sih??padahal menyebarkan kabar gembira kan harusnya seneng, secara tugas dan pengabdian gt..tapi ini malah jaim..aneh..ckckckck

saya kecewa

Heri Kartono said...

Terima kasih atas komentarnya. Pada waktu itu tekanan mass-media begitu kuat terhadap kasus-kasus tersebut. Itu juga yang membuat keputusan para Uskup AS begitu keras. Saat saya ke AS terakhir kali (Mei-Juni 2007) suasana sudah mulai membaik. Paus dalam kunjungannya ke AS sekarang ini banyak memberi perhatian pada skandal yang memalukan tsb.
Salam.